27 memiliki sikap keprofesionalan orientasi profesional, terutama dalam
memecahkan suatu
masalah. Tenaga
profesional pasti
sikap keprofesionalannya orientasi profesional akan ikut berpartisipasi dalam
setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh tenaga profesional sesuai dengan pendidikan dan pekerjaaan yang dilakukannya dan diterimanya.
B. Definisi Konflik Peran
Ada beberapa pandangan mengenai definisi konflik peran, Robin 1996 dalam Listyani 2003 mendefinisikan konflik peran sebagai:
“Suatu situasi dimana seseorang individu dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan”.
Menurut Puspa dan Riyanto 1999 dalam Listyani 2003 mendefinisikan bahwa:
“Konflik peran merupakan suatu gejala psychologis yang dialami oleh anggota organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam
bekerja dan secara potensial bisa menurunkan motivasi kerja”.
Menurut Puspa dan Riyanto 1999 dalam Hernowo 2006:8 mendefinisikan tenaga kerja profesional adalah mereka yang telah terlatih
untuk melaksanakan tugas yang kompleks secara independen dan yang dalam memecahkan masalah yang timbul dalam pelaksanaan tugas ini dengan
menerapkan keahlian dan pengalamannya. Independensi profesional dan, secara umum sikap tenaga profesional dalam pelaksanaan tugas ini merupakan
cerminan dari norma-norma danatau kode etik profesinya. Norma dan aturan ini berfungsi sebagai petunjuk tentang the do’s hal-hal yang boleh dilakukan
28 dan the dont’s hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, bagi
seorang profesional, norma dan aturan ini berfungsi sebagai suatu mekanisme pengendalian yang akan menentukan kualitas pekerjaannya. Ini berarti bahwa
dalam diri seorang profesional terdapat suatu sistem nilai atau norma yang akan mengatur perilaku mereka dalam proses pelaksanaan tugaspekerjaan
mereka. Mekanisme pengendalian tugas yang didasarkan pada diri sendiri self
control ini kemungkinan besar akan berbenturan dengan mekanisme
pengendalian perusahaan yang dikembangkan oleh manajemen. Sikap kemandirian profesional dalam pelaksanaan tugasnya akan cenderung
membuat mereka “menuntut” penguasaan dan pengendalian secara penuh terdapat proses atau prosedur pelaksanaan tugas. Tuntutan pengendalian
proses ini tentu saja bertentangan dengan sistem pengendalian manajemen yang ditujukan untuk mengendalikan perilaku dan aktivitas mereka. Sistem
pengendalian manajemen diterapkan untuk mengurangi goal incongruence Puspa dan Riyanto, 1999 dalam Hernowo, 2006:9. Diharapkan dengan
adanya sistem pengendalian ini, manajemen akan berusaha untuk mensosialisasikan strategi, tujuan dan norma-norma yang akan diterapkan
dalam perusahaan. Benturan ke dua mekanisme pengendalian yang dialami oleh profesional
bekerja dalam suatu organisasi yang birokratis ini terwujud dalam bentuk konflik peran Role Conflict. Menurut Puspa dan Riyanto 1999 dalam
Hernowo 2006:9 konflik peran timbul karena adanya dua “perintah” yang
29 berbeda secara bersamaan dan melaksanakan salah satu perintah saja akan
menimbulkan terabainya perintah yang lain. Seorang profesional dalam melaksanakan tugasnya, terutama ketika menghadapi masalah tertentu, akan
sering menerima dua perintah sekaligus. Perintah yang pertama datangnya dari kode etik profesi, sedangkan perintah yang kedua datangnya dari sistem
pengendalian yang berlaku di perusahaan. Apabila profesional bertindak sesuai dengan kode etiknya maka ia akan merasa tidak berperan sebagai
karyawan perusahaan dengan baik. Sebaliknya, apabila ia bertindak sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh perusahaan, maka ia akan merasa telah
bertindak secara tidak profesional dimana hal tersebut bertentangan dengan kode etik profesinya. Kondisi yang seperti ini yang disebut sebagai konflik
peran role conflict yaitu suatu konflik yang timbul karena mekanisme pengendalian birokratis organisasi tidak sesuai dengan norma, aturan, etika,
dan kemandirian profesional Wolfe dan Snoke, 1962 dalam Listyani, 2003. Fenomena konflik peran seperti tersebut diatas bukanlah suatu fenomena
yang sifatnya ada atau tidak ada dikotomi, tetapi lebih merupakan suatu fenomena yang terjadi dalam tingkatan intensitas. Artinya suatu organisasi
pasti mengalami konflik peran, tetapi dengan derajat atau tingkat keseriusan permasalahannya yang berbeda.
Menurut Lurie 1981 dalam Puspa dan Riyanto 1999 menyatakan bahwa tingkat keinginan untuk mempertahankan sikap profesional berbeda-
beda antara satu pekerja profesional dengan pekerja profesional yang lain. Seperti dijelaskan di atas, bahwa manajemen bisa menggunakan sistem
30 pengendalian manajemen untuk mensosialisasikan strategi, tujuan, dan norma-
norma yang berlaku di perusahaan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan goal congruence
melalui peningkatan komitmen anggota organisasi. Proses sosialisasi ini akan bisa mempengaruhi mengurangi kemandirian atau
orientasi profesional seorang profesional. Sebagai konsekuensinya, para profesional akan merasa dirinya sebagai bagian dari organisasi atau individu
yang menerima kompensasi atas jasa yang diberikan kepada organisasi dan mulai melepas asosiasi mereka dengan norma, aturan dan kode etik profesi
dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas organisasi yang menjadi tanggung jawabnya. Ini berarti bahwa dalam memecahkan permasalahan yang
berhubungan dengan tugas yang diembannya, pertimbangan profesional akan lebih banyak didasarkan pada norma-norma, aturan dan kode etik perusahaan.
Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya konflik peran sangat rendah. Sebaliknya, bisa juga terjadi para profesional, meski mereka digaji oleh
perusahaan, tetap saja berusaha mempertahankan sikap dan kemandirian mereka dalam bekerja sebagai profesional. Mereka lebih senang comfortable
mengasosiasikan diri mereka dengan organisasi profesi mereka dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi adalah mereka lebih ingin menaati
norma, aturan dan kode etik profesi dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka temui dalam pelaksanaan tugas tersebut. Oleh karena itu, mereka
tidak begitu terpengaruh oleh proses sosialisasi yang dilakukan oleh manajemen. Kondisi seperti ini menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik
semakin besar.
31 Potensi munculnya konflik peran juga dipengaruhi oleh seberapa jauh
lingkungan pengendalian organisasi dimana profesional bekerja cenderung menekan otonomi mereka. Dominasi peran profesional dalam pelaksanaan
aktivitas inti perusahaan core activities sangat menentukan tingkat ancaman terhadap otonomi profesional Barley dan Tolbert, 1991 dalam Puspa dan
Riyanto, 1999. Semakin sering manajemen memerlukan keahlian profesional untuk memecahkan masalah atau persoalan-persoalan penting organisasi,
semakin tinggi bargaining power sikap keprofesionalannya terhadap kode etik profesi para profesional. Maka, semakin besar kemungkinan profesional
untuk memperoleh otonomi dalam pelaksanaan tugas dan semakin besar pula kesempatan profesional untuk bisa menggunakan mekanisme pengendalian
profesinya. Menurut Suwandi dan Indriantoro 1999 dalam Listyani 2003
menyatakan bahwa koordinasi arus kerja menyangkut seberapa baik berbagai aktivitas kerja yang saling berhubungan dapat dikoordinasikan dan seberapa
jauh individu mendapatkan informasi tentang kemajuan tugasnya. Kecukupan wewenang berhubungan dengan derajat penyediaan informasi yang akurat dan
tepat waktu sesuai dengan kebutuhan. Kemampuan adaptasi mengacu pada kemampuan untuk menangani perubahan keadaan dengan baik dan tepat
waktu. Sedangkan tanpa adanya struktur yang baku dapat dicontohkan dalam bentuk formulasi aturan dan prosedur yang komprehensif, maka auditor senior
berperan sangat penting dalam mengawasi pekerjaan bawahannya dan memberikan bantuan yang diperlukan. Kelemahan pengawasan oleh auditor
32 senior akan menyebabkan bawahan harus mengerjakan tugas tanpa pedoman
sehingga lebih cenderung menghadapi konflik peran. Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi antara orientasi
profesional pekerja dengan lingkungan pengendalian yang berlaku dalam organisasi akan menentukan tingkat konflik peran yang dialami oleh seorang
profesional. Pekerja profesional yang memiliki orientasi profesional yang kuat akan mengalami konflik peran yang besar apabila ia bekerja dalam organisasi
yang memiliki lingkungan pengendalian demokratis yang menekankan pada pencapaian target atau yang mengarahkan perilaku mereka pada suatu norma
tertentu. Sebaliknya, tenaga profesional yang bekerja dalam lingkungan pengendalian yang sesuai dengan kode etik profesi mereka, yaitu lingkungan
yang menekankan pada otonomi dan self-control, akan mengalami konflik peran yang rendah.
C. Kinerja Auditor