makin bertambah apabila pedagang tersebut masih ketururnan bangsawan. Penghormatan terhadap golongan pedagang biasanya dilihat dari besar kecilnya
usaha ataupun kaya atau tidaknya pedagang tersebut. Keempat,
golongan Pandeling
yaitu, mereka yang kehilangan kemerdekaan, akibat hutang-hutang yang tidak bisa mereka bayar. Biasanya
merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan saudagar, bila hutangnya lunas mereka menjadi orang-orang yang merdeka, disebut mardika. Selain itu
terdapat pula golongan budak yang berasal dari nasibnya dan sebagai tawanan perang. Susunan masyarakat tesebut merupakan susunan masyarakat sampai abad
XIX di Kesultanan Banjarmasin.
32
Dalam zaman perdagangan yang paling berperan dalam memainkan hak monopoli berada di tangan penguasa yaitu Sultan dan para pegawainya. Sultan
berperan sebagai penguasa atas barang yang dihasilkan oleh penduduk di pedalaman.
E. Perkembangan Agama Islam
Semenjak abad XVIII agama Islam menjadi agama resmi kerajaan.
33
Penerapan hukum Islam di Kesultanan Banjarmasin adalah sejalan dengan terbentuknya Kesultanan Banjarmasin dan dinobatkannya Sultan Suriansyah
sebagai raja pertama yang beragama Islam. Terbentuknya Kesultanan Banjarmasin menggantikan kerajaan Negara Daha yang beragama Hindu, dan
merubah menjadi kerajaan yang bercorak Islam.
32
Soeri Soeroto, Pergerakan Sosial dan Perang Banjarmasin, Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970 Jogyakarta, hlm. 4-5. lihat juga, Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, h. 62.
33
Lihat h. 30.
Islam terus berkembang, awal dari upaya Sultan Suriyansyah menyebarkan dan mengembangkan Islam secara luas kepada masyarakat ialah dengan
mendirikan sebuah Masjid. Namanya masjid “Sultan Suriyansyah” yang merupakan masjid pertama di Kesultanan Banjarmasin pada abad XVI. Masjid ini
berdiri hasil musyawarah Sultan dan para pembesar kesultanan masjid ini masih ada hingga kini di kampung Kuin, dan sudah beberapa kali dipugar.
34
Dalam hal ini sultan tidak bertindak atas kemauannya sendiri, tetapi dibatasi oleh para
petinggi kesultanan dan diatur dengan ketentuan kesultanan.
35
Hal yang penting dalam menyebarkan Islam adalah peran dari para Sultan Banjarmasin yang selalu menjadi tauladan rakyatnya yaitu antara lain dengan
senantiasa memakai nama-nama Islam dan bertindak sesuai dengan cara-cara Islam. Tersebarnya Islam di daerah ini tidak dengan paksaan maupun kekerasan.
36
Dengan berkuasanya Sultan dan didukung oleh para petinggi, maka Islam berkembang tanpa halangan melalui perdagangan, melalui jalan sungai yang
menghubungkan antara pedalaman dan kota pelabuhan Banjarmasin. Rakyat Kesultanan Banjarmasin yang letaknya di pedalaman dapat dikunjungi oleh para
pedagang yang juga merupakan guru agama, sehingga para petani, peternak dan nelayan dapat memeluk agama Islam.
37
Hasil dari penyebaran Islam bukan saja tampak dalam bidang politik, sosial, keagamaan, tetapi juga dalam bidang budaya. misalnya huruf Arab yang
digunakan dalam pelajaran membaca al-Qur’an dan menghafal bacaan shalat, juga digunakan untuk menulis perjanjian. Perjanjian yang dibuat antara sultan
34
Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, h. 35-36.
35
Ita Syamtasiyah Ahyat, Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin, Laporan Penelitian prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2009, h. 6.
36
Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, h. 40.
37
Ibid.
Banjarmasin dengan VOC dan Inggris pada abad XVII ditulis dengan huruf Arab Melayu.
Perkembangan Islam yang sangat berarti di Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII adalah di masa Sultan Natadilingga 1761-1801, yaitu dengan
datangnya seorang ulama besar yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, setelah menuntut ilmu di Haramayn. Dalam menyebarkan agama Islam Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat dukungan dari kesultanan. Ia mendapatkan segala sarana dan fasilitas dalam menyebarkan ajaran Islam.
38
Setelah dihadiahkan sebidang tanah oleh Sultan Natadilingga 1761-1801 di luar ibukota Kesultanan. Hal pertama yang dilakukan oleh Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari adalah mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang sangat penting untuk mendidik kaum Muslimin guna meningkatkan pemahaman
mereka atas ajaran-ajaran dan praktik-praktik Islam. Syekh Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahhab al-Bugisi, membangun sebuah pendidikan Islam yang
serupa dengan surau atau pesantren. Pusat pendidikan ini terdiri atas ruang-ruang untuk kuliah, pondokan para murid, rumah para guru dan perpustakaan.
39
Beberapa hasil pemikiranya telah menambah berkembangnya ajaran agama Islam di Banjarmasin, antar lain; a. mengajarkan ilmu agama kepada
masyarakat Banjarmasin, b. mengusulkan kepada sultan agar sultan mengangkat mufti dan qadi di kesultanan, dan mengangkat pengurus mesjid seperti khatib,
imam, muadzim dan penjaga mesjid, c. mengusulkan kepada sultan agar di kesultanan diberlakukan hukum Islam, bukan hanya terbatas pada hukum perdata
saja, tetapi juga hukum pidana Islam. Misalnya hukuman mati bagi pembunuh,
38
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII XVIII, h. 319.
39
Ibid.
potong tangan bagi pencuri, hukum cambuk bagi penzina, dan hukum mati bagi orang Islam yang murtad; d. untuk melakukan hukuman secara Islam tersebut, Ia
mengusulkan dibentuknya Mahkamah Syariah, semacam pengadilan tingkat banding, di samping lembaga keqadian. Untuk memimpin mahkamah syariah
ditunjuk seorang Mufti. Mufti pertama adalah Abu Za’ud anak al-Banjari.
40
Untuk kemudian sultan mengangkat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, sebagai
Musytasyar Kesultanan Mufti Besar Kesultanan untuk mendampingi sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Keberhasilan Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari dalam mendirikan pendidikan Islam telah melahirkan ulama- ulama baru yang turut serta dalam mengembangkan Islam dengan syiar dan
dakwah Islam di Kalimantan, di antaranya Syekh Syihabudin, Syekh Abu Za’ud keduanya putra al-Banjari, dan Syekh Muhammad As’ad cucu al-Banjari.
41
Selain hal di atas Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga telah menulis beberapa kitab ajaran-ajaran agama Islam yang murni dan benar sebagai pegangan
dan pedoman bagi umat Islam. Di antara kitab-kitabnya yang terkenal dan menjadi rujukan dakwah adalah, Kitab Usuluddin, Luqthatul AjIan fi Bayan Haid
wa istihadhati wa nifas al-Niswan kitab tentang Haid dan Nifas, Kitab Tuhfat
al-Raghibin pemberian bagi orang-orang yang gemar, kitab ini berisi tentang
masalah tauhid, Kitab al-Qawl al-Mukhtasar fi Alamat al-Mahdi al- Muntazar
kitab tentang ringkasan tanda-tanda datangnya Imam Mahdi, Kitab Ilmu Falak, Kitab al-Nikah, Kitab Kanzul Marifah, Kitab Sabil al-Muhtadin.
Kitab Perukunan rukun-rukun, yang tersimpul dalam rukun Islam dan rukun
40
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang 1994, h. 94.
41
Kesultanan Banjar Ensiklopedia Islam, h. 229.
Iman, merupakan bukti dari pengaruh Syekh Arsyad al-Banjari. Hingga kini kitab ini masih digunakan di kampung-kampung Banjarmasin.
42
Sebagai kata penutup dalam bab ini, maka telah dapat diketahui bahwa, Banjarmasin yang awalnya merupakan suatu kampung orang Melayu, menjadi
pelabuhan yang disinggahi oleh para pedagang-pedagang Muslim, menjadi kota Muslim dan berlanjut menjadi kota kerajaan. Kesultanan Banjarmasin yang
terletak di tepi pantai ini telah memungkinkan sekali terjadinya kontak sosial dalam masyarakat.
Sultan dan masyarakat mengembangkan agama Islam, dengan demikian agama Islam di Kesultanan Banjarmasin mangalami perkembangan yang cukup
menyeluruh di segala bidang, baik bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. terlebih lagi setelah kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, kesadaran
agama Islam di kalangan kerajaan dan penduduk awam telah diperdalam dengan intensitasnya yang besar sehingga melahirkan suatu perkembangan Islam di
Kesultanan Banjarmasin.
42
Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, h. 54.
44
BAB IV PERAN KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS