Tabel 9. Matriks Persepsi Pedagang Beras Terhadap Dampak Ritel Modern

70 71 Dinamika Produktivitas Padi Ditinjau dari Fluktuasi Susut Hasil serta Faktor Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Mempengaruhinya Dynamics of Rice Productivity Seen from Fluctuation of Rice Yield Losses and Social, Economic and Cultural Factors that Determine Its Elly Rasmikayati 1 , Asep Faisal 2 1 Departemen Sosektan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor 2 Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura , Kota Bandung A B S T R A K Kata Kunci: Produktivitas padi Susut hasil padi Faktor sosial Faktor ekonomi Faktor budaya Upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan dalam rangka mencapai swasembada pangan masih terus dilakukan. Namun di sisi lain, kehilangan akibat tingkat susut hasil padi yang tinggi menjadi salah satu permasalahan nyata yang harus segera diatasi. Tujuan dari artikel ini adalah mengidentifikasi dinamika produktivitas padi Jawa Barat, memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di Jawa Barat dan mengidentifikasi faktor- faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil padi. Metode yang digunakan adalah two-phase mixed method . Hasil penelitian mengungkapkan terjadinya fluktuasi yang lebih tajam dan laju pertumbuhan yang lebih lambat pada produtivitas padi Jawa Barat dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian dinamika variasi susut hasil di Jawa Barat masih cukup memprihatinkan dan belum ada kecenderungan untuk turun, selama kurun waktu 3 tahun selalu berada di level tertinggi pada 11,46 . Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor non teknis yang menjadi determinan terhadap susut hasil padi yaitu faktor pendapatan usahatani, luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan. Implikasi kebijakan untuk mengatasi tingkat susut hasil gabah dan beras antara lain mendorong petani untuk lebih memperhatian pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca panen padi untuk menurunkan susut hasil. Memberikan bantuan modal untuk petani yang luas lahannya kurang dari 0,7 hektar. Melakukan pendekatan budaya untuk merubah perilaku panen dan pasca panen petani ke arah yang lebih baik namun tidak mengakibatkan disharmoni diantara petani dan buruh tani buruh panen. Memodernisasi penanganan panen dan pasca panen melalui pemberian bantuan fasilitas alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II Phase dan bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya. ABSTRACT Keywords: Rice productivity Rice yield losses Social factor Economics factor Culture factor Government efforts to increase food production in order to achieve food self- sufficiency is still underway. But on the other hand, the loss due to high yield losses of rice to be one of the real problems that must be addressed immediately. The purpose of this article is to reveal the dynamics rice production in West Java, reveal the dynamics of variation of losses rice result in West Java, and identifies non-technical factors that influence rice yield losses. The method used is a two-phase mixed method. Results of the study revealed that occur the sharper fluctuation and slower growth rate in rice productifity in West Java compared to Central Java and East Java, then the dynamics of the variation of losses results in West Java is still quite alarming and there is no tendency to go down, during a period of 3 years has always been at the highest level at 11.46. The path analysis result showed that there are non-technical factors that determine r ice yield losses including farm income, land area, feelings, norms and milling factors. The implication policies to overcome r ice yield losses are encouraging farmers to pay more attention for the cost of harvestpost-harvest treatment to reduce rice yield losses. Give the financial aid for farmers with land area below 0.7 hectares. Perform a cultural approaches to change behavior of harvest and post-harvest farmers towa rds the better, but do not lead to disharmony among farmers and farm workers harvest laborers. Modernize the ha rvest and post-harvest handling through the provision of facilities alsintan especially revitalizing rice milling from Phase I into Phase II and technical guidance to improve the quality of its human resources. Korespondensi Penulis Alamat e-mail: elly.agriyahoo.co.id 72 PENDAHULUAN Pertambahan penduduk selalu berdampak pada peningkatan kebutuhan akan pangan, hal ini mendorong berbagai upaya untuk meningkatkan produksi pangan. Dalam upaya meningkatkan swasembada pangan khususnya beras, saat ini pemerintah sedang melakukan berbagai upaya peningkatan produksi beras melalui perluasan areal dan optimalisasi lahan, peningkatan produktivitas padi melalui bantuan benih, pupuk, alat mesin pertanian dan revitalisasi penggilingan padi dan upaya-upaya lainnya. Dalam 10 tahun terakhir 2004-2014, Jawa Barat merupakan penyumbang produksi padi terbesar kedua setelah Jawa Timur dengan rata-rata produksinya sebesar 10.775.158 ton per tahun. Berdasarkan Gambar 1, yang paling mencolok adalah produksi padi Jawa Barat tahun 2009-2011 yang lebih besar dari Jawa Timur, bahkan pada tahun 2011 pada saat Jawa Timur dan Jawa Tengah mengalami penurunan produksi yang sangat mencolok, Jawa Barat hanya mengalami penurunan yang sangat sedikit. Namun demikian dari 2012 sampai sekarang, produksi padi Jawa Timur selalu di atas Jawa Barat dengan selisih yang terlihat cukup mencolok. Gambar 1. Grafik Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur periode 2004-2014 Sumber: Data BPS, diolah 2015 Turunnya produktivitas Jawa Barat dibandingkan Jawa Timur ini bisa disebabkan oleh banyak faktor diantaranya karena tidak maksimalnya penggunaan input pertanian seperti benih, pupuk, pestisida dan teknologi produksi lainnya. Selain itu fenomena perubahan iklim juga turut mempengaruhinya. Menurut Rasmikayati 2014 terdapat kecenderungan bahwa tindakan adiptif dan mitigatif terhadap perubahan iklim petani Jawa Timur lebih baik dari pada Jawa Barat. Penyebab lain yang sangat rasional adalah terjadinya susut hasil padi yang cukup tinggi di Jawa Barat. Susut hasil dapat terjadi sejak panen hingga pascapanen. Panen dan pascapanen padi adalah tahapan kegiatan yang meliputi pemungutan pemanenan malai padi, perontokan, pembersihan, pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan sampai beras siap dipasarkan atau dikonsumsi. Apabila susut hasil dapat ditekan serendah mungkin, maka upaya peningkatan produksi padi dan beras dapat dicapai lebih efektif serta tidak akan mengeluarkan biaya yang terlalu besar. Hasil penelitian Setyono 2008 menunjukkan bahwa Jawa Barat dibandingkan dengan Jawa Tengah, Lampung, Bali dan Kalimantan Selatan masih tertinggi persentase susut hasil padinya. Dengan persentase susut hasil Jawa Barat yang diatas 10 ini merupakan angka yang sangat tinggi dan jelas akan berdampak pada jumlah produksi padi yang dihasilkan Jawa Barat. Tabel 1. Perbandingan Susut Hasil, Jabar, Jateng, Lampung, Bali dan Kalsel Tahapan Persentase Susut Hasil Jabar Jateng Lampung Bali Kalsel Panen 3,56 1,88 2,80 1,34 1,53 Perontokan 3,64 2,85 4,45 4,20 0,32 Pembersihan - 0,65 1,52 - - Pengangkutan 1,13 0,49 1,40 0,67 1,46 Pengeringan 1,82 2,18 1,49 1,90 1,15 Penggilingan 2,14 2,57 1,51 1,22 1,58 Penyimpanan 1,65 - - 1,75 1,35 Jumlah 13,94 10,62 13,24 11,08 7,39 Sumber: Setyono, 2008 , Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya terus berupaya untuk menekan persentase susut hasil ini melalui bantuan fasilitasi alat dan mesin pertanian alsintan serta bimbingan tehnis penanganan panen dan pascapanen dengan target agar susut hasil gabah dan beras dapat ditekan untuk mencapai target 1 per tahun. Namun faktanya susut hasil berfluktuasi dan kalaupun turun jarang mencapai angka 1. Dengan demikian, upaya-upaya pemerintah dalam menekan susut hasil padi ini belum begitu berjalan dengan baik ditingkat petani, Kelompok Tani maupun Gapoktan. Hal itu menunjukan bahwa selain faktor teknis terdapat juga faktor-faktor non teknis yang mempengaruhi tingginya persentase susut hasil padi dan beras. Faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat petani merupakan faktor-faktor non teknis yang mungkin dapat mempengaruhi perilaku petani, buruh tani, maupun penggarap. Sistem sosial ekonomi dan budaya ini sukar untuk berubah, meskipun berbagai introduksi teknologi maupun inovasi baru terus dilakukan, dahulu adanya penolakan mekanisasi di beberapa daerah misalnya. Kemudian sistem panen keroyokan, pengasag, remi, odong-odong, dan ngeprek merupakan salah satu budaya dari masyarakat petani yang masih terjadi sampai saat ini. 73 Pemilik lahan, petani, petani penyakap atau petani penggarap tidak bisa mencegah perilaku tersebut karena itu telah ada dan merupakan budaya dari masyarakat petani. Pertanyataannya adalah faktor- faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi tingginya persentase susut hasil padi dan beras. Selanjutnya, dari Tabel 1 didapatkan bahwa rata-rata persentase susut hasil padi berdasarkan hasil penelitian Setyono 2008 adalah sebesar 13,94 . Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kita telah kehilangan hasil produksi padi dengan angka yang cukup besar. Kehilangan produksi padi ini harus dicegah atau diturunkan sampai seminimal mungkin agar dapat mencapai peningkatan produksi. Oleh karena itu tujuan dari artikel ini adalah 1 Memaparkan dinamika dan komparasi produktivitas padi Jawa Barat dari dahulu hingga saat ini; 2 Memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di Jawa Barat; dan 3 Mengidentifikasi faktor-faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil padi sehingga dari sini kita dapat menentukan implikasi kebijakan untuk mengatasi susut hasil. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Jawa Barat memang masih merupakan provinsi yang termasuk ke dalam 3 besar provinsi penyumbang produksi padi nasional. Namun demikian produksi padinya selalu mengalami fluktuasi naik turun. Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi penyebabnya diantaranya tidak maksimalnya input pertanian yang digunakan, terjadinya fenomena perubahan iklim dan yang terakhir adalah angka susut hasil padi Jawa Barat yang cukup besar. Untuk mengatasi susut hasil ini berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya masih jauh dari target. Faktor-faktor non teknis seperti faktor sosial, ekonomi, budaya seperti: umur, pendidikan, pendapatan, luas lahan, pengalaman berusahatani, pengawasan, perasaan, kepercayaan, sangsi sosial, norma dan sikap mempengaruhi perilaku petani dalam melaksanakan penanganan panen dan pasca panen gabah dan beras. Kemudian juga teknologi petani mempengaruhi perilaku petani dalam melaksanakan penanganan panen dan pasca panen gabah dan bears. Hal itu tercermin dari masih tingginya persentase susut hasil padi dan beras, meskipun inovasi dan teknologi dalam bentuk bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen gabah dan beras mulai panen, perontokan, pengeringan dan pengggilingan setiap tahun diadakan, begitu juga fasilitasi alsintan panen dan pasca panen padi dan beras yang terus dilaksanakan setiap tahun. Menurut Setyono 2008 titik kritis susut hasil padi dan terletak pada sistem pemanen dan perontokan. Berdasarkan hal tersebut, perbaikan sistem penerapan panen dan pasca panen padi dan beras dalam upaya menekan susut hasil gabah dan beras harus mencakup seluruh sistem agribisnis dan aspek teknis, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan petani kelompok tani Gapoktan setempat. Perbaikan tersebut harus menguntungkan semua pihak yang terlibat, baik petani pemilik, buruh panen, dan pengusaha jasa panen dan perontok. Dengan demikian, diperlukan pendekatan yang menyeluruh terhadap komponen-komponen sistem agar dapat menemukan sifat-sifat penting dalam sistem, sehingga diperoleh berbagai alternatif perbaikan keluaran yang dikehendaki. Karena itu, strategi untuk mengatasi susut hasil ini harus lebih dilihat dari bagaimana cara mengatasi faktor-faktor non teknis petani itu sendiri. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah two- phase mixed method Creswell et. al ., 2008. Fase pertama pada metode ini dimulai dengan pengumpulan literatur-literatur berupa dokumentasi berbagai instansi terkait seperti Dinas Pertanian, BPS dan instansi lainnya serta hasil-hasil penelitian dengan topik yang sama mengenai produktivitas dan susut hasil padi lalu dibandingkan dan dikaji secara mendalam untuk menggambarkan dinamika produktivitas dan variasi susut hasil padi di Jawa Barat. Selanjutnya pada fase berikutnya digunakan data hasil survey pada daerah yang lebih spesifik untuk menghitung susut hasil dan menentukan faktor-faktor non teknis yang menentukan susut hasil padi. Data tersebut adalah data yang bersumber dari petani yang melakukan panen, perontokan, pengeringan dan penggilingan padi di kabupaten Indramayu pada musim tanam 20142015. Data mengenai susut hasil didapatkan dengan pengujianpengukuran langsung di sawah milik petani yang bersangkutan, sedangkan data mengenai faktor-faktor non teknis didapatkan melalui wawancara. Penghitungan susut hasil mengikuti prosedur baku yang telah dikembangkan oleh BPS dan Deptan 2008. Rumus penghitungan susut hasil merupakan penjumlahan dari susut saat melakukan panen, susut saat melakukan perontokan, susut pengeringan dan susut penggilingan. Metode analisis yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi susut hasil adalah analisis jalur path analysis dengan persamaan struktural yang berisi 15 buah variabel eksogen , , … , dan sebuah variabel endogen yaitu persamaan struktural tersebut adalah: 74 = � �. + � �. + ⋯ + � �. + Є Keterangan : = Susut hasil gabah dan beras kg = umur tahun = Pendidikan = Pengalaman usahatani tahun = Tingkat pendapatan Rp = Luas lahan hektar = Pengawasan = Perasaan = Sanksi sosial = Norma = Sikap = Perontokkan = Pengeringan = Penggilingan � �. = Koefisisen beta dari sampai Є = Kesalahan disturbance term Selanjutnya, untuk menyusun strategi menanggulangi susut hasil gabah dan beras akibat dari faktor-faktor non teknis seperti perilaku sosial ekonomi, budaya dan teknologi petani pada setiap tahapanya, dilakukan analisis kualitatif dengan mengacu kepada identifikasi perilaku sosial ekonomi, budaya dan teknologi petani dalam melaksanakan panen dan pasca panen yang signifikan mempengaruhi susut hasil kemudian dilakukan kajian lebih mendalam dengan analisis kebijakan Timberben. HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Produksi Padi Jawa Barat Jawa Barat merupakan salah satu sentra utama padi nasional, kontribusinya pada tahun 2014 sekitar 16 . Rata-rata produksi padi Jawa Barat selama 1993-2014 tahun terakhir ini adalah sebesar 10.994.835 ton per tahun dengan rata-rata luas area panen seluas 1.927.089 hektar dan rata-rata produktivitas sebesar 5,70 tonhektar. Dalam hal produktivitas padi seperti tersaji pada Gambar 2, selama periode 1993-2014 rata-rata produktivitas padi Jawa Barat adalah 5,29 tonhektar dengan standard deviation sebesar 0,43 tonhektar. Jawa Tengah juga mempunyai rata-rata produktivitas padi yang hampir sama yaitu 5,285 tonhektar namun mempunyai standard deviation yang lebih kecil yaitu 0,22 tonhektar, ini menandakan variasi naik turunnya produktivitas padi Jawa Barat lebih berfluktuasi dari pada Jawa Tengah. Selanjutnya Jawa Timur adalah provinsi dengan rata-rata produktivitas padi paling tinggi yaitu 5,44 tonhektar dengan standard deviation sebesar 0,35 tonhektar di mana angka ini lebih kecil dari Jawa Barat. Gambar 2. Garafik Produktivitas Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur periode 1993-2014 dalam kuintal per hektar Sumber: Data BPS, diolah 2015 Dengan rata-rata produktivitas yang lebih kecil dan standard deviation yang lebih besar dari Jawa Timur mengindikasian bahwa terdapat penurunan produktivitas padi yang sangat tajam atau laju pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat di Jawa Barat. Seperti pada tahun 1998 di mana hampir semua daerah mengalami penurunan produktivitas namun Jawa Barat mengalami penurunan produktivitas yang sangat tajam hingga hanya mencapai 4,5 tonhektar. Jawa Barat sebenarnya awalnya pada tahun 1993 merupakan yang paling rendah produktivitasnya diantara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun walaupun saat ini produktivitas Jawa Barat masih lebih rendah dibandingkan Jawa Timur namun saat ini sudah lebih tinggi dari Jawa Tengah. Dinamika Variasi Susut Hasil Padi Persentase susut hasil padi di Jawa Barat ditunjukkan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Persentase Susut Hasil Padi di Jawa Barat Tahun 2009, 2010, dan 2011 Tahapan Persentase Susut Hasil Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Panen 3.48 2.29 3.07 Perontokan 3.82 3.06 3.2 Pengeringan 2.35 3.31 3.06 Penggilingan 1.69 2.39 2.13 Jumlah 11.34 11.05 11.46 Sumber: Diperta Provinsi Jawa Barat, 2012 Dengan tingkat susut hasil sebesar 11,46, gabah yang tercecer sebesar 1.447.138,4 ton berasal pada saat panen 387.671,44 ton GKP, perontokan 404.087,51 ton GKP, pengeringan 386.408,68 ton GKP dan penggilingan 268.970,75 ton GKG. Susut hasil ini, jika dikonversikan ke dalam luas areal sawah dengan rata-rata produksi Gabah Kering Panen GKP di Jawa Barat yang sebesar 5,6 ton per hektar sama dengan 258.417,5 ha sawah tidak 75 dipanen. Kemudian jika dikonversikan ke dalam Harga Pembelian Petani HPP GKP Rp 3.300 ditingkat petani dan GKG Rp 4.200 per kg di Perum BULOG Inpres No.3. Tahun 2012 dari panen, perontokan dan pengeringan, Gabah Kering Panen GKP yang tercecer setara dengan Rp 3,887,953,179,000,-, sedangkan untuk penggilingan Gabah Kering Giling yang tercecer GKG setara dengan Rp 1,129,677,150,000,-. Berdasarkan Tabel 2, dinamika variasi susut hasil cenderung relative tetap pada level 11 - 12 dengan standard deviation sebesar 0,21 . Angka ini jelas masih terlalu tinggi dan belum terlihat kecenderungan untuk menurun. Maka dari itu, angka susut hasil ini harus segera diturunkan agar program peningkatan produksi padi di Jawa Barat dapat berjalan lebih efisien dan efektif. Selain itu, jika permasalahan susut hasil padi di Jawa Barat yang angkanya cukup tinggi ini dapat diatasi dengan baik maka produktivitas padi Jawa Barat dapat lebih baik lagi dan berpeluang untuk mengungguli Jawa Timur. Dinamika Produktivitas dan Susut Hasil di Indramayu Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten penghasil padi terbesar di Jawa Barat. Selama periode 2009-2013, rata-rata produksi padi Indramayu adalah 1.311.664 ton, disusul oleh kabupaten Karawang dan Subang dengan 1.098.891 ton dan 1.013.195 ton Disperta Jabar, 2014. Gambar 2. Grafik Produktivitas Padi Kabupaten Indramayu, Subang dan Karawang periode 2009-2013 dalam kuintal per hektar Sumber: Disperta Provinsi Jawa Barat, diolah 2015 Gambar 2 menunjukkan bahwa dalam hal produktivitas padi, Kabupaten Indramayu memiliki rata-rata produktivitas tertinggi. Selama periode 2009-2013 angkanya mencapai 6,09 tonhektar di atas Karawang dan Subang yang masing-masing sebesar 5,98 tonhektar dan 5,86 tonhektar. Namun demikian, jika dilihat dari nilai standard deviation produktivitasnya dalam periode yang sama, Indramayu memiliki nilai standard deviation yang lebih besar dari pada Karawang dan Subang. Nilai standard deviation produktivitas padi Indramayu adalah 0,25 tonhektar, Subang sebesar 0,23 tonhektar dan Karawang sebesar 0,12. Dalam hal ini Kabupaten Indramayu adalah yang paling tinggi fluktuasi naik turunnya. Kejadian susut hasil tidak bisa dikecualikan sebagai salah satu penyebabnya. Untuk itu, hasil survey mengenai susut hasil di Indramayu akan dipaparkan dan dianalisis lebih jauh. Hasil penghitungan susut hasil di Kabupaten Indramayu disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Hasil Penghitungan Susut Hasil di Kabupaten Indramayu Statistik Susut Hasil kg Panen Perontokan Pengeringan Penggilingan Rata-rata 2.68 13.43 0.47 0.034 Simpangan baku 1.92 4.27 1.99 0.045 Sumber: Data Primer diolah, 2015 Faktor utama dari masih tinginya susut hasil gabah pada saat panen disebabkan petani masih mengunakan sistem keroyokan. Dalam sistem keroyokan berkisar antara 20 - 30 orang pemanen yang seringkali dilakukan malam hari pemanen dengan menggunakan sabit biasa berebut memotong padi, akibatnya banyak rumpun padi yang terinjak dan patah. Pengunaan sabit biasa menyebabkan tekanan terhadap rumpun padi sangat besar ketika batang padi dipotong sehingga banyak butir gabah yang jatuh. Berbeda halnya jika menggunakan sabit bergerigi, karena tekanan terhadap rumpun padi ketika batang padi dipotong lebih rendah daripada sabit biasa. Menurut Damarjati et al, 1990 sabit bergerigi bisa menekan kehilangan hasil pada saat pemotongan padi sebesar 3. Selain itu, padi yang telah dipanen dikumpulkan ditengah sawah dengan alas terpal plastik untuk dirontokan di pagi hari, penundaan perontokan ini akan mempengaruhi kualitas gabah dan peningkatkan risiko kehilangan hasil. Berdasarkan Tabel 3, rata-rata susut hasil pada saat perontokan adalah yang paling tinggi dibandingkan tahapan lainnya. Hal ini terjadi karena di lokasi penelitian atau umumnya di Indramayu padi dirontokan dengan alat banting bertirai tanpa penghalang, jumlah batang padi seringkali lebih besar dari genggaman tangan sehingga tidak terbanting dengan baik, jumlah bantingan antara 2-4 kali sehingga masih terdapat butir padi yang menempel di malainya dan batang padi yang berjatuhan. Selain itu, ketika panen berakhir diikuti oleh pengeprek padi diorek-orek atau remi ngorek- 76 nogrek jerami yang di drop per mobil antara 10-15 orang yang berasal dari Desa sekitarnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Momo 34 tahun 2013 salah satu pengeprek hasilnya dapat mencapai 30-60 kg per bau gabah bernas per orangnya. Hasil ngeprek dijual kepada bandar pemilik mobil dengan harga Rp 3000 - Rp 3500 per kg. Ngeprek sudah menjadi kebiasaan di Indramayu dan jika pemilik sawah melarang maka seringkali padi yang siap panen diganggu. Kemudian pada proses pengeringan, padi dikeringkan ditengah sawah atau atau dihalaman rumah, sambil dijemur biasa dibersihkan. Petani menggunakan karung plastik atau terpal plastik sebagai alasnya. Disamping terjadi susut hasil karena tercecer juga seringkali adanya gangguan dari burung dan ayam yang biasa berkeliaran disekitar rumah. Namun demikian dari Tabel 2 didapatkan nilai simpangan baku susut hasil pengeringan sebesar 1,99 yang jauh lebih tinggi dari pada rata-ratanya, hal ini menunjukkan sangat bervariasinya tingkat susut hasil petani pada saat melakukan pengeringan hasil panen. Kemudian yang terakhir pada proses penggilingan nilai susut hasilnya adalah yang paling kecil. Pada tahapan ini, susut hasilnya berupa gabah yang tercecer disekitar mesin penggiling, dan menir beras patah banyaknya beras patah ini disebabkan oleh kadar air yang kurang dari 14 atau lebih dari 14. Biasa petani dalam mengeringkan gabah antara 12-15 akibatnya banyak terjadi butir hijau, butir mengapur chalky, dan menir beras patah. Namun demikian, susut hasil penggilingan ini merupakan keuntungan bagi pemilik penggilingan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Wagiono 2013 salah satu pemilik penggilingan padi menir dan dedak merupakan keuntungan pemilik penggilingan padi disamping biaya penggilingan. Menir diayak dengan ayakan halus menjadi tiga bagian yaitu menir patah dua dijual Rp 600,0,- per kg, menir patah tiga Rp 4,500 per kg dan menir bebek patah 3 dijual Rp 4,000 per kg sementara dedak dijual Rp 2,500 per kg. Faktor-Faktor Non Teknis yang Mempengaruhi Susut Hasil Padi Berikut adalah hasil estimasi faktor-faktor non tenis yang menjadi determinan terhadap pendapatan petani mangga setelah memenuhi asumsi-asumsi klasik dan goodness of fit . Dari hasil analisis akhir didapatkan 5 faktor yang mempengaruhi susut hasil secara nyata yaitu tingkat pendapatan usahatani , luas lahan , perasaan , norma dan penggilingan . Tabel 4. Faktor-faktor Non Teknis yang Menjadi Determinan terhadap Susut Hasil Variabel Koefisien Jalur � �. Tingkat Signifikansi Status 0,877 0,000 Signifikan -0,468 0,020 Signifikan 0,357 0,010 Signifikan -0,368 0,005 Signifikan 0,357 0,007 Signifikan Uji-F 0,000 Signifikan = , Ket : Signifikan dengan tingkat kepercayaan 90 Signifikan dengan tingkat kepercayaan 95 Signifikan dengan tingkat kepercayaan 99 Sumber: Data Primer diolah, 2015 Tabel 5. Matriks Korelasi Antar Variabel Y X 4 X 5 X 7 X 10 X 15 Y 1,000 0,361 0,169 0,071 -0,172 0,161 X 4 0,361 1,000 0,761 -0,203 0,128 -0,113 X 5 0,169 0,761 1,000 0,066 0,014 -0,136 X 7 0,071 -0,203 0,066 1,000 0,010 -0,205 X 10 -0,172 0,128 0,014 0,010 1,000 0,239 X 15 0,161 -0,113 -0,136 -0,205 0,239 1,000 Sumber: Data Primer diolah, 2015 Dari Tabel 4 dan Tabel 5 didapatkan nilai pengaruh langsung dan tidak langsung dari ke-5 faktor tersebut. Tabel 6. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Pendapatan terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung 0,7688 Pengaruh tidak langsung : Melalui -0,3124 Melalui -0,0634 Melalui -0,0413 Melalui -0,0353 Pengaruh total ke 0,3162 Berdasarkan Tabel 6, secara langsung peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 76,88 ditentukan oleh faktor tingkat pendapatan. Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung faktor tingkat pendapatan melalui luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan berubah menjadi -45,25 yang berarti menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 45,25 ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan berbagai aspek dari faktor luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh pendapatan terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 31,62, jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 31,62 secara total ditentukan oleh faktor tingkat pendapatan. 77 Hasil analisis mengungkapkan bahwa peningkatan pendapatan berkontribusi pada meningkatnya susut hasil. Dalam hal ini tinggnya pendapatan ini disebabkan karena petani kurang menganggarkan biaya untuk sistem budidaya yang lebih baik dan perlakuan panen dan pasca panen yang baik. Untuk itu, petani harus didorong untuk lebih memperhatikan pembiayaan pada sistem budidayaproduksi untuk meningkatkan produktivitas dan perlakuan panen dan pasca panen untuk menurunkan susut hasil. Sehingga walaupun hal ini akan meningkatkan biaya produksi namun akan tertutup oleh meningkatkan hasil dan sedikitnya susut hasil padi. Tabel 7. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Luas Lahan terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung 0,2194 Pengaruh tidak langsung Melalui -0,3124 Melalui -0,0111 Melalui 0,0023 Melalui 0,0228 Pengaruh total ke -0,0790 Berdasarkan Tabel 7, secara langsung peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 21,94 ditentukan oleh faktor luas lahan. Namun jika melihat pengaruh total tidak langsung faktor luas lahan melalui tingkat pendapatan, perasaan, norma dan penggilingan bernilai negatif - 29,84 yang berarti penurunan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 29,84 secara tidak langsung ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan faktor-faktor pendapatan, perasaan, norma dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh luas lahan terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi -7,90, jadi menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 7,90 secara total ditentukan oleh faktor luas lahan. Berdasarkan hasil analisis, menurunkan susut hasil disebabkan karena semain luasnya lahan petani. Dalam hal ini terdapat kecenderungan bahwa petani dengan luas lahan ≥ 0,7 hektar cenderung berupaya untuk memaksimalkan biaya produksi dan menggunakan teknologi baik untuk produksi, panen dan pasca panen untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Untuk itu, petani dengan luas lahan kurang dari 0,7 hektar yang kebanyakan bermodal seadanya perlu mendapatkan perhatian dengan adanya bantuan permodalan agar dapat melakukan hal dilakukan petani yang luas lahannya lebih dari 0,7 hektar. Tabel 8. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Perasaan terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung 0,1275 Pengaruh tidak langsung Melalui -0,0634 Melalui -0,0111 Melalui -0,0014 Melalui -0,0262 Pengaruh total ke 0,0254 Tabel 8 menunjukan bahwa secara langsung peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar 12,75 ditentukan oleh faktor perasaan. Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung perasaan melalui faktor pendapatan, luas lahan, norma dan penggilingan berpengaruh negatif sebesar -10,21 yang berarti secara tidak langsung penurunan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 10,21 ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari faktor faktor tingkat pendapatan, luas lahan, norma dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh perasaan terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 2,54, jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 2,54 secara total ditentukan oleh faktor perasaan. Tabel 9. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Norma terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung 0,1351 Pengaruh tidak langsung Melalui -0,0413 Melalui 0,0023 Melalui -0,0014 Melalui -0,0314 Pengaruh total ke 0,0634 Tabel 9 menunjukan bahwa secara langsung peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar 13,51 ditentukan oleh faktor norma. Namun jika dilihat dari pengaruh tidak langsung faktor norma melalui pendapatan, luas lahan, perasaan, dan penggilingan berpengaruh negatif sebesar –7,18 yang berarti penurunan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 7,18 secara tidak langsung ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh norma terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 6,34. Jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 6,34 secara total ditentukan oleh faktor norma. Jika dibandingkan antara pengaruh tidak langsung perasaan -10,21 dengan total pengaruh 78 perasaan 2,54 jauh lebih besar pengaruh total tidak langsung, artinya sebenarnya dengan meningkatkan rasionalitasnya dan mengurangi unsur menjaga perasaan petani seperti membatasai jumlah pemanen, menggunakan perontok mesin, mengeringkan dalam lamporan, dan menggiling di penggilingan besar mereka dapat menurunkan susut hasilnya. Namun hal ini tidak dilakukan. Di lokasi penelitian sudah biasa siapa saja bisa ikut panen meskipun pemilik sawah tidak menyuruhnya, bahkan ketika panen sedang berlangsung orang bisa langsung ikut panen. Pemilik sawah menyadari hal itu merugikan karena semakin banyak jumlah pemanen maka kerusakan padi akibat terinjak karena berebut akan semakin banyak, namun tidak bisa melarangnya karena karena empati terhadap orang lain dan takut orang tersebut akan tersinggung dan marah. Artinya kesadaran akan kerugian dengan mempertahankan norma-norma yang berlaku ketika melaksanakan sistem panen, perontokan pengeringan dan penggilingan ada. Namun kesadaran ini tidak dinyatakan dalam tindakan karena norma-norma itu sudah menjadi kebiasaan. Sangat sulit untuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat pedesaan, karena itu sudah lama terjadi dan sudah menjadi patokan dalam perilaku sehari-hari seseorang yang melanggar norma akan dikenai sangsi sosial dari masyarakat disekitarnya. Tabel 10. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Faktor Penggilingan terhadap Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung 0,1276 Pengaruh tidak langsung Melalui -0,0353 Melalui 0,0228 Melalui -0,0262 Melalui -0,0314 Pengaruh total ke 0,0575 Tabel 10 menunjukan secara langsung peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras ditentukan oleh faktor penggilingan sebesar 12,76. Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung penggilingan melalui faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, dan norma sebesar -7,01. Jadi pengaruh langsung penggilingan terhadap tingkat susust hasil gabah dan beras yang tadinya positif setelah melalui faktor pendapatan, perasaan, dan norma berubah menjadi negatif, namun tetap positif ketika melalui faktor luas lahan meskipun sangat kecil. Ini berarti bahwa secara tidak langsung tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 7,01 dapat diturunkan melalui perbaikan dan peningkatan dari faktor faktor pendapatan, perasaan, dan norma. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh langsung penggilingan terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 5,75. Jadi secara total faktor penggilingan dapat meningkatkan tingkat susut gabah dan beras sebesar 5,75. Hal itu terjadi karena sebagian besar petani dilokasi penelitian menggiling padinya ke Penggilingan Padi Kecil PPK dengan kategori I Phase milik petani lainnya atau milik kelompok taninya yang sudah berumur tua dan proses penyosohannya secara abrasif. Menurut Nugraha dan Tim, 2008 mesin penggilingan I Phase adalah pengilingan padi dimana mesin pemecah kulit husker menyatu dengan mesin penyosoh polishe r. Gabah dimasukan ke dalam hooper hasilnya beras pecah kulit, kemudian dimasukan lagi hasilnya menjadi beras. Implikasi kebijakan dapat difokuskan pada modernisasi di bidang pertanian melalui bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen gabah dan beras dan fasilitasi alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II Phase. PENUTUP Dinamika produktivitas padi di Jawa Barat cenderung memiliki fluktuasi yang lebih tajam dan laju pertumbuhan yang lebih lambat pada produtivitas padi Jawa Barat dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tinjauan dari segi variasi susut hasil pun cenderung relative masih terlalu tinggi dan belum ada kecenderungan untuk menurun. Susut hasil ini harus segera diatasi agar program peningkatan produksi padi dapat berjalan lebih efisien dan efektif. Berdasarkan analisis simultan faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan mempengaruhi tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 38,34, dan 61,66 dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar penelitian ini. Dari variabel ekonomi diwakili oleh faktor pendapatan dan luas lahan. Peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 31,62 secara total dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, namun menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 7,90 secara total dipengaruhi oleh faktor luas lahan. Dari variabel teknologi petani diketahui bahwa naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 5,75 secara total dipengaruhi oleh faktor penggilingan. Sedangkan dari variabel budaya naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 2,54 secara total dipengaruhi oleh faktor perasaan, dan sebesar 6,34 secara total dipengaruhi oleh faktor norma. Berdasarkan uraian di atas, untuk mengatasi penurunan produktivitas karena tingginya tingkat susut hasil dapat dibuat implikasi kebijakan diantaranya: 79 1 Petani harus didorong untuk lebih memperhatian pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca panen padi untuk menurunkan susut hasil. 2 Memberikan bantuan modal untuk petani yang luas lahannya kurang dari 0,7 hektar. 3 Melakukan pendekatan budaya yang dapat merubah penanganan panen dan pasca panen menjadi lebih baik dan tidak mengakibatkan disharmoni diantara petani dan buruh tani buruh panen dan saling menguntungkan kedua belah pihak. 4 Memodernisasi penanganan panen dan pasca panen melalui pemberian bantuan fasilitas alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II Phase dan bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya. DAFTAR PUSTAKA BPS dan Departemen Pertanian. 2008. Laporan Hasil Survei Susut Panen Dan Pasca Panen GabahBeras . Kerjasama Badan Pusat Statistik Dan Departemen Pertanian. Jakarta. BPS. 2015. Luas Lahan, Produktivitas, dan Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Melalui situs www.bps.go.id. Creswell, J.W. and V.L.P. Clark. 2008. Designing and Conducting Mixed Methods Research. Sage Publications. London. Damardjati, Djoko Said. 2010. Kebijakan Pemerintah Dalam Peningkatan Mutu dan Nilai Tambah Pengolahan GabahBeras. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional. Diperta Provinsi Jawa Barat. 2014. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Pa di Sawah Menurut Kabupaten Dan Kota Tahun 2009 - 2013 di Jawa Barat. Melalui situs http:diperta.jabarprov.go.idindex.phpsubMe nu1780. Enrico. 2012. Teknologi Penanganan Panen Dan Pasca Panen Padi Dalam Menekan Susut Hasil . Makalah. BPPP Balai Besar Penelitian Pasca Panen, Bogor. Iswari, K. 2012. Kesiapan Teknologi Panen dan Pascapanen Padi dalam Menekan Kehilangan Hasil dan Meningkatkan Mutu Beras . Jurnal Litbang Pertanian. Nhamo, N., J. Rodenburg, N. Zenna, G. Makombe and A.L. Kihupi. 2014. Narrowing the rice yield gap in East and Southern Africa: Using and Adapting Existing Technologies. Elsevier. Nugraha, Sigit dan Tim. 2008. Metode Menekan Kehilangan Hasil Padi. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Bogor. Oerke, E.C., H.W. Dehne, E. Schonbeck, and A. Weber. 1999. Crop Producing and Crop Protection: Estimated Lossing in Major Food and Cash Crop . Elsevier. Netherland. Raharjo, B., D. Hadiyanti, dan K. A. Kodir. 2012. KajianKehilangan Hasil Pada Pengeringan dan Penggilingan Padi di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal. Vol. 1, No.1: 72-82. Rasmikayati, E. 2014. Perubahan Iklim: Dampaknya Terhadap Perilaku Serta Pendapatan Petani. Bandung. Setyono, Agus. 2008. Teknologi Penanganan Pasca Panen Padi . Makalah. Disampaikan Pada Lokakarya Kegiatan Pengkajian Pemanfaatan Alat Dan Mesin Pertanian Alsintan Pasca Panen Padi Sawah. Badan Penelitian Dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Barat, Bandung Desember 2008. 80 81 Pola Pembiayaan Usahatani Manggis di Kabupaten Subang Financing of Mangoestain Farming in Kabupaten Subang Eti Suminartika Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padajdajran A B S T R A K Kata Kunci: Manggis, pembiayaan usahatani, kelembagaan pembiayaan, pola pembiayaan Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri, namun hanya 10 persen saja manggis kita yang dapat diekspor. Budidaya tanaman manggis masih sangat tradisional, jarang dipupuk, dibersihan dan dipangkas. Masih sedikit petani yang menerapkan standar operasional prosedur SOP, demikian pula halnya di kabupaten Tasikmalaya dan Subang. Rendahnya upaya pemeliharaan tanaman manggis dapat disebabkan oleh keterbatasan dana yang ada di petani. Tujuan umum penelitian ini adalah mencari bentuk skim pembiayaan usahatani manggis, sedangkan tujuan spesifiknya adalah: 1 Menganalisis kendala apakah sehingga petani kurang memelihara kebunnya 2 Menganalisis kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani 3 Menganalisis pola pembiayaan usahatani manggis 4 Menganalisis kemampuan financial petani untuk pemeliharaan kebun manggis Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer yang diperoleh dari petani dengan menggunakan metoda survey. Selanjutnya data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan analisis matematik dan ekonometrik. Penelitian dilaksanakan di sentra produksi manggis Jawa Barat yaitu di kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Subang. Kendala yang dihadapi petani manggis sehingga kurang memelihara kebunnya adalah permodalan, Kendala teknis terutama cara pemanenan hasil yang kurang baik. Bentuk kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani umumnya mereka memperoleh modal terutama dari sendiri, sebagian pinjaman dari luar terutama dari bandar. Pola pembiayaan usahatani tani manggis, mereka mengeluarkan dana saat pohon manggis mau berbunga untuk penyiangan, saat panen untuk biaya panen, setelah panen untuk pemupukan. Dana yang digunakan untuk membiayai usahatani menggis relatif kecil. Kemampuan financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis sangat rendah karena hasil panen manggis yang sedikit dan usaha ini merupakan usaha sampingan. Korespondensi Penulis Alamat e-mail: 82 LATAR BELAKANG Komoditas hortikultura menyumbang PDB sekitar 21,17 dari PDB sector pertanian dan menduduki urutan kedua setelah subsector tanaman pangan Ditjen Hortikultura, 2009. Salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai prospek cerah untuk tujuan ekspor maupun pasar dalam negeri adalah manggis Garcinia mangostona, L. Ekspor manggis menempati urutan pertama ekspor buah Indonesia yang kemudian diikuti oleh nenas dan jeruk. Pusat penamanam manggis di Indonesia adalah di Kaltim, Kalteng, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sulawesi Utara. Sedangkan sentra produksi manggis terbesar berada di Jawa Barat yang memberikan kontribusi 38 terhadap produksi nasional. Sentra produksi manggis manggis di Jawa Barat adalah Kabupaten Purwakarta, Subang, Bogor dan Tasikmalaya. Kontribusi produksi manggis dari empat kabupaten tersebut sebesar 90 terhadap total produksi Jawa Barat dan 29 .terhadap produksi nasional sebesar. Meskipun manggis sudah dapat diekspor, namun belum didukung oleh ketersediaan buah dengan mutu yang tinggi. Relatif rendahnya mutu buah manggis di sentra produksi, dikarenakan pengelolaan kebun bersifat tradisional dan system produksinya masih bergantung pada alam. Pada umumnya tanaman manggis sudah tua berumur lebih dari 100 tahun dan warisan orang tua. Sedangkan, peremajaan tanaman baru dilakukan akhir 1990-an. Oleh karena itu buah manggis yang dapat diekspor kurang dari 10 dari total produksi. Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri. Permintaan dari kedua pasar tersebut melebihi produksinya. Untuk pasar luar negeri, jumlah produsenpemasok manggis masih terbatas seperti Malaysia, Thailand dan negara-negara Amerika latin. Negara tujuan ekspor manggis dari Indonesia adalah Cina, Hongkong, Taiwan, Timur Tengah dan Eropa. Thailand sebagai negara potensial penghasil manggis dunia mampu memberikan harga yang lebih murah, hal ini dapat mengancam pasar ekspor manggis kita. Untuk memenangkan persaingan maka harga harus lebih murah dan kualitas harus lebih baik Oleh karena itu untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa ekspor maka perlu perbaikan kualitas manggis Indonesia. Untuk meningkatkan kualitas manggis perlu adanya dana untuk membiayai usahatani manggis, oleh karena itu perlu dikaji hal- hal yang erat kaitannya dengan dana yang bisa digunakan untuk usaha tersebut. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah 1 Bagaimanakah kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani? 2 Bagaimanakah pola pembiayaan usahatani manggis yang dilakukan petani? 3 Bagaimanakah kemampuan financial petani untuk pemeliharaan kebun manggis METODE PENELITIAN Teknik Penarikan Sampel Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra manggis Jawa Barat, Sentra produksi manggis berada di kecamatan Sagala Herang yaitu di desa Dayeuhkolot dan desa Sukamandi, pengambilan sampel dilakukan secara random dengan presentase masing yaitu 10 persen dari jumlah populasi, menurut Gaspersz 1991 apabila peneliti tidak ada pengetahuan tentang besarnya ragam populasi S atau proporsi populasi P dan tidak dapat memperkirakannya, maka ukuran sampel n dapat diambil 5 persen, 10 persen, dan 25 persen.dari jumlah populasi. Selanjutnya menurut Gaspersz 1991, untuk ukuran contoh yang lebih besar dari 30 maka sebaran data dalam contoh akan menyebar mendekati sebaran normal, selain pertimbangan di atas pengambilan sampel didasarkan pula pada ketersediaan dana dan tenaga yang dimiliki. Penarikan sampel mengikut pola sbb: Alat analisis untuk kendala yang dihadapi petani Untuk mengungkap kendala petani terutama tidak memelihara kebunnya yang berkaitan dengan keterbatasan dana akan dianalisis secara deskriptif, dengan cara menjelaskan kendala-kendala yang dihadapi petani, kenapa mereka kurang memelihara kebunnya. Kendala dibagi dua kelompok yaitu kendala yang dihadapi petani manggis pengekspor dan petani manggis untuk tujuan pasar local Analisis untuk mengungkap kelembagaan pembiayaan petani dalam membiaya usahataninya Untuk mengungkan kelembagaan pembiayaan di petani yang berkaitan dengan usahatani manggis, maka akan dideskripsi mengenai cara-cara petani mendapatkan dana baik dana dari dalam maupun dari luar, dari mana sumber dana tersebut, bagaimana mensolusikan permasalahan dana, aturan apa yang diikuti untuk mendapatkan dana tersebut, dll. Kelembagaan akan dibedakan dalam dua bentuk yaitu kelembagaan yang diikuti petani manggis pengekspor dan petani manggis untuk tujuan pasar local 83 Analisis untuk mengungkap pola pembiayaan petani dalam membiaya usahataninya Untuk mengungkan pola pembiayaan di petani yang berkaitan dengan usahatani manggis, maka akan dideskripsi mengenai besarnya dana yang diperlukan, besarnya dana yang diaplikasikan, kapan waktu dana dibutuhkan, dll Pola pembiayaan mencakup dua pola yaitu pola pembiayaan yang dilakukan petani manggis pengekspor dan petani manggis untuk tujuan pasar local Alat analisis untuk mengukur kemampuan financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis Mampu atau tidaknya petani dalam memelihara kebun didasarkan pada kemampuan dalam menciptakan surplus pendapatan keluarga. Karena adanya surplus pendapatan memungkinkan petani melakukan pemeliharaan pohon manggis nya. Surplus pendapatan keluarga merupakan selisih antara pendapatan dan pengeluaran keluarga yang diformulasikan sebagai berikut: S f = Y j - C i dengan batasan: S f Y j C i : surplus pendapatan keluarga Rp : pendapatan keluarga Rp : pengeluaran konsumsi Rp Jika didapatkan nilai S f  0, maka petani dikatakan tidak memiliki kemampuan memelihara pohon, dan jika nilai S f  0, maka dikatakan petani memiliki kemampuan memelihara pohon Pendapatan petani manggis terdiri dari berbagai sumber di antaranya: pendapatan dari usaha manggis dan pendapatan sampingan. Sedangkan pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan kemasyarakatan. Selain ada tidaknya kemampuan memelihara pohon juga akan dilihat aspek lainnya yang erat kaitannya dengan modal usahatani manggis meliputi besar modal sendiri, sumber modal petani Dihasilkan informasi tingkat kemampuan financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis, sehingga dapat diprediksi apakah memerlukan bantuan modal dari luar kredit HASIL DAN PEMBAHASAN Pola pembiayaan Petani Manggis Pola pembiayaan meliputi besarnya biaya dana yang dimiliki petani untuk usahatani manggis, waktu penggunaan dan sumber pembiayaan itusendiri. Pola pembiayaan yang dilakukan petani manggis kabupaten Subang meliputi: Besarnya biaya yang digunakan petani manggis adalah 25.519,51 rupiah per pohon Tabel 1, petani mengeluarkan biaya tersebut dalam usahatai manggis mulai saat pohon manggis mau berbuah yaitu digunakan untuk pemupukan, penyiangan dan pemanenan. Petani di Kabupaten Subang tidak secara husus mengeluarkan dana untuk perluasan kebun dikarenakan lahan yang dimilki sudah terbatas. Tabel 1. Biaya, Penerimaan dan Pendapatan petani dari Usahatani Manggis Item Nilai Rp Persentase Nilai per pohon Penerimaan 4.336.969,7 100,0 135.658,76 Biaya variabel 593.366.7 72,6 18.542,71 Biaya tetap 223.257 27,3 6.976,79 Total biaya 816.624 100,0 25.519,51 Pendapatan 3.650.345,5 84,2 110.010,79 Jumlah dana yang digunakan untuk pemupukan adalah 9.867 rupiah per pohon tabel 2, dana pemupukan digunakan pada bulan Mei, pemupukan tersebut dilakukan sekali dilakukan oleh 50 responden dalam setahun hanya sebagian kecil 3 responden yang memupuk dua kali dalam setahun, sisanya 47 petani tidak memupukpohon manggisnya. Minimnya penggunaan dana untuk pemupukan dikarenakan nimnya dana yang dimiliki petani dan usahatani manggis merupakan usaha sampingan. Pupuk yang digunakan umumnya pupuk kandang yang harganya relatif lebih murah. Pupuk diberikan sekarung per pohon manggis berbuah. Pohon manggis yang belum berbuah umumnya tidak diberi pupuk, walaupun diberi pupuk tapi hanya sedikit dan dilakukan oleh sebagian kecil petani. Jadi secara umum petani memupuk pohon manggis yang akan berbuah sudah terlihat bunga dengan harapan buahnya banyak. Minimnya pemupukanyang dilakukan petani menyebabkan bauah manggis yang dihasilkan relatif kecil ukuranya. Tabel 2. Biaya bahan Usahatani Manggis Dana untuk penyiaangan digunakan sebesar 12.893 rupiah per pohon, penyiangan dilakukan dua kali dalam setahun dilakukan oleh 61 responden. Sisanya sekali setahun atau lebih Minimya kegiatan penyiangan yang dilakukan petani karena kebiasaan Jenis bahan Nilai Rp Persentase pupuk 62.597 7,5 Pestisida 17.276 2,0 total 78.253 9,5 84 mereka kebun manggis dibiarkan, merupakan kebun campuran, dana yang dimiliki terbatas dan usahatani manggis merupakan usaha sampinga. Dampak minimnya dana penyiangan maka kebun petani dipenuhi ilalang, kelihatan kurang terawat. Mereka melakukan penyiangan menjelang pohon manggis berbuah dimaksudkan agar memudahkan saat panen nanti. Petani membiarkan kebunnya karena selain usahatani merupakan usaha sampingan, mereka juga terbatas dana untuk penyiangan. Tabel 3. Biaya Tenaga Kerja Usahatani Manggis Jenis kegiatan Nilai Rp Persentase Nilai per pohon Penyiangan 201.212 24,6 Pemangkasan 10.606 1,2 Pemupukan 105.151 12,9 Pemberantasan HPT 15.151 1,8 Pemanenan 94.954 11,5 Pengangkutan 94.954 11,5 total 511.424 62,6 15.982,00 Penyiangan biasanya dilakukan di sekitar pohon manggis. Penyiangan dilakukan secara manual, yaitu dilakukan pembabatan gulma dengan menggunakan parang. Biaya tetap termasuk peralatan yang dikeluarkan petani setahun sebesar 6.979,29 rupiah Tabel 4. Biaya Tetap Usahatani Manggis Jenis biaya Nilai Rp Persentase Nilai Per pohon Biaya alat 130.000 15,9 4.062,50 PBB 93.257 11,3 2.914,29 Biaya tetap 223.257 27,3 6.976,79 Biaya panen terbagi dua yaitu dengan mengikuti sistim tebasan, biaya panen di tanggung penebas, oleh penebas biaya panen tersebut dibebankan kepada harga beli yang diberikan kepada petani manggis. Tebasan dilakukan petani dikarenakan simpel nya sitem tersebut, petani tidak usah memetik, mengangkut dan mencari pembeli. Dengan sistim tebasan petani langsung menerima dana dari penebas walaupun harga jual manggis yang diterima petani lebih rendah. penerimaan yang diterima petani dengan sistim tebasan sekitar 124.024 rupiah per pohon, sementara penerimaan yang diterima petani dengan sistim dikilo 151.358 rupiah per pohon harga jual per kilo 5.304 rupiah, satu pohon menghasilkan sekitar 28,5 kilogram. Tabel 5. Penerimaan Usahatani Manggis Sistim tebasan Satuan Nilai Rp Keterangan Jumlah pohon pohon 39,25 60 responden Harga per pohon Rupiah 124.203,80 Penjualan di kilo Jumlah berat kilogram 489,29 40 responden Harga per kilogram Rupiah kilogram 5.304 Penerimaan Nilai penerimaan 4.336.969,70 Rata-rata Jumlah pohon 32 Penerimaan per pohon 135.658,76 Biaya panen dengan mengikut penjualan dikilo biasanya dikeluarkan jika petani menggunkan orang lain untuk panen, besarnya biaya tersebut mengikut sistim borongan yaitu 750 rupiah per kilogram manggis yang dipanen dan 750 rupiah per kilogram manggis yang di angkut. Biaya panen ini lebih kurang 30 persen dari harga jual yang diterima petani 5.304 rupiah per kilogram. Sistim panen borongan ini berpengaruh pada kualitas manggis yang dihasilkan karena pemborong pemetik mengejar jumlah petikan ataupun pengangkutan, hal ini berpengaruh pada kualitas manggis yang dipetik, mengingat kualitas manggis salah satunya ditentukan oleh sistim pemanenan. Banyaknya buah manggis yang memar akan menurunkan harga jual. Kelembagaan Pembiayaan Kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani manggis, petani mengandalkan biaya sendiri untuk usahatani manggis atau seadanya atau relatif tanpa adanya sumber dana dari luar. Akibatnya, petani berada dalam keadaan kekurangan dana untuk kebunnya. Kelembagaan informal penyandang dana yang diakses petani adalah pinjaman dari bandar dengan menjaminkan usahataninya misal saat pohon manggis nya sedang berbuah maka dijaminkanlah untuk meminjam uang ke bandar dengan sarat penjualan dilakukan ke bandar dengan harga yang ditentukan bandar baik mengikut sistim tebasan atau sistim dikilo tentunya dengan harga yang lebih rendah. Petani meminjam uang ke bandar bukan untuk memelihara kebunnya namun lebih banyak digunakan untuk kebutuhan lainnya, sebagian kecil saja dana pinjaman dari bandar itu untuk biaya panen. Kelembagaan formal yang bisa diikuti petani sangat terbatas, meliputi koperasi dan perbankan 85 BRI. Koperasi yang ada berupa koperasi simpan pinjam namun kurang berjalan karena terbatasnya modal. Keberadaan koperasi sangat minim, koperasi biasanya berupa simpan pinjam, diikuti olah sedikit petani karena pinjaman yang bisa diberikan terbatas, akatifitas lainnya koperasi menjual barang-barang kebutuhan petani kebutuhan sehari-hari, kebutuhan usahatani. Dengan demikian keberadaan koperasi kurang berjalan. Perbankan BRI yang ada berada dekat kota kecamatan. Lembaga perbankan tersebut hanya memberikan pinjaman untuk usaha dagang atau untuk tujuan lainnya, bukan menghususkan untuk usahatani manggis. Relatif jarangnya petani meminjam ke bank karena prosudur yang rumit dibandingkan meminjam ke bandar, juga jarak yang relatif jauh. Kemampuan finansial petani Pendapatan keluarga petani manggis per tahun sebesar 22.434.242,42 rupiah yang terdiri dari berbagai sumber: usahatani non manggis yang meliputi usahatani sawah, usahatani tegalan dan diluar usahatani pensunan, wiraswasta dll. Pendapatan usaha tani manggis ternyata hanya merupakan pendapatan samingan mengingat kontribusinya hanya 13,9 persen terhadap pendapatan keluarga. Sisanya sebesar 86,1 persen berasal dari pendapatan diluar usahatani manggis. Pendapatan keluarga terlihat seperti di tabel Tabel 6. Pendapatan Keluarga Petani Manggis Jenis pendapatan Nilai Rp Persentase Usahatani manggis 3.650.345,50 13,9 Usaha non manggis 22.434.242,42 86,1 26.084.587,88 100,0 Pengeluaran keluarga petani manggis per tahun sebesar 19.740.788rupiah yang sebagian besar 79,38 digunakan untuk kebutuhan pokok, besarnya persentase pendapatan keluarga untuk kebutuhan pokok mencerminkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih rendah. Tabel 7. Pengeluaran Keluarga Petani Manggis Jenis Pengeluaran Nilai Rp Presentas e keterangan Kebutuhan pokok Listrik dan air Pendidikan kesehatan 15.730.550, 1.553,891,5 446.363,7 909.090,9 79,38 7,84 2,25 4,59 3,72 Pengeluara n didominasi untuk Jenis Pengeluaran Nilai Rp Presentas e keterangan Sandang Kemasyarakat an 737.878,8 438.125,0 2,21 kebutuhan pokok Jumlah 19.740.788 100,00 Petani hanya memiliki kemampuan finansial yang sangat rendah, hal tersebut terlihat dari surplus pendapatan sebesar 6.343.800,00 rupiah per tahun, namun demikian hanya sebagian responden 61 yang memeiliki surplus, sisanya 39 petani dalam kondisi defisit. Petani alainnya dalam kondisi pas- pasan dan dalam kondisi kekurangan. Rendahnya kemampuan finansial tersebut karena usahatani yang mereka ikuti skalanya kecil, usahtani manggis merupakan usaha sampingan, pendapatan dari sumber lain terbatas. Berikut disajiakan nilai surplus pendapatan petani Tabel 8. Surplus Pendapatan Keluarga Petani Manggis Unsur Nilai Rp Persentase Pendapatan keluarga 26.084.587,88 100,0 Pengeluaran keluarga 19.740.788,88 73,0 Surplus pendapatan keluarga 6.343.800,00 27,0 KESIMPULAN 1 Pola pembiayaan petani manggis mengikut kegiatan usahatani yang dilakukan, biaya dikeluarkan saat sebelum pohon manggis berbubunga, yaitu dilakukan penyiangan pada bulan Juni dan Oktober, selanjutnya pemanenan dari bulan Februar sampai bulan Mei dan selesai panen mereka memupuk pohon manggis pada bulan Mei. Dana yang dikeluarkan untuk usahatani manggis jumlahnya sangat minim, berasal dari dana pribadi. 2 Kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani adalah kelembagaan non formal pinjam ke bandar jika mereka kekurangan dana untuk kebutuhan keluarga dengan jaminan tanaman yang akan dipanen termasuk menjaminkan pohon manggis 3 Kemampuan finansial pertani Manggis sangat rendah sehingga mereka menterlantarkan kebun manggis memiliki, mereka mengeluarkan dana yang sangat terbatas untuk memelihara kebun manggis, disamping itu usaha manggis memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap pendapatan keluarga 86 SARAN 1 Perlunya dukungan dana dari luar sehingga petani dapat membiayai kebun manggisnya 2 Perlunya dorongan dari pihak terkait agar petani memanen sendiri, mengikuti sistim penjualan secara dikilo, mengingat sistim ini dapat memperbaiki mutu manggis dan memberikan harga jual yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Bagi, F. S and I. .J Singh. 1974. A Microeconomic Model of Farm Decisions in an LDC: A Simultaneous Equation Approach. Occasional Paper. No.207. Department of Agricultural Economics and Rural Sociology. The Ohio State University. Columbus-Ohio. Becker, Gary S. 1965. A Theory of the Allocation of Time. Journal of Economic, Vol. LXXV 299, September 1965. Columbia. Departemen Pertanian. 2007. Profil Manggis Di Indonesia . Departemen Pertanian. Jakarta Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. 2012. Potensi Tanaman Buah-buahan. Melalui: www.tasikmalayakota.go.id Dinas Pertanian Kabupaten Subang. 2012 Potensi Pertanian Melalui: www.subang.go.id Eti Suminartika 1997. Kemampuan Petani PIR The dan Kelapa Sawit dalam Peremajaan Tanaman. IPB, Bogor. Eti Suminartika 2006. Kemampuan Pembentukan Modal Usaha pada Industri Pengolah Kedele di Kota Bandung. UNPAD, Bandung. Gaspez, Vincent. 1991. Tehnik pengambilan Contoh untuk Penelitian Survei . Tarsito, Bandung. Kadarsan. 1992. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. 2 nd Edition. The MacMillan Press Ltd. New York. Nelson, A. 1976. Agricultural Finance. The Iowa State University Press, Ames. Pindyk, Robert S. and Daniel L. Rubinfeld 1991. Econometric Models and Economic Foreca st. McGraw-Hill. New York. Putri Hedya 2011. Pengaruh Penerapan Standar Operasional prosedur terhadap pendapatan Petani Maanggis di kecamatan Puspahiyang Tasikmalaya. Fakultas Pertanian Unpad. Bandung Singh, I. J., L. Squire and J. Strauss. 1986. The Basic Model: Theory, Empirical Result and Policy Conclusions in Agricultural Household Models: Extensions, Applications and Policy. The John Hopkins University Press. Baltimore. 87 Persepsi dan SikapPedagang Beras di Pasar Traditional Terhadap Ritel Modern Studi Kasus di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan Rice Seller Perception and Attitude in Traditional Market toward Modern Ritel Case Study in Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan Fauziah Tantry¹, Sara Ratna Qanti 2 ¹ Mahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21, Ja tinangor, Sumedang 45363, Indonesia 2 Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian,Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung -Sumedang km 21, Ja tinangor, Sumedang 45363, Indonesia ABSTRAK Kata Kunci: Persepsi Sikap Pedagang beras Ritel modern Pasar tradisional Tingkat konsumsi beras di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara di Asia lainnya. Saat ini penjualan beras tidak hanya terjadi di pasar tradisional saja, tetapi juga di ritel modern yang mulai berkembang pesat dengan berbagai macam format. Persamaan produk yang dijual di ritel modern dan juga pasar tradisional, salah satunya beras, membuat munculnya berbagai persepsi dan sikap dari pedagang beras. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan sikap para pedagang beras akibat adanya ritel modern sehingga dapat memberikan bukti empiris terjadi tidaknya pembangunan inklusif di sektor ritel produk pertanian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik studi kasus yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Responden pada penelitian ini adalah seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon. Penelitian ini menunjukkan bahwa pedagang beras tidak merasa terganggu dengan adanya ritel modern karena mereka berpersepsi bahwa dengan adanya ritel modern tidak mempengaruhi besarnya pendapatan mereka dan tidak berpengaruh terhadap kebiasaan tawar menawar dan praktik kasbon . Akan tetapi untuk variabel sikap, sikap ragu-ragu ditunjukkan oleh pedagang beras mengenai pandangan terhadap ritel modern yang menjual beras saat ini dan sikap tidak mendukung ditunjukkan para pedagang beras terhadap keberlanjutan ritel modern yang lokasinya terlalu dekat dengan lokasi penjualan mereka. ABSTRACT Keywords: Perception Attitude Rice seller Modern retail Traditional retail The rice consumption level in Indonesia is relatively high compared to other countries in Asia. Currently, rice is not only sold in traditional market, but also available in various formats of modern retails. Infact, it makes many perceptions and attitudes of rice sellesr. This study aims to determine the perceptions and attitudes of rice sellers due to the existence of modern retail and to give empirical evidence whether or not inclusive development occurred in agricultural products retail sector. The method that is used in this research is descriptive qualitative, using case study technique. The data is analyzed using descriptive analysis. Respondents in this study were rice sellers located in Pasar Traditional Kordon, Bandung. The results show that traditional retail rice sellers do not bothered by the presence of modern retail, their income are not affected by the existence of modern market around their selling location, bargaining and post transaction paymen t “kasbon” are two common activities that are still occur in the traditional market and those are not affected by the modern market. On the contrary, for attitude variable, hesitation are shown by rice sellers regarding to the outlook of the modern retail selling rice and they don’t support the existence of modern retails that are located too close with their location. Korespondensi Penulis Alamat e-mail : tantryfauziahgmail.com 88 PENDAHULUAN Beras merupakan salah satu komoditas pangan paling penting bagi masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi lebih dari setengah penduduk dunia, dan konsumsi beras menyumbang asupan lebih dari 20 persen kalori. Lebih dari 90 persen beras dunia diproduksi dan dikonsumsi oleh 6 negara Asia China, India, Indonesia, Bangladesh, Vietnam dan Jepang. Berdasarkan data hasil SUSENAS –BPS tahun 2014,saat ini tingkat konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan. Untuk memenuhi konsumsi beras masyarakat di Indonesia saat ini beras tersedia dengan berbagai jenis dan merk beras yang beredar di pasaran. Saat ini penjualan beras pun tidak hanya di pasar tradisional saja, tetapi juga tersedia di ritel modern yang saat ini mulai berkembang dengan cukup pesat dengan berbagai macam format. Berdasarkan penelitian dari Business Watch Indonesia BWI, perkembangan ritel modern di Indonesia sejak tahun 2000 semakin pesat yakni sebesar 20 dan pada tahun 2007 naik menjadi 40. Di kota Bandung, berdasarkan data dari Aprindo 2013 menunjukkan bahwa penjualan ritel modern meningkat sebesar 18-22 per tahunnya. Pesatnya perkembangan ritel modern saat ini menimbulkan berbagai dampak, salah satunya yaitu persaingan dengan pasar tradisional. Berdasarkan data dari Aprindo 2013, dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan minimarket sangat pesat, yaitu pada awal tahun 2009 berjumlah 350 unit menjadi 500 unit hingga Maret 2010. Sedangkan jumlah pasar tradisional di Jawa Barat terus berkurang setiap tahunnya. Pada tahun 2005, di Jawa Barat masih berdiri sekitar 700 pasar, tetapi seiring mulai maraknya ritel modern, jumlah pasar tradisional pun berkurang. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, lebih dari 100 pasar tradisional di Jawa Barat yang tutup. Pesatnya perkembangan ritel modern di Indonesia saat ini pun membuat munculnya berbagai macam persepsi yang ditimbulkan oleh berbagai pihak, termasuk para pedagang di pasar tradisional. Salah satunya yaitu pedagang beras di Pasar Kordon, Buah Batu, yang merupakan salah satu pasar tradisional di Kota Bandung yang di sekitarnya berdiri cukup banyak berdiri ritel modern dengan berbagai format. Hal ini dikarenakan beras merupakan salah satu komoditas pertanian pokok yang saat ini tidak hanya dijual di pasar tradisional, tetapi juga dijual di ritel modern besar, sedang, maupun kecil minimarket. Di Pasar Tradisional Kordon sendiri penjualan beras mengalami fluktuasi dari segi omzet, volume penjualan,dan jumlah pembeli. Akan tetapi memang saat ini penjualan beras di Pasar Tradisional Kordon memang dirasa cukup berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk lebih jelas mengenai penjualan beras di Pasar Tradisional Kordon dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Data Penjualan Beras di Pasar Tradisional Kordon Tahun Data Penjualan Per Hari Omzet juta rupiah Volume Penjualan ton Jumlah Pembeli orang 2008-2011 10 1,5 100 2012-sekarang 10 1 70 Tabel 1 di atas merupakan rata-rata penjualan per hari dari seluruh pedagang beras di Pasar Kordon. Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat jika dari tahun 2008 sampai saat ini volume penjualan beras dan juga jumlah pembeli per harinya cenderung mengalami penurunan. Data tersebut menunjukkan adanya suatu hal yang menyebabkan penurunan volume penjualan dan jumlah pembeli per harinya. Pasar Tradisional Kordon dikelilingi cukup banyak ritel modern di sekitarnya, yang rata-rata berjarak kurang dari 2 km dari pusat pasar. Ritel modern tersebut diantaranya adalah Carrefour, Griya, Borma, Alfamart, Indomart, dan Yomart. Ritel modern tersebut termasuk dalam ritel modern besar, sedang, dan kecil minimarket. Ritel modern besarnya adalah Carrefour Kiaracondong yang sudah berdiri sejak tahun 2007 dan berjarak sekitar 1,1 km dari pusat Pasar Kordon. Selanjutnya ritel modern sedang yaitu Borma Ciwastra dan Griya Buah Batu yang telah berdiri sejak tahun 2000 dan masing- masing berjarak sekitar 2 km dari pusat pasar. Selanjutnya ritel modern kecil yaitu Yomart dan Alfamart yang telah berdiri sekitar tahun 2008 dan masing-masing berjumlah dua gerai dengan jarak rata-rata berjarak 500 m dari pusat pasar, bahkan ada salah satu Gerai Yomart yang berlokasi tepat di sebelah salah satu akses masuk Pasar Kordon. Ritel modern kecil minimarket ini mulai berkembang di sekitar Pasar Tradisional Kordon sejak 5 tahun terakhir. Banyaknya ritel modern yang berdiri di sekitar Pasar Tradisional Kordon menjadi salah satu alasan pemilihan tempat penelitian. Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan karena Pasar Kordon merupakan salah satu pasar tradisional di Bandung yang sudah berdiri lebih lama dibandingkan pasar lain di sekitarnya dan masih tetap bertahan sampai 89 saat ini ditengah marak berdirinya ritel modern di sekitarnya, seperti Carrefour, Griya, Borma, dll. Persepsi yang ditimbulkan dari para pedagang beras tersebut nantinya akan mempengaruhi sikap apa yang akan dilakukan terkait dengan adanya ritel modern. Sikap positif atau negatif akan tergantung dari persepsi para pedagang beras terhadap adanya ritel modern yang menjual beras. Persepsi dan sikap dari para pedagang di Pasar Tradisional Kordon terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pesatnya pertumbuhan ritel modern di sekitar pasar merupakan faktor yang sangat penting terkait dalam perkembangan ritel modern maupun pasar tradisional itu sendiri. Persepsi dan sikap dari para pedagang sangat terkait dengan besar kecilnya atau positif negatifnya dampak yang diperoleh para pedagang dari pesatnya pertumbuhan ritel modern di sekitar pasar tradisional. Ritel modern yang saat ini sudah berkembang cukup pesat pun tidak mungkin dapat dihilangkan, untuk itu diperlukan adanya keselarasan dalam persaingan yang terjadi antara ritel modern dan juga pasar tradisional. Oleh karena itu, sangat pentingnya persepsi dan sikap yang ditimbulkan oleh para pedagang yang dapat mempengaruhi perkembangan ritel modern dan juga eksistensi dari para pedagang beras dalam menjalankan usaha bisnis penjualan beras agar keduanya dapat berjalan secara selaras. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP 1. Persepsi Menurut Gibson 2000, persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Robbins 2006 menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang digunakan individu dalam mengorganisasi dan menafsirkan kesan yang ditangkap oleh indra mereka untuk memberi makna kepada lingkungan mereka. Menurut Atkinson 1997, persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus yang ada di sekitar kita ke dalam lingkungan. Persepsi juga merupakan proses penggabungan sensasi. Sensasi ini merupakan tahap paling awal dalam penerimaan infomasi.Jadi dapat disimpulkan, persepsi adalah sebuah proses pengenalan terhadap suatu objek benda, manusia, gagasan, gejala, dan peristiwa yang dapat memberi makna dan nilai kepada suatu objek dengan menonjolkan sifat khas dari suatu objek serta hasil dari persepsi bisa berupa tanggapan atau penilaian yang berbeda dari setiap individu.

2. Sikap

Menurut Zanna Rempel 1988, sikap merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak disukai terhadap sesuatu atau seseorang, menunjukkan kepercayaan, perasaan, atau kecenderungan perilaku seseorang. LaPierre 1934 mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan. Berdasarkan definisi di atas, dapat dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan dan keyakinan seseorang terhadap suatu hal yang bersifat mendekati positif atau menjauhi negatif ditinjau dari aspek afektif kognitif dan mengarahkan pada pola perilaku tertentu. Menurut Azwar 2012, sikap terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang yaitu : 1. Komponen kognitif berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan, ide, konsep. Bagian dari kognitif yaitu: persepsi, stereotype, opini yang dimiliki individu mengenai sesuatu. 2. Komponen afeksi berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang, menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Afeksi merupakan komponen rasa senang atau tidak senang pada suatu objek. 3. Komponen perilakukonatif merupakan komponen yang berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap objek sikap.

3. Keberadaan Ritel Tradisional dan Ritel Modern

Berdasarkan hasil penelitian Amin 2011, dampak negatif dari keberadaan supermarket dirasakan oleh para pedagang di pasar tradisional terutama untuk barang-barang sembako kering, seperti beras, gula, telur, minyak, dll. Sedangkan untuk komoditas basah seperti ikan, daging dan sayuran relatif tidak banyak berpengaruh. Hal ini disebebkan ritel modern juga menyediakan komoditas sejenis, sehingga para pedagang tradisional terkena dampak negatif akibat adanya ritel modern. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Suryadarma dkk 2007, di Pasar Pamoyanan, Bandung, para pedagang juga menyatakan bahwa dampak supermarket tidak sesignifikan akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh masalah internal yang kerap mereka alami di pasar. Selain itu, mereka juga mengakui bahwa ada sedikit perbedaan dalam hal karakteristik pembeli yang datang ke pasar 90 tradisional dan modern, misalnya, para pedagang keliling dan pemilik warungtoko kecil masih memilih untuk berbelanja di pasar tradisional. Berdasarkan hasil penelitian dari Minten 2007, dalam The International Food Policy Research Institute IFPRI, pedagang beras di pasar tradisional terancam keberadaannya semenjak hadirnya ritel modern di Madagaskar, yang menyebabkan konsumen beralih membeli beras di supermarket. Hal ini dikarenakan tingkat kesediaan konsumen untuk membayar beras dengan kualitas yang baik serta berbelanja di tempat yang nyaman yang disediakan oleh supermarket sangatlah tinggi. Madagaskar bisa menjadi perbandingan dengan kondisi ritel di Indonesia, karena memiliki kesamaan sebagai negara berkembang. Selain itu, menurut penelitian dari IFPRI Madagaskar juga merupakan salah satu negara yang telah berdiri banyak ritel global selama lebih dari satu dekade terakhir. Temuan-temuan tersebut berkaitan pada penentuan variabel dalam penelitian ini. Berdasarkan temuan-temuan sebelumnya, diperoleh variabel pendapatan, jumlah pembeli, volume penjualan, durasi berjualan, dll. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab pembahasan. METODE PENELITIAN Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu metode-metode penelitian untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau kelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan John W . Creswell, 2009.Teknik penelitian yang digunakan berupa studi kasus case study yaitu penelitian yang terinci tentang seseorang atau suatu unit selama kurun waktu tertentu Sugiyono, 2007. Objek penelitian ini adalah para pedagang beras yang berada di dalam Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan. Data diperoleh dari informan dan responden. Informan dalam penelitian ini diantaranya adalah para pengelola pasar dan orang-orang yang tinggal disekitar pasar yang mengetahui sejarah pasar, serta pemerintah daerah setempat. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon, yaitu berjumlah 5 orang pedagang beras. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah jenis data yang diperjelas dari tanggapan- tanggapan para pedagang beras yang berada di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan, yang kemudian akan diolah menjadi data kuantitatif dalam sebuah persentase yang disajikan dalam bentuk chart. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai persepsi dan sikap pedagang beras terhadap keberadaan ritel serta kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan keberadaan ritel tradisional dan modern. 1. Persepsi Para Pedagang Beras Terhadap Dampak Ritel Modern

a. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Dampak Ritel Modern

80 persen responden menyatakan tidak terlalu khawatir dengan ritel modern yang juga menjual beras. Hal ini dikarenakan sebagian besar para pedagang beras tersebut mengetahui jika beras yang dijual di pasar tradisional dan ritel modern memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, selain itu pangsa pasarnya pun berbeda sehingga para pedagang beras tidak terlalu khawatir tersaingi dengan ritel modern yang saat ini menjual beras. Gambar 1. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras Menurut responden, konsumen yang menjadi langganan mereka adalah konsumen yang berniat menjual lagi berasnya atau konsumen yang menggunakan beras sebagai bahan baku untuk usahanya seperti penjual warung makanan siap saji. Konsumen jenis ini sepertinya memilih ritel tradisional karena mereka bisa membeli dalam jumlah yang relatif fleksibel dari eceran sampai dengan dalam karungan sebesar 25 kg jika dibandingkan dengan membeli di ritel modern dimana hanya menjual beras dalam kemasan sebesar 3kg, 5kg, 10 kg, dan 20 kg. Selain menawarkan keleluasaan dalam membeli kuantitas beras, pedagang di ritel tradisional juga menawarkan harga jual yang lebih murah untuk jenis beras yang sama jika dibandingkan dengan harga di ritel modern. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 2 berikut ini. 80 20 Persepsi Pedagang Beras Terhadap Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras 91 Tabel 2. Perbandingan Harga Jual Beberapa Jenis Beras yang Dijual di Pasar Kordon dan Ritel Modern Sekitarnya

b. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Pendapatan Usaha

Sebagian besar responden 80 menganggap adanya ritel modern saat ini yang juga menjual beras tidak berpengaruh terhadap pendapatan yang mereka dapat. Mereka mengungkapkan bahwa pendapatan usaha yang didapatkan masih tetap sama sebelum ataupun sesudah adanya ritel modern yang menjual beras. Mereka merasa yang mempengaruhi turunnya pendapatan usaha penjualan beras mereka bukanlah berasal dari ritel modern yang juga menjual beras, tetapi dari menurunnya volume penjualan yang disebabkan oleh banyaknya isu yang belakangan beredar di masyarakat saat ini seperti isu beras plastik. Hal tersebut lah yang membuat pendapatan mereka sempat anjlok. Berdasarkan hasil wawancara dan juga pengamatan peneliti, adanya perbedaan pendapatan yang didapat oleh para pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon bukan disebabkan oleh ritel modern, akan tetapi lebih dikarenakan perbedaan ketersediaan jenis beras yang dijual dan juga lokasi kios. Pedagang Beras 1 dan 4 merupakan pedagang beras yang hanya menjual beras yang mengaku per harinya mendapatkan omzet sebesar Rp 10.000.000,- . Menurut peneliti hal ini dikarenakan ketersediaan jenis beras yang lebih lengkap dibandingkan dengan pedagang lain. Selain itu, Pedagang Beras 3 juga mengaku omzet per hari dari menjual beras bisa mencapai Rp 10.000.000.-. Menurut peneliti hal ini dikarenakan Pedagang Beras 3 memiliki lokasi kios yang paling strategis. Meskipun Pedagang Beras 3 memiliki ketersediaan jenis beras yang kurang lengkap jika dibandingkan dengan Pedagang Beras 1 dan 4, akan tetapi Pedagang Beras 3 memiliki lokasi kios di pinggir jalan raya sehingga merupakan tempat paling strategis karena selalu dilewati banyak orang. Pedagang Beras 5 yang merupakan pedagang beras dengan omzet paling kecil, menurut peneliti hal ini dikarenakan ketersediaan ketersediaan jenis beras yang kurang lengkap dan juga lokasi yang kurang strategis, sehingga membuat Pedagang Beras 5 hanya mendapat omzet sebesar Rp 6.000.000 per harinya. Untuk Pedagang Beras 2, pedagang beras yang mengaku cukup sulit untuk mendapatkan omzet sebesar Rp 10.000.000,- per harinya ini menurut peneliti dikarenakan ketersediaan ketersediaan jenis beras yang kurang lengkap. Gambar 2. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Pendapatan Usaha

c. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Volume Penjualan Beras

Seluruh responden mengganggap adanya ritel modern yang saat ini menjual beras tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan volume penjualan beras di toko beras mereka. Menurut pengakuan para pedagang beras, volume penjualan beras masih relatif sama dari sebelum ataupun sesudah adanya ritel modern yang juga menjual beras, yaitu sebesar kurang lebih 1 ton per harinya. Kalaupun ada perubahan volume penjualan, lebih disebabkan karena isu mengenai beras plastic beberapa waktu lalu.

d. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Jumlah Pembeli Seluruh pedagang beras di Pasar Kordon menunjukkan persepsi ragu-ragu terhadap pengaruh jumlah pembeli akibat adanya ritel modern. Para pedaganh;lg beras di Pasar Tradisional Kordon mengakui adanya penurunan jumlah pembeli saat ini dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Akan tetapi mereka tidak yakin hal ini disebabkan karena adanya ritel modern di sekitar pasar. Mereka mengakui saat ini rata-rata pembeli beras per hari sekitar 70 orang pembeli per hari. Padahal pada 80 20 Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Pendapatan Usaha Tidak Berpengaruh Berpengaruh 92 tahun-tahun sebelumnya mereka mengakui jumlah pembeli per hari bisa lebih dari 100 orang pembeli. Pendapat ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 2, 3.

e. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Jam Operasional Usaha Sebagian besar pedagang beras di Pasar Kordon 80 menyatakan adanya ritel modern tidak berpengaruh terhadap perubahan jam operasional usaha. Mereka memang mengakui adanya perubahan jam operasional usaha saat ini, tetapi bukan disebabkan karena adanya ritel modern. Hal ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 4 dan 5. Mereka mengakui melakukan perubahan jam operasional karena memang sudah menurunnya jumlah pembeli saat ini sehingga harus menutup tokonya lebih awal. Akan tetapi terdapat satu responden yang menyatakan adanya ritel modern berpengaruh terhadap jam operasional usaha toko berasnya. Pedagang beras tersebut sengaja merubah jam operasional usahanya untuk membedakan dengan jam operasional usaha dari ritel modern. Gambar 3. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Jam Operasional Usaha

f. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Jarak Ritel Modern dengan Pasar Kordon Seluruh pedagang beras memberikan persepsi tidak setuju terhadap jarak ritel modern di sekitar Pasar Kordon yang terlalu dekat dengan pusat pasar. Hal ini dapat ditunjukkan dari persepsi seluruh pedagang beras yang mengungkapkan bahwa jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar dapat mengganggu eksistensi dari para pedagang di Pasar Tradisional Kordon itu sendiri. Seluruh pedagang beras beranggapan demikian, karena tidak setuju dengan pemerintah daerah setempat yang memberikan izin kepada peritel modern yang mendirikan ritel modern dengan jarak terlalu dekat dengan pusat pasar, bahkan terdapat salah satu minimarket yang letaknya hanya berjarak sekitar 100 meter dari salah akses masuk Pasar Tradisional Kordon. Hal ini tidak sesuai dengan Perda Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2009, yang salah satu pasalnya menyatakan bahwa minimarket berjarak minimal 0,5 Km dari pasar tradisional dan 0,5 Km dari usaha kecil sejenis yang terletak di pinggir kolektorarteri serta supermarket dan departement store berjarak minimal 1,5 Km dari pasar tradisional yang terletak di pinggir kolektorarteri. Untuk lebih jelasnya mengenai Peraturan Daerah Kota Bandung akan dibahas pada sub bab selanjutnya.

g. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Budaya Tawar Menawar Pedagang dan Pembeli Persepsi dari seluruh pedagang beras terhadap pengaruh budaya penjualan juga menyatakan bahwa adanya ritel tidak berpengaruh terhadap budaya tawar-menawar antar pedagang dan pembeli. Seluruh pedagang beras beranggapan tidak ada perbedaan budaya penjualan yang dilakukan dari sebelum dan sesudah adanya ritel modern yang saat ini menjual beras. Budaya penjualan seperti budaya tawar menawar antar pedagang dan pembeli juga masih tetap ada hingga saat ini. Berdasarkan hasil penelitian ini, budaya tawar menawar antar pedagang dan pembeli masih akan tetap ada, hal ini dikarenakan budaya tawar menawar merupakan salah satu ciri khas dari pasar tradisional. Selain itu adanya interaksi sosial yang tercipta antar pedagang dan pembeli pada saat proses tawar menawar itu terjadi lah yang menjadi salah satu ciri khas pasar tradisional. Hal tersebut tidak akan dapat ditemui di ritel modern, dimana pembeli diharuskan menjadi konsumen yang mandiri.

h. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Fasilitas Yang Ditawarkan Sebagian besar pedagang beras 60 mengakui adanya ritel modern saat ini berpengaruh terhadap fasilitas yang ditawarkan kepada pembeli. Salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah d elivery order. Menurut pengakuan dari para pedagang beras yang merasa adanya ritel modern berpengaruh terhadap fasilitas yang ditawarkan ini menganggap adanya ritel modern mendorong mereka untuk melakukan hal ini. Jadi para pembeli yang sudah mengenal para pedagang beras dapat memesan beras melalui telepon dan beras akan diantarkan ke rumah pembeli dengan menggunakan motor ataupun mobil, tergantung pada volume pembelian beras yang dibeli. Fasilitas ini diakui dijadikan sebagai salah satu strategi usaha. Mereka mengakui ini sebagai salah 20 80 Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Jam Operasional Usaha Berpengaruh Tidak Berpengaruh 93 satu keunggulan pasar tradisional, jika dibandingkan dengan ritel modern karena dapat melakukan pembelian lewat telepon. Gambar 4. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Fasilitas yang Ditawarkan

i. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Budaya Kasbon Seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional beranggapan bahwa adanya ritel modern tidak berpengaruh terhadap budaya kasbon. Mereka mengakui bahwa budaya kasbon masih tetap ada dari sebelum adanya ritel modern sampai saat ini. Hal ini seperti diungkapkan oleh Pedagang Beras 4. Beliau mengatakan bahwa, “Ada aja sih orang yang kasbon mah gak berubah dari dulu juga. Malah a da juga yang cuma ambil beras tapi bayarnya mah nggak.”

2. Sikap Para Pedagang Beras Akibat Adanya

Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras a. Sikap Pedagang Beras Mengenai Pandangan Terhadap Ritel Modern Yang Menjual Beras Saat ini Sebagian besar para pedagang beras 80 di Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang ragu-ragu terhadap ritel modern yang saat ini menjual beras. Sikap ragu-ragu yang ditunjukkan para pedagang ini dapat terjadi karena mereka memang merasa adanya ritel modern saat ini tidak mengganggu tetapi pada dasarnya mereka juga merasa khawatir jika nantinya ritel modern yang saat ini juga menjual beras akan mempengaruhi eksistensi penjualan beras mereka.

b. Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan

Keberlanjutan Ritel Modern Sebagian besar para pedagang beras 60 di Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang ragu-ragu terhadap dukungan keberlanjutan ritel modern, dan selebihnya sebanyak 2 responden menunjukkan sikap tidak setuju terhadap dukungan keberlanjutan ritel modern. Hal ini dikarenakan pada dasarnya mereka merasa khawatir jika nantinya ritel modern dapat merugikan mereka. Gambar 6. Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan Keberlanjutan Ritel Modern

c. Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan

Melakukan Strategi Usaha Sebagian besar responden 60 mengaku tidak melakukan strategi apapun terkait dengan adanya ritel modern di sekitar Pasar Kordon saat ini. Hal ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 2, dan 3. Seperti contoh diungkapkan oleh Pedagang Beras 2. Beliau menyatakan, “Nggak sih gak ngelakuin strategi apa -apa. Tapi sebenernya mah pengen gitu kayak kasih harga diskon atau kualitas beras jadi tambah bagus tapi belom terlaksana sih.” Pada dasarnya Pedagang Beras 2 mau melakukan strategi usaha guna meningkatkan pelayanan terhadap konsumen. Akan tetapi keterbatasan modal yang dimiliki Pedagang Beras 2 sehingga ia tidak memiliki biaya khusus untuk memberikan diskon kepada para pelanggan dan juga meningkatkan kualitas beras. Gambar 7. Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan Melakukan Strategi

d. Sikap

Pedagang Beras Terhadap Penyampaian Keluhan Seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang negatif terhadap penyampaian keluhan akibat terlalu pesatnya perkembangan ritel modern di sekitar pasar tradisional saat ini. Dalam hal ini keluhan utama yang 60 40 Persepsi Pedagang Beras Terhadap Fasilitas yang Ditawarkan Berpengaruh Tidak Berpengaruh 60 40 Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan Keberlanjutan Ritel Modern Tidak Setuju Ragu-ragu 40 60 Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan Melakukan Strategi Usaha Melakukan Strategi Tidak Melakukan Strategi 94 muncul ada mengenai jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan Pasar Tradisional Kordon. Pada dasarnya keluhan seringkali terucap oleh para pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon mengenai sikap kurang setuju terhadap berdirinya ritel modern yang jaraknya terlalu dekat dengan pasar, tetapi keluhan ini tidak pernah mereka sampaikan pada pemerintah daerah setempat. Mereka mengakui bahwa tidak memiliki akses dan tidak mengetahui bagaimana cara untuk menyalurkan keluhan tersebut kepada pemerintah daerah setempat sehingga belum pernah menyampaikan keluhan sampai saat ini.

3. Kebijakan Pemerintah

a. Lokasi dan Jarak Ritel Modern

Berdasarkan isi dari Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 tahun 2009, menyatakan jika jarak ritel modern kecil minimarket seharusnya adalah 0,5 km dari pasar tradisional. Hal ini sangat tidak sesuai dengan keadaan di lingkungan Pasar Tradisional Kordon. Untuk minimarket, di sekitar Pasar Tradisional Kordon terdapat empat buah minimarket, yaitu Yomart dan Alfamart yang masing-masih berjumlah dua gerai dan berjarak rata- rata 500 m dari pusat pasar. Dengan tidak sesuainya Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2009 yang mengatur tentang ritel modern dan pasar tradisional, dengan keadaan saat ini di lingkungan Pasar Tradisional Kordon, maka menimbulkan adanya berbagai persepsi dari para pedagang beras. Seperti telah dibahas dalam sub bab sebelumnya, seluruh pedagang beras menyatakan tidak setuju dengan jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar. Hal ini dikarenakan mereka merasa jika nantinya ritel modern akan mempengaruhi eksistensi mereka sebagai pedagang di Pasar Tradisional Kordon. Seperti telah diungkapkan sebelumnya salah satu pedagang beras mengungkapkan jika harusnya jarak ritel modern tidak terlalu dekat dengan pasar tradisional seperti keadaan saat ini di Pasar Tradisional Kordon. b. Jam Operasional Selain jarak dan lokasi kios, jam operasional usaha juga termasuk salah satu hal yang diatur dalam Perda Kota Bandung. Salah satu hal yang diatur dalam Perda Kota Bandung adalah mengenai maksimal jam oeprasional usaha yaitu hanya 12 jam. Akan tetapi nyatanya saat ini masih banyak ritel modern yang beroperasi lebih dari 12 jam. Untuk keadaan ritel modern di sekitar Pasar Tradisional Kordon, masih ada beberapa ritel modern yang melanggar peraturan tersebut dengan durasi operasional melebihi 12 jam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel3. Jam Operasional Ritel Modern No. Ritel Modern Jam Operasional Durasi 1. Carrefour 09.00-22.00 13 jam 2. Borma 08.00-21.00 13 jam 3. Griya 09.00-21.00 12 jam 4. Yomart 07.00-22.00 15 jam 5. Indomaret 08.00-22.00 14 jam 6. Alfamart 08.00-23.00 15 jam Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat jika sebagian besar ritel modern yang ada disekitar Pasar Tradisional Kordon melanggar ketentuan Perda Kota Bandung. Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat jika Yomart dan Alfamart adalah dua ritel modern kecil yang memiliki durasi berjualan paling lama. Ketidaksesuaian ini menimbulkan adanya berbagai persepsi dari para pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon. Seperti telah dibahas sebelumnya, terdapat salah satu pedagang beras yang mengungkapkan jika ia sengaja membuka tokonya lebih awal sebagai salah satu strategi bisnis usahanya. Sampai saat ini jam operasional usaha ritel modern yang berada di sekitar Pasar Tradisional Kordon masih sama yaitu sebagian besar beroperasi lebih dari 12 jam. Untuk itu seharusnya pemerintah daerah setempat dapat lebih tegas menindak ritel modern yang beroperasi lebih dari 12 jam, karena dikhawatirkan nantinya ritel modern dapat memusnahkan pasar tradisional dan juga toko kelontong disekitarnya. PENUTUP Berdasarkan persepsi dari para pedagang beras, adanya ritel modern yang menjual beras tidak mengganggu usaha mereka. Dalam sektor ekonomi, berdasarkan persepsi para pedagang beras menunjukkan adanya ritel modern saat ini tidak berpengaruh. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berpengaruhnya ritel modern terhadap pendapatan usaha, volume penjualan, jumlah pembeli dan jam operasional usaha. Akan tetapi mereka merasa terganggu terhadap jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar. Dalam sektor sosial budaya, adanya ritel modern juga tidak berpengaruh. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berpengaruhnya budaya tawar menawar dan juga budaya kasbon. Akan tetapi persepsi pedagang beras terhadap pengaruh fasilitas yang diberikan akibat adanya ritel modern menunjukkan hasil positif. Berdasarkan hasil penelitian ini, ritel modern berpengaruh terhadap persepsi pedagang beras terkait fasilitas yang

Dokumen yang terkait

M02070

4 15 382