PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI PUISI DENGAN METODE PETA PIKIRAN (MIND MAPPING) PADA SISWA KELAS X 8 SMA NEGERI 1 SAMARINDA

(1)

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI PUISI DENGAN METODE PETA PIKIRAN (MIND MAPPING) PADA SISWA

KELAS X 8 SMA NEGERI 1 SAMARINDA

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh:

Saidah Iriani

S 840907014

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009


(2)

ii Disusun Oleh:

Saidah Iriani

S 840907014

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. ___________ ________ NIP 130692078

Pembimbing II Dr. Suyatno Kartodirdjo ___________ ________ NIP 130324012

Mengetahui:

Ketua Program Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 130692078


(3)

iii

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI PUISI DENGAN METODE PETA PIKIRAN (MIND MAPPING) PADA SISWA

KELAS X 8 SMA NEGERI 1 SAMARINDA

Diajukan oleh:

Saidah Iriani

S 840907014

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. ___________ ________

NIP 131529726

Sekretaris Dr. Budhi Setiawan, M.Pd. ___________ ________ NIP 131809046

Anggota Penguji:

1. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. ____________ ________ NIP 130692078

2. Dr. Suyatno Kartodirdjo ____________ ________

NIP 130324012

Mengetahui

Direktur PPs UNS, Ketua Program

Pendidikan Bahasa Indonesia,

Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.


(4)

iv NIM : S 840907014

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Peningkatan Kemampuan Mengapresiasi Puisi dengan Metode Peta Pikiran (Mind Mapping) pada Siswa Kelas X 8 SMA Negeri 1 Samarinda adalah benar karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, 5 Januari 2009 Yang membuat pernyataan,


(5)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena limpahan rahmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Selama penelitian hingga penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, Sp. Kj., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian;

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian;

3. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan pembimbing I, yang selalu memberikan bimbingan, bantuan dan motivasi dalam pelaksanaan penelitian serta penulisan tesis ini;

4. Dr. Suyatno Kartodirdjo, Pembimbing II yang memberikan bimbingan dengan sabar dan bijaksana dalam penulisan tesis ini;

5. Tim penguji tesis Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia yang banyak memberi masukan berharga demi kesempurnaan tesis ini;

6. Suardi, S.Pd., M.M. Kepala SMA Negeri 1 Samarinda yang memberi izin untuk melakukan penelitian di sekolah yang dipimpin;

7. Suwitoyo, S.Pd. guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia dan teman sejawat dalam penelitian ini;


(6)

vi

memberi dukungan moral dan motivasi sehingga tesis ini selesai;

Semoga amal kebaikan yang telah diberikan dengan tulus menjadi jalan kemudahan dan mendapat pahala dari Allah SWT. Penulis berharap semoga tesis ini memberi manfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia. Amin.

Surakarta, 5 Januari 2009


(7)

vii MOTTO

Tiada kata tua untuk belajar

tetapi jangan tua baru belajar

*

Setiap satu kesulitan,

Allah akan memberikan banyak kemudahan


(8)

viii

Karya ini dipersembahkan untuk

Bunda dan Ayah tercinta dalam denyut nafas dan doa,

H. Lamri, suami terkasih dengan kesabaran dan kesetiaan dalam

meniti hari,

Syahruddin, H. Syafruddin, Salehuddin, dan Muhammaddin kakak

dan adik tercinta yang tiada henti memberi dukungan

Syaiful Bachri, Yudi Irawan, Siti Hariyati, dan Siti Nurhayati

anak-anak tersayang yang selalu memberi semangat


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI TESIS... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. RumusanMasalah ... 8

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN A. Landasan Teori ... 12


(10)

x

2) Struktur Batin Puisi ... 40

d. Kemampuan Mengapresiasi Puisi... 50

2. Metode Pembelajaran Peta Pikiran (Mind Mapping) ... 52

a. Metode Pembelajaran... 52

b. Metode Peta Pikiran (Mind Mapping)... 54

c. Langkah-langkah Pembuatan Peta Pikiran (Mind Mapping) ... 58

d. Pembelajaran Apresiasi Puisi dengan Metode Peta Pikiran (Mind Mapping)... 60

e. Penilaian Kemampuan Mengapresiasi Puisi ... 63

B. Penelitian yang Relevan... 71

C. Kerangka Berpikir ... 73

D. Hipotesis Tindakan ... 75

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Setting Penelitian... 76

1. Tempat Penelitian ... 76

2. Waktu Penelitian... 77

B. Subjek Penelitian ... 78

C. Sumber Data Penelitian ... 79

D. Teknik dan Alat Pengumpul Data ... 80

E. Validasi Data ... 82

F. Teknik Analisis Data ... 83

G. Indikator Keberhasilan... 83

H. Prosedur Penelitian ... 83

BAB.IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian... 94


(11)

xi

1. Kegiatan Pratindakan ... 94

a. Studi Awal tentang Permasalahan Pembelajaran Puisi... 94

b. Pembahasan Upaya Peningkatan Kualitas Pembelajaran 96

c. Menyusun Rancangan Tindak Pembelajaran Mengapresiasi Puisi. ... 97

2. Pelaksanaan Tindakan Kelas ... 98

a. Siklus I... 98

b. Siklus II ... 114

c. Siklus III ... 126

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 137

1. Kondisi Awal Kemampuan dan Minat Siswa dalam Apresiasi Puisi ... 137

2. Pembelajaran dengan Metode Peta Pikiran (Mind Mapping) Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Puisi ... 138

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 142

B. Implikasi ... 143

C. Saran ... 144

DAFTAR PUSTAKA ... 145


(12)

xii

3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian... 78

4.1 Hasil Peta Pikiran (Mind Mapping) Kemampuan Mengapresiasi Puisi Siklus I... 109

4.2 Hasil Tes Apresiasi Puisi Siklus I ... 110

4.3 Hasil Belajar Apresiasi Puisi Siswa Siklus I ... 111

4.4 Hasil Peta Pikiran (Mind Mapping) Kemampuan Mengapresiasi Puisi Siklus II ... 122

4.5 Hasil Tes Apresiasi Puisi Siklus II... 122

4.6 Hasil Belajar Apresiasi Puisi Siswa Siklus II ... 123

4.7 Hasil Peta Pikiran (Mind Mapping) Kemampuan Mengapresiasi Puisi Siklus III ... 133

4.8 Hasil Tes Apresiasi Puisi Siklus III ... 133

4.9 Hasil Belajar Apresiasi puisi siswa siklus Siklus III... 134

4.10 Hasil Peta Pikiran (Mind Mapping) Siklus I, II, dan III ... 139


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema Kerangka Berpikir ... 74

2. Desain Penelitian ... 93

3. Diagram Peningkatan Ketuntasan Belajar Siklus I... 112

4. Diagram Perolehan Nilai Kemampuan Mengapresiasi Puisi Siklus I ... 112

5. Diagram Peningkatan Ketuntasan Belajar Siklus II... 124

6. Diagram Perolehan Nilai Kemampuan Mengapresiasi Puisi Siklus II ... 125

7. Diagram Peningkatan Ketuntasan Belajar Siklus III ... 135


(14)

xiv

1. a. Wawancara 1... 150

b. Wawancara 2... 153

2. Silabus ... 155

3. Tes Pratindakan... 156

4. Catatan Lapangan Survei Awal ... 159

5. Dokumentasi Survei Awal... 165

6. RPP Siklus I... 167

7. Lembar Kerja Siswa Siklus I ... 172

8. Peta Pikiran (Mind Mapping) Karya Siswa... 176

9. Tes Akhir Siklus I ... 179

10. Catatan Lapangan Siklus I... 182

11. Dokumentasi Siklus I ... 184

12. RPP Siklus II ... 186

13. Lembar Kerja Siswa Siklus II... 191

14. Peta Pikiran (Mind Mapping) Karya Siswa... 195

15. Tes Akhir Siklus II... 198

16. Catatan Lapangan Siklus II ... 202

17. Dokumentasai Siklus II ... 204

18. RPP Siklus III ... 206

19. Lembar Kerja Siswa Siklus III ... 212


(15)

xv

21. Tes Akhir Siklus III... 219

22. Catatan Lapangan Siklus III ... 222

23. Puisi Karya Siswa III ... 224

24. Dokumentasi Siklus III... 227


(16)

xvi

1 Samarinda. Tesis Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 2009.

Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran apresiasi puisi dengan metode Peta Pikiran (Mind Mapping) pada siswa kelas X 8 SMA Negeri 1 Samarinda.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan siklus model Elliot, terdiri dari tiga siklus. Subjek penelitian adalah guru dan siswa kelas X 8 SMA Negeri 1 Samarinda. Teknik pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara, analisis dokumen, pemberian tugas, tes dan angket. Alat pengumpul data digunakan butir soal tes, lembar observasi, pedoman wawancara, hasil pekerjaan siswa, dan hasil tes apresiasi puisi setiap siklus. Sedangkan validasi data yang digunakan adalah teknik triangulasi yang didasarkan pada proses tindakan dengan metode peta pikiran(Mind Mapping).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode peta pikiran (mind mapping) mampu meningkatkan proses pembelajaran mengapresiasi puisi pada siswa kelas X 8 SMA Negeri 1 Samarinda. Hal ini dapat dilihat dari hasil pretes dan postes yang dilakukan selama tiga siklus. Ada peningkatan jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas KKM (70,00), yakni dari 17 dari 40 siswa (42,50%) pada pratindakan menjadi 20 siswa (50,00%). Lalu pada Siklus II, didapati sebanyak 26 siswa (65,00%) yang mendapatkan nilai sama atau diatas KKM, atau mengalami peningkatan 6 siswa (15,00%) dari Siklus I. Kemudian pada Siklus III, terjadi peningkatan jumlah siswa yang memperoleh nilai diatas batas KKM yakni sebanyak 34 siswa (85,00%), mengalami peningkatan sejumlah 8 siswa (20,00%) dari Siklus II. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa pembelajaran apresiasi puisi dengan metode peta pikiran (mind mapping) mampu mengubah paradigma guru tentang metode pembelajaran. Guru mulai kreatif melakukan inovasi pembelajaran. Guru tidak hanya berorientasi pada pembelajaran dengan metode ceramah semata. Siswa terlatih untuk berpikir secara kritis mengemukakan ide atau gagasannya melalui kata-kata kunci yang dituliskan pada peta pikiran.


(17)

xvii ABSTRACT

Saidah Iriani. S 840907014. A Research to Increase Capability of the Poem Appreciating of the Students of Class X 8 SMA Negeri I Samarinda by Mind Mapping Method. Thesis for Magister Program Universitas Sebelas Maret Surakarta 2009.

This class action research was aimed at increasing the learning process of Poem Appreciation Capability of the Students of Class X 8 SMA Negeri 1 Samarinda by Mind Mapping Method.

This class action research used Elliot’s cycles model, which separately to three cycles. The subjects of this research were the Students of Class X 8 SMA Negeri 1 Samarinda. The techniques used in this research were monitoring, document analysing, giving the homeworks, tests and inquiry. The instruments used in this research were question paper, observation guides, interview guide, student’s work sheet, and student’s result of poem apreciation test every circle. The data validation was done using the triangulation technique based on action process with used mind mapping method.

The result of this study indicated that the implementation of Mind Mapping method was able to increase capability of the poem appreciating of the Students of Class X 8 SMA Negeri 1 Samarinda. Based on pretest and posttest result of three cycles. There was increase number of the students who passed the minimum point (70.00), from 17 of 40 students (42.50%) at preaction to 20 students (50.00%) at first cycle. At second cycle, number of students who passed the minimum point was 26 (65.00%), increase 6 students (15.00%) from first. Then it was be 34 students (85.00%) for third cycle, increase 8 students (20.00%) from second. Futhermore, the research suggests that the application of Mind Mapping method to the lesson of poem appreciation may shift the teacher’s paradigm on instruction metod. A teacher should initiate to apply various learning innovations. Teacher’s orientation was not teacher-centered any longer, but student-centered. The students should be improve their ideas critically through the keywords in the mind-map.


(18)

A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki masing-masing empat aspek keterampilan kebahasaan dan kesastraan. Pengajaran sastra memiliki bermacam kekhususan karena sastra, manusia, dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan hasil aktivitas manusia yang bersifat imajinatif, namun sarat dengan permasalahan manusia, dan dikembalikan lagi pada manusia melalui pendidikan dan pengajaran. Disadari atau tidak hal tersebut berpengaruh pada siswa untuk mengembangkan kemampuan dan sikap dalam mengapresiasi persoalan-persoalan yang ada di sekitar mereka. Mempelajari sastra dapat memperhalus budi pekerti, saling menghargai sesama makhluk Tuhan, sehingga hidup jadi bermakna. Oleh karena itu pengajaran apresiasi sastra semakin penting peranannya dalam pendidikan. Rahmanto (1993: 15) berpendapat, jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberi sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.

Namun pada kenyataannya apresiasi sastra masih dianggap sebagian siswa kurang menarik, hal ini harus diakui. Penyebab kurang menariknya pelajaran apresiasi sastra Indonesia, di antaranya kurang terbinanya pengajaran apresiasi sastra Indonesia dengan baik, cara guru mengajar yang kurang memotivasi siswa, kurangnya sarana dan prasarana, serta kurang akrabnya siswa dengan karya sastra


(19)

2

sehingga motivasi dan hasil berlajar siswa rendah. Selain tersebut menurut Agus R. Sarjono (2001: 208) Keberhasilan dan kegagalan pengajaran sastra sudah barang tentu memiliki sebab yang banyak, karena ia merupakan sebuah sistem yang meliputi kurikulum di sekolah, sarana dan prasarana seperti pengadaan buku dan perpustakaan, minat baca masyarakat, iklim bersastra, dan lain-lain. Hal yang senada diungkapkan oleh Anwarsono bahwa pengajaran sastra di sekolah belum membanggakan karena kurangnya jam pelajaran, sistem pengajaran yang kurang pas, kurikulum yang hanya mendorong siswa untuk menghafal angkatan, judul karya tanpa pernah mengajak siswa memasuki wilayah interpretasi maupun kreasi karya sastra (dalam Horison edisi Agustus 2003).

Menurut Agus R. Sarjono, pengajaran sastra di sekolah memiliki peluang besar untuk meningkatkan apresiasi dan minat siswa terhadap sastra (2001: 208). Namun banyak faktor yang mempengaruhi pembelajaran apresiasi sastra, antara lain, guru, penggunaan metode, dan pemilihan materi yang tepat. Guru adalah ujung tombak yang berhadapan langsung dengan siswa pada saat terjadi kegiatan pembelajaran di kelas. Guru harus memiliki dan mampu menerapkan strategi pengajaran yang tepat, sesuai dengan kondisi sekolah dan siswa sehingga diharapkan dapat menimbulkan motivasi pada siswa untuk mengapresiasi sastra. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gunanto Saparie berikut ini:

“Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra paling utama terletak pada guru sastra. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, guru harus berusaha agar kegiatan belajar mengajar tetap hidup, menghindari kemonotonan, menimbulkan unsur kejutan, ketakjuban dan kesenangan dari karya sastra yang diajarkan.” (http://www.suarakarya-online.com/news.html?id/


(20)

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia bertujuan di antaranya agar peserta didik memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (BNSP, 2006: 261). Namun pada kenyataannya masih banyak siswa yang kurang berminat dalam pembelajaran apresiasi sastra. Pembelajaran apresiasi sastra sampai saat ini masih menjadi masalah secara umum karena kegiatan apresiasi sastra dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) masih rendah.

Hal demikian juga dialami siswa kelas X 8 SMA Negeri 1 Samarinda, kemampuan apresiasi sastra khususnya apresiasi puisi masih rendah. Rendahnya kemampuan apresiasi puisi tersebut mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa pada sastra. Hasil belajar siswa yang mencapai Kreteria Ketuntasan Minimal (KKM) 70 hanya 17 orang dari 40 siswa di kelas tersebut, berarti hanya mencapai 42,5%. Hal tersebut dinyatakan oleh guru bahasa dan sastra Indonesia yang mengajar di kelas X 8, Suwitoyo, S.Pd. pada wawancara awal tanggal 21 Juli 2008, pukul 10.30 WIT, di ruang guru SMA Negeri 1 Samarinda.

Faktor-faktor penyebab rendahnya hasil belajar siswa tersebut di antaranya faktor dari siswa, minat belajar siswa untuk sastra masih rendah karena sebagian besar siswa di kelas tersebut tidak tertarik dengan pembelajaran sastra. Mereka lebih tertarik dan menyukai mata pelajaran yang bersifat eksak dibandingkan dengan mata pelajaran yang bersifat sosial. Selain faktor dari siswa faktor dari guru juga sangat mempengaruhi. Guru lebih sering menggunakan metode


(21)

4

ceramah, pemilihan materi pembelajaran yang kurang tepat, dan kurang memotivasi siswa untuk memahami sastra dengan baik sehingga minat belajar siswa rendah.

Untuk mengatasai permasalahan tersebut, guru benar-benar dituntut untuk memiliki kemampuan atau kompetensi dalam melaksanakan tugasnya secara profesional. Menurut Kusnandar (2007: 54) Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Guru adalah segala-galanya dan paling pandai sementara siswa hanya menjadi objek merupakan pemikiran yang keliru dan harus ditinggalkan. Seorang guru dalam proses belajar mengajar terlebih lagi pada pembelajaran apresiasi puisi harus berorientasi pada siswa. Siswa harus menjadi subjek belajar yang aktif. Dengan demikian motivasi, minat, kemampuan apresiasi puisi, dan hasil belajar siswa meningkat. Untuk itulah seorang guru dituntut lebih professional dalam melaksanakan tugasnya. Menurut Kusnandar (2007: 48) guru professional adalah guru yang mengenal tentang dirinya, yaitu dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar.

Selain hal tersebut guru harus memiliki kreativitas tinggi, mampu mengembangkan teknik pembelajaran, menggunakan metode yang tepat, menjadi motivator, mediator, dan administrator yang baik. Agar semua hal tersebut dapat terlaksana dengan baik, pembelajaran harus berpedoman pada kurikulum yang diimplementasikan dalam silabus sesuai tingkat satuan pendidikan. Kurikulum


(22)

merupakan acuan dasar atau pedoman guru dalam merencanakan dan melaksanakan program pengajaran di sekolah. Hal itu sejalan dengan pendapat Oliva (1982: 20-21)“Curriculum is defined in a variety of ways by theoreticians. The text follows the concept of curriculum as a plan or program for the leaning experiences that the leaner encounters under direction of the school.”

Berbagai strategi pembelajaran sastra yang diharapkan mampu meningkatkan apresiasi sastra terutama apresiasi puisi di antaranya, metode pembelajaran harus relevan, dinamis, metode pengajaran yang dinamis selain tidak membosankan juga mampu merangsang siswa kreatif dan inovatif untuk melahirkan ide-ide cerdas dalam mengapresiasi sesuai dengan pengetahuannya. Siswa juga merasa memiliki kemampuan dalam mengenal, membaca, memahami, menikmati, dan menghayati karya sastra berupa puisi. Siswa bebas berapresiasi sesuai kemampuannya sehingga timbul ketertarikannya pada pembelajaran apresiasi puisi.

Sikap yang demokratis antara guru dan siswa akan membangun kultur saling menghargai dan menghormati.Terbangunnya kultur saling menghargai dan menghormati adalah bagian dari apresiasi itu sendiri. Selain hal tersebut sikap demokratis dan saling menghargai antara guru dengan siswa akan dapat meningkatkan motivasi, kreativitas belajar, dan minat siswa sehingga hasil belajar siswa meningkat. Menurut Wittrock (dalam Paulina Panen, dkk, 2005: 80). Faktor penting dalam proses belajar adalah perhatian, karena tanpa perhatian, proses belajar tidak akan pernah terjadi.


(23)

6

Motivasi siswa perlu dikembangkan, karena motivasi merupakan dorongan yang positif untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar. Siswa sebagai subjek belajar yang harus aktif. Dengan demikian, motivasi, kemampuan apresiasi puisi, dan hasil belajar siswa meningkat karena motivasi merupakan dorongan yang mengubah tingkah laku seseorang ke arah suatu tujuan yang ingin dicapai. Hal tersebut sesuai dengan definisi motivasi yang dikemukakan oleh Morgan (dalam Toeti Soekamto, 1995: 39) motivasi dapat didefinisikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu.

Untuk meningkatkan motivasi, kemampuan mengapresiasi puisi serta hasil belajar siswa, Guru harus memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan prinsip belajar, materi dan tingkat kemampuan siswa. Guru dan siswa harus mengembangkan kreativitas sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan komunikatif. Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2005: 223) kerelevansian metode mengajar dengan prinsip-prinsip belajar akan dapat membangkitkan gairah belajar anak didik dalam mencapai tujuan pembalajaran.

Satu di antara banyak metode yang dianggap tepat dalam pembelajaran apresiasi puisi adalah metode peta pikiran atau yang sering disebut metode mind mapping. Metode mind mapping membantu siswa menyimpan informasi atau pengetahuan yang diperolehnya ke dalam otak dan mengambil kembali informasi tersebut. Siswa bebas memetakan ide-ide yang ada dalam pikirannya dalam bentuk kata-kata kunci dan menuliskannya di atas garis cabang-cabang peta tersebut, dengan demikian siswa akan mudah menyerap, memahami, dan


(24)

mengembangkan materi pelajaran yang diterimanya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Buzan (2008: 4) mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak.

Metode peta pikiran (mind mapping) memberikan kebebasan pada siswa memetakan pikiran-pikirannya. Pemahaman siswa terencana dengan baik. Kebebasan siswa memetakan pikiran-pikirannya terebut berpengaruh dalam kemampuan siswa dalam belajar sehingga proses pembelajaran berlangsung efektif dan komunikatif tidak menegangkan, menarik, dan menyenangkan. Metode peta pikiran (Mind Mapping) membantu siswa mengembangkan kreativitasnya dalam belajar. Siswa diberi kesempatan merencanakan dan mengembangkan ide-ide kreativitasnya sendiri. Belajar dengan menggunakan metode peta pikiran (mind mapping) memberikan kesempatan kepada siswa menyampaikan gagasannya dengan perencanaan yang baik. Hal tersebut senada dengan pendapat Silberman (1996: 126) :

“Mind mapping is a creative way for individual students to generate ideas, record learning, or plan a new project. Asking students to create a mind map enables them to identify clearly and creatively what they have learned or what they are planning.”

Berdasarkan pendapat tersebut, maka pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, pada kompetensi dasar apresiasi puisi perlu digunakan metode peta pikiran (mind mapping). Metode peta pikiran (mind mapping) dianggap tepat diterapkan pada siswa kelas X 8 di SMA Negeri 1 Samarinda karena sangat relevan antara metode, kondisi siswa, dan materi yang diajarkan sesuai dengan yang dianjurkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diimplementasikan dalam Standar Isi dan


(25)

8

Standar Kompetensi Lulusan berdasarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2006.

Adapun pemilihan materi kemampuan bersastra yang akan diajarkan sesuai dengan standar kompetensi mendengarkan; 5. Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/tidak langsung, pada kompetensi dasar, 5.1. Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman, mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk SMA/MA, kelas X, semester 1 (BNSP, 2006: 262).

Penggunaan metode peta pikiran (mind mapping) dalam pembelajaran apresiasi puisi pada siswa kelas X 8 di SMA Negeri 1 Samarinda dianggap tepat sebagai solusi atau pemecahan masalah yang ada. Pemahaman siswa terhadap materi pelajaran terencana dan terserap dengan baik. Kebebasan siswa memetakan pikiran-pikirannya tersebut berpengaruh dalam kemampuan siswa belajar sehingga dalam proses pembelajaran berlangsung efektif dan komunikatif tidak menegangkan, menarik, dan menyenangkan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses pembelajaran apresiasi puisi dengan penerapan metode peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas X 8 SMA Negeri 1 Samarinda? 2. Apakah penerapan metode peta pikiran (mind mapping) dapat meningkatkan


(26)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan proses pembelajaran apresiasi puisi dan kemampuan apresiasi puisi melalui metode peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas X 8 SMA Negeri 1 Samarinda.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan dan menjelaskan pembelajaran apresiasi puisi dengan penerapan metode peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas X 8 SMA Negeri 1 Samarinda.

b. Meningkatkan kemampuan apresiasi puisi dengan penerapan metode peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas X 8 SMA Negeri 1 Samarinda.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang penerapan metode peta pikiran (mind mapping) pada pembelajaran apresiasi puisi untuk meningkatkan kemampuan apresiasi puisi dan motivasi belajar siswa. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Siswa

Penelitian ini bermanfaat bagi siswa untuk:


(27)

10

2) tumbuhnya motivasi untuk mempelajari apresiasi puisi karena dalam pembelajaran siswa diberi kebebasan memetakan pikirannya, sehingga pembelajaran menjadi bermakna.

3) meningkatnya kemampuan mengapresiasi puisi karena metode peta pikiran lebih memberdayakan siswa.

4) siswa menjadi aktif dan kreatif dalam pembelajaran. b.Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia

Dengan penelitian ini guru akan:

1) meningkatkan kemampuannya dalam proses pembelajaran apresiasi puisi. 2) memperoleh pemahaman secara benar tentang pembelajaran apresiasi

sastra yang efektif, sehingga mampu memilih metode pembelajaran yang tepat.

3) mengetahui metode pembelajaran yang bervariasi untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran..

4) mampu mengatasi permasalahan pembelajaran apresiasi puisi sehingga hasil belajar siswa meningkat.

5) memperoleh informasi tentang tingkat kemampuan siswa dalam mempelajari apresiasi puisi untuk menjadi acuan pada pembelajaran berikutnya.

c. Bagi Sekolah

Sekolah dapat mengambil manfaat dari penelitian ini:

1) sebagai masukan dalam rangka pembinaan peningkatan kinerja guru. 2) meningkatkan iklim kerja sama antarguru


(28)

3) untuk mengembangkan pembelajaran apresiasi sastra maupun mata pelajaran lainya dengan metode peta pikiran (mind mapping)

4) dapat menumbuhkan iklim pembelajaran yang kondisif sehingga tercipta kualitas pembelajaran yang baik, aktif, efektif dan inovatif.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Landasan Teori 1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Puisi

a. Hakikat Kemampuan

Kemampuan atau kompetensi adalah suatu keterampilan untuk

mengeluarkan sumber daya internal atau bakat dalam diri sesorang yang dapat

memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Kemampuan atau

kompetensi diartikan sebagai suatu pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai

dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Depdiknas,

2003: 5). Pada hakikatnya setiap siswa pasti memiliki kemampuan atau

kompetensi yang ada sejak lahir. Kemampuan terus berkembang dan berproses

sesuai dengan bertambahnya usia seseorang. Namun kemampuan ini tidak akan

berkembang dengan baik kalau tidak disertai dengan usaha yang terus menerus.

Sesuai dengan hal tersebut, Mulyasa (2007: 215) menegaskan bahwa

kompetensi yang harus dipelajari dan dimiliki peserta didik perlu dinyatakan

sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud hasil belajar yang mengacu

pada pengalaman langsung.

Kemampuan dapat juga diartikan sebagai suatu kompetensi seseorang

dalam penguasaan suatu aspek keterampilan misalnya aspek keterampilan

mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis. Menurut Mulyasa (2007:


(30)

keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan

bertindak (thingking skill). Kemampuan apresiasi berarti kemampuan seseorang

yang diwujudkan dalam penguasaan keterampilan seseorang untuk

mengapresiasi. Kemampuan mengapresiasi dapat juga berarti mampu

memahami dan memaknai suatu hal yang dihadapi dalam hidup sesuai dengan

pola pikir dan sikap untuk belajar. Hal itu sesuai dengan pendapat berikut ini:

Ada tiga faktor penting dalam penguasaan keterampilan untuk belajar: pertama adalah pola pikir dan sikap (mindset and attitude) terhadap belajar, harus memiliki hasrat (desire) dan kecintaan terhadap nilai-nilai untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Kedua mendayagunakan kekuatan pikiran bawah sadar (subconscious mind) untuk mempercepat proses belajar (accelerated learning). Ketiga, disiplin diri dan kegigihan (self discipline and persistence) untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan

melalui disiplin diri dan kegigihan.

(http://budierue.multiply.com/journal /item/19)

Senada dengan pendapat tersebut, Crunkilton sebagaimana dikutip

Mulyasa (2007: 38) mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu

tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang

keberhasilan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas,

keterampilan, sikap, dan apresiasi yang harus dimiliki peserta didik untuk dapat

melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan jenis keterampilan

tertentu. Dengan demikian terdapat hubungan antara tugas-tugas yang dipelajari

peserta didik di sekolah dengan kemampuan yang diperlukan oleh dunia kerja.

Menurut Martinis Yamin (2007: 1) Kompetensi adalah kemampuan yang dapat

dilakukan siswa yang mencakup tiga aspek, yaitu; pengetahuan, sikap, dan


(31)

14

Menurut Nursito (1999:5) pada hakikatnya, manusia mempunyai potensi

untuk menjadi kreatif . Apabila kita melakukan kreativitas self-concept, kita

akan tumbuh dan berkembang. Keadaan ini membuat kita harus lebih kukuh dan

mantap sebagai individu, serta mulai melakukan upaya-upaya hari demi hari.

Upaya tersebut terus dilakukan dengan membuka dan mencari

pengalaman-pengalaman kreatif yang baru. Hal demikian dialami pula oleh siswa,

kemampuan mereka akan terlihat berkembang memerlukan waktu dan proses

latihan-latihan hari demi hari dalam waktu yang lama sehingga menjadi

pengalaman belajar. Untuk mewujudkan semua itu diperlukan motivasi belajar

yang tinggi.

Selain itu, siswa juga harus aktif dan kreatif untuk melahirkan gagasan

dalam mewujudkan kemampuannya. Nursito kembali menegaskan, kenyataan di

lapangan menunjukkan bahwa kemampuan belajar siswa akan lebih baik apabila

kemampuan kreatifnya turut dilibatkan, baik secara formal maupun informal.

Pada dasarnya, semua siswa memiliki potensi kreatif yang harus dikembangkan

agar mereka mampu hidup penuh gairah dan produktif dalam melakukan

tugas-tugasnya (1999: 6-7). Menurut para ahli bahwa motivasi belajar diyakini sebagai

kunci keberhasilan belajar, sehingga motivasi belajar harus dirancang untuk

ditumbuhkan pada setiap siswa (Depdiknas 2003: 23).

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

Kemampuan atau kompetensi adalah suatu keterampilan untuk mengeluarkan

sumber daya internal atau bakat dalam diri sesorang yang dapat memberikan


(32)

hakikatnya, manusia mempunyai potensi untuk melakukan kreativitas (

self-concept), yang harus dikembangkan sebagai wujud hasil belajar yang mengacu

pada pengalaman langsung. Setiap kompetensi harus merupakan perpaduan

antara pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam

kebiasaan berpikir dan bertindak (thinking skill).

b. Hakikat Apresiasi

Kata apresiasi mengandung arti tanggapan sensitif terhadap sesuatu

ataupun pemahaman sensitif terhadap sesuatu ( Boen S. Oemarjati, 1978, dalam

Bambang Kaswanti Purwo, 1991: 58). Apresiasi dapat juga berarti mengenal,

memahami, menikmati dan menilai. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 44)

apresiasi biasanya dikaitkan dengan seni. Apresiasi Puisi berkaitan dengan

kegiatan yang ada sangkut pautnya dengan puisi, yaitu mendengar atau

membaca puisi dengan penghayatan yang sungguh-sungguh, menulis puisi,

mendeklamasikan, dan menulis resensi puisi. Dalam penerapannya apresiasi

memerlukan aktivitas, kreativitas, dan motivasi, dalam menunjukkan

kemampuan atau potensi seseorang karena apresiasi merupakan sebuah proses.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Rozak Zaidan (2001: 21) yang

menyatakan bahwa Apresiasi sastra itu berlangsung dalam sebuah proses yang

mencakup pemahaman, penikmatan, dan penghayatan.

Apresiasi berlangsung melalui proses mengenal, memahami,

menghayati, dan menilai dari suatu hal atau karya yang ada dalam kehidupan.

Menurut Suminto A. Sayuti (2002: 365) apresiasi merupakan hasil usaha


(33)

16

dan penafsiran sistematik yang dapat dinyatakan dalam bentuk tertulis. Melalui

kegiatan apresiasi itu diharapkan timbul kegairahan dalam diri pembaca (atau

lebih luas lagi, masyarakat) untuk lebih memasuki dunia puisi, sebagai dunia

yang juga menyediakan alternatif pilihan untuk menghadapi permasalahan

kehidupan yang sebenarnya.

Pendapat tersebut senada dengan pendapat yang dikemukan oleh Disick

(1975, dalam Herman J. Waluyo 2002: 45) menyebutkan adanya empat

tingkatan aprsiasi, yaitu: (1) tingkat menggemari; (2) tingkat menikmati (3)

tingkat mereaksi, dan (4) tingkat produktif. Jika seseorang mengapresiasi puisi,

baru pada tingkat menggemari keterlibatan batinnya belum begitu kuat, karena

pada tingkat ini seseorang hanya senang membaca atau mendengarkan

pembacaan puisi. Pada tingkat menikmati, keterlibatan batin pembaca terhadap

puisi semakin mendalam. Pembaca akan ikut sedih, terharu, bahagia, dan

sebagainya ketika membaca puisi. Kemudian pada tingkat mereaksi, sikap kritis

terhadap puisi lebih menonjol karena ia telah mampu menafsirkan dengan

seksama dan mampu menilai baik-buruknya sebuah puisi. Pembaca mampu

menunjukkan letak keindahan puisi dan kekurangan puisi. Selanjutnya pada

tingkat produktif, seseorang mampu menghasilkan (menulis), mengkritik,

mendeklamasikan, dan membuat resensi puisi.

Dari beberapa batasan tersebut, jelaslah bahwa untuk mengapresiasi

puisi diperlukan empat tahapan yaitu tahap menggemari, tahap menikmati, tahap

mereaksi, dan tahap produktif. Disamping itu kepekaan batin juga sangat


(34)

mampu mengenal, memahami, menghayati, menikmati, menafsirkan, dan

menilai karya sastra serta mampu mengimplementasikan nilai- nilai karya sastra

tersebut dalam kehidupannya di masyarakat.

c. Hakikat Puisi

Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua (Herman J. Waluyo,

2008:1). Puisi dikatakan kesusastraan yang paling tua dalam bentuk mantra.

Mantra sudah ada di masyarakat kita sejak zaman dulu hampir di semua daerah.

Kata-kata yang digunakan dalam mantra mengandung unsur keindahan,

mengandung makna tertentu dan mantra adalah termasuk jenis puisi.

Selanjutnya Rachmat Djoko Pradopo (2002: 7) menegaskan bahwa puisi itu

mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang

imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan

rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam

wujud yang paling berkesan.

Menurut Kinayati Djojosuroto (2005: 9) puisi adalah suatu sistem

penulisan yang margin kanan dan penggantian barisnya ditentukan secara

internal dalam suatu mekanisme yang terdapat dalam baris itu sendiri. Dengan

demikian seberapa lebar pun suatu halaman tempat puisi itu ditulis, puisi selalu

tercetak/tertulis dengan cara yang sama. Dalam hal ini, penyair yang

menentukan panjang baris/ ukuran. Berikut ini beberapa pendapat tentang

hakikat puisi dalam Kinayati Djojosuroto (2005: 9-10): (1) William

Wordsworth, puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang


(35)

18

kembali dalam kedamaian. (2) Byron, puisi adalah lava imajinasi yang

letusannya mencegah timbulnya gempa bumi. (3) Percy Bysche Shelly, puisi

adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan dari

pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan. (4) Emily

Dickenson, kalau aku membawa sesuatu dan dia membuat tubuhku begitu sejuk

sehingga tiada api yang dapat memanaskan aku, maka aku tahu bahwa itu

adalah puisi. Hanya dengan cara inilah aku mengenal puisi. (5) Watts Dunton,

puisi adala ekspresi yang konkret dan bersifat artistik dari pikiran manusia

secara emosional dan berirama. (6) Lascelles Abercramble, puisi adalah ekspresi

dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan

/pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa, yang

mempergunakan setiap rencana yang matang dan bermanfaat.

Puisi adalah hasil cipta manusia yang mengandung unsur-unsur

keindahan untuk menyampaikan perasaan dan pikiran penyairnya. Puisi adala

ungkapan pikiran dan perasaan penyair secara implisit dalam bentuk bahasa

yang indah. Hal ini sesuai dengan pendapat Putu Arya Tirtawirya (1982: 9)

yang menjelaskan bahwa puisi adalah pengungkapam secara implisit, samar

dengan makna yang tersirat, dimana kata-kata condong pada artinya yang

konotatif.

Puisi sebagai hasil karya manusia dapat dikaji dari berbagai aspek,

karena puisi sarat dengan makna kehidupan. Puisi dapat dikaji melalui apresiasi

puisi, baik unsur-unsur yang membangun puisi tersebut maupun makna yang


(36)

puisi. Berbagai permasalahan hidup dan kehidupan dapat dikaji melalui

apresiasi puisi untuk dijadikan pembelajaran dalam hidup ini, dari masalah

individu, religi, cinta , pendidikan, moral, budaya, lingkungan sampai pada

masalah yang ada di masyarakat secara umum. Menutu Rachmat Djoko Pradopo

(2002: 1) puisi sebagai sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari

bermacam-macam aspeknya. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Moody (1968: 87)

So much for initial survey of the ‘situation’ and ‘intention’ of the poem. After

the more thorough investigation that our examination of the poem’s technique involves, we shall have more to say”.

Slametmuljana (dalam Herman J. Waluyo, 2008: 25) menyatakan bahwa

puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara

sebagai ciri khasnya. Batasan puisi tersebut sama dengan yang dinyatakan oleh

Clive Sansom (1960: 5, dalam Herman J. Waluyo, 2008: 26) yang memberikan

batasan puisi sebagai bentuk pengucapan bahasa yang ritmis, yang

mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional.

Seorang penyair harus memiliki perbendaharaan kata yang khas.

Perbendaharaan kata yang khas tersebut sangat penting dimiliki seorang penyair,

karena menjadi ciri dalam memberikan daya sugesti dan kekuatan ekspresinya.

Untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya, seorang penyair akan

mengungkapkannya dalam bentuk bahasa yang indah. Keindahan bahasa puisi

dapat menimbulkan daya magis pada pembaca atau penikmatnya. Ketepatan

pemilihan dan penempatannya dalam puisi, kata-kata itu dapat membangkitkan


(37)

20

sebagainya. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002: 1)

yang mengungkapkan, bahwa kata-kata betul-betul terpilih agar memiliki

kekuatan pengucapan. Selain itu bahasa puisi adalah bahasa yang bersifat

menyeluruh (universal). Menurut Perrine (1974: 553) “poetry is as universal as

language and almost as ancient”.

Herman J. Waluyo (2002: 1) menyatakan bahwa puisi adalah karya

sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan

bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Menurut Rachmat

Djoko Pradopo (2002: 7) puisi itu mengekspresikan pemikiran yang

membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam

susunan yang berirama. Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa puisi tidak

hanya sebagai sarana mengekspresikan pengalaman batin penyair yang paling

berkesan, namun puisi juga kadang mengungkapkan pengalaman batin orang

lain yang paling berkesan tanpa disengaja.

Melalui kata-kata yang sugestif, puisi mampu menggambarkan hal-hal

yang pernah dialami pembaca dan membangkitkan emosi pembaca atau

penikmatnya. Rachmat Djoko Pradopo (2002: 7) menegaskan bahwa, puisi itu

merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting,

digubah dalam wujud yang paling berkesan. Hal tersebut senada dengan

pendapat Perrine (1974: 553) yang mengungkapkan bahwa “poetry might be

defined as akind of language that says more and says it more intensely than does ordinary language.” Pernyataan ini menegaskan bahwa bahasa puisi


(38)

lebih banyak mengatakan dan mengekspresikan dirinya secara intens (padat,

sarat muatan makna).

Bahasa puisi yang padat dan sarat muatan makna tersebut memiliki

kesamaan dengan pernyataan Volpe (dalam Siswantoro, 2005: 3) menurutnya

poetry is perhaps the most difficult kind of language.” Puisi memiliki jenis

bahasa yang tersulit sebab puisi menghendaki kepadatan (compactness) dalam

pengungkapan. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa bahasa puisi adalah

bahasa yang sulit. Bahasa puisi disebut bahasa yang sulit sebab bahasa puisi

mengakomodasi berbagai dimensi makna kehidupan manusia, misalnya tentang

cinta kasih, lingkungan, pesan moral, kritik sosial, edukatif, relegius dan

sebagainya di balik apa yang tersurat.

Sebuah puisi terdiri dari dua unsur yang membangunnya. Unsur yang

membangun puisi yang berada dalam puisi yang lebih dikenal dengan unsur

intrinsik atau unsur batin dan unsur yang membangun puisi dari luar yang

disebut unsur ekstrinsik atau unsur fisik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

Herman J. Waluyo (1987: 23) bahwa puisi memiliki bentuk fisik dan bentuk

batin yang lazim disebut pula dengan bahasa dan isi atau tema dan struktur atau

bentuk dan isi. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Boulton (1979: 9)

the poem is a combination of physical and mental form”.

Kedua unsur yang membangun puisi tersebut sama pentingnya dalam

membangun atau menciptakan puisi baik unsur-unsur fisik maupun unsur-unsur

batin. Keduanya bersifat padu dan tidak terpisahkan sehingga menciptakan


(39)

22

bahwa puisi terdiri atas dua unsur pokok yaitu struktur fisik dan struktur batin.

Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan

semua unsur itu membentuk totalitas makna yang utuh.

Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2002: 1) puisi sebagai salah sebuah

karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat

dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur

yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan.

Selanjutnya Herman J. Waluyo (2008: 29) memberikan definisi puisi sebagai

berikut:

“Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya”

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa puisi

terdiri dari dua unsur yaitu unsur-unsur fisik dan unsur-unsur batin yang disebut

bahasa dan isi atau tema dan struktur atau bentuk dan isi. Struktur fisik adalah

unsur-unsur yang dapat dilihat sedangkan unsur-unsur batin adalah unsur-unsur

yang tidak terlihat. Namun keduanya bersifat padu dan tidak terpisahkan, saling

mengikat keterjalinan dan membentuk totalitas makna yang utuh.

Untuk mengapresiasi puisi diperlukan pemahaman yang mendalam

tentang struktur fisik dan struktur batin puisi. Struktur fisik yaitu bahasa atau

bentuk, yang terdiri atas; (1) diksi (pilihan kata), (2) pengimajian (pencitraan,

imagery), kata konkret, (4) bahasa figuratif (majas), (5) Verifikasi, dan (6) tata

wajah (tipografi). Sedangkan struktur batin terdiri atas; (1) tema puisi, (2)


(40)

1) Struktur Fisik Puisi.

Struktur fisik puisi atau disebut juga struktur lahir puisi dapat dilihat

pada unsur-unsur keindahan yang membangun puisi tersebut. Herman J. Waluyo

(2008: 82) menjelaskan unsur-unsur itu merupakan kesatuan yang utuh.

Unsur-unsur itu ialah: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas),

verifikasi, dan tata wajah puisi.

a) Diksi (Pemilihan Kata)

Diksi atau pilihan kata-kata yang dipergunakan dalam puisi tidak

seluruhnya bermakna denotatif, tetapi lebih banyak pada makna konotatif

atau konotasi. Konotasi atau nilai tambah makna pada kata yang lebih

banyak memberi efek bagi para penikmatnya. Sedangkan kata-kata

bermakna denotatif digunakan pada tulisan-tulisan ilmiah. Jadi pilihan kata

atau diksi sangat penting karena dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah,

nada, suasana, amanat suatu puisi dengan tepat.

Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan

maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Menurut

Herman J. Waluyo (2008: 85) pemilihan kata-kata mempertimbangkan

berbagai aspek estetis, maka kata-kata yang sudah dipilih oleh penyair untuk

puisinya bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan katanya,

sekalipun maknanya tidak berbeda. Hal yang sama diungkapkan oleh

Barfield (1952: 41, dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 54) bila kata-kata

dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya


(41)

24

Selanjutnya menurut Rachmat Djoko Pradopo (2002: 54) penyair

ingin mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjelmakan

pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata-kata

setepatnya. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa seorang penyair akan

memilih kata-kata yang tepat dan khas sebagai cirinya untuk

mengekspresikan pengalaman batinnya sehingga puisi yang dihasilkan dapat

menimbulkan efek puitis dan sugestif pada pembaca atau penikmatnya. Hal

ini sesuai dengan pendapat Wiyatmi (2006: 63) yang menyatakan bahwa

setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud

yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Tengsoe

Tjahjono (2005: 15) mencontohkan dalam larik-larik berikut ini:

1) Selembar daun jatuh 2) Selembar daun gugur 3) Selembar daun luruh 4) Selembar daun melayang

Kata jatuh, gugur, luruh, melayang memiliki makna yang tidak jauh

berbeda. Kata-kata itu dapat dipilih bergantung kepada perasaan yang ingin

disampaikan. Kata jatuh memberikan kesan perasaan sakit. Kata gugur

memberikan kesan berkorban untuk orang banyak. Kata luruh memberikan

kesan lembut, dan kata melayang memberikan kesan mengalir pelan. Baris

selembar daun jatuh dan selembar daun gugur mungkin memiliki makna

sama, tetapi perasaan yang ditimbulkan berbeda.

b. Pengimajian (Imagery)

Penyair juga menciptakan pengimajian (pencitraan) dalam puisinya.


(42)

atau mengkonkretkan apa yang dinyatakan oleh penyair. Diksi yang dipilih

harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih

konkret. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 91), pengimajian dapat dibatasi

dengan pengertian; kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan

pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.

Melalui pengimajian, apa yang digambarkan seolah-olah dapat

dilihat, didengar,dan dirasakan oleh pembaca atau penikmat sastra.

Keindahan, kesedihan, keceriaan dan sebagainya seakan dirasakan sendiri

oleh pembaca. Pengimajian memberi gambaran yang jelas pada pembaca.

Gambaran atau lukisan yang tercipta karena pilihan kata tepat sehingga

mampu membangkitkan daya imaji pembaca. Menurut Siswantoro (2005:

49) Imagery biasa diartikan sebagai mental picture, yaitu gambar, potret,

atau lukisan angan-angan yang tercipta sebagai akibat dari reaksi seorang

pembaca pada saat ia memahami puisi.

Pengimajian melalui pilihan kata-kata atau susunan kata-kata yang

tepat akan memberikan gambaran yang jelas dan dapat membangkitkan

emosi pembaca. Seorang penyair dapat mengungkapkan pengalaman

sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaannya dalam puisi.

Dalam imajinasinya, pembaca akan melihat, mendengar, dan dapat

merasakan pengalaman batin penyairnya. Pernyataan ini sesuai dengan

pendapat Herman J. Waluyo (2008: 91), baris puisi itu seolah mengandung

gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji visual), dan sesuatu


(43)

26

Contoh puisi berikut ini adalah puisi yang mengandung citraan

penglihatan (imaji visual), citraaan pendengaran (imaji auditif), citraan

sentuhan perasaan (imaji taktil), dan citraan gerak (imaji kinaesthetik)

DEWA TELAH MATI

Tak ada dewa di rawa-rawa ini

Hanya gagak yang mengakak malam hari Dan siang terbang mengitari bangkai pertapa yang terbunuh dekat kuil Dewa telah mati di tepi-tepi ini

Hanya ular yang mendesir dekat sumber Lalu minum dari mulut

Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri Bumi ini perempuan jalang

yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum ini

dan membunuhnya pagi hari

(dari kumpulan puisi “Simphoni”karya Subagio Sastrowardojo)

Puisi di atas menggunakan bidang keagamaan atau religi sebagai

sumber citraannya. Hal tersebut dapat dilihat pada penggunaan kata-kata:

dewa, kuil, pertapa, dan ular. Citraan penglihatan (imaji visual) tampak

pada saat penyair menggambarkan kehidupan manusia sebagai rawa.

Suasana rawa yang dilambangkan oleh warna hitam gagak dan malam.

Citraan pendengaran (imaji auditif) yang ditimbulkan pada kata mengakak

dan mendesir. Sedangkan citraan sentuhan perasaan (imaji taktil) pada larik

Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri. Selain citraan penglihatan,

citraan pendengaran, dan citraan perasaan, dalam puisi tersebut terdapat juga

citraan gerak (imaji kinesthetika) pada frase terbang mengitari, pada kata


(44)

c) Kata Konkret

Penyair ingin menggambarkan sesuatu secara lebih konkret. Oleh

karena itu, itu kata-kata diperkonkret.Bagi penyair mungkin dirasa lebih

jelas karena lebih konkret, namun bagi pembaca sering lebih sulit ditafsirkan

maknanya. Penyair harus mahir memperkonkret kata-kata, sehingga

pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan apa yang

dilukiskan oleh penyair. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Herman J.

Waluyo (2008: 94), dengan kata yang diperkonkret, pembaca dapat

membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh

penyair.

Semakin tepat seorang penyair memilih dan menempatkan kata-kata

dalam puisinya maka semakin baik pula dia menjelmakan imaji. Sehingga

pembaca atau penikmat puisi menganggap bahwa mereka benar-benar

melihat, mendengar, merasakan, dan mengalami segala sesuatu yang dialami

oleh sang penyair. Kata-kata konkret digunakan penyair untuk

menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud

untuk membangkitkan imaji pembaca.

Sebagai contoh kata-kata gadis kecil berkaleng kecil. Lukisan

tersebut lebih konkret jika dibandingkan dengan gadis peminta-minta. Untuk

melukiskan dunia pengemis yang penuh kemayaan, penyair menulis: Hidup

dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan / gembira dari kemayaan riang. Untuk melukiskan kedukaannya, penyair menulis: bulan di atas itu


(45)

28

Contoh lain pada puisi karya Chairil Anwar berikut ini:

Doa Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku

Aku hilang bentuk remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling.

(“Doa”, 1943)

Puisi tersebut melukiskan ungkapan perasaan penyair yang

melukiskan dalam kondisi apapun ia selalu mengingat Tuhan. Penyair

melukiskannya dengan kata-kata: Tuhanku/ dalam termangu/ Aku masih

menyebut namaMu/ biar susah sungguh. Untuk melukiskan kebesaran atau

kekuasaan Tuhan penyair menggunakan kata-kata: mengingat Kau penuh

seluruh/ cayaMu panas suci. Untuk mengkonkretkan gambaran jiwa bahwa

sebenarnya manusia tidak memiliki apa-apa dan sebenarnya manusia adalah

makhluk yang lemah dimata Tuhannya, penyair menggunakan kata-kata:

Aku hilang bentuk/ remuk. Untuk melukiskan bahwa manusia sampai pada

suatu kepastian yang tidak bisa dihindari, yaitu pasti akan kembali

menghadap pada Sang Pencipta, penyair melukiskannya dengan kata-kata:


(46)

d) Bahasa Figuratif (Majas)

Bahasa figuratif, majas atau gaya bahasa adalah cara penyair

mengungkapkan pikiran, perasaan, dan keinginannya melalui kata-kata yang

dipilihnya. Kata-kata atau bahasa yang digunakan biasanya bermakna kias

atau lambang. Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut

pandang. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 96) bahasa figuratif

meyebabkan puisi jadi prismatis artinya memancarkan banyak makna, atau

kaya akan makna.

Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa atau majas memungkinkan

pribadi seseorang dapat dinilai, watak dan kemampuan seseorang yang

menggunakan bahasa tersebut. Herman J. Waluyo (2008: 96) menegaskan

bahwa bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk

mengatakan sesuatu dengan cara tidak biasa, yakni secara tidak langsung

mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau lambang.

Demikian pula halnya dalam penulisan sebuah puisi, seorang

penyair akan menggunakan gaya bahasa sehingga puisinya memiliki makna

yang dalam. Rachmat Djoko Pradopo (2002: 61) mengungkapkan, adanya

bahasa kiasan (figurative language) menyebabkan sajak menjadi menarik

perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan

kejelasan gambaran angan.

Bahasa kias adalah majas atau gaya bahasa yang mempertautkan

sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Menurut


(47)

30

sarana pengedepanan sesuatu yang berdimensi jamak dalam bentuk yang

sesingkat-singkatnya. Ada beberapa macam bahasa kias yaitu, metafora,

perbandingan, personifikasi, hiperbola, sinekdoke, ironi.

(1) Kiasan (Gaya Bahasa)

Kiasan atau gaya bahasa digunakan untuk menciptakan efek lebih

kaya,lebih efektif, dan lebih sugestif dalam bahasa puisi.

(a) Metafora

Metafora bentuk bahasa figuratif yang memperbandingkan

sesuatu hal dengan hal lainnya yang pada dasarnya tidak serupa.Oleh

karena itu di dalam metafora ada dua hal yang pokok, yaitu al-hal

yang diperbandingkan dan pembandingnya. Pernyataan ini sesuai

dengan pendapat Herman J. Waluyo (2008: 98) metafora adalah

kiasan langsung, artinya benda-benda yang dikiaskan tidak

disebutkan. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Altenbernd &

Lewis (dalam Wiyatmi, 2006: 65) metafora adalah kiasan yang

menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebanding dengan hal lain,

yang sesungguhnya tidak sama. Jadi ungkapan itu langsung berupa

kiasan.

Contoh dalam puisi “Sebab Dikau” Amir Hamzah mengiaskan

dirinya adalah boneka.

Aku boneka engkau boneka

Penghibur dalang mengatur tembang Di layar kembang bertukar pandang Hanya selagu, sepanjang dendang


(48)

(b) Perbandingan (Simile)

Perbandingan atau simile adalah jenis bahasa figuratif yang

menyamakan satu hal dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama.

Menurut Herman J. Waluyo (2008: 99) Perbandingan adalah kiasan

yang tidak langsung. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama

pengiasnya dan menggunakan kata-kata seperti, laksana, bak, dan

sebagainya. Kadang-kadang juga tidak digunakan kata-kata

pembanding. Rachamat Djoko Pradopo (2002: 62) berpendapat bahwa

perbandingan atau perumpamaan atau simile ialah bahasa kiasaan yang

menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata

pembanding seperti : bagai, bagaikan, bak, seperti, misal, seumpama,

dan sebagainya.

Contoh kutipan puisi karya Linus Suryadi A.G. berjudul “Ode

Asia Tenggara.

Bagaikan siluman mereka pun bekerja Bagaikan air di bawah tanah kucinta Bagaikan merembes ke dalam bumi ….

(”Ode Asia Tenggara”, 1986) (c) Personifikasi

Personifikasi adalah gaya bahasa yang menganggap benda mati

seperti manusia. Menurut Herman J.Waluyo (2008: 99) benda mati

dianggap sebagai manusia atau persona atau di”personifikasikan”. Hal

ini digunakan untuk memperjelas penggambaran peristiwa dan


(49)

32

kiasan yang menyamakan benda dengan manusia, benda-benda mati

dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia.

Menurut Rachmat Djoko Pradopo (2002: 75) personifikasi ini

membuat hidup lukisan, disamping itu memberi kejelasan beberan,

memberikan bayangan angan yang konkret.

Contoh personifikasi terdapat dalam puisi berikut ini:

Mata pisau itu tak berkejap menatapmu: Kau yang baru saja mengasahnya Berfikir, ia tajam untuk mengiris apel Yang tersedia di atas meja

Sehabis makan malam

Ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu. (Sapardi Djoko Damono, “Mata pisau”, 1982)

Personifikasi pisau yang mampu menatap dan membayangkan.

d. Hiperbola

Hiperbola adalah kiasan yang mengungkapkan suatu hal atau

keadaan secara berlebih-lebihan. Menurut Herman J. Waluyo (2008:

99) hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa

perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan agar mendapat

perhatian lebih seksama dari pembaca.

Contoh hiperbola dalam bait puisi karya Rendra berikut ini:

Politisi dan pegawai tinggi adalah caluk yang rapi

Konggres-konggres dan konperensi tak pernah berjalan tanpa kalian


(50)

(e) Sinekdoke.

Sinekdoke adalah majas yang menyebutkan satu bagian penting

dari suatu hal atau benda atau hal itu sendiri. Sinekdoke ada dua

macam, yakni pars pro toto dan totem pro parte. Pars pro toto adalah

penyebutan sebagian untuk keseluruhan, sedangkan totem pro parte

adalah penyebutan keseluruhan untuk sebagian. Hal ini sesuai dengan

pendapat Herman J. Waluyo (2008: 100) sinekdoke adalah

menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan (part pro toto) atau

menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (totem pro parte).

Untuk menggambarkan sebagai petani yang menderita, Rendra

menulis seolah-olah semua petani itu menderita (pars pro toto). Hal ini

digunakan untuk mempertajam kritiknya.

Para petani bekerja

Berumah di gubuk-gubuk tanpa jendela Menanam bibit di tanah yang subur

Memanen hasil yang berlimpah dan makmur Namun hidup mereka sendiri sengsara.

(“Sajak Burung-burung Kondor”, 1973)

Untuk melukiskan penderitaan sebagai rakyat, Rendra juga

menggunakan totem pro parte sebagai berikut:

Penderitaan mengalir

Dari parit-parit wajah rakyatku Dari pagi sampai sore

Rakyat negeriku bergerak dengan lunglai Menggapai-gapai

Menoleh ke kiri, menoleh ke kanan Dalam usaha tak menentu.


(51)

34

(f) Ironi

Ironi adalah majas yang menggunakan kata-kata yang halus dengan

maksud menyindir atau mengungkapkan sesuatu dengan hal yang

bertentangan. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 101) Ironi yaitu

kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran. Namun tidak

semua ironi menggunakan kat-kata yang halus tetapi dapat juga berupa

sindiran, kritikan yang lebih keras dan kasar. Hal ini senada dengan yang

dikemukakan oleh Herman J. Waluyo (2008: 101) Ironi dapat berubah

menjadi sinisme dan sarkasme yakni penggunaan kata-kata yang keras dan

kasar untuk menyindir atau mengeritik.

Herman J. Waluyo (2008:101) mengungkapkan bahwa nada sinis

dapat kita hayati dalam sajak Rendra berjudul “Sajak Sebotol Bir” berikut:

Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri Tapi tumbuh dari kebutuhan Negara industri asing Akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam Kota metropolitan disini

Adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika, Australia, dan Negara industri lainnya.

(“Sajak Sebotol Bir”, 1977)

Untuk menggambarkan secara sinis kemunduran dunia pendidikan,

Rendra menulis:

Apakah gunanya pendidikan

Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing Di tengah kenyataan persoalannya.

Apakah gunanya pendidikan Bila hanya mendorong seseorang Menjadi laying-layang di ibukota Kikuk pulang ke daerahnya?


(52)

(2) Pelambangan

Untuk memperjelas makna, nada dan suasana puisi agar mudah

dipahami pembaca, seorang penyair harus menggunakan lambang-lambang

yang mengandung arti tertentu sehingga menimbulkan daya sugestif pada

puisinya. Menurut Herman J. Waluyo 2008: 102) Pelambangan digunakan

penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana, sajak

menjadi lebih jelas sehingga dapat menggugah hati pembaca.

Penggunaan lambang dalam puisi akan memberikan kesan tersendiri

dan menambah keindahan dan daya tarik puisi tersebut. Banyak hal yang

dapat dijadikan lambang tergantung pengalaman batin penyair, keadaan atau

peristiwa apa yang akan disampaikannya. Macam-macam lambang ditentukan

oleh keadaan atau peristiwa apa yang digunakan oleh penyair untuk mengganti

keadaan atau peristiwa. Ada lambang warna, lambang benda, lambang bunyi,

lambang suasana dan sebagainya.

(a) Lambang Warna

Warna mempunyai karakteristik watak tertentu. Banyak puisi yang

menggunakan lambang warna untuk mengungkapkan perasaan penyair

(Herman J. Waluyo, 2008: 102). Misalnya pada judul puisi: “Sajak Putih”,

Serenada Hitam”, “ Serenada Merah Padam”, “Ciliwung yang coklat”,

“Malam Kelabu” dan sebagainya.

Untuk menyatakan bahwa kota Jakarta tidak memberikan harapan

bahkan bersikap kejam pada pengemis kecil, Toto Sudarto Bactiar


(53)

36

(b) Lambang Benda

Pelambangan dilakukan dengan menggunakan nama benda untuk

menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan oleh penyair (Herman J.

Waluyo, 2008: 103). Untuk memperoleh gambaran tentang manusia

yang tidak terikat oleh manusia lainnya, Chairil Anwar menggambarkan

dirinya sebagai “binatang jalang, dari kumpulannya terbuang”.

Sedangkan kesedihan dan penderitaan dilambangkan dengan “peluru

menembus kulitku”. (c) Lambang Bunyi

Unsur bunyi tidak dapat dipisahkan dengan puisi, karena

penggunaan bunyi akan menambah keindahan sebuah puisi. Bunyi

mendukung suasan batin penyairnya untuk menciptakan suasana

tertentu. Menurut Harman J.Waluyo (2008: 104) Bunyi yang diciptakan

penyair juga melambangkan perasaan tertentu. Perpaduan bunyi-bunyi

akan menciptakan suasana yang khusus dalam sebuah. Selain hal

tersebut menurut Herman J. Waluyo (2008: 104) penggunaan bunyi

sebagai lambang erat hubungannya dengan rima. Disamping itu,

penggunaan lambang bunyi juga erat hubungannya dengan diksi.

Contoh dominasi bunyi /i/ dalam puisi “Surat Cinta” karya Rendra

yang bernada bahagia:

Kutulis surat ini kala hujan gerimis bagai bunyi tabor mainan anak peri dunia yang gaib.


(54)

(d) Lambang Suasana

Lambang suasana ini biasanya dilukiskan dalam kalimat atau

alenia. Dengan demikian yang diwakili adalah suatu suasana dan bukan

hanya suatu peristiwa sepintas saja (Herman J. Waluyo, 2008: 105).

Untuk menggambarkan suasana peperangan yang penuh

kehancuran, maka digunakan lambang “bharata yudha”. Untuk

menggambarkan suasana penuh kegelisahan, digunakan lambang

hatinya gemetar bagai permata gemerlapan”. Untuk menggambarkan

semangat para prajurit Diponegoro, Chairil Anwar menggunakan

lambang “ini barisan tak bergenderang, berpalu/ kepercayaan tanda

menyerbu”.

e) Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum) (1) Rima

Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk

musikalisasi atau orkestra. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi

merdu jika dibaca. (Herman J. Waluyo, 2008: 105). Demikian pula yang

diungkapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo (2002: 22) Dalam puisi

bunyi estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan

tenaga ekspresif. Pemilihan dan pengulangan bunyi ini sangat membantu

untuk membangkitkan perasaan indah dalam suasana puisi.

Perulangan bunyi dalam pembacaan puisi yang dikenal dengan

istilah musikalisasi menambah keindahan suatu puisi untuk didengar dan


(55)

38

bunyi dapat menghasilkan musik dalam puisi. Hal tersebut senada

dengan pendapat yang diungkapkan oleh Perrine (1974: 753) “rhythm

and sound cooperate to produce what we call the music of poetry” Puisi

memang memerlukan musik, pengertian musik yang dimaksudkan disini

adalah hasil perpaduan dan perulangan bunyi. Musik adalah bagian

terpenting dari sebuah puisi, hal ini sesuai dengan pendapat Paul

Verlaine (1844-1896, dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 22) bahwa

musiklah yang paling utama dalam puisi (De la musique avant tout

chose).

Perulangan bunyi dapat kita lihat pada bait puisi berikut ini:

Mawar di taman kupetik semalam Tatkala hujan lalu bersama rinduku

(Tengsoe Tjahjono, 2002: 42)

Pada bait puisi tersebut terdapat perulangan bunyi sedaerah

artikulasi /n/ dan /m/ dalam kata taman dan semalam, serta perulangan

bunyi yang sama /u/ dalam kata lalu dan rinduku. Perulangan semacam

ini menimbulkan irama yang indah.

(2) Ritma

Ritma berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti

gerakan-gerakan air yang teratur, terus menerus, dan tidak putus-putus mengalir

terus (Herman J. Waluyo, 2008: 110). Hal senada diungkapkan

Siswantoro (2005: 62) Rhythm yang dialihbahasakan menjadi ritme di

dalam bahasa Indonesia mengacu kepada pengulangan bunyi sehingga


(56)

mengemukakan pendapatnya bahwa ritma sangat berhubungan dengan

bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan

kalimat. Berikut ini adalah contoh sebait puisi yang berisis ritma berupa

pemenggalan baris-baris puisi menjadi dua bagian (dua frasa):

Pagiku hilang/ sudah melayang Hari mudaku/ sudah pergi Kini petang/ datang membayang Batang usiaku/ sudah tinggi.

{“Menyesal”, Ali Hasjmy)

(3) Metrum

Metrum adalah pengulangan tekanan kata yang tetap. Metrum

sifatnya statis (Herman J. Waluyo, 2008: 110). Metrum memiliki peran

sangat penting dalam deklamasi atau pembacaan puisi. Herman J.

Waluyo (2008: 112) mengungkapkan bahwa suku kata dalam puisi

biasanya diberi tanda, manakah yang bertekanan keras dan bertekanan

lemah. Namun karena tekanan kata bahasa Indonesia tidak membedakan

arti dan belum dibakukan, maka pembicaraan tentang metrum sulit

dilaksanakan dalam puisi Indonesia.

f. Tata Wajah (Tipografi)

Tipografi adalah bentuk atau ciri penulisan sebuah puisi yang berbeda

dari karya sastra lainnya. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 113) tipografi

merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama.

Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf.


(57)

40

menyebutkan Ciri puisi yang paling menyolok ialah penampilan

tipografinya.

Baris-baris puisi tidak diawali dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan.

Tepi sebelah kiri maupun kanan sebuah baris puisi tidak harus dipenuhi oleh

tulisan. Selain itu awal baris tidak selalu ditulis dengan huruf kapital. Ciri

yang demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi.

Kutipan di bawah ini menunjukkan keunikan puisi mutakhir yang

dipelopori Oleh Sutardji Calzoum Bachri:

POT

pot apa pot pot itu kaukah pot aku pot pot pot

yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu pot pot pot

potapa potitu potkaukah potaku? POT

( Sutardji Calzoum Bachri, 1970)

2) Struktur Batin Puisi

Selain memiliki unsur fisik atau lahir, puisi juga memiliki

unsur-unsur batin. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 119) struktur batin puisi

mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan

dan nuansa jiwanya. I.A. Richards (1976, dalam Herman J. Waluyo, 2008:

124) menyebut makna atau struktur batin itu dengan istilah hakikat puisi.

Selanjutnya Herman J. Waluyo (2008: 124) menjelaskan ada empat unsur


(58)

penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu

menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.

a) Tema Puisi

Tema dalam puisi adalah hasil pemikiran dan perasaan penyair. Hal

ini dapat merupakan hasal tanggapan atau perenungan dari situasi yang

dirasakan, dihayati dan dialami penyair. Menurut Herman J. Waluyo, tema

adalah gagasan pokok (subjeck-matter) yang dikemukakan oleh penyair.

Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa

penyair, sehingga menjadi landasan pengucapannya (2008: 124). Pembaca

sedikit banyak harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah

menafsirkan tema puisi tersebut. Herman J. Waluyo (2008: 124)

menegaskan, dengan latar belakang pengetahuan yang sama,

penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah

puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan khusus.

Tema yang banyak terdapat dalam puisi adalah tema ketuhanan

(relegius), tema kemanusiaan, cinta, patriotisme, perjuangan, kegagalan

hidup, alam, keadilan, kritik sosial, demokrasi, dan tema kesetiakawanan.

(Herman J. Waluyo, 2002: 17)

(1) Tema Ketuhanan

Tema ketuhanan yaitu tema puisi yang mampu membawa

manusia untuk meningkatkan keimanan, lebih bertakwa, merenungkan

kekuasaan Tuhan, menghargai sesama makhluk Tuhan, dan alam


(59)

42

tema Ketuhanan biasanya akan menunjukkan “religious experience

atau pengalaman religi penyair.

Tema Ketuhanan dapat kita lihat pada puisi “Doa” karya Amir

Hamzah berikut ini:

Doa

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasih?

Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas

payah terik.

Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambungkan rasa menayang pikir, membawa angan kebawah kursimu.

Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.

Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak

Aduh kekasihku isi hatiku dengan katamu, Penuhi dadaku dengan cayamu, biar bersinar Mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi

(2) Tema Kemanusiaan

Melalui peristiwa atau tragedi yang digambarkan penyair dalam

puisi. Penyair berusaha meyakinkan pembaca tentang ketinggian

martabat manusia karena itu manusia harus dihargai, dihormati,

diperhatikan hak-haknya dan diperlakukan secara adil dan manusiawi.

Menurut Herman J. Waluyo (2008: 130) tema kemanusiaan bermaksud

menunjukkan betapa tingginya martabat manusia dan bermaksud

meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki harkat


(60)

Toto Sudarto Bactiar membela martabat kemanusiaan gadis

peminta-minta dalam puisinya berikut ini:

Gadis-Peminta-minta

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka Tengadah padaku pada bulan merah jambu Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral

Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal Jiwa begitu murni, terlalu murni

Untuk dapat membagi duka

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil Bulan di atas itu tak ada yang punya Dan kotaku, oh kotaku

Hidupnya tak lagi punya tanda.

Toto Sudarto Bachtiar

(3) Tema Patriotisme

Dalam puisi yang bertema patriotisme, penyair mengajak

pembaca untuk meneladani orang-orang yang telah berkorban demi

bangsa dan tanah air, mereka rela mati demi kemerdekaan. Selain itu

penyair juga mengajak pembaca untuk menghargai jasa-jasa para

pahlawan. Menurut Herman J. Waluyo, 2008 133) tema patriotisme

dapat meningkatkan perasaan cinta akan bangsa dan tanah air. Banyak

puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan


(61)

44

Tema patriotisme terdapat pada puisi “Diponegoro” karya Chairil

Anwar berikut ini:

Diponegoro

Dimasa pembangunan ini Tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api Di depan sekalituan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali Pedang di kanan,keris dikiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati MAJU

Ini barisan tak bergenderang berpalu Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti Sudah itu mati MAJU

Bagimu Negeri Menyediakan api

Punah di atas menghamba Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai

Maju Serbu Serang Terjang

Chairil Anwar, 1943

(4) Tema Kedaulatan Rakyat

Tema kedaulatan rakyat adalah protes terhadap


(1)

14. Apakah Anda memusatkan perhatian terhadap materi apresiasi puisi yang

disampaikan pada pelajaran bahasa Indonesia?

a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang

d. Tidak pernah

15. Apakah Anda tetap mengerjakan tugas-tugas bahasa dan sastra Indonesia, khususnya

tentang puisi, walaupun sulit?

a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang

d. Tidak pernah

16. Apakah Anda berinisiatif untuk mempelajari kembali materi yang baru tentang puisi

di rumah?

a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang

d. Tidak pernah

17. Tanpa harus disuruh, Apakah Anda berusaha mengerjakan soal-soal bahasa dan sastra

Indonesia dari buku paket atau dari buku lain?

a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang

d. Tidak pernah

18. Jika buku bahasa dan sastra Indonesia dari sekolah tidak ada, apakah Anda juga

membaca dari buku-buku karangan lainnya?


(2)

19. Untuk dapat memahami hal-hal yang kurang jelas, apakah Anda bertanya pada

teman-teman kelompok diskusi?

a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang

d. Tidak pernah

20. Dalam belajar bahasa dan sastra Indonesia, apakah Anda ingin bersaing dengan

teman-teman sekelas Anda dalam mengerjakan soal-soal bahasa dan Sastra

Indonesia?

a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang

d. Tidak pernah


(3)

Lapiran G-3

Angket Pembelajaran Apresiasi Puisi Dengan Metode Peta Pikiran (Mind Mapping)

1. Apakah materi apresiasi puisi sesuai dengan buku sumber belajar yang tersedia di sekolah?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

2. Apakah Anda membaca buku-buku bahasa dan sastra Indonesia waktu istirahat? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

3. Apakah Anda tetap berusaha mengerjakan tugas-tugas bahasa dan sastra Indonesia yang diberikan guru dengan teliti?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

4. Apakah metode peta pikiran (mind mapping) yang digunakan dalam pembelajaran apresiasi puisi dapat mencakup keempat kemampuan bersastra?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah


(4)

6. Apakah guru memberi tugas pekerjaan rumah menulis puisi? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

7. Apakah Anda membaca catatan pelajaran bila ada waktu luang? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

8. Bagaimana pendapat Anda bahwa belajar itu tidak hanya mencari perhatian dari orang tua atau guru?

a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju d. Tidak setuju

9. Sebelum materi pelajaran disampaikan guru di sekolah, apakah Anda telah membaca di rumah?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

10. Apakah Anda akan tetap belajar dengan sungguh-sungguh, walaupun nilai raport Anda sudah bagus?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

11. Apakah kegiatan apresiasi puisi lebih sulit dibandingkan karya sastra lainnya seperti drama, dan novel?


(5)

12. Apakah materi apresiasi puisi yang diajarkan sesuai dengan metode pembelajaran yang digunakan?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

13. Apakah metode pembelajaran apresiasi puisi dengan metode peta pikiran (mind mapping) dapat membantu Anda dalam mengapresiasi puisi?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

14. Apakah metode peta pikiran (mind mapping) yang digunakan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

15. Apakah penerapan metode peta pikiran (mind mapping) sesuai dengan pendekatan kontekstual?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

16. Apakah Anda merasa lebih mudah dalam mengapresiasi puisi melalui metode peta pikiran (mind mapping)?


(6)

17. Apakah Anda merasa lebih senang dalam mengikuti proses belajar mengajar setelah diterapkannya peta pikiran (mind mapping)?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

18. Apakah metode peta pikiran (mind mapping) dapat membantu siswa dalam pembelajaran mata pelajaran lain?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

19. Apakah penerapan metode peta pikiran (mind mapping) dalam pembelajaran apresiasi puisi dapat meningkatkan kemampuan apresiasi puisi siswa?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

20. Apakah penerapan metode peta pikiran (mind mapping) dapat meningkatkan hasil belajar siswa?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah


Dokumen yang terkait

Peningkatan kemampuan menulis puisi dengan Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) pada siswa Kelas V MI Nurul Huda Kota Depok Tahun Pelajaran 2014/2015

0 6 0

Peningkatan kemampuan menulis argumentasi dengan metode mind mapping ( peta pikiran) siswa kelas X SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, Tangerang Selatan

0 3 128

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI MELALUI METODE PETA PIKIRAN ( MIND MAPPING ) PADA MATA Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Melalui Metode Peta Pikiran ( Mind Mapping ) Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas IV Di SD Negeri 03 Kalisoro Kec.

0 1 15

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI MELALUI METODE PETA PIKIRAN (MIND MAPPING) PADA MATA PELAJARAN Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Melalui Metode Peta Pikiran ( Mind Mapping ) Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas IV Di SD Negeri 03 Kaliso

0 1 11

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI MELALUI METODE PETA PIKIRAN (MIND MAPPING) PADA MATA PELAJARAN Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Melalui Metode Peta Pikiran (Mind Mapping) Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas 3 Di Sd Negeri 1 Baran Tahu

1 2 16

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS NARASI DENGAN METODE PETA PIKIRAN (MIND MAPPING) PADA SISWA KELAS IV Peningkatan Kemampuan Menulis Narasi dengan Metode Peta Pikiran (Mind Mapping) Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Tangkisan 01 Kabupaten Sukoharjo Tahun

0 0 18

Peningkatan Keterampilan Menulis Puisi melalui Metode Peta Pikiran (Mind Mapping) pada Siswa Kelas VII E SMP Negeri 16 Surakarta.

0 0 19

Peningkatan Kemampuan Menulis Teks Berita dengan Metode Peta Pikiran (Mind Mapping) pada Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 1 Karanganom Kabupaten Klaten.

0 0 17

PENGGUNAAN METODE PETA PIKIRAN (MIND MAPPING) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI.

0 3 4

Keterampilan menulis puisi melalui metode peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas vii e smp negeri 16 Surakarta AWAL

0 0 19