Demografi dan Mata Pencaharian Penduduk

akhir abad XVIII meliputi seluruh selatan dan timur Kalimantan, yaitu Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin. 6

B. Sumber Daya Alam

Potensi sumber daya alam yang dimiliki Kesultanan Banjarmasin cukup besar hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lapisan tanahnya yang banyak mengandung bahan tambang antara lain, intan dan emas. Intan misalnya terdapat di Martapura, emas di sepanjang sungai Bahan. Hasil-hasil hutannya adalah rotan, kayu besi, damar, sedangkan sarang burung terdapat di daerah pedalaman sekitar sungai Negara dan sungai Barito. Hasil-hasil pertaniannya adalah, lada, sayur- sayur yang terdapat di daerah Tanah Laut, Negara, Tabalong, dan Alai. Untuk cerana dan lilin terdapat di daerah Dusun dan Bakumpai. Beras terdapat di daerah Hulu sungai yaitu, daerah Benua Lima dan Margasari. Danau dan sungai banyak pula menghasilkan ikan, umpamanya dari danau Telaga, sungai Halalak, sungai Martapura, dan sungai Barito. Di samping hasil bumi terdapat pula kerajinan anyaman berupa tikar, dan kerajinan alat-alat rumah tangga di Tabalong. Pembuatan perahu terdapat di daerah Negara. Pembuatan senjata api dan senjata lainnya seperti keris, pisau dan mandau, terdapat di daerah sungai Barito dan sungai Negara. 7

C. Demografi dan Mata Pencaharian Penduduk

Untuk menentukan populasi penduduk di Banjarmasin pada awal abad XVIII sangat sulit sekali, karena dalam abad XVIII perhatian terhadap masalah 6 Ita Syamsitah, Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya 1825-1859, Skripsi Fakultas Ilmu Budaya: Universitas Indonesia, 1984, h. 1. 7 Saleh, Bandjarmasin, h. 25-27. kependudukan merupakan pemikiran teoritis belaka dan belum sampai pada usaha untuk melakukan pencacahan jumlah penduduk. 8 Laporan tentang jumlah penduduk di Banjarmasin baru dilakukan pada akhir abad XVIII, sekitar tahun 1790 ketika Kesultanan Banjarmasin berada di bawah kekuasaan VOC. Sersan F.J. Hartman, telah melaporkan bahwa populasi penduduk di Banjarmasin pada tahun 1790 sekitar 65.000 jiwa yang berada di sepanjang sungai Barito dan sungai Negara. Namun, menurut Han Knapen mungkin jumlahnya lebih besar lagi sekitar 100.000 jiwa, jika ditambahkan dengan populasi penduduk yang berada di anak sungai dari Negara dan Martapura. 9 Di wilayah pedalaman sepanjang anak sungai Teweh, Hartman melaporkan populasi penduduknya lebih sedikit sekitar 1.500 jiwa. 10 Penduduk tersebut terdiri dari berbagai macam suku bangsa yaitu, suku Dayak, Melayu, Bugis, Cina dan Jawa yang bercampur baur. Mereka menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, namun bahasa komunikasi ini bercampur dengan dialek asalnya. 11 Penduduk Banjarmasin yang tinggal di sepanjang sungai hingga yang berdiam di daerah cabang-cabang sungai yang jauh di pedalaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, masyarakat Banjarmasin hidup dengan cara bertani, berkebun, meramu hasil hutan, penambangan dan berdagang. Usaha-usaha pertanian, padi dan berjenis-jenis palawija, sudah sejak zaman kuno diusahakan oleh penduduk daerah dataran rendah aluvial sepanjang 8 P. Creutzberg, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, penerjemah: Kustiniyati Mochtar dkk., Jakarta: Obor, 1987, h. 8. 9 Han Knapen, Forest of Fortune? the Environmental History of Southeast Borneo, 1600- 1880, Leiden: KITLV Press, 2001, h. 107. 10 Ibid. 11 Syamsitah, Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya 1825-1859, h. 5. Lihat juga C.A.L.M. Schwaner, Borneo Beschrijving van het Stroomgebied van den Borneo en Reizen langs eenige voorname Rivieren van het Zuid Oostelijk Gedeelte van Dat Eiland, Amsterdam, 1853, h. 55. sungai Bahan dan cabangnya. Merekalah yang secara tradisional mencukupi kebutuhan akan bahan makanan bagi daerah sekitar Banjarmasin dan kota-kota pelabuhan lainnya. 12 Wilayah yang dijadikan persawahan, yaitu rawa sekittar sungai Barito bagian selatan. Bertani dan berkebun merupakan salah satu cara masyarakat Banjarmasin memanfaatkan sumber daya alamnya. Antara lain dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman, baik yang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk dijual ke luar kesultanan. Hal ini mencerminkan bahwa telah dikenalnya dua tipe kegiatan pertanian, yaitu kegiatan pertanian yang menggarap tanaman subsistem dan yang menggarap tanaman perdagangan. 13 hasil pertanian dan perkebunan di antaranya adalah beras, lada, sayur mayur, kopi dan lain-lain. 14 Selain bertani penduduk Banjarmasin juga memanfaatkan hasil hutannya. Karena luasnya areal hutan di Kalimantan Selatan adalah 2.013.600 ha, mengakibatkan penduduk memanfaatkan hasil hutan ini. Produk hasil hutan berupa kayu bulat, rotan, damar, jati dan lain-lain. Wilayah Banjarmasin juga mengandung bahan tambang yang sudah dikenal sejak lama ialah intan dan emas. Penambangan intan dan emas telah dilakukan secara turun temurun. Wilayah penambangan intan yang paling terkenal ialah Martapura dan emas adalah Tanah Laut. Di wilayah ini para penambang intan melakukan proses penambangan dengan dua cara, yang diistilahkan dengan, luang dalam lubang dalam dan luang surut lubang dangkal. Luang dalam 12 Untuk padi hanya cukup memenuhi keperluan daerah setempat, sedangkan untuk kebutuhan Banjarmasin dan wilayah-wilayah pantai, diperlukan impor dari luar. 13 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi Yogyakarta: Penerbit Aditya, 1991, h. 15. 14 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, h. 107. adalah penambangan yang dilakukan apabila lapisan batu-batu yang mengandung intan terletak di kedalaman lebih dari 3 meter di bawah permukaan tanah. Luang dangkal adalah apabila lapisan batu-batuan tersebut dalamnya kurang dari tiga meter. 15 Intan juga termasuk dalam penguasaan monopoli dari sultan, karena para pendulang intan diwajibkan untuk menjual intannya kepada para bangsawan yang mempunyai hak atas pungutan daerah tersebut dengan harga tertentu. 16 Khusus untuk intan-intan yang besar-besar wajib dijual kepada sultan sendiri dengan harga yang ditentukan terlebih dahulu. Biasanya sultan memiliki pertambangan intanya sendiri, jika ada yang menambang di tempat ini diperlukan izin dari sultan dan intan harus dijual kepada sultan. 17 Selain dari bertani, berkebun, dan penambangan, usaha perdagangan telah dilakukan oleh penduduk Banjarmasin. Usaha perdagangan besar dan menengah telah dilakukan oleh para bangsawan tinggi, pembesar-pembesar kerajaan dan kelas saudagar, di samping tentu saja saudagar-saudagar asing. 18 Para bangsawan tinggi dan pembesar kesultanan mungkin sekali menjadi pembeli tunggal atas barang-barang hasil produksi rakyat daerah yang dikuasainya, yang menjualnya kembali kepada kelas saudagar atau bangsawan yang akan mengekspornya ke luar, atau menjualnya ke pedagang asing. Kelompok kelas saudagar melakukan usaha perdagangan luar negeri, baik mengekspor barang-barang hasil produksi rakyat maupun mengimpor barang-barang kebutuhan rakyat, yang mereka lakukan 15 Ibid., h. 121. 16 A. Van der Ven, Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjarmasin TBG, IX, 1860, h. 112-113. 17 Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, h. 136. 18 Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan Banjarmasin: Fajar, 1953, h. 89-90. dengan kapal-kapal mereka sendiri. Usaha ekspor dan impor ini juga dilakukan oleh pedagang-pedagang pendatang, yaitu pedagang-pedagang Eropa, Cina, Jawa, Arab, dan lain-lain, tetapi mereka tidak pernah berhubungan dengan para produsen. 19

D. Iklim