Pengaruh Model guided discovery learning terhadap hasil belajar kimia siswa pada konsep laju reaksi (quasi eksperimen di SMAN 72 Jakarta Utara)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar S1 pada Jurusan Pendidikan IPA Program Studi Pendidikan Kimia

Oleh :

SITI MUTOHAROH NIM (106016200633)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

Bapak Sukari dan Ibu Mariah

Kakak

Muttaqin, S.Si

Sahabat

Eva, Evi, Dewi, isfy, Mba Emy,

Teman-teman seperjuangan kimia angkatan 2006

Almamater


(6)

Siswa pada Konsep Laju Reaksi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model guided discovery learning terhadap hasil belajar. Penelitian ini dilakukan di SMAN 72 Jakarta Utara pada bulan September hingga Oktober 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen, sampel diambil secara purposive sampling

dari 69 siswa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Desain penelitian dalam penelitian ini adalah control group pretes-posttest. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes hasil belajar. Hasil belajar siswa kelompok eksperimen (rata-rata=72,8 dan simpangan baku=9,53 ) lebih tinggi dari kelompok kontrol (rata-rata=54,86 dan simpangan baku=8,06 ) dan setelah dilakukan uji-t diperoleh nilai thitung sebesar 8,8 sedangkan

ttabel pada taraf signifikansi 0,05 sebesar 2 atau thitung > ttabel . Maka dapat

disimpulkan menolak Ho, dan Ha yang menyatakan terdapat pengaruh penerapan model guided discovery learning terhadap hasil belajar kimia siswa pada konsep laju reaksi diterima. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model guided discovery learning memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar kimia siswa pada konsep laju reaksi.

Kata Kunci :Model guided discovery learning, Hasil Belajar Siswa, konsep Laju Reaksi


(7)

Achievement on Rate of Reaction Concept.

This research aim to know influence of guided discovery learning model to students learning achievement. This research is done at SMAN 72 North Jakarta on September until October 2010. The research method is quasi experiment, with 69 students and divided into experiment and control groups. The research is used pretes-posttest design. The instrument in this research is used students achievement test. The result of students learning achievement of experiment group (mean= 72,8 and standard deviation= 9,53) is higgher than control group (mean= 54,86 and standard deviation= 8,06) and after was done to test-t acquired appreciative tcomputing as big as 8,8 meanwhile ttable on significant’s level 0,05 as

big as 2 or tcomputing > ttable . It concluded refuses Ho, and Ha which declares for to

exist influence of guided discovery learning model to students achievement on rate of reaction concept is accepted. It points out that guided discovery learning model purpose give influence that significant to students chemical achievement on rate of reaction concept.

Key word: guided discovery learning model, Students learning achievement, rate of reaction concept.


(8)

yang telah mencurahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam teriring kepada Rasulullah SAW, beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar S1 pada Jurusan Pendidikan IPA Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi yang berjudul ” Pengaruh Model Guided Discovery Learning

Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Konsep Laju Reaksi” ini merupakan wujud tertulis dari penelitian yang penulis lakukan di SMAN 72 Jakarta Utara, tepatnya berada di Jl. Prihatin Komplek TNI-AL Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara. Adapun pelaksanaannya sejak September 2010 hingga Oktober 2010.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Karenanya pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M. A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Baiq Hana Susanti, M. Sc, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Orang tua saya yang telah mendukung saya dalam penelitian ini maupun dalam penyusunan skripsi ini dari segi moril maupun materil.

4. Ibu Dr. Zulfiani, M. Pd sekaligus Dosen Pembimbing I

5. Bapak Dedi Irwandi, M. Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sekaligus Dosen Pembimbing II.

6. Ibu Dra. Tumiar Sihotang, M.Si selaku kepala SMAN 72 Jakarta Utara 7. Ibu Isnaeni C, S. Pd selaku Guru Kimia SMAN 72 Jakarta Utara


(9)

9. Ka Hesti yang membantu dalam media pembelajaran, Dewi atas informasi dan bantuannya, teman-teman di Primagama Plumpang atas pengertian dan dukungan kalian.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca demi peningkatan dan penyempurnaan skripsi ini, agar dapat memperbaiki dalam menyusun karya tulis selanjutnya.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagai para pembaca baik sebagai referensi maupun untuk menambah wawasan mengenai pengaruh model

guided discovery learning terhadap hasil belajar kimia siswa pada konsep laju reaksi.

Wassalamu’alaikum wr. wb

Jakarta, Februari 2011


(10)

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS A. Belajar Sebagai Proses Kognitif ... 8

B. Landasan Model Pembelajaran Discovery learning ... 9

C. Discovery Learning ... 10

D. GuidedDiscovery Learning ... 13

1. Penerapan GuidedDiscovery Learning ... 16

2. Kelebihan GuidedDiscovery Learning ... 19

E. Belajar dan Hasil Belajar ... 20

1. Pengertian Belajar ... 20

2. Pengertian Hasil Belajar ... 22

3. Fase-Fase dalam Proses Belajar ... 24

4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi hasil belajar ... 25


(11)

J. Pengajuan Hipotesis ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

B. Metode dan Rancangan Penelitian ... 37

1. Metode Penelitian... 37

2. Rancangan Penelitian ... 37

C. Populasi dan Sampel ... 39

1. Populasi ... 39

2. Sampel ... 39

D. Teknik Pengumpulan Data ... 39

F. Variabel Penelitian ... 40

G. Instrumen Penelitian ... 41

H. Teknik Analisis Data ... 46

1. Uji Prasyarat Sampel Penelitian ... 46

2. Uji Prasyarat Analisis ... 47

3. Analisis Data ... 48

a. normalized gain <g> ... 48

b. Uji-t ... 48

I. Uji Hipotesesis ... 49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil ... 50

1. Hasil Belajar Kimia Siswa di SMAN 72 Jakarta dengan Model Pembelajaran Guided Discovery Learning (Kelompok Eksperimen) ... 50

2. Hasil Belajar Kimia Siswa di SMAN 72 Jakarta dengan Model Pembelajaran Konvensional (Kelompok Kontrol) ... 52


(12)

b. Uji Homogenitas pretest ... 57

2. Uji Prasyarat Analisis ... 58

a. Uji Normalitas Posttest ... 58

b. Uji Homogenitas Posttest ... 59

C. Pengujian Hipotesis ... 60

1. Uji-t Pretest ... 60

2. Uji-t Posttest ... 60

D. Interpretasi Data ... 61

E. Pembahasan ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(13)

Tabel 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar ... 26

Tabel 3.1 Desain Penelitian Nonequivalent Control Group Design ... 38

Tabel 3.2 Variabel Penelitian ... 40

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen ... 42

Tabel 4.1 Sebaran Data Hasil Pretest Kelompok Eksperimen ... 51

Tabel 4.2 Sebaran Data Hasil Posttest Kelompok Eksperimen ... 52

Tabel 4.3 Sebaran Data Hasil Pretest Kelompok Kontrol ... 53

Tabel 4.4 Sebaran Data Hasil Posttest Kelompok Kontrol ... 54

Tabel 4.5 Deskripsi Jumlah <g> Kelompok Eksperimen ... 54

Tabel 4.6 Deskripsi Jumlah <g> Kelompok Kontrol ... 55

Tabel 4.7 Rekap Nilai <g> Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 55

Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Data Pretest ... 57

Tabel 4.9 Hasil Uji Homogenitas Data Pretest ... 58

Tabel 4.10 Hasil Uji Normalitas Data Posttest ... 58

Tabel 4.11 Hasil Uji Homogenitas Data Posttest ... 59

Tabel 4.12 Hasil Uji-t Data Pretest ... 60


(14)

Gambar 2.3 Bagan Kerangka Pikir ... 34

Gambar 4.1 Sebaran Hasil Pretest Kelompok Eksperimen ... 50

Gambar 4.2 Sebaran Batang Hasil Posttest Kelompok Eksperimen... 51

Gambar 4.3 Sebaran Batang Hasil Pretest Kelompok Kontrol... 52

Gambar 4.4 Sebaran Batang Hasil Posttest Kelompok Kontrol ... 53


(15)

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa (Kelas Eksperimen) ... 99

Lampiran 4 Lembar Kerja Siswa (Kelas Kontrol) ... 105

Lampiran 5 Instrumen ... 110

Lampiran 6 Analisis Butir Soal (Anatest) ... 118

Lampiran 7 Nilai Kelompok Eksperimen ... 125

Lampiran 8 Nilai Kelompok Kontrol ... 126

Lampiran 9 Distribusi Frekuensi Kelas Eksperimen (Pretest) ... 127

Lampiran 10 Distribusi Frekuensi Kelas Eksperimen (Posttest) ... 129

Lampiran 11 Distribusi Frekuensi Kelas Kontrol (Pretest) ... 131

Lampiran 12 Distribusi Frekuensi Kelas Kontrol (Posttest) ... 133

Lampiran 13 Perhitungan Normalitas Kelas Eksperimen (Pretest) ... 135

Lampiran 14 Perhitungan Normalitas Kelas Eksperimen (Postest) ... 137

Lampiran 15 Perhitungan Normalitas Kelas Kontrol (Pretest)... 139

Lampiran 16 Perhitungan Normalitas Kelas Kontrol (Posttest) ... 141

Lampiran 17 Perhitungan Homogenitas Data Pretest ... 143

Lampiran 18 Perhitungan Homogenitas Data Postest ... 144

Lampiran 19 Perhitungan Uji-t (Pretest) ... 145

Lampiran 20 Perhitungan Uji-t (Posttest) ... 146

Lampiran 21 Perhitungan Normal Gain Kelas Eksperimen ... 147

Lampiran 22 Perhitungan Normal Gain Kelas Kontrol ... 148

Lampiran 23 Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian... 149


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengertian pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan1. Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.

Banyak sekali permasalahan pendidikan di negeri kita ini, salah satu masalah yang dihadapi di dunia pendidikan saat ini adalah masalah proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran saat ini siswa diarahkan untuk menghafal informasi, siswa dipaksa untuk mengingat serta menimbun informasi tersebut, jadi siswa hanya menampung apa yang guru sampaikan tanpa mengetahui kegunaan dari informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam setiap proses pembelajaran pada mata pelajaran apapun guru lebih banyak mendorong agar siswa dapat menghafal dan menimbun sejumlah materi pelajaran. Apabila hal ini diterapkan pada mata pelajaran

science maka anak tidak dapat mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis dan sistematis, karena proses pembelajaran berpikir tidak digunakan secara baik dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas.

Lemahnya proses pembelajaran yang dikembangkan guru merupakan salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita. Proses pembelajaran yang dikembangkan guru tidak sesuai dengan rambu-rambu

1

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), Cet keempatbelas, h. 10.


(17)

yang ditentukan standar proses pendidikan yang diatur dalam peraturan pemerintah No.19 Tahun 2005 Bab 1 Pasal 1 Ayat 6 yaitu2 “Standar proses pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk

mencapai standar kompetensi lulusan”.

Beberapa hal yang harus digaris bawahi dari peraturan pemerintah No.19 Tahun 2005 Bab 1 Pasal 1 Ayat 6. Pertama, standar proses pendidikan adalah standar nasional pendidikan, yang berarti standar proses pendidikan dimaksud berlaku untuk setiap lembaga formal pada jenjang pendidikan tertentu dimanapun lembaga pendidikan itu berada secara nasional. Seluruh sekolah seharusnya melaksanakan proses pembelajaran seperti yang dirumuskan dalam standar proses pendidikan ini. Kedua, standar proses pendidikan berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran, yang artinya standar proses pendidikan berisi tentang bagaimana seharusnya proses pembelajaran berlangsung. Standar proses pendidikan dimaksud dapat dijadikan pedoman bagi guru dalam pengelolaan pembelajaran. Ketiga, standar proses pendidikan diarahkan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Dengan demikian standar kompetensi lulusan merupakan sumber atau rujukan utama dalam menentukan standar proses pendidikan. Karena itu, sebenarnya standar proses pendidikan bisa dirumuskan dan diterapkan manakala telah tersusun standar kompetensi lulusan3.

Standar proses pendidikan dalam sains sendiri adalah bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan sains di SMA/MA diharapkan menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan

2

diakses dari www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/187.pdf

3

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 4


(18)

alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari4.

Salah satu bidang studi yang ada pada sains adalah kimia. Kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana gejala-gejala alam; khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur, transformasi, dinamika dan energetika zat. Oleh karena itu, bidang studi kimia di SMA/MA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi tentang komposisi, struktur, sifat, transformasi, dinamika dan energetika zat yang melibatkan penalaran dan keterampilan5. Ilmu kimia termasuk pelajaran yang dianggap sulit, karena beberapa materi yang dipelajari bersifat abstrak. Hal ini senada dengan riset yang dilakukan oleh Purwanti dan Arista Nisa dengan judul Pembelajaran Kimia Berbasis Literasi Sains dan Teknologi pada Materi Pokok Laju Reaksi yang menunjukkan bahwa permasalahan pembelajaran kimia sebagai bagian dari sains, yang sampai saat ini belum mendapat pemecahan secara tuntas adalah adanya anggapan pada diri siswa bahwa pelajaran ini sulit dipahami dan dimengerti. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan suatu strategi pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran kimia.

Pembelajaran merupakan proses interaksi baik antara manusia dengan manusia ataupun antara manusia dengan lingkungan. Proses interaksi ini diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam rangka inilah standar proses pendidikan dikembangkan. Melalui standar proses pendidikan setiap guru dapat mengembangkan proses pembelajaran sesuai dengan rambu-rambu yang ditentukan.

Model-model pembelajaran yang berkembang dalam pendidikan formal (kelas) baik dasar maupun perguruan tinggi cenderung kurang

4

Depdiknas, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia SMA dan MA, (Jakarta: Depdiknas, 2003), h. 6

5

Depdiknas, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia SMA dan MA, (Jakarta: Depdiknas, 2003), h. 7


(19)

kondusif. Sistem penyampainnya lebih didominasi oleh guru yang gaya mengajarnya cenderung bersifat otoriter dan instruktif, dan proses komunikasinya satu arah. Guru yang memegang kendali, memainkan peran aktif sementara siswa menerima secara pasif informasi keterampilan dan pengetahuan. Situasi ini bertentangan dengan prinsip student centered

yaitu siswa yang menjadi pusat pembelajaran atau siswa lebih aktif dalam memperoleh pengetahuan. Guru-guru kurang atau tidak memberi peluang dan kebebasan kepada siswa yang mengungkapkan pendapatnya sehingga siswa cenderung menjadi pasif. Kreatifitas dan kemandiriannya mengalami hambatan dan bahkan tidak berkembang6.

Pemilihan model pembelajaran yang menyangkut metode dan pendekatan pembelajaran merupakan hal penting yang harus diterapkan oleh guru agar memperoleh hasil yang optimal. Pemilihan model yang mencakup metode dan pendekatan hendaknya dapat melibatkan siswa secara aktif, baik secara fisik, intelektual dan emosionalnya dalam belajar. Dalam pembelajaran sains perlu lebih menekankan proses berpikir dan aktivitas-aktivitas saintis, dengan metode pembelajaran yang mengarah untuk menggali proses-proses berpikir dalam sains. Pembelajaran sains dilakukan seperti bagaimana sains itu ditemukan, pembelajaran sains dilaksanakan melalui sebuah proses yang berbasis pada penyelidikan ilmiah. Siswa melakukan penyelidikan ilmiah yang artinya siswa banyak menggunakan indera mereka, maka konsep dan prinsip-prinsip yang ditemukan siswa akan bertahan lama di otak (long term memory).

Seiring dengan perkembangan pada bidang pendidikan sains, diadakan usaha inovatif untuk semua jenjang yang senantiasa mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa khususnya bidang studi kimia yaitu dengan menerapkan model guided discovery learning.

6

Tonih Feronika, Buku Ajar Strategi Pembelajaran Kimia, (Jakarta:FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 53


(20)

Guided discovery learning mengkombinasikan dari dua cara pengajaran yaitu teacher-centered dan student-centered, dalam Guided discovery learning guru sebagai fasilitator juga aktif dalam membimbing siswa memperoleh pengetahuan dan menempatkan murid bersikap aktif. Guru sebagai instruktur memberikan suatu pernyataan atau permasalahan kemudian mengarahkan siswa berpikir tahap demi tahap sehingga dapat memecahkan permasalahan tersebut.

Pemilihan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan konsep yang diajarkan sangat mempengaruhi kegiatan pembelajaran, baik proses pembelajaran aktivitas siswa, pemahaman siswa terhadap materi pelajaran maupun terhadap hasil belajarnya. Pelajaran kimia yang menarik untuk dibuat model guided discovery learning adalah laju reaksi. Karena pelajaran kimia khususnya pada konsep laju reaksi merupakan pelajaran yang memerlukan tingkat pemahaman yang tinggi sehingga akan lebih baik dipelajari apabila menggunakan model pembelajaran guided discovery learning.

Bertolak dari latar belakang diatas yaitu model guided discovery learning serta kaitannya dengan hasil belajar maka penulis terdorong untuk mengangkat permasalahan berorientasi pendidikan kimia dengan

judul “Pengaruh model guided discovery learning terhadap hasil belajar kimia siswa pada konsep laju reaksi”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas maka dapat di identifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan standar proses pendidikan.

2. Model-model pembelajaran yang berkembang dalam pendidikan formal cenderung bersifat otoriter, instruktif dan komunikasinya satu arah.


(21)

3. Pemilihan model pembelajaran yang tidak tepat dengan konsep yang diajarkan sangat mempengaruhi kegiatan pembelajaran.

4. Materi laju reaksi dianggap sulit, hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang rendah.

C. Pembatasan Masalah

Agar masalah ini dapat dibahas dengan jelas dan tidak meluas, maka masalah ini harus dibatasi, yaitu:

1. Penelitian dilakukan pada kelas XI dengan materi laju reaksi

2. Model pembelajaran yang digunakan adalah guided discovery learning

3. Hasil belajar dilihat dari aspek kognitifnya.

D. Perumusan Masalah

Agar tidak terjadi perbedaan interpretasi pada pembahasan ini,

maka diperlukan suatu perumusan yang kongkrit, yaitu: ”Apakah terdapat

pengaruh model guided discovery learning terhadap hasil belajar siswa

pada konsep laju reaksi?”

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran guided discovery learning

terhadap hasil belajar kimia siswa pada konsep laju reaksi.

F. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait dengan dunia pendidikan terutama dalam menentukan model, metode, pendekatan pengajaran yang sesuai dengan konsep tertentu.


(22)

2. Untuk memberikan semangat kepada guru dan calon guru bidang studi kimia untuk menggunakan model pembelajaran yang bervariatif pada saat mengajar.

3. Memperkaya hasil penelitian yang sudah ada di bidang pengajaran. 4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam dunia


(23)

BAB II

DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

A. Belajar Sebagai Proses Kognitif

Menurut Chaplin, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan1. Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendayagunakan kapasitas

motorik dan sensoriknya.

Belajar lebih dari sekedar proses menghafal dan memupuk ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan yang diperolehnya bermakna untuk siswa melalui berpikir. Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral2. Proses mental itulah yang sebenarnya aspek yang sangat penting dalam perilaku belajar.

Asumsi yang mendasari belajar sebagai proses kognitif adalah bahwa pengetahuan itu tidak datang dari luar, akan tetapi dibentuk oleh individu itu sendiri dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Atas dasar asumsi itulah belajar sebagai proses kognitif memandang bahwa mengajar itu bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru pada siswa, melainkan suatu aktivitas yang memungkinkan siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya.

Menurut para ahli, proses kognitif yaitu pengetahuan dan persepsi seseorang akan lingkungannya, mempunyai peranan yang amat besar. Dalam otak organisme khususnya manusia, sudah terdapat suatu struktur kognitif yang akan mengelola informasi yang diterima dari lingkungan.

1

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), Cet keempatbelas, h. 66.

2

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), Cet keempatbelas, h.111.


(24)

Struktur kognitif ini antara lain terdiri dari pengalaman-pengalaman organisme3.

Teori kognitif menurut Piaget adalah ”Cognitive theorist believe that what children learn depends on their mental processes and what they perceive about the world around them. In other words, learning depends on how children think and how their perception and thought patterns interact4. Yang artinya adalah para pakar teori kognitif meyakini bahwa apa yang siswa pelajari tergantung dari proses mental mereka dan apa yang mereka perhatikan tentang lingkungan disekitar mereka. Dengan kata lain, pembelajaran tergantung dari bagaimana siswa berpikir dan bagaimana pola pemikiran serta persepsi mereka saling mempengaruhi.

Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka5.

B. Landasan Model Pembelajaran Discovery Learning

Belajar merupakan suatu proses dimana seorang pembelajar mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama. Model pembelajaran discovery learning berakar dari faham konstruktivis (konstruktivisme). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai6.

3

Irwanto dkk, Psikologi Umum, (Jakarta: PT. Prenhallindo, 2002), h. 123.

4

Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa, Teaching Children Science A Discovery Approach, (United States of America:Allyn and Bacon, 2010), Edisi ketujuh, h. 27

5

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, h. 14.

6

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, h. 13.


(25)

Konstruktivisme merupakan akar atau dasar dari psikologi kognitif, yang mengatakan bahwa anak-anak belajar dari hasil pengalamannya7. Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa, artinya siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Hal tersebut senada dengan Binner yang mengatakan siswa membina pengetahuan mereka dengan mengkaji konsep dan pendekatan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki kemudian mengaplikasikannya kepada situasi baru dan mengintegrasikan pengatahuan yang baru diperoleh berdasarkan kemampuan intelektual yang telah ada8.

Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa mengatakan “Learning is an ongoing process, in which the learner integrates new knowledge with previous knowledge and discovers new ways of thinking, acting, and feeling9. Belajar merupakan proses yang berlangsung terus menerus, dimana siswa menggabungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya. Serta menemukan cara baru dalam berpikir, bertingkah laku dan merasakan.

C. Discovery Learning

Bayangkan bila belajar mengemudi tanpa menggunakan mobil, bayangkan membuat kue coklat tanpa terigu, telur, gula dan lain-lain. Hal tersebut akan sangat sulit, sekarang bayangkan mengajar siswa tanpa mengizinkan siswa secara langsung menggunakan pengalaman mereka

7

Joseph Abruscato, Teaching Children Science, (United States of America: Allyn and Bacon, 2001), h. 30

8

Tonih Feronika, Buku Ajar Strategi Pembelajaran Kimia, (Jakarta:FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 55

9

Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa, Teaching Children Science A Discovery Approach, (United States of America: Allyn and Bacon, 2010), Edisi ketujuh, h. 26


(26)

untuk memperoleh pengetahuan. Pengalaman sampai sekarang merupakan guru yang terbaik10.

Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome S. Bruner yang dikenal dengan nama discovery learning. Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. J. Bruner telah mengembangkan

discovery learning yang berdasarkan kepada pandangan belajar kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Berikut adalah teori Bruner tentang discovery learning:

Teachers need to provide children with experiences to help them discover underlying ideas, concepts, and patterns. Bruner is proponent of inductive thinking, or going from the specific to the general. You are using inductive thinking when you get an idea from one experience that you use in another situation. Bruner believes that children are able to grasp any concept, provided it is approached a manner appropiate for their particular grade level. Therefore, teachers should encourage children to handle increasingly complex challenge11.

Guru harus memberikan siswa berbagai pengalaman untuk membantunya menemukan ide, konsep dan pola. Teori Bruner merupakan pendukung teori berpikir secara induktif, atau dimana cara berpikirnya dari spesifik menuju umum. Ketika kamu mendapatkan ide dari suatu eksperimen disitulah kamu menggunakan berpikir secara induktif dan kamu dapat menggunakannya pada situasi yang lain. Bruner percaya bahwa siswa dapat memahami konsep dengan pendekatan yang sesuai dengan tingkatan mereka. Oleh karena itu, guru-guru sebaiknya memotivasi siswanya untuk mengatasi tantangan yang semakin rumit.

Discovery learning merupakan dasar dari inkuiri dengan konstruktivis sebagai landasan dalam memecahkan masalah, dimana siswa

10

Joseph Abruscato, Teaching Children Science, (United States of America: Allyn and Bacon, 2001), h. 38

11

Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa, Teaching Children Science A Discovery Approach, (United States of America: Allyn and Bacon, 2010), Edisi ketujuh, h. 29.


(27)

menggunakan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya untuk menarik fakta dan menghubungkannya dengan informasi baru. Di dalam ilmu sains siswa belajar menemukan sesuatu atau siswa tidak mengetahui ilmu tersebut12. Siswa berinteraksi langsung dengan lingkungan melalui penyelidikan, memanipulasi objek, dan melakukan eksperimen.

Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen serta mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.

Discovery terjadi apabila siswa terlibat secara aktif dalam menggunakan mentalnya agar memperoleh pengalaman, sehingga memungkinkan untuk menemukan konsep atau prinsip.

Proses-proses mental itu melibatkan perumusan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, melaksanakan eksprimen, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan. Di samping itu juga diperlukan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu dan terbuka (inilah yang dimaksud dengan sikap ilmiah).

Bruner beranggapan bahwa belajar merupakan pengembangan kategori-kategori dan pengembangan suatu sistem pengkodean (coding). Berbagai kategori-kategori saling berkaitan sedemikian rupa, sehingga setiap individu mempunyai model yang unik tentang alam13.

Leonard dan Irving memberikan pendapatnya bahwa dalam mengajar dengan discovery learning guru sebagai petunjuk atau fasilitator bukan diktator. Sebagai fasilitator guru harus mencoba mengangkat masalah yang akan membuat siswa tertarik untuk memecahkannya, serta membantu mereka menjelaskan masalah, mencari fakta, dan memberikan kesimpulan14.

12

Margot Kaplan dan Sanoff, Exploring Early Childhood, (United States of America:Macmillan Publishing, 1981), h. 43

13

Ratna wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 1996), Cet kedua, h. 100.

14

Leonard dan Irving, Secondary and Middle School Teaching Methods, (United States of America: Macmillan Publishing, 1981), Edisi keempat, h. 207


(28)

J. Richard mengemukakan bahwa discovery learning ialah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, diskusi, membaca sendiri, mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri15. Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa mengatakan “Discovery simply means coming to know something you didn’t know before”16

. Discovery adalah kamu mengetahui sesuatu hal baru yang sebelumnya kamu belum mengetahuinya, discovery learning

terjadi ketika siswa mendapat informasi baru tentang bagaimana memecahkan masalah yang mereka hadapi dan ini merupakan pengalaman yang bersifat pribadi.

Colburn mengatakan “Discovery places a value on students' contacts with the world around them and how they interact with it, It relies on students' natural curiosity about the world and utilizes their ability to make sense of the things they touch, taste, or smell”17. Nilai discovery

pada siswa adalah ketika siswa berhubungan dengan dunia di sekitar mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengannya, Ini didasarkan pada keingintahuan mereka tentang dunia atau lingkungan sekitarnya, dengan menggunakan kemampuan mereka untuk memahami sesuatu yang mereka rasakan, yang mereka sentuh atau yang mereka cium. Dapat ditarik kesimpulan bahwa discovery learning adalah belajar menemukan konsep dan prinsip secara mandiri dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip-prinsip.

D. Guided Discovery Learning

Guided discovery learning mengkombinasikan dari dua cara pengajaran yaitu teacher-centered dan student-centered, dalam guided discovery learning guru sebagai fasilitator juga aktif dalam membimbing

15

Roestiyah N.K, Strategi Belajar Mengajar: salah satu unsur pelaksanaan strategi belajar mengajar: teknik penyajian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), Cet. Ketujuh, h. 20.

16

Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa, Teaching Children Science A Discovery Approach, (United States of America: Allyn and Bacon, 2010), Edisi ketujuh, h. 42

17


(29)

siswa memperoleh pengetahuan dan menempatkan murid bersikap aktif. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini18.

High 100%

Teacher

dominance

50%

Low 0%

Early childhood Middle grades Adolescence

Gambar 2.1 Hubungan Dominasi Guru dengan Tingkatan Siswa

Siswa dengan tingkatan (umur) yang paling rendah atau di bangku sekolah dasar, guru lebih mendominasi dalam proses belajar mengajar (teacher centered). Sedangkan siswa pada tingkatan menengah atau pada tingkatan SMP dan SMA, dominasi guru 50% dan siswa 50% ( student-centered dan teacher centered) dimana siswa dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran dengan bimbingan dari guru. Dan siswa pada tingkatan tinggi, siswa lebih mendominasi dalam proses pembelajaran (student-centered).

Terdapat tiga macam cara pengajaran sains yaitu: konvensional,

guided discovery learning, dan inquiry. Perbedaan yang mendasar dari ketiga cara pengajaran tersebut adalah penempatan guru dan murid. Pada pengajaran konvensional guru lebih mendominasi sedangkan murid bersikap pasif, lebih ekstrem lagi pada pengajaran inquiry dimana siswa bersikap aktif dan guru hanya sebagai fasilitator. Sedangkan pada guided discovery learning mengkombinasikan dari dua cara pengajaran tersebut, yaitu guru sebagai fasilitator juga aktif dalam membimbing siswa

18

Arthur A. Carin dan Robert B. Sund, Teaching Modern Science, (Colombus: Charles E. Merril Publishing, 1985), Edisi keempat, h. 103


(30)

memperoleh pengetahuan dan menempatkan murid bersikap aktif. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini19:

Tabel 2.1 Perbedaan Model Pembelajaran Konvensional, Guided Discovery, Inquiry

Cara

pengajaran Konvensional Guided Discovery Inquiry

Guru Aktif atau lebih mendominasi

Aktif dan juga

sebagai fasilitator Fasilitator

Murid Pasif Aktif Aktif

Guided discovery learning mencoba untuk membantu siswa dalam belajar penemuan yaitu membantu mereka mendapatkan pengetahuan yang dibangun oleh mereka sendiri. Guided discovery learning melibatkan menemukan makna, organisasi, dan struktur ide.

Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa mengatakan “You must also be firm in your conviction that discovery learning does not happen by accident. It must be clearly guided by you (guided discovery)”20. Kamu harus meyakini bahwa discovery learning tidak terjadi secara sengaja tetapi harus dibimbing oleh kamu (penemuan terbimbing). Mereka juga

mengatakan “You will guide children to develops habits of mind necessary to be active and curious observers, to seek explanation based on evidence, and to systematically test explanation through experimentation21. Yang artinya kamu harus mengarahkan anak-anak untuk mengembangkan kebiasaan berpikir aktif dan menjadi pengamat, mencari fakta berdasarkan bukti-bukti, yaitu berdasarkan percobaan atau eksperimen.

19

Arthur A. Carin dan Robert B. Sund, Teaching Modern Science, (Colombus: Charles E. Merril Publishing, 1985), Edisi keempat, h. 100

20

Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa, Teaching Children Science A Discovery Approach, (United States of America: Allyn and Bacon, 2010), Edisi ketujuh, h. 43

21

Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa, Teaching Children Science A Discovery Approach, (United States of America: Allyn and Bacon, 2010), Edisi ketujuh, h. 21


(31)

Model guided discovery learning menghadapkan siswa kepada situasi dimana ia bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan, ia membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. Guru sebagai instruktur memberikan suatu pernyataan atau permasalahan kemudian mengarahkan siswa berpikir tahap demi tahap sehingga dapat memecahkan permasalahan tersebut.

Model guided discovery learning dapat disimpulkan sebagai pembelajaran yang menempatkan guru sebagai fasilitator dan instruktur guna mengarahkan siswa untuk dapat menemukan konsep dan prinsip sendiri dengan permasalahan yang diajukan guru dan cara pemecahan juga ditentukan oleh guru seperti dengan melakukan eksperimen, diskusi, dan lain-lain. Berikut ini merupakan penerapan dan keuntungan dari model

guided discovery learning.

1. Penerapan Guided Discovery Learning

Mengajar dengan menggunakan model guided discovery learning guru harus memberikan pengarahan pembelajaran yang mengaktifkan sisi kognitif serta kemampuan psikomotor siswa tetapi dalam penelitian ini hasil belajar yang diambil hanya dari segi kognitif saja atau dengan menggunakan test. Seperti yang dikatakan oleh Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa “When we teach science with

the focus on discovery, we prepare children to make their personal discoveries with our strong guidance. We give them their very own tool packs22. Ketika kita mengajar sains berdasarkan diskoveri, guru mempersiapkan siswa agar dapat terjadi discovery learning dalam kegiatan belajar mengajar dengan pengarahan guru, kita harus mempersiapkan siswa dengan peralatan yang mereka butuhkan. Itulah

22

Joseph Abruscato dan Donald A DeRosa, Teaching Children Science A Discovery Approach, (United States of America: Allyn and Bacon, 2010), Edisi ketujuh, h. 42


(32)

tugas guru dalam model ini bagaimana membuat siswa dapat menemukan sendiri konsep dan prinsip sains dengan permasalahan yang diajukan guru dan cara pemecahan juga ditentukan oleh guru.

Penerapan guided discovery learning pada siswa terdapat sepuluh langkah. Langkah-langkah tersebut adalah23:

a. Introduction (Pendahuluan)

Menetapkan fokus pada tujuan awal pelajaran, konten, atau kegiatan.

b. Review (Pengulangan)

Membahas pelajaran yang terkait sebelumnya, yang berhubungan dengan materi atau konsep yang akan dipelajari. Dalam penelitian ini konsep yang akan di bahas adalah laju reaksi sehingga materi yang sesuai untuk pengulangan adalah stoikiometri.

c. Overview (Gambaran)

Memberikan gambaran informasi baru atau masalah, menjabarkan ide-ide siswa, bertukar pikiran, berdiskusi, memberikan pemahaman tentang masalah yang akan diselidiki atau diteliti.

d. Investigation (Penyelidikan)

Kegiatan siswa memanipulasi bahan untuk menguji ide-ide yang didapatkan mereka atau kegiatan eksperimen di laboratorium, demonstrasi guru yang melibatkan para siswa juga tepat. Tahap ini mencakup tahap eksplorasi dari siklus pembelajaran, beberapa pedoman guru tepat digunakan yaitu dalam bentuk saran, petunjuk, pertanyaan, dan informasi.

23

Arthur A. Carin, Teaching Modern Science, (Columbus: Macmillan Publishing, 1993), Edisi ketujuh, h. 181


(33)

e. Representation (Representasi)

Merupakan hasil kegiatan penelitian siswa yang dapat di representasikan melalui tindakan, gambar, grafik, tabel, pengukuran, kata-kata dan peta konsep.

f. Discussion (Diskusi)

Hasil kegiatan dari penelitian atau eksperimen siswa disajikan dan didiskusikan. Guru dapat menggunakan pertanyaan strategi di sini, yaitu pertanyaan yang dapat membuat konflik kognitif pada siswa. Seperti pertanyaan dengan miskonsepsi, atau konsep yang bertolak belakang.

g. Invention (Penemuan)

Dari hasil penelitian dan diskusi maka siswa akan mendapatkan konsep baru dan prinsip. Siswa bukan hanya mengingat pengetahuan yang di dapat tetapi membangun pengetahuan baru yang bermakna yang dapat digunakan siswa untuk pemecahan masalah.

h. Application (Aplikasi)

Pengetahuan baru yang dibangun dapat digunakan siswa untuk pemecahan masalah selanjutnya, yaitu dengan mengulang tahap

investigation (penyelidikan) sampai tahap invention (hasil). i. Summary (Kesimpulan)

Ringkasan, temuan, konseptualisasi, penjelasan, dan penutup dirangkum dan terkait dengan pelajaran lain.

j. Assesment (Penilaian)

Dengan mengadakan tes guru dapat mengetahui sejauh mana siswa telah mencapai tujuan dan indikator yang telah tecapai.


(34)

2. Kelebihan Guided Discovery Learning

Guided discovery learning mempunyai empat kelebihan yaitu24: potensi intelektual, motivasi intrinstik, heuristic discovery, memori.

a. Potensi Intelektual

Menurut Bruner bahwa seorang individu belajar dengan menggunakan pikirannya. Melalui guided discovery learning, seorang siswa perlahan-lahan belajar bagaimana mengatur dan melaksanakan investigasi atau penelitian secara mandiri.

Keuntungan terbesar dari guided discovery learning adalah membantu memori siswa agar tidak cepat lupa atau bertahan lama dan mudah diterapkan pada situasi yang baru. Pengetahuan yang dibangun oleh siswa secara mandiri akan mudah untuk diingat, sementara jika siswa hanya mengetahui konsep saja maka akan cepat lupa.

b. Motivasi Intrinstik

Guided discovery learning membantu siswa menjadi lebih mandiri, dan bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri. Siswa akan mempunyai motivasi di dalam dirinya ketika mereka belajar dengan menemukan sesuatu sendiri, bukan dengan mendengar tentang hal sesuatu.

Dengan guided discovery learning, guru lebih mungkin untuk memberikan suasana belajar yang menyenangkan dimana siswa terlibat dalam pembelajaran karena menyenangkan, menarik, dan bermanfaat bagi mereka sendiri. Tugas guru kemudian adalah bertindak sebagai fasilitator, mengarahkan siswa dan memberikan para siswa sesuai dengan kebutuhan mereka.

24

Arthur A. Carin, Teaching Modern Science, (Columbus: Macmillan Publishing, 1993), Edisi ketujuh, h. 76


(35)

c. Heuristic Discovery (Pembelajaran menyeluruh)

John Dewey berkata, “kita belajar dengan melakukan dan merenungkan apa yang kita lakukan”. Banyak bukti menunjukkan bahwa belajar bukan merupakan proses pasif. Jerome Bruner juga berkata, “ bahwa siswa adalah bukan pendengar, tetapi harus secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran”. Siswa dapat secara aktif terlibat dengan mendengarkan, berbicara, membaca, melihat, dan berpikir. Piaget mengatakan bahwa belajar tidak terjadi tanpa tindakan.

Tugas guru adalah menemukan cara agar peserta didik secara aktif terlibat dalam kegiatan apapun yang disajikan. Serta membantu siswa dalam belajar untuk membimbing mereka dalam memproses informasi baru.

d. Memori

Pikiran (otak) manusia sering dibandingkan dengan komputer yang sangat rumit, masalah terbesar dari komputer manusia ini tidak penyimpanan tetapi pengambilan data atau mengingat kembali. Hasil penelitian dari Psikologi percaya bahwa kunci untuk pengambilan informasi kembali adalah organisasi, bagaimana cara menemukan dan mendapatkan informasi tersebut. Materi yang terorganisir dengan baik memiliki kesempatan untuk diakses dalam memori.

E. Belajar dan Hasil Belajar 1. Pengertian Belajar

Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapain tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada disekolah maupun di keluarganya sendiri. Oleh karenanya, pemahaman yang benar


(36)

mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik khususnya para guru.

Beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian belajar, diantaranya25:

a. Hintzman

Dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory

berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.

a. Wittig

Dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.

b. Skinner

Belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.

c. Chaplin

Belajar adalah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus.

d. Reber

Pertama belajar adalah proses memperoleh pengetahuan. Kedua, belajar adalah suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat.

Dari berbagai definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses kegiatan kognitif yang mengakibatkan perubahan pada suatu organisme yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman.

25

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), Cet keempatbelas, h. 90.


(37)

2. Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang

membentuknya, yaitu ”hasil” dan ”belajar”. Pengertian hasil (product) menuju kepada suatu perolehan akibat dilakukannya aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input secara fungsional. Dalam siklus input proses hasil dapat dengan jelas bahwa hasil merupakan akibat perubahan oleh proses. Begitu juga dalam kegiatan belajar mengajar, setelah mengalami belajar siswa berubah perilakunya dibanding sebelumnya. Hubungan ini digambarkan sebagai berikut26 :

Tujuan Instruksional

Pengalaman Belajar Hasil Belajar

Menurut Nana Sudjana, hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya27. Dalam Sistem Pendidikan Nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikulum maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni28:

a. Ranah kognitif

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yakni pengetahuan (ingatan), pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

26

Nana Sudjana, Penilaian Hasil dan Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2008), cet. Ke-14, h.2

27

Nana Sudjana, Penilaian Hasil dan Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2008), cet. Ke-14, h.34.

28

Nana Sudjana, Penilaian Hasil dan Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2008), cet. Ke-14, h.22.


(38)

b. Ranah afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.

c. Ranah psikomotorik

Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotor yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.

Pembelajaran sains pada prinsipnya mengembangkan tiga ranah kompetensi, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Ranah kognitif berupa konsep, prinsip, hukum dan teori. Ranah afektif berupa sikap keteguhan hati, keingintahuan, dan ketekunan dalam menyingkapi rahasia alam. Sedangkan ranah psikomotor merupakan proses ilmiah, baik fisik maupun mental, dalam mencermati fenomena alam.

Ranah psikologis siswa yang terpenting ialah ranah kognitif. Ranah yang berkedudukan di otak ini, dalam perspektif psiklogi kognitif adalah sumber sekaligus pengendali ranah-ranah lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotorik (karsa). Tidak seperti organ-organ tubuh lainnya, organ otak sebagai markas fungsi kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran melainkan juga menara pengontrol aktivitas perasaan dan perbuatan. Kedua fungsi psikologis yang lain yaitu afektif dan psikomotor siswa ini juga penting tetapi cukup dipandang sebagai buah keberhasilan atau kegagalan perkembangan dan aktivitas fungsi kognitif. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimilki oleh seseorang siswa berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai perubahan setelah mengalami proses belajar.


(39)

3. Fase-Fase dalam Proses Belajar

Karena belajar itu merupakan aktivitas yang berproses, sudah tentu di dalamnya terjadi perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui fase-fase yang antara satu dengan lainnya bertalian secara berurutan dan fungsional. Menurut Jerome S. Bruner, dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga fase yaitu29:

a. Fase informasi

Seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Diantara informasi yang diperoleh itu ada yang sama sekali baru dan berdiri sendiri ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki.

b. Fase transformasi

Informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada giliranya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas.

c. Fase evaluasi

Seorang siswa akan menilai sendiri sampai sejauh manakah pengetahuan (informasi yang telah ditransformasikan tadi) dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain atau memecahkan masalah yang dihadapi.

Sedangkan menurut Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu30:

29

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), Cet keempatbelas, h. 113.

30

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), Cet keempatbelas, h. 114.


(40)

a. Aquisition (penerimaan informasi)

Seorang siswa mulai menerima informasi sebagai stimulus dan melakukan respons terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Pada tahap ini terjadi pula asimilasi antara pemahaman dengan perilaku baru dalam keseluruhan perilakunya.

b. Storage (tahap penyimpanan informasi)

Siswa secara otomatis akan mengalami proses penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang ia peroleh ketika menjalani proses aquisition. Peristiwa ini sudah tentu melibatkan short term

dan long term memory.

c. Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)

Siswa akan mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem memorinya. Proses retrieval pada dasarnya adalah upaya atau peristiwa mental dalam mengungkapkan dan memproduksi kembali apa-apa yang tersimpan dalam memori berupa informasi, simbol, pemahaman, dan perilaku tertentu sebagai respons atau stimulus yang sedang dihadapi.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Secara global faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu31:

a. Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa

b. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa

c. Faktor pendekatan belajar

31

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), Cet keempatbelas, h. 132.


(41)

Tabel 2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Ragam Faktor dan Elemennya

Internal Siswa Eksternal Siswa Pendekatan Belajar Siswa

1. Aspek Fisiologis - tonus jasmani - mata dan telinga 2. Aspek Psikologis - inteligensi - sikap - minat - bakat - motivasi

1. Lingkungan Sosial - keluarga

- guru dan staf - masyarakat - teman 2. Lingkungan Nonsosial - rumah - sekolah - peralatan - alam

1. Pendekatan Tinggi - speculative - achieving 2. Pendekatan Sedang - analitical - deep 3. Pendekatan Rendah - Reproductive - surface

Guided discovery learning membantu siswa menjadi lebih otonom, mandiri, dan bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri. Siswa akan mempunyai motivasi di dalam dirinya (motivasi instrinstik) ketika mereka belajar dengan menemukan sesuatu sendiri, bukan hanya dengan mendengar tentang hal sesuatu.

F. Pengertian Ilmu Kimia

Sains berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan sains di SMA/MA diharapkan menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan


(42)

alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari32.

Ilmu kimia adalah ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana, gejala-gejala alam khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, dinamika, transformasi dan energetika zat. Ilmu kimia merupakan produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, teori, prinsip, hukum) temuan saintis dan proses (kerja ilmiah). Oleh karena itu dalam penilaian dan pembelajaran kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai produk dan proses33.

Kimia merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan tingkat SMA atau MA. Adapun fungsi dan tujuan mata pelajaran kimia di SMA dan MA adalah sebagai berikut34 :

1. Menyadari keteraturan dan keindahan alam untuk mengagungkan kebesaran Tuhan YME.

2. Memupuk sikap ilmiah yang mencakup: a. sikap jujur dan objektif terhadap data

b. sikap terbuka, yaitu bersedia menerima pendapat orang lain serta mau mengubah pandangannya, jika ada bukti bahwa pandangannya tidak benar.

c. Ulet dan tidak cepat putus asa

Kritis terhadap pernyataan ilmiah, yaitu tidak mudah percaya tanpa ada dukungan hasil observasi empiris.

d. Dapat bekerja sama dengan orang lain

3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui eksperimen atau percobaan, dimana siswa melakukan pengujian

32

Depdiknas, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia SMA dan MA, (Jakarta:Depdiknas, 2003)

33

Depdiknas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, (Jakarta: Depdiknas, 2003), h 7

34

Depdiknas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, (Jakarta: Depdiknas, 2003), h. 7


(43)

hipotesis dengan merancang eksperimen melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan interpretasi data, serta mengkomunikasikan hasil eksperimen secara lisan dan tertulis.

4. meningkatkan kesadaran tentang aplikasi sains yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat dan lingkungan serta menyadari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

5. Memahami konsep-konsep kimia dan saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

6. Membentuk sikap yang positif terhadap kimia, yaitu merasa tertarik untuk mempelajari kimia lebih lanjut karena merasakan keindahan dalam keteraturan perilaku alam, serta kemampuan kimia dalam menjelaskan berbagai peristiwa alam dan penerapannya dalam tekhnologi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar kimia merupakan kemampuan yang dimiliki oleh anak didik yang dapat berupa kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor sebagai suatu perubahan yang dialaminya setelah menerima pengalaman belajar dalam pembelajaran kimia. Pada penelitian ini hasil belajar kimia yang diukur dibatasi hanya pada aspek kognitif.

G.Laju Reaksi

Reaksi kimia ada yang berlangsung cepat, ada pula yang berlangsung lambat. Misalnya jika kita menyalakan korek api maka pentul korek api akan habis terbakar lebih cepat dibandingkan dengan batang kayunya. Kecepatan dalam suatu reaksi kimia sering disebut laju reaksi. 1.Konsep Laju Reaksi

Laju Reaksi adalah besarnya perubahan jumlah pereaksi dan hasil reaksi persatuan waktu. Perubahan ini biasa dinyatakan sebagai


(44)

perubahan konsentrasi molar (molaritas) sehingga laju reaksi dapat dinyatakan sebagai perubahan konsentrasi akhir (hasil reaksi) terhadap konsentrasi awal (pereaksi) per satuan waktu. Satuan laju reaksi kimia dinyatakan dengan molaritas per detik (M/detik).

Secara matematika, laju reaksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalkan, diketahui reaksi :

mA + nB pC + qD

Berdasarkan persamaan reaksi tersebut, laju reaksi dapat diartikan sebagai laju berkurangnya konsentrasi molar A atau B, laju pertambahan konsentrasi molar C atau D. Dengan demikian laju reaksi dapat dinyatakan35:

Laju reaksi =

t [A]    atau t    [B]

Atau Laju reaksi =

t    [C]

atau t    [D]

Koefisien reaksi sangat mempengaruhi laju reaksi, yang dapat dituliskan:

Laju pengurangan B = m

n

x laju berkurangnya A

Laju pertambahan C = m

p

x laju berkurangnya A

2.Stoikiometri Laju Reaksi

Sebelum belajar lebih jauh lagi tentang laju reaksi kita harus memahami terlebih dahulu cara menghitung molaritas larutan. Molaritas didefinisikan sebagai jumlah mol zat yang terlarut dalam 1 liter larutan. Larutan adalah campuran homogen antara dua komponen zat atau lebih. Komponen yang jumlahnya banyak disebut pelarut, sedangkan komponen yang jumlahnya sedikit disebut zat terlarut.

35


(45)

Rumus untuk mencari molaritas adalah : M =

V n

Keterangan :

n = mol atau jumlah zat terlarut V= volume larutan dalam satuan liter

3.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi36 a. Teori tumbukan

Suatu reaksi kimia dapat berlangsung apabila terjadi interaksi antara molekul-molekul pereaksi atau terjadi tumbukan antara molekul-molekul pereaksi. Namun, tidak semua tumbukan antar molekul pereaksi akan menghasilkan zat hasil reaksi. Keefektifan suatu tumbukan bergantung pada posisi molekul dan energi kinetik yang dimilikinya.

Dalam istilah kimia dikenal dengan energi aktivasi (energi pengaktifan), yaitu energi kinetik minimum yang harus dimiliki molekul-molekul pereaksi agar tumbukan antar molekul menghasilkan zat hasil reaksi.

b. Konsentrasi

Pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi ini dapat dijelaskan oleh teori tumbukan. Semakin tinggi konsentrasi berarti semakin banyak molekul-molekul dalam setipa satuan luas ruangan, dengan demikian tumbukan antar molekul dapat sering terjadi. Contohnya, kapur tulis baru dapat bereaksi dengan HCl jika kedua zat tersebut saling bersentuhan (bertumbukan). Semakin pekat (konsentrasi semakin besar) suatu asam, jumlah partikelnya akan semakin banyak. Artinya peluang tumbukan antara asam dan kapur tulis akan

36

Sandri Justiana dan Muchtaridi, Chemistry For Senior High School 2 Year XI,(Jakarta: Yudhistira, 2009), h. 114.


(46)

semakin besar. Semakin banyak tumbukan yang terjadi, laju reaksi akan semakin cepat.

c. Luas Permukaan Sentuhan

Laju reaksi dipengaruhi luas permukaan bidang sentuh antara zat-zat yang bereaksi. Suatu zat padat akan lebih cepat bereaksi jika permukaannya diperluas dengan cara mengubah bentuk kepingan menjadi serbuk.

Menurut teori tumbukan, semakin banyak permukaan zat yang bersentuhan dengan partikel larutan, peluang terjadinya reaksi semakin banyak sehingga reaksi antara zat dengan larutan semakin cepat. Contohnya, saat paku dicampurkan dengan asam klorida, permukaan paku akan bersentuhan dengan partikel asam klorida. Semakin banyak permukaan logam yang bersentuhan dengan partikel asam klorida, paku tersebut akan mudah larut. Dengan demikian, serbuk besi akan lebih cepat bereaksi dengan asam klorida dibandingkan paku batangan.

d. Suhu

Harga tetapan laju reaksi (k) akan berubah bila suhunya berubah. Kenaikan sekitar 10oC akan menyebabkan harga tetapan laju reaksi menjadi dua kali. Dengan naiknya harga tetapan laju reaksi (k), mak reaksi akan menjadi lebih cepat. Jadi, kenaikan suhu akan mengakibatkan laju reaksi akan berlangsung semakin cepat.

Hal tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan teori tumbukan, yaitu bila terjadi kenaikan suhu maka molekul-molekul yang bereaksi akan bergerak lebih cepat, sehingga energi kinetiknya tinggi.

e. Katalis

Katalis adalah zat yang dapat meningkatkan laju reaksi tanpa mengakibatkan perubahan kimia yang kekal bagi zat itu sendiri. Setelah reaksi kimia berlangsung katalis terdapat kembali dalam keadaan dan jumlah yang sama dengan sebelum reaksi. Agar terjadi


(47)

reaksi partikel-partikel zat harus memiliki energi minimum tertentu yang disebut energi pengaktifan. Dalam hal ini, katalis berfungsi untuk menurunkan sejumlah energi pengaktifan agar reaksi dapat berlangsung. Dapat dilihat gambar dibawah ini yang menunjukkan peranan katalis dalam menurunkan energi aktivasi37.

A + B C Ea

A+B E’a

C

Gambar 2.2 Peranan Katalis dalam Menurunkan Energi Pengaktifan

H. Kerangka Berpikir

Konsep-konsep kimia tidak terlepas dari model pembelajaran atau cara pengajaran yang dikembangkan oleh guru. Oleh karena itu guru harus memilih model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran untuk dapat membangkitkan minat belajar siswa sehingga siswa dapat dengan mudah memahami konsep kimia.

Terdapat tiga macam cara pengajaran sains yaitu38: konvensional,

guided discovery learning, dan inquiry. Perbedaan yang mendasar dari ketiga cara pengajaran tersebut adalah penempatan guru dan murid. Pada pengajaran konvensional guru lebih mendominasi sedangkan murid bersikap pasif, lebih ekstrem lagi pada pengajaran inquiry dimana siswa bersikap aktif dan guru hanya sebagai fasilitator. Sedangkan pada guided discovery learning mengkombinasikan dari dua cara pengajaran tersebut,

37

Ari Harnanto dan Ruminten, Kimia SMA 2 untuk SMA Kelas XI,(Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009), h. 101.

38

Arthur A. Carin dan Robert B. Sund, Teaching Modern Science, (Colombus: Charles E. Merril Publishing, 1985), Edisi keempat, h. 100


(48)

yaitu guru sebagai fasilitator juga aktif dalam membimbing siswa memperoleh pengetahuan dan menempatkan murid bersikap aktif.

Salah satu model pembelajaran yang lebih efisien dalam meningkatkan hasil belajar khususnya pada mata pelajaran kimia adalah dengan menggunakan model guided discovery learning. Dengan model

guided discovery learning siswa akan lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran. Dalam model guideddiscovery learning siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran.

Proses pembelajaran dikelas harus optimal supaya siswa mampu mengembangkan dan memanfaatkan ilmu kimia dalam kehidupan sehari-hari. Kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana gejala-gejala alam; khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur, transformasi, dinamika dan energetika zat. Oleh karena itu, bidang studi kimia di SMA/MA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi tentang komposisi, struktur, sifat, transformasi, dinamika dan energetika zat yang melibatkan penalaran dan keterampilan.

Rendahnya penguasaan untuk itu diperlukan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan siswa. Hal ini bisa teratasi dengan dengan penerapan model pembelajaran guided discovery learning

diharapkan akan mempertinggi pencapaian hasil belajar siswa pada konsep laju reaksi yang ada di kelas XI (sebelas) semester 1.


(49)

Gambar 2.3 Bagan Kerangka Pikir

I. Hasil Penelitian yang Relevan

Adapun penelitian yang pernah dilakukan diantaranya:

1. Chanifah, dalam penelitiannya yang berjudul Perbandingan Penguasaan Konsep Siswa yang Menggunakan Metode Praktikum Penemuan (Discovery) dan Verifikasi, dalam kesimpulannya dikatakan bahwa metode praktikum penemuan (discovery) yang diterapkan di kelas eksperimen 1 memberikan hasil yang lebih baik, terbukti dengan rata-rata sebesar 78,75 dibanding dengan kelas eksperimen 2 yang menggunakan metode praktikum verifikasi dengan rata-rata sebesar 78,08.

2. Zulfa Amrina, dalam penelitiannya yang berjudul Studi tentang Hasil Belajar Matematika Siswa Yang Menggunakan Metode Penemuan dan

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar

Lingkungan non sosial

 Faktor fisiologis

 Faktor psikologis

Eksternal

Aspek kognitif, psikomotorik,

afektif Internal

Lingkungan sosial

Guided discovery learning

Model pembelajaran

Rumah Sekolah Peralatan

Hasil belajar

Potensi intelektual, motivasi intrinstik, heuristic discovery, memori


(50)

Metode Ekspositori dalam Kaitannya dengan Taraf Inteligensi Siswa, dalam kesimpulannya dikatakan bahwa terdapat interaksi antara metode penemuan dan metode ekspositori dengan taraf inteligensi siswa yang belajar. Berdasarkan analisis regresi diperoleh informasi bahwa siswa yang mempunyai taraf inteligensi diatas 99 lebih efektif diajar dengan menggunakan metode penemuan daripada dengan metode ekspositori. Sedangkan siswa yang mempunyai taraf inteligensi dibawah 99 lebih efektif diajar dengan menggunakan metode ekspositori daripada dengan metode penemuan.

3. Nur Rahmania, dalam penelitiannya yang berjudul Menumbuhkan Nilai-Nilai dalam Pembelajaran Sains (Nilai Religius dan Nilai Praktis) melalui Pendekatan Penemuan (Discovery) Terbimbing pada Konsep Sistem Sirkulasi, dalam kesimpulannya dikatakan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar biologi konsep sistem sirkulasi setelah dilakukan pembelajaran dengan pendekatan diskoveri terbimbing. 4. Bradford W. Mott, Scott W. McQuiggan, Sunyoung Lee, Seung Y. Lee,

and James C. Lester, dalam penelitiannya yang berjudul Narrative-Centered Environments for Guided Exploratory Learning, dalam kesimpulannya dikatakan bahwa Narrative-centered exploratory learning also raises fundamental education questions that call for empirical evaluation.

5. Heti Nurhayati, dalam penelitiannya yang berjudul Pembelajaran dengan Metode Diskoveri Terbimbing dalam Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Pokok Bahasan Asam Basa, dalam kesimpulannya dikatakan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar yang diajarkan dengan metode diskoveri terbimbing lebih baik dari siswa yang diajarkan dengan metode ceramah.


(51)

J. Pengajuan Hipotesis

Sebagai upaya untuk menemukan jawaban dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis sebagai jawaban sementara dari masalah yang telah dirumuskan.

Ho = Tidak terdapat pengaruh dalam penerapan model guided discovery learning terhadap hasil belajar siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional

Ha = Terdapat pengaruh dalam penerapan model guided discovery learning terhadap hasil belajar siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional


(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 72, jalan Prihatin No.1 komplek TNI-AL Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara. Pada kelas XI (sebelas) semester 1 tahun ajaran 2010-2011 yang dilaksanakan pada bulan September sampai bulan Oktober 2010

B. Metode dan Rancangan Penelitian 1. Metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Quasi Experiment, yaitu studi kelas tempat mengkondisikan perlakuan tidak memungkinkan pengontrolan yang demikian ketat seperti eksperimen sejati. Eksperimen ini disebut kuasi karena bukan merupakan eksperimen murni tetapi seperti murni, seolah-olah murni1. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas ini adalah model pembelajaran guided discovery learning. Sedangkan variabel terikatnya dalam penelitian ini adalah hasil belajar kimia siswa pada konsep laju reaksi.

2. Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model nonequivalent control group design yang dapat digambarkan sebagai berikut2:

1

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. kedelapan, h. 207

2

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), Cet. Kelimabelas, h. 89


(53)

Tabel 3.1 Desain Penelitian nonequivalent control group design

Kelompok Pretest Posttest

E X1 X2

K Y1 Y2

Keterangan :

E : Kelompok Eksperimen K : Kelompok Kontrol

X1 : Hasil tes kelas eksperimen sebelum diberikan perlakuan

X2 : Hasil tes kelas eksperimen sesudah perlakuan dengan model

pembelajaran guideddiscovery learning

Y1 : Hasil tes kelas kontrol sebelum diberikan perlakuan

Y2 : Hasil tes kelas kontrol dengan model konvensional

Prosedur :

a. Menggolongkan sampel menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

b. Mempertahankan semua kondisi untuk kedua kelompok agar tetap sama

c. Melaksanakan pretest untuk mengetahui pemahaman awal siswa d. Melaksanakan posttest untuk mengukur hasil belajar kimia siswa

setelah pembelajaran selesai

e. Menghitung perbedaan hasil posttest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menggunakan uji-t

f. Membandingkan perbedaan-perbedaan tersebut untuk menentukan apakah model pembelajaran guided discovery learning dengan pembelajaran model konvensional terdapat perbedaan yang signifikan.


(54)

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X, XI, XII SMAN 72 Jakarta Utara yang berjumlah 735 siswa, sedangkan populasi terjangkaunya adalah siswa kelas XI yang berjumlah 245 siswa.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti3, Sampel adalah seluruh siswa kelas XI-1 terdiri dari 34 siswa dan XI-2 terdiri dari 35 siswa. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

purposive sample atau sampel bertujuan. Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu4. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar.

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Tahap persiapan

Persiapan dilakukan yaitu berupa penyesuain waktu belajar di sekolah sesuai dengan satuan pelajaran atau alokasi waktu yang telah ditetapkan, juga berupa penyusunan materi yang akan diajarkan, setelah itu dilakukan pembuatan dan pengujian instrumen penelitian. 2. Tahap pelaksanaan

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Sepetember 2010 sampai Oktober 2010. Penelitian dilaksanakan oleh peneliti langsung untuk menguji hasil belajar kimia siswa dengan diberi perlakuan yang berbeda pada kelas eksperimen dan kontrol.

3

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet. ketigabelas, h. 131.

4

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.139.


(55)

3. Tahap evaluasi hasil belajar

Setelah pokok bahasan selesai diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran guided discovery learning pada kelas eksperimen dan menggunakan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol, maka diuji hasil belajar dari kedua kelas tersebut dengan menggunakan tes hasil belajar berupa soal pilihan ganda.

E. Variabel penelitian

Tabel 3.2 Variabel Penelitian

Variabel Penelitian Definisi Konseptual Definisi Operasional Variabel X

model pembelajaran

guided discovery learning

Pada guided discovery learning siswa didorong untuk belajar secara mandiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dan guru mendorong siswa

untuk mendapatkan

pengalaman dengan

melakukan kegiatan

yang memungkinkan

mereka menemukan

konsep dan prinsip-prinsip

Proses-proses mental atau kegiatan yang

dilakukan itu

melibatkan perumusan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,

melaksanakan eksprimen,

mengumpulkan dan

menganalisis data, serta menarik kesimpulan.


(56)

Variabel Y hasil belajar

Hasil belajar adalah

kemampuan-kemampuan yang

dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya

Untuk melihat

peningkatan hasil belajar siswa maka dilakukan penilaian berupa tes pemahaman siswa (kognitif) pada konsep laju reaksi

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang akan digunakan untuk mengukur hasil belajar kimia siswa yang berupa tes pencapaian (achievement test) terdiri dari tes obyektif bentuk pilihan ganda sebanyak 20 soal, dengan penskoran jika benar diberi skor 1 dan jika salah diberi skor 0. Hasil belajar yang diukur adalah aspek kognitif yang meliputi pengetahuan atau ingatan (C1), pemahaman (C2), aplikasi atau penerapan (C3), analisis (C4).

Sebelum instrumen tes dibuat, peneliti terlebih dahulu membuat kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi adalah suatu format atau matriks yang memuat kriteria tentang soal-soal yang diperlukan oleh suatu tes atau ujian5.

5

Ahmad Sofyan dkk, Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 93.


(57)

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Tes

Keterangan: *) validasi konstruk

Kisi-kisi disusun bertujuan untuk menjamin bahwa soal yang diberikan sesuai dengan tujuan yang hendak diukur. Untuk itu sebelum uji coba instrumen, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitasnya.

1. Validitas instrumen penelitian

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuai instrumen6. Dengan kata lain validitas berhubungan dengan sejauh mana suatu alat penilaian mampu mengukur apa yang seharusnya diukur.

6

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet. ketigabelas, h. 168.

Kompetensi

Dasar Indikator

Jenjang Kognitif

Ket

C1 C2 C3 C4

3.1 Mendeskrip sikan pengertian laju reaksi dengan melakukan percobaan tentang faktor-faktor yang mempengar uhi laju reaksi Mendefinisikan

molaritas 1,2,3* 3

Membuat larutan dengan satuan

molaritas

4*,5,

6,7 4

Menjelaskan pengertian laju reaksi

8 9,10,11

,12 5

Menghitung laju reaksi sederhana

13*,14

*,17,18 15,16 6

Menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi 19,21, 23,24 25,20,

22 7

Menganalisis percobaan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi 26,27*, 28*,29, 30* 5


(58)

Untuk mengukur validitas item, digunakan teknik analisis korelasi Point Biserial, dimana skor hasil tes untuk tiap butir soal dikorelasikan dengan skor hasil tes secara totalitas. Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien korelasi Point Biserial (rpbi)

adalah7:

rpbi =

q p St

Mt Mp

Keterangan :

rpbi : Koefisien korelasi point biserial

Mp : Mean skor pada tes yang memiliki jawaban benar Mt : Mean skor total

St : Standar deviasi dari skor total

P : Proporsi peserta tes yang menjawab benar q : Proporsi peserta tes yang menjawab salah

Kemudian dikonsultasikan dengan tabel product momen, apabila valid kemudian dicari reliabilitas dengan menggunakan rumus KR-20 dan dikonsultasikan dengan tabel product momen.

Untuk mengetahui valid atau tidaknya butir soal, maka hasil perhitunagn rpbi dibandingkan dengan rtabel jika perhitungan rpbi ≥ rtabel

product momen maka soal valid dan reliable. Jika hasil perhitungan rpbi

≤ rtabel maka soal tersebut dinyatakan tidak valid (Drop) dan tidak

reliabel.

7

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet. ketigabelas, h. 283.


(59)

2. Reliabilitas instrumen penelitian

Reliabilitas berkenaan dengan tingkat keajegan atau ketepatan hasil pengukuran8. Untuk mengetahui reliabilitas instrumen digunakan rumus Kuder-Richardson atau KR-20 yaitu9:

rii = 

            

Vt

pq Vt k k 1 Keterangan :

rii : Koefisien reliabilitas instrumen

k : Banyaknya butir pertanyaan

p : Proporsi subjek yang menjawab betul (proporsi subjek yang mendapat skor 1)

N 1 skornya yang subjek banyaknya p

Vt : Varians total

∑pq: Jumlah hasil perkalian p dan q 3. Taraf Kesukaran

Untuk mengetahui apakah soal tes yang diberikan tergolong mudah, sedang, atau sukar, digunakan rumus10:

I = N B

8

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. kedelapan, h. 229.

9

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet. ketigabelas, h. 188.

10

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), h. 137.

p) -1 (q 0 skkornya yang subjek banyaknya q  


(60)

Keterangan:

I = Indeks kesukaran untuk setipa butir soal B= Banyaknya siswa yag menjawab benar

N=Banyaknya siswa yang memberikan jawaban pada soal yang dimaksud.

Dengan ketentuan11: Antara 0,00 – 0,30 = Sukar Antara 0,31 – 0,70 = Sedang Antara 0,71 – 1,00 = Mudah

4. Daya Pembeda Soal

Analisis daya pembeda mengkaji butir-butir soal dengan tujuan untuk mengetahui kesanggupan soal dalam membedakan siswa yang tergolong mampu (tinggi prestasinya) dengan siswa yang tergolong kurang (lemah prestasinya). Cara menghitung daya pembeda adalah dengan menggunakan rumus12:

D = (Ba - Bb)/ 0,5N Keterangan :

D = Daya Pembeda

Ba= Jumlah yang menjawab benar pada kelompok atas Bb= Jumlah yang menjawab benar pada kelompok bawah N= Jumlah peserta tes

Adapun kriteria daya pembeda sebagai berikut: 0,00 – 0,20 = Buruk

0,21 – 0,40 = Cukup 0,41 – 0,70 = Baik

11

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), h. 137.

12

Ahmad Sofyan dkk, Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 104.


(1)

PERHITUNGAN NORMALIZED GAIN KELAS KONTROL

No Nama Siswa Pretest Posttest g N-gain Kategori

1 Anita Bella Dina 20 40 20 0,25 Rendah

2 Teguh P 15 40 25 0,29 Rendah

3 Debby Cynthia Anggraini 20 40 20 0,25 Rendah

4 Ali Zaenal Abidin 10 40 30 0,33 Sedang

5 Achmad Zainuddin 20 45 25 0,31 Sedang

6 Rizka Ziah 25 45 20 0,26 Rendah

7 Sabrina Ghaissani 15 45 30 0,35 Sedang

8 Ilham Wahyu Anugerah 15 45 30 0,35 Sedang

9 Listya Nurmalasari 20 45 25 0,31 Sedang

10 Hikmah 15 50 35 0,41 Sedang

11 Sari Hermawati 20 50 30 0,375 Sedang

12 M. Rizky 25 50 25 0,33 Sedang

13 Dwi Ringga Edwin Dian 20 50 30 0,375 Sedang

14 Agni Tristiani 20 50 30 0,375 Sedang

15 Ruby Rama Putra 15 50 35 0,41 Sedang

16 Nurul Anggraini 30 50 20 0,28 Rendah

17 Alam Tanzillah 25 50 25 0,33 Sedang

18 Kartika Apriyani 20 50 30 0,375 Sedang

19 Putri Ayu Salsabila 10 55 45 0,5 Sedang

20 Veronica 30 55 25 0,36 Sedang

21 Amelia Rahmawati 15 55 40 0,47 Sedang

22 Uswatun Hasanah 25 55 30 0,4 Sedang

23 Deny Gunawan T 35 55 20 0,31 Sedang

24 Ramdhan F Suwarman 15 55 40 0,47 Sedang

25 Yessica Suwandi 20 55 35 0,44 Sedang

26 Sri Nurmaningsih 25 55 30 0,4 Sedang

27 Aiz Nurotul Faizah 15 60 45 0,53 Sedang

28 M. Azwar 35 60 25 0,38 Sedang

29 Fitria Choirunnisa 25 60 35 0,46 Sedang

30 Malahayati 35 65 30 0,46 Sedang

31 Adryan Maulana S 20 65 45 0,56 Sedang

32 Maya Beauty A 30 65 35 0,5 Sedang

33 M. Rohman Nur Hakim 40 65 25 0,42 Sedang

34 Putri Hemalia 35 65 30 0,46 Sedang

35 Wiwin Widiyani 40 70 30 0,5 Sedang

Jumlah 800 1850 1050

Rata-rata 22,86 52,86 30


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)