Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu pengatahuan dalam era globalisasi saat ini terus mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan saat ini tidak terlepas dari munculnya sumber daya manusia yang kompeten dalam bidangnya. Manusia yang kompeten dalam bidangnya merupakan hasil dari sebuah bentuk pendidikan yang terprogram dan terencana. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional No. 20 tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional Undang-Undang Sisdiknas, bahwa pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. 1 Pendidikan merupakan kunci masa depan setiap individu. Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan, keterampilan dan keahlian tertentu kepada individu guna mengembangkan bakat serta kepribadian mereka. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi akibat adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, masalah pendidikan perlu mendapat perhatian dan penanganan yang lebih baik yang menyangkut berbagai masalah, baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. 2 Dengan arti 1 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas, Jakarta: Sinar Grafika 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, edisi ketiga, cetakan keempat, hal.263 lain, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Pendidikan yang memiliki peranan penting dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sehingga dapat melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu menguasai IPTEK yaitu pendidikan dalam bidang sains IPA. Salah satu cabang dari pendidikan IPA adalah pendidikan kimia. Pendidikan kimia diharapkan mampu memberikan pengalaman secara langsung dan harus mampu mengembangkan daya nalar siswa untuk dapat membentuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Proses belajar dan mengajar merupakan suatu hal yang penting bagi siswa dan guru. Masalahnya adalah, sebagian besar pendidik kurang inovatif dan kreatif dalam mencari dan menemukan metode maupun pendekatan pembelajaran yang dapat merangsang motivasi belajar siswa. Pembelajaran yang terlalu teoretis menyebabkan siswa sulit memahami bahan ajar kimia secara komprehensif. Oleh karena, siswa cenderung menghafal dan mengerjakan tugas kimia secara mekanistik, tanpa memahami materi dasarnya. Akibatnya, skema pemikiran siswa terpotong- potong dan tidak terjadi pemahaman secara utuh. Cara mengajar guru sangat dipengaruhi oleh pemahamannya tentang pembelajaran. “Selama ini prinsip-prinsip teori belajar behaviorisme amat mendominasi pemahaman guru dan cara mengajar guru telah lama terpola dalam pemikiran behaviorisme”. 3 Guru mendominasi di dalam kelas dan berfungsi sebagai sumber utama pengetahuan. Guru menyajikan pengetahuan kimia kepada siswa, siswa memperhatikan penjelasan dan contoh yang diberikan oleh guru. Kebanyakan guru beranggapan bahwa siswa tidak memiliki pengetahuan awal. Pembelajaran semacam ini kurang memperhatikan aktivitas siswa, interaksi siswa, dan konstruksi pengetahuan. Sehingga siswa menjadi lekas bosan terhadap pelajaran kimia dan kurangnya 3 Agus Suprijono, Cooperative Learning, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 35 motivasi terhadap pembelajaran kimia. Hal tersebut dapat menyebabkan rendahnya hasil belajar kimia siswa. Mempelajari kimia tidak hanya dengan aktivitas menyelesaikan soal- soal rutin sesuai dengan contoh yang diberikan oleh guru, tetapi perlu pula melibatkan aktivitas aktif yang dapat merangsang kemampuan berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Oleh sebab itu, siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. 4 Pada dasarnya pendekatan atau pembelajaran konstruktivis menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. 5 Apabila proses belajar mengajar masih mengunakan metode hafalan yang membosankan dan tidak menumbuhkan motivasis siswa ini terus menerus berlangsung dari tahun ketahun, maka kemungkinan besar banyak siswa yang tidak menyukai mata pelajaran kimia. Guru harus mengembangkan potensi-potensi peserta didik, karena pengetahuan bukanlah hal yang statis dan deterministik tetapi suatu proses menjadi tahu. 6 Pengetahuan yang siswa peroleh adalah hasil konstruksi siswa itu sendiri, siswa itu sendirilah yang mengolah informasi-informasi yang ia peroleh untuk selanjutnya menjadi pengetahuan yang ia bangun sendiri. Konstruktivis merupakan landasan berfikir filosofi pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk 4 Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung: Alfabeta,2008 cetakan keenam, hal. 88 5 Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007 hal. 106 6 Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, 2009 cetakan kedua, hal.17 diambil dan diingat. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memcahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan sesuatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. 7 Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangaun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Tugas guru adalah memfasilitasi proses pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. 8 Konstruktivis memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif dalam upaya menemukan pengetahuan, konsep, kesimpulan, bukan merupakan kegiatan mekanistik untuk mengumpulkan informasi atau fakta. 9 Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa mempelajari kimia tidak cukup sekedar menghafal suatu konsep melalui buku pelajaran namun lebih dari itu belajar kimia pada hakikatnya merupakan suatu produk dan proses yang satu sama lain saling mendukung. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai kesatuan cara, misalnya pengamatan suatu objek atau gejala, menguji data, dan melakukan eksperimen. Dengan melibatkan peserta didik dalam melakukan eksperimen, maka mereka akan lebih mudah mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Laju reaksi merupakan salah satu topik yang diberikan pada siswa SMAMA kelas XI semester ganjil. Laju reaksi mempelajari tentang 7 Trianto, Op, cit,. hal. 108 8 Ibid,. 9 Aunurrahman, Op, cit,. hal. 19 mempercepat suatu reaksi kimia maupun memperlambat reaksi kimia. Sebagai contoh ketika siswa melarutkan gula pasir dengan air panas dan dingin kemudian membandingkan kecepatan melarutnya. Kemampuan membandingkan mempunyai arti penting dalam mendukung kemampuan mengkonstruksi pengetahuan. Melalui kemampuan tersebut dapat menarik sifat-sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena konstruktivis mengakui bahwa pengetahuan seseorang terbentuk karena adanya interaksi dengan pengalaman-pengalamnya. 10 Materi laju reaksi sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari maupun industri sehingga sangat relevan jika materi ini diterapkan dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivis dimana siswa dibiasakan aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas penulis menyusun skripsi dengan judul : “Pengaruh Metode Eksperimen terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Laju Reaksi”.

B. Identifikasi Masalah