suku Batak Toba. Kedua pengantin tidak menggunakan acara adat Batak Pakpak dan pakaian adat Batak Pakpak. Perubahan adat perkawinan ini disebabkan
masyarakat Batak Toba banyak yang tinggal dan bermukim di desa Bangun. Dan yang menjadi faktor pendukung lainnya adalah karena perkawinan yang terjadi
antara suku Batak Toba dan Batak Pakpak.
4.4. Agama
Hubungan suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak juga terlihat pada pembagian keagamaan. Dari hasil data lapangan yang ditemukan penulis, hampir
seluruhnya masyarakat Batak Toba menganut agama Kristen Protestan. Dan masyarakat Batak Pakpak menganut agama Kristen Katolik. Hal ini
mempengaruhi hubungan sosial yang terjadi diantara mereka, bagaimana dan dengan siapa mereka berinteraksi. Di dalam gereja suku Batak Toba dan suku
Batak Pakpak bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki suku yang sama dengan mereka. Sehingga interaksi dengan suku lain hampir tidak ada
di gereja. Kesamaan agama mengharuskan kita berinteraksi lebih banyak dengan orang-orang sekitar. Misalnya dalam acara natal, tahun baru, kebaktian, ibadah,
dan kegiatan-kegiatan gereja. Nenek moyang Batak Toba dan Batak Pakpak menganut agama Kristen
sehingga mengakibatkan keturunannya juga menganut agama tersebut. Nenek moyang suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, sehingga
keturunannya juga menganut agama Kristen Protestan. Demikian halnya dengan nenek moyang suku Batak Pakpak, sehingga keturunannya juga menganut agama
Kristen Katolik. Didaerah ini hampir tidak ada pengaruh agama Islam, sehingga
Universitas Sumatera Utara
jika dilihat penganut agama Islam sangat kecil. Walaupun demikian terdapat juga sarana mesjid untuk masyarakat yang menganut agama Islam.
4.5. Penggunaan Bahasa
Bahasa adalah hal terpenting dalam menjalin hubungan harmonisasi antara individu yang satu dengan yang lainnya karena tanpa adanya bahasa maka tidak
akan terjadi komunikasi. Maka dengan demikian interaksi antara pendatang dan penduduk asli tidak akan bisa hidup berdampingan apabila setiap suku memakai
bahasa daerah masing-masing. Oleh sebab itu untuk menghindari terjadinya konflik yang terjadi akibat salah paham maka dalam suatu daerah yang majemuk
memerlukan proses adaptasi bahasa. Proses adaptasi budaya yang terjadi pada setiap suku bangsa ada beberapa
model adaptasi yang dilakukan oleh pendatang terhadap penduduk asli, adaptasi yang dilakukan penduduk asli terhadap pendatang dan adaptasi yang tidak
dilakukan oleh pihak manapun, dimana masing-masing etnik berdiam diri tanpa melakukan adaptasi. Pada umumnya adaptasi yang sering terjadi adalah adaptasi
yang dilakukan oleh penduduk pendatang terhadap adaptasi penduduk asli. Model adaptasi yang terjadi di desa Bangun adalah adaptasi penduduk asli
terhadap pendatang atau adaptasi bahasa. Hal ini dapat diihat dari masyarakat suku Batak Pakpak yang pada umumnya menguasai atau mampu berbahasa
daerah dari suku pendatang tersebut yaitu bahasa Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun daerah ini didiami oleh beberapa suku yang berbeda. Bahasa yang digunakan antar suku Batak Pakpak adalah bahasa Toba. Mereka belajar dan
mahir menggunakan bahasa tersebut. Lain halnya dengan suku Batak Toba yang tidak mengerti dengan bahasa Pakpak. Mereka enggan untuk belajar
menggunakan bahasa tersebut. Apabila dalam kelompok atau kumpulan kecil ada suku Batak Pakpak dan Batak Toba, maka mereka menggunakan bahasa Batak
Toba. Walaupun dalam kelompok diskusi tersebut mayoritas suku Batak Pakpak. Bahasa Batak Pakpak sangat jarang terdengar, karena sesama orang Batak Pakpak
juga banyak tidak menggunakannya. Kita hanya dapat mendengarnya ketika dialog di dalam rumah suku Batak Pakpak atau keluarga kecilnya. Misalnya :
antara suami dan isteri yang sama-sama dari suku Batak Pakpak. Bahkan sudah banyak anak yang tidak mengerti bahasa Pakpak. Karena orangtua tidak
mengajarkannya dan mata pelajaran Bahasa Pakpak atau Muatan Lokal tidak diajarkan lagi di Sekolah Dasar.
Di bidang pendidikan formal, sampai sekitar tahun 2007 bahasa Pakpak masih dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal di Sekolah Dasar. Buku-
buku lama yang bertulisan asli masih ada walaupun sangat jarang. Sekolah Dasar belajar bahasa dan huruf batak Pakpak. Saat ini mata pelajaran muatan lokal telah
dihapus dan tidak diajarkan lagi di Sekolah Dasar. Saat ini anak laki-laki suku Batak Pakpak banyak yang menikah dengan
perempuan suku Batak Toba. Ketika anaknya lahir, tentunya si anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibunya. Karena si ibu berasal dari suku Batak Toba,
bahasa yang diketahui dan dipakainya adalah bahasa Batak Toba. Sehingga seorang ibu akan mengajari anaknya menggunakan bahasa Batak Toba. Begitu
Universitas Sumatera Utara
juga dengan si suami akan menggunakan bahasa Batak Toba saat berbicara dengan si istri.
Demikian halnya dengan suku Batak Toba yang tidak mau tahu dengan bahasa Pakpak. Sebagai daerah kekuasaan suku Batak Pakpak, seharusnya seluruh
lapisan masyarakat mampu mengunakan bahasa Batak Pakpak. Sehingga kebudayaan milik suku Batak Pakpak tidak hilang.
Pergaulan sehari-hari anak juga sudah dibatasi oleh orang tua, dengan siapa mereka bermain dan dengan suku apa. Persepsi orang tua yang demikian
mempengaruhi hubungan yang terjadi antara suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak. Hal ini tentu membatasi ruang dan gerak yang terjalin antara suku.
Khususnya antara anak-anak suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak. 4.6. Hubungan Antara Suku Batak Toba dan Batak Pakpak
Saya memulai penelitian ini dengan tuturan dari Japirin Sihotang seperti berikut :
“ Molo Bangun on desa terbaik do on sakecamatan Parbuluan. Aman do attong ison, so hea olo dison marbadai
akka doli-doli. Antar suku pe termasuk denggan do, ale marsisogoan do. Ale dang olo marbadai.
Artinya : “ Desa Bangun ini merupakan desa terbaik di Kecamatan
Parbuluan. Keadaan lingkungan aman dan tenteram. Hubungan antar suku sangat baik, tetapi saling tidak
menyukai antar suku. Tidak pernah terjadi pertengkaran antar suku.
Hubungan antar suku Batak Toba dan Batak Pakpak tidak pernah terjadi masalah yang mengakibatkan konflik. Kata konflik mengacu kepada perkelahian,
perlawanan dan pertentangan dimana dua orang atau kelompok berusaha
Universitas Sumatera Utara
menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik yang terjadi antara suku Toba dan suku Pakpak tidak mengacu kepada perkelahian, perlawanan dan pertentangan dimana dua orang atau
kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Tetapi konflik yang terjadi adalah konflik batin.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling
bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku. Suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak saling tidak menyukai. Ada rasa
benci yang muncul dihati masing-masing suku memandang suku lain. Menurut suku Batak Toba, suku Batak Pakpak adalah suku yang tertinggal, tidak mau
maju, kolot, tidak berpendidikan. Dan menurut suku Batak Pakpak, suku Batak Toba adalah suku yang keras dan merasa penguasa.
Suku Batak Pakpak menerima kedatangan suku Batak Toba ke daerah kekuasaan mereka dan menjadi bagian dari masyarakat desa Bangun. Tetapi
karena keterbatasan dan ketidakberdayaan yang dimiliki oleh suku Batak Pakpak akibat dosa nenek moyang mereka yang diwariskan kepada mereka, sehingga
mengakibatkan suku Batak Toba memandang rendah terhadap suku Batak Pakpak.
Dari hasil wawancara dengan suku Batak Pakpak, masyarakat Batak Pakpak mengatakan bahwa dahulu nenek moyang suku Batak Pakpak memakan
daging manusia atau yang sering disebut kanibal. Anak cucu dan keturunan suku
Universitas Sumatera Utara
Batak Pakpak sampai ke generasi keempat mendapat dosa turunan atas perbuatan nenek moyang suku Batak Pakpak. Sehingga hal yang sulit bagi keturunan Batak
Pakpak untuk berkembang. Generasi keempat yang dimaksud bukan keturunan yang keempat setelah nenek moyang mereka memakan daging manusia. Tetapi
keturunan yang dimaksud adalah keturunan berlanjut, dimana setiap orang yang memakan daging manusia akan mendapat dosa turunan selama empat keturunan.
Apabila hal tersebut masih terjadi setelah empat keturunan, maka dosa turunan kembali diperoleh anak-anaknya sampai keturunan yang keempat.
Dalam hal sekolah, suku Batak Pakpak tidak memiliki niat untuk kuliah atau melanjutkan sekolah. Keinginan yang tidak ada untuk sekolah
mengakibatkan generasi suku Batak Pakpak tetap tinggal di desa bersama orangtuanya. Banyak yang tidak memiliki pengalaman karena keinginan untuk
pergi merantau dan bersekolah juga tidak ada. Melihat hal ini, suku Batak Toba memandang rendah suku Batak Pakpak. Dikarenakan keinginan anak-anak dari
suku Batak Toba yang bersekolah ke luar daerah lebih tinggi dibandingkan anak- anak dari suku Batak Pakpak. Mereka juga melanjutkan perkuliahan ke perguruan
tinggi, bekerja di luar kota dan rata-rata menaikkan taraf kehidupan orang tuanya di desa.
Jumlah anak-anak suku Batak Pakpak yang tinggal di kampung dan tidak melanjutkan pendidikannya cukup banyak. Mereka bekerja membantu
orangtuanya ke ladang. Berbeda dengan suku Batak Toba yang rata-rata anaknya sekolah sampai ke Perguruan Tinggi. Banyak dari suku Batak Toba yang selalu
mengharumkan nama orangtuanya dengan berprestasi di sekolah. Beberapa dari anak-anak suku Batak Pakpak juga banyak yang putus sekolah. Hal inilah yang
Universitas Sumatera Utara
mendasari suku Batak Toba untuk mendeskripsikan suku Batak Pakpak sebagai suku yang tertinggal, tidak berpendidikan, kolot, dan tidak mau maju.
”Hami nga hona dosa turunan sian oppung nami dang boi hami berkembang. Oppung nami hian kanibal do mangallang
jagal ni jolma, jadi nga hona dosa. Maol do niat nami neng sikkola dohot lao mangaratto. Molo lao pe mangaratto sek
maol asa jadi di pangarattoan ” Dedy Capah
Artinya : “Kami udah kena dosa turunan dari nenek moyang kami gak
bisa kami berkembang. Nenek moyang kami dulu kanibal memakan daging manusia, jadi kami udah kena dosa turunan.
Sangat sulit niat kami mau sekolah dan pergi merantau. Kalaupun pergi merantau tidak akan jadi apa-apa nanti.”
Dedy Capah
Dari hasil data lapangan yang diperoleh penulis, suku Batak Pakpak memiliki kesadaran tersendiri atas dosa warisan dari nenek moyang yang
ditanggung mereka, sehingga tidak ada kesempatan untuk berkembang dan maju. Rasa ketidakberdayaan yang disadari suku Batak Pakpak membuat mereka untuk
diam tidak melakukan respon dan tindakan apa-apa. Sehingga mereka tersisihkan, diminoritaskan suku Batak Toba yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan suku
Batak Pakpak. yang hidup bersamanya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan yang berasal dari suku Batak Toba :
”Molo halak Pakpak on maol do maju, ai nga hona dosa turunan halakon sian oppungna. Oppung na hian mangallangi
jolma do, diallangi daging ni jolma. Jadi nga hona dosa turunan halakon, makana dang olo maju. Sikkola pe dang,
hasea pe dang.” Ningot Sihombing
Artinya : “Kalau orang Pakpak ini susah nya maju, karena udah kena
dosa turunan dari nenek moyangnya. Nenek moyangnya dulu dimakani daging manusia. Jadi udah kena dosa turunan
Universitas Sumatera Utara
orang Pakpak ini makanya gak bisa maju. Sekolah pun enggak, sukses pun enggak.” Ningot Sihombing
Pendapat suku Batak Toba yang mengatakan bahwa suku Batak Pakpak adalah kanibal, memakan daging manusia dan sudah terkena dosa turunan
ternyata diakui oleh suku Batak Pakpak bahwa hal tersebut adalah benar. Dosa turunan yang diperoleh telah membatasi ruang gerak hidup mereka. Sehingga
segala aktivitasnya selalu dilandaskan dengan dosa turunan yang diperoleh. Hal tersebut mempengaruhi tingkat kepercayaan diri suku Batak Toba. Sehingga
sebelum bertindak suku Batak Pakpak terlebih dahulu selalu merasa tidak mampu. Lister Berutu dkk menjelaskan bahwa secara politik masyarakat Pakpak
telah menjadi ethnic minority dikampung halamannya sendiri, yaitu di Kabupaten Dairi. Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa masyarakat
Batak Pakpak disebut sebagai ethnic minority dikampungnya sendiri, yakni : a.
Semakin berkurangnya unsur-unsur budaya Pakpak yang terlihat di Dairi. Hal ini juga diperburuk jumlah penduduk yang mengaku dirinya
sebagai orang Pakpak sangat sedikit. b.
Pengakuan identitas yang dihadapi, friksi antar suak dan agama, penguasaan tanah antar marga serta dibarengi oleh gap atau
kesenjangan komunikasi antar rakyat dan penguasa pemerintah yang menyebabkan ketidaksepakatan antara pandangan mengenai sifat-sifat
antropologis dan psikologis Pakpak yang cukup tajam. c.
Adanya stereotype dan prasangka suku lain dan bahkan orang Pakpak sendiri terhadap suku Pakpak. Hal ini tampak dalam rasa enggan
memakai marga asli Pakpak dan lebih memilih mengganti marga asli
Universitas Sumatera Utara
menjadi marga suku lain seperti Toba dan Karo. Contohnya : Tinambunan dan Bancin mengaku Simbolon. Marga Berutu menjadi
Sinaga Toba, Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi Sinulingga Karo dan lain sebagainya.
d. Pemakaian bahasa Pakpak terutama sebelum 90 an yang cukup jarang
diluar tiga Kecamatan asal Pakpak Kerajaan, Salak, Sitellu Tali Urang Jehe yang ketiganya sekarang berada dalam wilayah Kabupaten
Pakpak Barat. Dimana bahasa Pakpak seharusnya menjadi bahasa pengantar dikota kabupaten seperti bahasa bahasa lokal lainnya seperti
Toba di TarutungBalige, Karo diKabanjahe. Di desa Bangun sendiri bahasa tobalah yang lebih dominan dan bahkan sudah menjadi bahasa
pengantar. Baik dalam keluarga maupun dalam pergaulan sehari-hari. e.
Dalam hal pesta adat misalnya upacara perkawinan, pemakaian pakaian asli juga tidak terlalu sering digunakan. Ditambah lagi dengan
adanya kecenderungan menggunakan upacara adat dari suku lain daripada mempertahankan untuk menggunakan adat Pakpak sendiri
terutama ketika terjadi perkawinan campuran antara Pakpak dengan Toba atau dengan Karo.
f. Dibidang pendidikan formal, muatan lokal pendidikan di Kabupaten
Dairi hingga tahun 1998 belum secara khusus memasukkan pendidikan budaya Pakpak disekolah-sekolah. Hal ini menyebabkan jarangnya
terlihat buku-buku yang bertuliskan huruf Pakpak. g.
Dalam hal agama, masyarakat Pakpak sangat sulit untuk memerdekakan diri khususnya bagi orang Pakpak kalangan Kristen.
Universitas Sumatera Utara
Berpuluh tahun suku Pakpak harus berada dalam naungan gereja etnis batak Toba, yaitu Huria Kristen Batak Prostestan HKBP. Yang mana
suku Pakpak harus beribadah menggunakan liturgi gerejani berbahasa batak Toba. Selanjutnya pada tahun 70an, beberapa gereja mulai
menggunakan bahasa Pakpak yang disebut dengan HKBP Simerkata Pakpak. Sulitnya masyarakat Pakpak melepaskan diri dari pengaruh
Toba dalam hal agama ini diperparah ketika masyarakat Pakpak harus mengalami kekerasan ketika melakukan gerakan pemisahan diri dari
HKBP. Hingga unsur militer menjadi salah satu alat yang ditempuh untuk menghentikan gerakan kemandirian gereja ini. Dikejar dan
diintimidasi oleh aparat hingga mereka yang pro pada gerakan ini harus melakukan kebaktian di gedung-gedung non gereja. Pada tahun
1995,usaha untuk mandiri secara gerejani ini pun berhasil dengan dibentuknya Gereja Kristen Pakpak Dairi GKPPD yang resmi diakui
oleh HKBP. Beberapa hal yang disebutkan diatas telah menjadikan suku Batak Pakpak
menjadi ethnic minority dikampung halamannya sendiri. Dan bisa dilihat dengan yang terjadi sekarang pada suku Batak Toba yang ada di desa Bangun kecamatan
Parbuluan kabupaten Dairi. Bila dilihat dengan yang terjadi di desa Bangun, adanya stereotype suku
lain terhadap suku Batak Pakpak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi suku Batak Pakpak menjadi ethnic minority. Kemudian didukung dengan
hilangnya unsur-unsur Batak Pakpak yang terlihat dan penggunaan bahasa Pakpak yang jarang terdengar di kalangan suku Batak Pakpak.
Universitas Sumatera Utara
Suku Batak Toba memberikan pencitraan serta label yang disematkan pada suku Batak Pakpak. Meskipun hidup harmonis selama puluhan tahun, bukan
berarti tidak ada masalah. Suku Batak Pakpak dianggap sebagai orang yang tertinggal, kolot kampungan, tidak berpendidikan, tidak mau maju. Mereka
hanya bisa diandalkan ke ladang karena mereka pekerja keras. Contoh mengenai dinamika hubungan sosial seperti ini digambarkan lagi dalam masyarakat Buton
mengenai kelompok Papara suku Katobengke yang dahulu distereotipkan kotor, jorok, bau, berkaki besar, dan lain-lain oleh kelompok koumu dan walaka. Kini
pada perubahan yang terjadi mereka melakukan perlawanan terhadap stereotip tersebut. Ini adalah salah satu bentuk dinamika hubungan yang terjadi di Buton.
Sedangkan menurut suku Batak Pakpak, suku Batak Toba adalah suku yang keras yang merasa penguasa. Akibat tingginya migrasi dan mobilitas
penduduk suku Batak Toba yang hampir mendiami seluruh desa Bangun. Jumlah penduduk desa Bangun yang lebih banyak dibandingkan dengan Batak Pakpak
membuat suku Batak Toba merasa lebih kuat dibandingkan suku Batak Pakpak. Suku Batak Pakpak merasa suku Batak Toba ingin menguasai daerah desa
Bangun. Menggantikan posisi kekuasaan yang selama ini dimiliki oleh Batak Pakpak.
Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Suparlan dalam Budiman, 2009 bahwa mayoritas yang didasarkan pada dominasi jumlah anggota
meluas menjadi dominasi kekuasaan. Kelompok yang jumlahnya lebih banyak biasanya cenderung merasa dirinya sebagai penguasa. Kelompok mayoritas
adalah merupakan orang-orang yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak dalam suatu wilayah.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan dan prasangka buruk yang diberikan suku Batak Toba terhadap suku Batak Pakpak. Dan sebaliknya pandangan suku Batak Pakpak terhadap suku
Batak Toba. Memberikan batasan dalam hubungan yang terjalin diantara mereka. Sehingga hubungan diantara kedua suku ini tidak berjalan dengan lancar. Kedua
suku memiliki kekuatan dan kekuasaan, suku Batak Toba memiliki kekuatan karena jumlahnya yang lebih banyak. Dan suku Batak Pakpak memiliki
kekuasaan karena mereka adalah raja tanah.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN