Sekolah Kerja John Dewey

pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru, tanpa melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru mendominasi kegiatan belajar. Murid tanpa diberikan kebebasan sama sekali untuk bersikap dan berbuat. Segala sesuatu terletak di luar minat anak. 34 Keadaan semacam itu wajib diubah. Anak harus bekerja bersama- sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Dengan jalan ini anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Learning by doing adalah hal yang dikehendaki John Dewey dalam sekolah. Anak harus dididik kecerdasannya, agar padanya timbul hasrat untuk menyelidiki secara teratur dan akhirnya dapat berpikir secara keilmuan, obyektif dan logis. Yang diperhatikan adalah jalan berpikir, bukan yang dipikirkan. Jadi pendidikan formal bukan materil yang dialami sebagai pengalaman negatif haruslah disadari dan dijadikan suatu pengalaman positif dengan mengubah cara bertindak. d. Penyelenggara sekolah. Alat pelajaran dan peraturan di sekolah tradisional seakan-akan memaksa anak untuk pasif, dari segi perbuatan di sekolah yang begitu kaku maupun bentuk bangunan sekolah, rencana pelajaran, dan metode pelajaran. Hal tersebut bersifat mengikat, tidak memberikan kebebasan kepada anak maupun guru. Karena itu, sekolah terpisah dari rumah, alam sekitar, lingkungan hidup, perindustrian, perdagangan dan sebagainya. Tidak ada kesempatan untuk mengadakan penyelidikan survey dan percobaan. Jumlah mata pelajaran terlalu banyak dan dalam kelas terlalu banyak murid. Sekolah kerja harus menyelenggarakan dan mengatur sekolahnya agar anak dapat bekerja dengan bebas dan spontan. Gedung dan alat pengajaran wajib disesuaikan dengan tujuan itu antara berbagai tingkatan sekolah, dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi harus ada 34 Jalaluddin, Abdullah, loc. cit satu organisasi yang sama. 35 Pendapat John Dewey tentang sekolah kerja ini sesuai dengan prinsip filsafat aliran progressivisme mengenai pendidikan, tertera dalam tabel berikut ini: Teori Pendidikan menurut aliran progressivisme 36 No Komponen Keterangan 1 Hakekat Pendidikan  Menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuai inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntunan dari lingkungan 2 Tujuan Pendidikan  Siswa memiliki keterampilan, alat dan pengalaman sosial interaksi dengan lingkungan  Siswa memiliki kemampuan problem solving personal maupun sosial.  Tujuan pendidikan keseluruhan adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja. Bekerja secara sistematis, mencintai kerja dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak. 3 Kurikulum  Kurikulum dibangun dari pengalaman personal dan sosial siswa. 35 Soejono, op. cit., h. 137 36 Basuki As’adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta:Stain PO Press, 2010, Cet. I, h. 43-46  Ilmu sosial sebagai bidang inti untuk problem solving  Keterampilan komunikasi, proses matematika, scientific inquiry secara interdisipliner sebagai alat problem solving.  Buku sebagai alat proses belajar, bukan sebagai pengetahuan pokok  Kurikulum pendidikan progresif adalah kurikulum yang berisi dari Lester Dix adalah berisi studi tentang dirinya sendiri, studi tentang lingkungan sosial, studi tentang lingkngan alam dan studi tentang seni. 4 Metode  Metode belajar aktif. Metode pendidikan progresif lebih berupaya penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya.  Metode memonitor kegiatan belajar. Mengikuti proses kegiatan-kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan- bantuan tertentu apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar proses berlangsungnya kegiatan-kegiatan belajar tersebut.  Metode penelitian ilmiah. Pendidikan progresif merintis digunakannya metode penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep, sedangkan metode pemecahan masalah lebih tertuju pada pemecahan masalah-masalah kritis.  Pemerintahan pelajar. Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelajar dalam kehidupan sekolah student goverment dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah, sehingga pelajar diberikan kesempatan untuk turut serta dalam penyelenggaraan kehidupan di sekolah. 5 Pelajar  Pendidikan berpusat pada anak. Anak merupakan pusat dari keseluruhan kegiatan- kegiatan pendidikan. Sebab mengajar yang bermutu berarti aktivitas siswa, pengembangan kepribadian siswa, studi ilmiah tentang pendidikan dan latihan guru sebagai seniman pendidikan.  Anak adalah unik. Pendidikan progresif sangat memuliakan harkat dan martabat anak dalam pendidikan. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. Anak adalah anak yang sangat berbeda dengan orang dewasa. Setiap anak mempunyai individualitas sendiri; anak mempunyai alur pemikiran sendiri, mempunyai keinginan sendiri, mepunyai harapan-harapan dan kecemasan-kecemasan sendiri, yang berbeda dengan orang dewasa. Dengan demikian anak harus di perlakukan berbeda dari orang dewasa. 6 Pengajar  Pembimbing dalam proyek dan aktivitas problem solving.  Guru dalam melakukan tugasnya dalam praktek pendidikan berpusat pada anak peranan-peranan sebagai a Fasilitator, atau orang yang menyediakan dirinya untuk memberikan jalan bagi kelancaran proses belajar sendiri siswa; b Motivator, atau orang yang mampu membangkitkan minat siswa untuk terus belajar sendiri. c Konselor, atau orang yang dapat membantu siswa menemukan dan mengatasi sendiri masalah-masalah yang di hadapi setiap siswa dalam kegiatanya belajar sendiri. d guru mempunyai pemahaman yang baik tentang karakterristik siswa, dan teknik- teknik memimpin perkembangan siswa, serta kecintaan pada anak agar dapat melaksanakan peranan-peranan yang baik. Untuk itu guru harus sabar, fleksibel, interdisipliner, cerdas dan kreatif

C. Pendidikan Agama Islam

i. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang universal dalam kehidupan manusia. Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” menunjukan warna pendidikan tertentu, yakni pendidikan yang berwarna islam, pendidikan yang Islami yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam. Karena Islam merupakan agama yang menasibkan belajar sejak kecil, tanpa membedakan ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu alam, kecuali dari segi kebutuhan, kemampuan dan spesialisasi. Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. 37 Bilamana pendidikan diartikan sebagai latihan mental, moral dan fisik jasmaniah demi terbentuknya kepribadian yang utama. Maka makna dari pendidikan agama Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedoman seluruh aspek kegiatan manusia muslim baik duniawi maupun ukhrawi. Mengingat luasnya jangkauan yang harus digarap oleh pendidikan agama Islam, maka pendidikan Islam tidak menganut sistem tertutup melainkan terbuka tehadap tuntutan kesejahteraan umat manusia, baik tuntutan bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi maupun tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup rohaniah. Oleh karena itu ditinjau dari aspek pengamalannya pendidikan Islam berwatak akomodatif kepada tuntutan kemajuan zaman yang ruang lingkupnya berada di dalam kerangka acuan norma-norma kehidupan Islam. Hal demikian akan nampak jelas dan teorisasi pendidikan Islam yang dikembangkan. 38 Pendidikan agama Islam pada dasarnya merupakan salah satu mata pelajaran yang dikembangkan pada pendidikan dasar disamping mata pelajaran lainnya. Masing-masing mata pelajaran memuat pesan-pesan normative yang ditanamkan kepada peserta didik. 39 Guru pendidikan agama Islam yang profesionalisme tercermin dalam segala aktivitasnya sebagai murabbi, m u’allim, mursyid, mu’addib dan muddaris. Sebagai murabbiy ia akan berusaha mengembangkan potensi minat, bakat serta kemampuan secara optimal melalui kegiatan-kegiatan pene litian dan eksperimen di laboraturium. Sebagai mu’allim, ia akan mentransfer ilmu pengetahuanilai, serta melakukan penyerapan atau penghayatan ilmu ke dalam diri sendiri dan peserta didiknya, serta berusaha membangkitkan semangat dan motivasi mereka untuk 37 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, Cet. IX, h. 24 38 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 12 39 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Nuansa: 2003, Cet. I, h. 66 mengamalkannya. Sebagai mursyid, ia akan melakukan transinternalisasi akhla kkepribadian kepada peserta didik. Sebagai mu’addib, maka ia sadar eksistensinya sebagai guru agama Islam memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan melalui pendidikan. Sebagai muddaris, ia berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan dan memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka baik melalui kegiatan pendidikan, pengajaran maupun pelatihan. 40 Dapat diketahui bahwa guru agama Islam tidak hanya sekedar untuk mengembangkan aspek-aspek individualisasi dan sosialisasi, melainkan juga mengarahkan perkembangan kemampuan dasar tersebut kepada pola hidup yang dihajatkan manusia dalam bidang duniawiyah dan ukhrawiyah, dalam bidang fisik dan mental yang harmonis. Oeh karena itu, keharusan pendidikan itu sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan yang antara lain: 41 a. Aspek pedagogis b. Aspek psikologis c. Aspek sosiologi dan kultural d. Aspek filosofis e. Aspek agama ii. Tujuan Pendidikan Agama Islam a. Untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia Muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya kepada Allah SWT. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 40 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Islam di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta:Bulan Bintang, 1996, h. 21 41 Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, Cet. V, h. 12 b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi tasamuh, menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah. c. Untuk berkembangnya kemampuan perserta didik dalam mengembangkan, memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. d. Untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut serta meningkatkan tata cara membaca al- Qur’an dan tajwid sampai kepada tata cara menerapkan hukum bacaan mad dan wakaf. iii. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam 42 a. Hubungan manusia dengan Allah SWT. Program pengajarannya meliputi segi iman, Islam dan ihsan b. Hubungan Manusia dengan sesama manusia. Program pengajarannya berkisar pada pengaturan dan kewajiban antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat, dan mencakup segi kewajiban dan larangan dalam hubungan dengan sesama manusia. c. Hubungan manusia dengan alam makhluk selain manusia dan lingkungan. Sebagai Khalifah di bumi manusia bertugas mengolah dan memanfaatkan alam yang telah dianugerahkan Allah menurut kepentingannya sesuai dengan garis-garis yang telah ditentukan agama.

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan kajian yang relevan selama proses penelitian dan beberapa skripsi diantaranya: 42 M. Arifin, op. cit., h. 23 1. Nanda Putri Pratiwi 167016100971, Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching Learning CTL Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Bioteknologi Sederhana, 2013. Penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat pengaruh pendekatan kontekstual Contextual Teaching Learning terhadap hasil belajar siswa pada konsep bioteknologi sederhana. Rata-rata nilai posttest kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata posttest kelompok kontrol yakni 84,61 53,31 dengan = 10,7 dan = 1,67. 43 2. Eti sumiati 809018300028, Penerapan Model CTL Contextual Teaching Learning dalam Pembelajaran IPA pada Materi Energi dan Perubahannya Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa PTK di Kelas IV MI Ghidaul Athfal Kota Sukabumi, 2012. Penelitian ini menjelaskan bahwa penerapan Model CTL Contextual Teaching Learning dalam pembelajaran IPA pada materi energi dan perubahannya terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV Ghidaul Athfal Kota Sukabumi. Peningkatan hasil belajar IPA siswa kelas IV Ghidaul Athfal Kota Sukabumi setelah dilaksanakan tindakan pembelajaran dengan menerapkan model CTL, dapat meningkatkan dari posttes akhir siklus I 70,83 dengan penelitian akhir siklus II sebesar 84,17. 44 3. Isti Pramita 106017000496, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Induktif Matematik Melalui Pendekatan Contextual Teaching Learning PTK di SMKN 3 Bekasi, 2011. Penelitian ini menjelaskan bahwa penggunaaan pendekatan CTL dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan penalaran induktif matematik siswa. Hal ini terlihat dari peningkatan rata-rata hasil tes kemampuan penalaran induktif sebesar 62,2 pada siklus I menjadi 75,3 pada siklus II. Kemampuan penalaran induktif yang meningkat dengan pendekatan CTL meliputi kemampuan menarik kesimpulan, kemampuan mengajukan dugaan, serta 43 Nanda Putri Pratiwi, “Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching Learning CTL Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Bioteknologi Sederhana ,” Skripsi pada Program Studi Pendidikan Biologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: 2013, h. 62 44 Isti Pramita, “Meningkatkan Kemampuan Penalaran Induktif Matematik Melalui Pendekatan Contextual Teaching Learning PTK di SMKN 3 Bekasi,” Skripsi pada Program Studi Pendidikan Matematika di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: 2011, h. 99