Tabel 9. Matriks Persepsi Pedagang Beras Terhadap Dampak Ritel Modern
70
71
Dinamika Produktivitas Padi Ditinjau dari Fluktuasi Susut Hasil serta Faktor Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Mempengaruhinya
Dynamics of Rice Productivity Seen from Fluctuation of Rice Yield Losses and Social, Economic and Cultural Factors that Determine Its
Elly Rasmikayati
1
, Asep Faisal
2
1
Departemen Sosektan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
2
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura , Kota Bandung
A B S T R A K Kata Kunci:
Produktivitas padi Susut hasil padi
Faktor sosial Faktor ekonomi
Faktor budaya
Upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan dalam rangka mencapai swasembada pangan masih terus dilakukan. Namun di sisi lain, kehilangan akibat tingkat susut
hasil padi yang tinggi menjadi salah satu permasalahan nyata yang harus segera diatasi. Tujuan dari artikel ini adalah mengidentifikasi dinamika produktivitas padi Jawa Barat,
memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di Jawa Barat dan mengidentifikasi faktor- faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil padi. Metode yang digunakan
adalah
two-phase mixed method
. Hasil penelitian mengungkapkan terjadinya fluktuasi yang lebih tajam dan laju pertumbuhan yang lebih lambat pada produtivitas padi Jawa Barat
dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian dinamika variasi susut hasil di Jawa Barat masih cukup memprihatinkan dan belum ada kecenderungan untuk turun, selama kurun
waktu 3 tahun selalu berada di level tertinggi pada 11,46 . Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor non teknis yang menjadi determinan terhadap susut hasil padi
yaitu faktor pendapatan usahatani, luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan. Implikasi kebijakan untuk mengatasi tingkat susut hasil gabah dan beras antara lain mendorong petani
untuk lebih memperhatian pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca panen padi untuk menurunkan susut hasil. Memberikan bantuan modal untuk petani yang luas lahannya
kurang dari 0,7 hektar. Melakukan pendekatan budaya untuk merubah perilaku panen dan pasca panen petani ke arah yang lebih baik namun tidak mengakibatkan disharmoni diantara
petani dan buruh tani buruh panen. Memodernisasi penanganan panen dan pasca panen melalui pemberian bantuan fasilitas alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase
menjadi II Phase dan bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya.
ABSTRACT
Keywords: Rice productivity
Rice yield
losses Social factor
Economics factor Culture factor
Government efforts to increase food production in order to achieve food self-
sufficiency is still underway. But on the other hand, the loss due to high yield losses of
rice to be
one of the real problems that must be addressed immediately. The purpose of this article is to reveal the dynamics rice production in West Java, reveal the dynamics of variation of
losses rice result in West Java, and identifies non-technical factors that influence rice yield losses. The method used is a two-phase mixed method. Results of the study revealed that occur
the sharper fluctuation and slower growth rate in rice productifity in West Java compared to Central Java and East Java, then the dynamics of the variation of losses results in West Java
is still quite alarming and there is no tendency to go down, during a period of 3 years has always been at the highest level at 11.46. The path analysis result showed that there are
non-technical factors that determine r
ice yield
losses including farm income, land area, feelings, norms and milling factors. The implication policies to overcome r
ice yield
losses are encouraging farmers to pay more attention for the cost of harvestpost-harvest treatment to
reduce rice yield losses. Give the financial aid for farmers with land area below 0.7 hectares. Perform a cultural approaches to change behavior of harvest and post-harvest farmers
towa rds the better, but do not lead to disharmony among farmers and farm workers harvest laborers. Modernize the ha rvest and post-harvest handling through the provision of facilities
alsintan especially revitalizing rice milling from Phase I into Phase II and technical guidance to improve the quality of its human resources.
Korespondensi Penulis Alamat e-mail: elly.agriyahoo.co.id
72
PENDAHULUAN
Pertambahan penduduk selalu berdampak pada peningkatan kebutuhan akan pangan, hal ini
mendorong berbagai upaya untuk meningkatkan produksi pangan. Dalam upaya meningkatkan
swasembada pangan khususnya beras, saat ini pemerintah sedang melakukan berbagai upaya
peningkatan produksi beras melalui perluasan areal dan optimalisasi lahan, peningkatan produktivitas
padi melalui bantuan benih, pupuk, alat mesin pertanian dan revitalisasi penggilingan padi dan
upaya-upaya lainnya.
Dalam 10 tahun terakhir 2004-2014, Jawa Barat merupakan penyumbang produksi padi terbesar
kedua setelah Jawa Timur dengan rata-rata produksinya sebesar 10.775.158 ton per tahun.
Berdasarkan Gambar 1, yang paling mencolok adalah produksi padi Jawa Barat tahun 2009-2011 yang
lebih besar dari Jawa Timur, bahkan pada tahun 2011 pada saat Jawa Timur dan Jawa Tengah mengalami
penurunan produksi yang sangat mencolok, Jawa Barat hanya mengalami penurunan yang sangat
sedikit. Namun demikian dari 2012 sampai sekarang, produksi padi Jawa Timur selalu di atas Jawa Barat
dengan selisih yang terlihat cukup mencolok.
Gambar 1. Grafik Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur periode 2004-2014 Sumber: Data BPS, diolah 2015
Turunnya produktivitas
Jawa Barat
dibandingkan Jawa Timur ini bisa disebabkan oleh banyak faktor diantaranya karena tidak maksimalnya
penggunaan input pertanian seperti benih, pupuk, pestisida dan teknologi produksi lainnya. Selain itu
fenomena
perubahan iklim
juga turut
mempengaruhinya. Menurut Rasmikayati 2014 terdapat kecenderungan bahwa tindakan adiptif dan
mitigatif terhadap perubahan iklim petani Jawa Timur lebih baik dari pada Jawa Barat. Penyebab lain
yang sangat rasional adalah terjadinya susut hasil padi yang cukup tinggi di Jawa Barat.
Susut hasil dapat terjadi sejak panen hingga pascapanen. Panen dan pascapanen padi adalah
tahapan kegiatan yang meliputi pemungutan pemanenan malai padi, perontokan, pembersihan,
pengangkutan, pengeringan,
penggilingan, penyimpanan sampai beras siap dipasarkan atau
dikonsumsi. Apabila susut hasil dapat ditekan serendah mungkin, maka upaya peningkatan
produksi padi dan beras dapat dicapai lebih efektif serta tidak akan mengeluarkan biaya yang terlalu
besar.
Hasil penelitian Setyono 2008 menunjukkan bahwa Jawa Barat dibandingkan dengan Jawa
Tengah, Lampung, Bali dan Kalimantan Selatan masih tertinggi persentase susut hasil padinya.
Dengan persentase susut hasil Jawa Barat yang diatas 10 ini merupakan angka yang sangat tinggi dan
jelas akan berdampak pada jumlah produksi padi yang dihasilkan Jawa Barat.
Tabel 1. Perbandingan Susut Hasil, Jabar, Jateng, Lampung, Bali dan Kalsel
Tahapan Persentase Susut Hasil
Jabar Jateng Lampung Bali Kalsel
Panen 3,56
1,88 2,80
1,34 1,53 Perontokan
3,64 2,85
4,45 4,20
0,32 Pembersihan
- 0,65
1,52 -
- Pengangkutan
1,13 0,49
1,40 0,67
1,46 Pengeringan
1,82 2,18
1,49 1,90
1,15 Penggilingan
2,14 2,57
1,51 1,22
1,58 Penyimpanan
1,65 -
- 1,75
1,35 Jumlah
13,94 10,62
13,24 11,08
7,39 Sumber: Setyono, 2008
,
Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya terus berupaya untuk menekan persentase susut hasil
ini melalui bantuan fasilitasi alat dan mesin pertanian alsintan serta bimbingan tehnis penanganan panen
dan pascapanen dengan target agar susut hasil gabah dan beras dapat ditekan untuk mencapai target 1
per tahun. Namun faktanya susut hasil berfluktuasi dan kalaupun turun jarang mencapai angka 1.
Dengan demikian, upaya-upaya pemerintah dalam menekan susut hasil padi ini belum begitu berjalan
dengan baik ditingkat petani, Kelompok Tani maupun Gapoktan. Hal itu menunjukan bahwa selain
faktor teknis terdapat juga faktor-faktor non teknis yang mempengaruhi tingginya persentase susut hasil
padi dan beras.
Faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat petani merupakan faktor-faktor non teknis yang
mungkin dapat mempengaruhi perilaku petani, buruh tani, maupun penggarap. Sistem sosial ekonomi dan
budaya ini sukar untuk berubah, meskipun berbagai introduksi teknologi maupun inovasi baru terus
dilakukan, dahulu adanya penolakan mekanisasi di beberapa daerah misalnya. Kemudian sistem panen
keroyokan, pengasag, remi, odong-odong, dan ngeprek merupakan salah satu budaya dari
masyarakat petani yang masih terjadi sampai saat ini.
73
Pemilik lahan, petani, petani penyakap atau petani penggarap tidak bisa mencegah perilaku tersebut
karena itu telah ada dan merupakan budaya dari masyarakat petani. Pertanyataannya adalah faktor-
faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi tingginya persentase susut hasil padi dan beras.
Selanjutnya, dari Tabel 1 didapatkan bahwa rata-rata persentase susut hasil padi berdasarkan hasil
penelitian Setyono 2008 adalah sebesar 13,94 . Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kita telah
kehilangan hasil produksi padi dengan angka yang cukup besar. Kehilangan produksi padi ini harus
dicegah atau diturunkan sampai seminimal mungkin agar dapat mencapai peningkatan produksi. Oleh
karena itu tujuan dari artikel ini adalah 1 Memaparkan dinamika dan komparasi produktivitas
padi Jawa Barat dari dahulu hingga saat ini; 2 Memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di
Jawa Barat; dan 3 Mengidentifikasi faktor-faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil
padi sehingga dari sini kita dapat menentukan implikasi kebijakan untuk mengatasi susut hasil.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP
Jawa Barat memang masih merupakan provinsi yang termasuk ke dalam 3 besar provinsi
penyumbang produksi padi nasional. Namun demikian produksi padinya selalu mengalami
fluktuasi naik turun. Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi penyebabnya diantaranya tidak
maksimalnya input pertanian yang digunakan, terjadinya fenomena perubahan iklim dan yang
terakhir adalah angka susut hasil padi Jawa Barat yang cukup besar. Untuk mengatasi susut hasil ini
berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya masih jauh dari target.
Faktor-faktor non teknis seperti faktor sosial, ekonomi, budaya seperti: umur, pendidikan,
pendapatan, luas lahan, pengalaman berusahatani, pengawasan, perasaan, kepercayaan, sangsi sosial,
norma dan sikap mempengaruhi perilaku petani dalam melaksanakan penanganan panen dan pasca
panen gabah dan beras. Kemudian juga teknologi petani mempengaruhi perilaku petani dalam
melaksanakan penanganan panen dan pasca panen gabah dan bears. Hal itu tercermin dari masih
tingginya persentase susut hasil padi dan beras, meskipun inovasi dan teknologi dalam bentuk
bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen gabah dan beras mulai panen, perontokan,
pengeringan dan pengggilingan setiap tahun diadakan, begitu juga fasilitasi alsintan panen dan
pasca panen padi dan beras yang terus dilaksanakan setiap tahun. Menurut Setyono 2008 titik kritis
susut hasil padi dan terletak pada sistem pemanen dan perontokan.
Berdasarkan hal tersebut, perbaikan sistem penerapan panen dan pasca panen padi dan beras
dalam upaya menekan susut hasil gabah dan beras harus mencakup seluruh sistem agribisnis dan aspek
teknis, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan petani kelompok tani Gapoktan setempat.
Perbaikan tersebut harus menguntungkan semua pihak yang terlibat, baik petani pemilik, buruh panen,
dan pengusaha jasa panen dan perontok. Dengan demikian, diperlukan pendekatan yang menyeluruh
terhadap komponen-komponen sistem agar dapat menemukan sifat-sifat penting dalam sistem,
sehingga diperoleh berbagai alternatif perbaikan keluaran yang dikehendaki. Karena itu, strategi
untuk mengatasi susut hasil ini harus lebih dilihat dari bagaimana cara mengatasi faktor-faktor non teknis
petani itu sendiri. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah
two- phase mixed method
Creswell
et. al
., 2008. Fase pertama
pada metode
ini dimulai
dengan pengumpulan literatur-literatur berupa dokumentasi
berbagai instansi terkait seperti Dinas Pertanian, BPS dan instansi lainnya serta hasil-hasil penelitian
dengan topik yang sama mengenai produktivitas dan susut hasil padi lalu dibandingkan dan dikaji secara
mendalam
untuk menggambarkan
dinamika produktivitas dan variasi susut hasil padi di Jawa
Barat. Selanjutnya pada fase berikutnya digunakan
data hasil survey pada daerah yang lebih spesifik untuk menghitung susut hasil dan menentukan
faktor-faktor non teknis yang menentukan susut hasil padi. Data tersebut adalah data yang bersumber dari
petani
yang melakukan
panen, perontokan,
pengeringan dan penggilingan padi di kabupaten Indramayu pada musim tanam 20142015. Data
mengenai susut
hasil didapatkan
dengan pengujianpengukuran langsung di sawah milik
petani yang bersangkutan, sedangkan data mengenai faktor-faktor
non teknis
didapatkan melalui
wawancara. Penghitungan susut hasil mengikuti prosedur
baku yang telah dikembangkan oleh BPS dan Deptan 2008. Rumus penghitungan susut hasil merupakan
penjumlahan dari susut saat melakukan panen, susut saat melakukan perontokan, susut pengeringan dan
susut penggilingan.
Metode analisis yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi susut
hasil adalah analisis jalur
path analysis
dengan persamaan struktural yang berisi 15 buah variabel
eksogen , , … ,
dan sebuah variabel endogen yaitu
persamaan struktural tersebut adalah:
74 = �
�.
+ �
�.
+ ⋯ + �
�.
+ Є Keterangan :
= Susut hasil gabah dan beras kg = umur tahun
= Pendidikan = Pengalaman usahatani tahun
= Tingkat pendapatan Rp = Luas lahan hektar
= Pengawasan = Perasaan
= Sanksi sosial
= Norma = Sikap
= Perontokkan = Pengeringan
= Penggilingan
�
�.
= Koefisisen beta dari sampai
Є = Kesalahan
disturbance term
Selanjutnya, untuk
menyusun strategi
menanggulangi susut hasil gabah dan beras akibat dari faktor-faktor non teknis seperti perilaku sosial
ekonomi, budaya dan teknologi petani pada setiap tahapanya, dilakukan analisis kualitatif dengan
mengacu
kepada identifikasi
perilaku sosial
ekonomi, budaya dan teknologi petani dalam melaksanakan panen dan pasca panen yang
signifikan mempengaruhi susut hasil kemudian dilakukan kajian lebih mendalam dengan analisis
kebijakan Timberben.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Produksi Padi Jawa Barat
Jawa Barat merupakan salah satu sentra utama padi nasional, kontribusinya pada tahun 2014 sekitar
16 . Rata-rata produksi padi Jawa Barat selama 1993-2014 tahun terakhir ini adalah sebesar
10.994.835 ton per tahun dengan rata-rata luas area panen seluas 1.927.089 hektar dan rata-rata
produktivitas sebesar 5,70 tonhektar.
Dalam hal produktivitas padi seperti tersaji pada Gambar 2, selama periode 1993-2014 rata-rata
produktivitas padi Jawa Barat adalah 5,29 tonhektar dengan
standard deviation
sebesar 0,43 tonhektar. Jawa Tengah juga mempunyai rata-rata produktivitas
padi yang hampir sama yaitu 5,285 tonhektar namun mempunyai
standard deviation
yang lebih kecil yaitu 0,22 tonhektar, ini menandakan variasi naik
turunnya produktivitas padi Jawa Barat lebih berfluktuasi dari pada Jawa Tengah. Selanjutnya
Jawa Timur adalah provinsi dengan rata-rata produktivitas padi paling tinggi yaitu 5,44 tonhektar
dengan
standard deviation
sebesar 0,35 tonhektar di mana angka ini lebih kecil dari Jawa Barat.
Gambar 2. Garafik Produktivitas Padi Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur periode 1993-2014 dalam kuintal per hektar
Sumber: Data BPS, diolah 2015
Dengan rata-rata produktivitas yang lebih kecil dan
standard deviation
yang lebih besar dari Jawa Timur mengindikasian bahwa terdapat penurunan
produktivitas padi yang sangat tajam atau laju pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat di Jawa
Barat. Seperti pada tahun 1998 di mana hampir semua daerah mengalami penurunan produktivitas
namun
Jawa Barat
mengalami penurunan
produktivitas yang sangat tajam hingga hanya mencapai 4,5 tonhektar.
Jawa Barat sebenarnya awalnya pada tahun 1993
merupakan yang
paling rendah
produktivitasnya diantara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun walaupun saat ini produktivitas Jawa
Barat masih lebih rendah dibandingkan Jawa Timur namun saat ini sudah lebih tinggi dari Jawa Tengah.
Dinamika Variasi Susut Hasil Padi
Persentase susut hasil padi di Jawa Barat ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Persentase Susut Hasil Padi di Jawa Barat Tahun 2009,
2010, dan 2011 Tahapan
Persentase Susut Hasil Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011 Panen
3.48 2.29
3.07 Perontokan
3.82 3.06
3.2 Pengeringan
2.35 3.31
3.06 Penggilingan
1.69 2.39
2.13 Jumlah
11.34 11.05
11.46 Sumber: Diperta Provinsi Jawa Barat, 2012
Dengan tingkat susut hasil sebesar 11,46, gabah yang tercecer sebesar 1.447.138,4 ton berasal
pada saat panen 387.671,44 ton GKP, perontokan 404.087,51 ton GKP, pengeringan 386.408,68 ton
GKP dan penggilingan 268.970,75 ton GKG. Susut hasil ini, jika dikonversikan ke dalam luas areal
sawah dengan rata-rata produksi Gabah Kering Panen GKP di Jawa Barat yang sebesar 5,6 ton per
hektar sama dengan 258.417,5 ha sawah tidak
75
dipanen. Kemudian jika dikonversikan ke dalam Harga Pembelian Petani HPP GKP Rp 3.300
ditingkat petani dan GKG Rp 4.200 per kg di Perum BULOG Inpres No.3. Tahun 2012 dari panen,
perontokan dan pengeringan, Gabah Kering Panen GKP
yang tercecer
setara dengan
Rp 3,887,953,179,000,-, sedangkan untuk penggilingan
Gabah Kering Giling yang tercecer GKG setara dengan Rp 1,129,677,150,000,-.
Berdasarkan Tabel 2, dinamika variasi susut hasil cenderung relative tetap pada level 11 - 12
dengan
standard deviation
sebesar 0,21 . Angka ini jelas masih terlalu tinggi dan belum terlihat
kecenderungan untuk menurun. Maka dari itu, angka susut hasil ini harus segera diturunkan agar program
peningkatan produksi padi di Jawa Barat dapat berjalan lebih efisien dan efektif. Selain itu, jika
permasalahan susut hasil padi di Jawa Barat yang angkanya cukup tinggi ini dapat diatasi dengan baik
maka produktivitas padi Jawa Barat dapat lebih baik lagi dan berpeluang untuk mengungguli Jawa Timur.
Dinamika Produktivitas dan Susut Hasil di Indramayu
Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten penghasil padi terbesar di Jawa Barat. Selama
periode 2009-2013,
rata-rata produksi
padi Indramayu adalah 1.311.664 ton, disusul oleh
kabupaten Karawang dan Subang dengan 1.098.891 ton dan 1.013.195 ton Disperta Jabar, 2014.
Gambar 2. Grafik Produktivitas Padi Kabupaten Indramayu,
Subang dan Karawang periode 2009-2013 dalam kuintal per hektar
Sumber: Disperta Provinsi Jawa Barat, diolah 2015
Gambar 2 menunjukkan bahwa dalam hal produktivitas padi, Kabupaten Indramayu memiliki
rata-rata produktivitas tertinggi. Selama periode 2009-2013 angkanya mencapai 6,09 tonhektar di
atas Karawang dan Subang yang masing-masing sebesar 5,98 tonhektar dan 5,86 tonhektar.
Namun demikian, jika dilihat dari nilai
standard deviation
produktivitasnya dalam periode yang sama, Indramayu memiliki nilai
standard deviation
yang lebih besar dari pada Karawang dan Subang. Nilai
standard deviation
produktivitas padi
Indramayu adalah 0,25 tonhektar, Subang sebesar 0,23 tonhektar dan Karawang sebesar 0,12. Dalam
hal ini Kabupaten Indramayu adalah yang paling tinggi fluktuasi naik turunnya. Kejadian susut hasil
tidak bisa dikecualikan
sebagai salah satu
penyebabnya. Untuk itu, hasil survey mengenai susut hasil di Indramayu akan dipaparkan dan dianalisis
lebih jauh. Hasil penghitungan susut hasil di Kabupaten
Indramayu disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil Penghitungan Susut Hasil di Kabupaten
Indramayu Statistik
Susut Hasil kg Panen Perontokan Pengeringan Penggilingan
Rata-rata
2.68 13.43
0.47 0.034
Simpangan baku
1.92 4.27
1.99 0.045
Sumber: Data Primer diolah, 2015
Faktor utama dari masih tinginya susut hasil gabah pada saat panen disebabkan petani masih
mengunakan sistem keroyokan. Dalam sistem keroyokan berkisar antara 20 - 30 orang pemanen
yang seringkali dilakukan malam hari pemanen dengan menggunakan sabit biasa berebut memotong
padi, akibatnya banyak rumpun padi yang terinjak dan patah. Pengunaan sabit biasa menyebabkan
tekanan terhadap rumpun padi sangat besar ketika batang padi dipotong sehingga banyak butir gabah
yang jatuh. Berbeda halnya jika menggunakan sabit bergerigi, karena tekanan terhadap rumpun padi
ketika batang padi dipotong lebih rendah daripada sabit biasa. Menurut Damarjati et al, 1990 sabit
bergerigi bisa menekan kehilangan hasil pada saat pemotongan padi sebesar 3. Selain itu, padi yang
telah dipanen dikumpulkan ditengah sawah dengan alas terpal plastik untuk dirontokan di pagi hari,
penundaan perontokan ini akan mempengaruhi kualitas gabah dan peningkatkan risiko kehilangan
hasil.
Berdasarkan Tabel 3, rata-rata susut hasil pada saat perontokan adalah yang paling tinggi
dibandingkan tahapan lainnya. Hal ini terjadi karena di lokasi penelitian atau umumnya di Indramayu padi
dirontokan dengan alat banting bertirai tanpa penghalang, jumlah batang padi seringkali lebih
besar dari genggaman tangan sehingga tidak terbanting dengan baik, jumlah bantingan antara 2-4
kali sehingga masih terdapat butir padi yang menempel di malainya dan batang padi yang
berjatuhan. Selain itu, ketika panen berakhir diikuti oleh pengeprek padi diorek-orek atau remi ngorek-
76 nogrek jerami yang di drop per mobil antara 10-15
orang yang
berasal dari
Desa sekitarnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Momo 34 tahun 2013 salah satu pengeprek hasilnya dapat
mencapai 30-60 kg per bau gabah bernas per orangnya. Hasil ngeprek dijual kepada bandar
pemilik mobil dengan harga Rp 3000 - Rp 3500 per kg. Ngeprek sudah menjadi kebiasaan di Indramayu
dan jika pemilik sawah melarang maka seringkali padi yang siap panen diganggu.
Kemudian pada proses pengeringan, padi dikeringkan ditengah sawah atau atau dihalaman
rumah, sambil dijemur biasa dibersihkan. Petani menggunakan karung plastik atau terpal plastik
sebagai alasnya. Disamping terjadi susut hasil karena tercecer juga seringkali adanya gangguan dari burung
dan ayam yang biasa berkeliaran disekitar rumah. Namun demikian dari Tabel 2 didapatkan nilai
simpangan baku susut hasil pengeringan sebesar 1,99 yang jauh lebih tinggi dari pada rata-ratanya, hal ini
menunjukkan sangat bervariasinya tingkat susut hasil petani pada saat melakukan pengeringan hasil panen.
Kemudian yang
terakhir pada
proses penggilingan nilai susut hasilnya adalah yang paling
kecil. Pada tahapan ini, susut hasilnya berupa gabah yang tercecer disekitar mesin penggiling, dan menir
beras patah banyaknya beras patah ini disebabkan oleh kadar air yang kurang dari 14 atau lebih dari
14. Biasa petani dalam mengeringkan gabah antara 12-15 akibatnya banyak terjadi butir hijau, butir
mengapur chalky, dan menir beras patah. Namun demikian, susut hasil penggilingan ini merupakan
keuntungan bagi pemilik penggilingan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Wagiono 2013 salah satu
pemilik penggilingan padi menir dan dedak merupakan keuntungan pemilik penggilingan padi
disamping biaya penggilingan. Menir diayak dengan ayakan halus menjadi tiga bagian yaitu menir patah
dua dijual Rp 600,0,- per kg, menir patah tiga Rp 4,500 per kg dan menir bebek patah 3 dijual Rp
4,000 per kg sementara dedak dijual Rp 2,500 per kg.
Faktor-Faktor Non Teknis yang Mempengaruhi Susut Hasil Padi
Berikut adalah hasil estimasi faktor-faktor non tenis yang menjadi determinan terhadap pendapatan
petani mangga setelah memenuhi asumsi-asumsi klasik dan
goodness of fit
. Dari hasil analisis akhir didapatkan 5 faktor yang mempengaruhi susut hasil
secara nyata yaitu tingkat pendapatan usahatani , luas lahan
, perasaan , norma
dan penggilingan
.
Tabel 4. Faktor-faktor Non Teknis yang Menjadi Determinan
terhadap Susut Hasil Variabel
Koefisien Jalur
�
�.
Tingkat
Signifikansi Status
0,877 0,000
Signifikan -0,468
0,020 Signifikan
0,357 0,010
Signifikan -0,368
0,005 Signifikan
0,357 0,007
Signifikan Uji-F
0,000 Signifikan
= , Ket
: Signifikan dengan tingkat kepercayaan 90 Signifikan dengan tingkat kepercayaan 95
Signifikan dengan tingkat kepercayaan 99 Sumber: Data Primer diolah, 2015
Tabel 5. Matriks Korelasi Antar Variabel
Y X
4
X
5
X
7
X
10
X
15
Y 1,000
0,361 0,169
0,071 -0,172 0,161
X
4
0,361 1,000
0,761 -0,203 0,128
-0,113 X
5
0,169 0,761
1,000 0,066
0,014 -0,136
X
7
0,071 -0,203
0,066 1,000
0,010 -0,205
X
10
-0,172 0,128
0,014 0,010
1,000 0,239
X
15
0,161 -0,113
-0,136 -0,205 0,239
1,000 Sumber: Data Primer diolah, 2015
Dari Tabel 4 dan Tabel 5 didapatkan nilai pengaruh langsung dan tidak langsung dari ke-5
faktor tersebut.
Tabel 6. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Pendapatan terhadap
Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung
0,7688 Pengaruh tidak langsung :
Melalui -0,3124
Melalui -0,0634
Melalui -0,0413
Melalui -0,0353
Pengaruh total ke
0,3162
Berdasarkan Tabel 6, secara langsung peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 76,88 ditentukan oleh faktor tingkat pendapatan. Namun jika dilihat dari pengaruh total
tidak langsung faktor tingkat pendapatan melalui luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan berubah
menjadi -45,25 yang berarti menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 45,25
ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan berbagai aspek dari faktor luas lahan, perasaan, norma dan
penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh pendapatan terhadap
tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 31,62, jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan
beras sebesar 31,62 secara total ditentukan oleh faktor tingkat pendapatan.
77
Hasil analisis
mengungkapkan bahwa
peningkatan pendapatan berkontribusi pada meningkatnya susut hasil. Dalam hal ini tinggnya
pendapatan ini disebabkan karena petani kurang menganggarkan biaya untuk sistem budidaya yang
lebih baik dan perlakuan panen dan pasca panen yang baik. Untuk itu, petani harus didorong untuk lebih
memperhatikan
pembiayaan pada
sistem budidayaproduksi
untuk meningkatkan
produktivitas dan perlakuan panen dan pasca panen untuk menurunkan susut hasil. Sehingga walaupun
hal ini akan meningkatkan biaya produksi namun akan tertutup oleh meningkatkan hasil dan sedikitnya
susut hasil padi.
Tabel 7. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Luas Lahan terhadap
Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung
0,2194 Pengaruh tidak langsung
Melalui -0,3124
Melalui -0,0111
Melalui 0,0023
Melalui 0,0228
Pengaruh total ke
-0,0790
Berdasarkan Tabel 7, secara langsung peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 21,94 ditentukan oleh faktor luas lahan. Namun jika melihat pengaruh total tidak langsung
faktor luas lahan melalui tingkat pendapatan, perasaan, norma dan penggilingan bernilai negatif -
29,84 yang berarti penurunan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 29,84 secara tidak
langsung ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan faktor-faktor pendapatan, perasaan, norma dan
penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh luas lahan terhadap
tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi -7,90, jadi menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 7,90 secara total ditentukan oleh faktor luas lahan.
Berdasarkan hasil analisis, menurunkan susut hasil disebabkan karena semain luasnya lahan petani.
Dalam hal ini terdapat kecenderungan bahwa petani dengan luas lahan ≥ 0,7 hektar cenderung berupaya
untuk memaksimalkan
biaya produksi
dan menggunakan teknologi baik untuk produksi, panen
dan pasca panen untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Untuk itu, petani dengan luas lahan
kurang dari 0,7 hektar yang kebanyakan bermodal seadanya perlu mendapatkan perhatian dengan
adanya bantuan permodalan agar dapat melakukan hal dilakukan petani yang luas lahannya lebih dari 0,7
hektar.
Tabel 8. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Perasaan terhadap Tingkat
Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung
0,1275 Pengaruh tidak langsung
Melalui -0,0634
Melalui -0,0111
Melalui -0,0014
Melalui -0,0262
Pengaruh total ke
0,0254
Tabel 8 menunjukan bahwa secara langsung peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar
12,75 ditentukan oleh faktor perasaan. Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung perasaan
melalui faktor pendapatan, luas lahan, norma dan penggilingan berpengaruh negatif sebesar -10,21
yang berarti secara tidak langsung penurunan tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 10,21
ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari faktor faktor tingkat pendapatan, luas lahan, norma
dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh perasaan terhadap tingkat
susut hasil gabah dan beras menjadi 2,54, jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 2,54 secara total ditentukan oleh faktor perasaan.
Tabel 9. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Norma terhadap Tingkat
Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung
0,1351 Pengaruh tidak langsung
Melalui -0,0413
Melalui 0,0023
Melalui -0,0014
Melalui -0,0314
Pengaruh total ke
0,0634
Tabel 9 menunjukan bahwa secara langsung peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar
13,51 ditentukan oleh faktor norma. Namun jika dilihat dari pengaruh tidak langsung faktor norma
melalui pendapatan, luas lahan, perasaan, dan penggilingan berpengaruh negatif sebesar
–7,18 yang berarti penurunan tingkat susut hasil gabah dan
beras sebesar 7,18 secara tidak langsung ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari
faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini
mengurangi total pengaruh norma terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 6,34. Jadi
meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 6,34 secara total ditentukan oleh faktor
norma.
Jika dibandingkan antara pengaruh tidak langsung perasaan -10,21 dengan total pengaruh
78 perasaan 2,54 jauh lebih besar pengaruh total tidak
langsung, artinya sebenarnya dengan meningkatkan rasionalitasnya dan mengurangi unsur menjaga
perasaan petani seperti membatasai jumlah pemanen, menggunakan perontok mesin, mengeringkan dalam
lamporan, dan menggiling di penggilingan besar mereka dapat menurunkan susut hasilnya. Namun
hal ini tidak dilakukan. Di lokasi penelitian sudah biasa siapa saja bisa ikut panen meskipun pemilik
sawah tidak menyuruhnya, bahkan ketika panen sedang berlangsung orang bisa langsung ikut panen.
Pemilik sawah menyadari hal itu merugikan karena semakin banyak jumlah pemanen maka kerusakan
padi akibat terinjak karena berebut akan semakin banyak, namun tidak bisa melarangnya karena karena
empati terhadap orang lain dan takut orang tersebut akan tersinggung dan marah.
Artinya kesadaran akan kerugian dengan mempertahankan norma-norma yang berlaku ketika
melaksanakan sistem panen, perontokan pengeringan dan penggilingan ada. Namun kesadaran ini tidak
dinyatakan dalam tindakan karena norma-norma itu sudah menjadi kebiasaan. Sangat sulit untuk merubah
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat pedesaan, karena itu sudah lama terjadi dan sudah
menjadi
patokan dalam
perilaku sehari-hari
seseorang yang melanggar norma akan dikenai sangsi sosial dari masyarakat disekitarnya.
Tabel 10. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Penggilingan terhadap
Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras Pengaruh langsung
0,1276 Pengaruh tidak langsung
Melalui -0,0353
Melalui 0,0228
Melalui -0,0262
Melalui -0,0314
Pengaruh total ke
0,0575
Tabel 10 menunjukan secara langsung peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras
ditentukan oleh faktor penggilingan sebesar 12,76. Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung
penggilingan melalui faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, dan norma sebesar -7,01. Jadi pengaruh
langsung penggilingan terhadap tingkat susust hasil gabah dan beras yang tadinya positif setelah melalui
faktor pendapatan, perasaan, dan norma berubah menjadi negatif, namun tetap positif ketika melalui
faktor luas lahan meskipun sangat kecil. Ini berarti bahwa secara tidak langsung tingkat susut hasil
gabah dan beras sebesar 7,01 dapat diturunkan melalui perbaikan dan peningkatan dari faktor faktor
pendapatan, perasaan, dan norma. Pengaruh total tidak langsung ini mengurangi total pengaruh
langsung penggilingan terhadap tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 5,75. Jadi secara total
faktor penggilingan dapat meningkatkan tingkat susut gabah dan beras sebesar 5,75.
Hal itu terjadi karena sebagian besar petani dilokasi
penelitian menggiling
padinya ke
Penggilingan Padi Kecil PPK dengan kategori I Phase milik petani lainnya atau milik kelompok
taninya yang sudah berumur tua dan proses penyosohannya secara abrasif. Menurut Nugraha dan
Tim, 2008 mesin penggilingan I Phase adalah pengilingan padi dimana mesin pemecah kulit
husker
menyatu dengan mesin penyosoh
polishe
r. Gabah dimasukan ke dalam
hooper
hasilnya beras pecah kulit, kemudian dimasukan lagi hasilnya
menjadi beras. Implikasi kebijakan dapat difokuskan pada modernisasi di bidang pertanian melalui
bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen gabah dan beras dan fasilitasi alsintan terutama
revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II Phase.
PENUTUP
Dinamika produktivitas padi di Jawa Barat cenderung memiliki fluktuasi yang lebih tajam dan
laju pertumbuhan
yang lebih
lambat pada
produtivitas padi Jawa Barat dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tinjauan dari segi variasi
susut hasil pun cenderung relative masih terlalu tinggi dan belum ada kecenderungan untuk menurun.
Susut hasil ini harus segera diatasi agar program peningkatan produksi padi dapat berjalan lebih
efisien dan efektif.
Berdasarkan analisis
simultan faktor
pendapatan, luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan mempengaruhi tingkat susut hasil
gabah dan beras sebesar 38,34, dan 61,66 dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar penelitian
ini. Dari variabel ekonomi diwakili oleh faktor pendapatan dan luas lahan. Peningkatan tingkat susut
hasil gabah dan beras sebesar 31,62 secara total dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, namun
menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 7,90 secara total dipengaruhi oleh faktor
luas lahan. Dari variabel teknologi petani diketahui bahwa naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 5,75 secara total dipengaruhi oleh faktor penggilingan. Sedangkan dari variabel budaya
naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar 2,54 secara total dipengaruhi oleh faktor perasaan,
dan sebesar 6,34 secara total dipengaruhi oleh faktor norma.
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengatasi penurunan produktivitas karena tingginya tingkat
susut hasil dapat dibuat implikasi kebijakan diantaranya:
79
1 Petani harus didorong untuk lebih memperhatian pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca
panen padi untuk menurunkan susut hasil. 2 Memberikan bantuan modal untuk petani yang
luas lahannya kurang dari 0,7 hektar. 3 Melakukan pendekatan budaya yang dapat
merubah penanganan panen dan pasca panen menjadi lebih baik dan tidak mengakibatkan
disharmoni diantara petani dan buruh tani buruh panen dan saling menguntungkan kedua belah
pihak.
4 Memodernisasi penanganan panen dan pasca panen melalui pemberian bantuan fasilitas
alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II Phase dan bimbingan
teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya.
DAFTAR PUSTAKA BPS dan Departemen Pertanian. 2008.
Laporan Hasil Survei Susut Panen Dan Pasca Panen
GabahBeras
. Kerjasama Badan Pusat Statistik Dan Departemen Pertanian. Jakarta.
BPS. 2015. Luas Lahan, Produktivitas, dan Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Melalui situs www.bps.go.id. Creswell, J.W. and V.L.P. Clark. 2008. Designing
and Conducting Mixed Methods Research. Sage Publications. London.
Damardjati, Djoko Said. 2010. Kebijakan Pemerintah Dalam Peningkatan Mutu dan Nilai
Tambah Pengolahan GabahBeras. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional.
Diperta Provinsi Jawa Barat. 2014.
Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan
Produktivitas Pa di Sawah Menurut Kabupaten Dan Kota Tahun
2009 - 2013 di Jawa Barat.
Melalui situs http:diperta.jabarprov.go.idindex.phpsubMe
nu1780. Enrico. 2012.
Teknologi Penanganan Panen Dan Pasca Panen Padi Dalam Menekan Susut Hasil
. Makalah. BPPP Balai Besar Penelitian Pasca
Panen, Bogor. Iswari, K. 2012.
Kesiapan Teknologi Panen dan Pascapanen Padi dalam Menekan Kehilangan
Hasil dan Meningkatkan Mutu Beras
. Jurnal Litbang Pertanian.
Nhamo, N., J. Rodenburg, N. Zenna, G. Makombe and A.L. Kihupi. 2014.
Narrowing the rice yield gap in East and Southern Africa: Using
and Adapting Existing Technologies.
Elsevier. Nugraha, Sigit dan Tim. 2008. Metode Menekan
Kehilangan Hasil Padi. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Bogor.
Oerke, E.C., H.W. Dehne, E. Schonbeck, and A. Weber. 1999.
Crop Producing and Crop Protection: Estimated Lossing in Major Food
and Cash Crop
. Elsevier. Netherland. Raharjo, B., D. Hadiyanti, dan K. A. Kodir. 2012.
KajianKehilangan Hasil Pada Pengeringan dan Penggilingan Padi di Lahan Pasang Surut
Sumatera Selatan.
Jurnal Lahan Suboptimal. Vol. 1, No.1: 72-82.
Rasmikayati, E.
2014. Perubahan
Iklim: Dampaknya
Terhadap Perilaku
Serta Pendapatan Petani. Bandung.
Setyono, Agus. 2008.
Teknologi Penanganan Pasca Panen Padi
. Makalah. Disampaikan Pada Lokakarya Kegiatan Pengkajian Pemanfaatan
Alat Dan Mesin Pertanian Alsintan Pasca Panen Padi Sawah. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Barat, Bandung Desember 2008.
80
81
Pola Pembiayaan Usahatani Manggis di Kabupaten Subang
Financing of Mangoestain Farming in Kabupaten Subang
Eti Suminartika
Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padajdajran
A B S T R A K Kata Kunci:
Manggis, pembiayaan
usahatani, kelembagaan
pembiayaan, pola pembiayaan
Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri, namun hanya 10 persen saja manggis kita yang dapat diekspor. Budidaya tanaman manggis
masih sangat tradisional, jarang dipupuk, dibersihan dan dipangkas. Masih sedikit petani yang menerapkan standar operasional prosedur SOP, demikian pula halnya di
kabupaten Tasikmalaya dan Subang. Rendahnya upaya pemeliharaan tanaman manggis dapat disebabkan oleh keterbatasan dana yang ada di petani.
Tujuan umum penelitian ini adalah mencari bentuk skim pembiayaan usahatani manggis, sedangkan tujuan spesifiknya adalah: 1 Menganalisis kendala apakah
sehingga petani kurang memelihara kebunnya 2 Menganalisis kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani 3 Menganalisis pola pembiayaan usahatani manggis
4 Menganalisis kemampuan financial petani untuk pemeliharaan kebun manggis Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer yang diperoleh dari petani
dengan menggunakan metoda survey. Selanjutnya data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan analisis matematik dan ekonometrik. Penelitian
dilaksanakan di sentra produksi manggis Jawa Barat yaitu di kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Subang. Kendala yang dihadapi petani manggis sehingga kurang
memelihara kebunnya adalah permodalan, Kendala teknis terutama cara pemanenan hasil yang kurang baik. Bentuk kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani
umumnya mereka memperoleh modal terutama dari sendiri, sebagian pinjaman dari luar terutama dari bandar. Pola pembiayaan usahatani tani manggis, mereka
mengeluarkan dana saat pohon manggis mau berbunga untuk penyiangan, saat panen untuk biaya panen, setelah panen untuk pemupukan. Dana yang digunakan untuk
membiayai usahatani menggis relatif kecil. Kemampuan financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis sangat rendah karena hasil panen manggis yang sedikit
dan usaha ini merupakan usaha sampingan.
Korespondensi Penulis Alamat e-mail:
82
LATAR BELAKANG
Komoditas hortikultura menyumbang PDB sekitar 21,17 dari PDB sector pertanian dan
menduduki urutan kedua setelah subsector tanaman pangan Ditjen Hortikultura, 2009. Salah satu
komoditas hortikultura yang mempunyai prospek cerah untuk tujuan ekspor maupun pasar dalam
negeri adalah manggis Garcinia mangostona, L. Ekspor manggis menempati urutan pertama ekspor
buah Indonesia yang kemudian diikuti oleh nenas dan jeruk.
Pusat penamanam manggis di Indonesia adalah di Kaltim, Kalteng, Jawa Barat, Jawa Timur,
Sumatra Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sulawesi Utara. Sedangkan sentra produksi manggis terbesar
berada di Jawa Barat yang memberikan kontribusi 38 terhadap produksi nasional. Sentra produksi
manggis manggis di Jawa Barat adalah Kabupaten Purwakarta, Subang, Bogor dan Tasikmalaya.
Kontribusi produksi manggis dari empat kabupaten tersebut sebesar 90 terhadap total produksi Jawa
Barat dan 29 .terhadap produksi nasional sebesar. Meskipun manggis sudah dapat diekspor, namun
belum didukung oleh ketersediaan buah dengan mutu yang tinggi. Relatif rendahnya mutu buah manggis di
sentra produksi, dikarenakan pengelolaan kebun bersifat tradisional dan system produksinya masih
bergantung pada alam. Pada umumnya tanaman manggis sudah tua berumur lebih dari 100 tahun dan
warisan orang tua. Sedangkan, peremajaan tanaman baru dilakukan akhir 1990-an. Oleh karena itu buah
manggis yang dapat diekspor kurang dari 10 dari total produksi.
Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri. Permintaan dari kedua
pasar tersebut melebihi produksinya. Untuk pasar luar negeri, jumlah produsenpemasok manggis
masih terbatas seperti Malaysia, Thailand dan negara-negara Amerika latin. Negara tujuan ekspor
manggis dari Indonesia adalah Cina, Hongkong, Taiwan, Timur Tengah dan Eropa. Thailand sebagai
negara potensial penghasil manggis dunia mampu memberikan harga yang lebih murah, hal ini dapat
mengancam pasar ekspor manggis kita. Untuk memenangkan persaingan maka harga harus lebih
murah dan kualitas harus lebih baik
Oleh karena itu untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa ekspor maka perlu perbaikan
kualitas manggis Indonesia. Untuk meningkatkan kualitas manggis perlu adanya dana untuk membiayai
usahatani manggis, oleh karena itu perlu dikaji hal- hal yang erat kaitannya dengan dana yang bisa
digunakan untuk usaha tersebut.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah
1 Bagaimanakah kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani?
2 Bagaimanakah pola pembiayaan usahatani manggis yang dilakukan petani?
3 Bagaimanakah kemampuan financial petani untuk pemeliharaan kebun
manggis METODE PENELITIAN
Teknik Penarikan Sampel
Kabupaten Subang merupakan salah satu sentra manggis Jawa Barat, Sentra produksi manggis
berada di kecamatan Sagala Herang yaitu di desa Dayeuhkolot dan desa Sukamandi, pengambilan
sampel dilakukan secara random dengan presentase masing yaitu 10 persen dari jumlah populasi, menurut
Gaspersz 1991 apabila peneliti tidak ada pengetahuan tentang besarnya ragam populasi S
atau proporsi populasi P dan tidak dapat memperkirakannya, maka ukuran sampel n dapat
diambil 5 persen, 10 persen, dan 25 persen.dari jumlah populasi. Selanjutnya menurut Gaspersz
1991, untuk ukuran contoh yang lebih besar dari 30 maka sebaran data dalam contoh akan menyebar
mendekati sebaran normal, selain pertimbangan di atas pengambilan sampel didasarkan pula pada
ketersediaan dana dan tenaga yang dimiliki. Penarikan sampel mengikut pola sbb:
Alat analisis untuk kendala yang dihadapi petani
Untuk mengungkap kendala petani terutama tidak memelihara kebunnya yang berkaitan dengan
keterbatasan dana akan dianalisis secara deskriptif, dengan cara menjelaskan kendala-kendala yang
dihadapi petani, kenapa mereka kurang memelihara kebunnya. Kendala dibagi dua kelompok yaitu
kendala yang dihadapi petani manggis pengekspor dan petani manggis untuk tujuan pasar local
Analisis
untuk mengungkap
kelembagaan pembiayaan
petani dalam
membiaya usahataninya
Untuk mengungkan
kelembagaan pembiayaan di petani yang berkaitan dengan
usahatani manggis, maka akan dideskripsi mengenai cara-cara petani mendapatkan dana baik dana dari
dalam maupun dari luar, dari mana sumber dana tersebut, bagaimana mensolusikan permasalahan
dana, aturan apa yang diikuti untuk mendapatkan dana tersebut, dll. Kelembagaan akan dibedakan
dalam dua bentuk yaitu kelembagaan yang diikuti petani manggis pengekspor dan petani manggis
untuk tujuan pasar local
83
Analisis untuk mengungkap pola pembiayaan petani dalam membiaya usahataninya
Untuk mengungkan pola pembiayaan di petani yang berkaitan dengan usahatani manggis,
maka akan dideskripsi mengenai besarnya dana yang diperlukan, besarnya dana yang diaplikasikan, kapan
waktu dana dibutuhkan, dll Pola pembiayaan mencakup dua pola yaitu pola
pembiayaan yang dilakukan petani manggis pengekspor dan petani manggis untuk tujuan pasar
local Alat analisis untuk mengukur kemampuan
financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis
Mampu atau
tidaknya petani
dalam memelihara kebun didasarkan pada kemampuan
dalam menciptakan surplus pendapatan keluarga. Karena adanya surplus pendapatan memungkinkan
petani melakukan pemeliharaan pohon manggis nya. Surplus pendapatan keluarga merupakan selisih
antara pendapatan dan pengeluaran keluarga yang diformulasikan sebagai berikut:
S
f
= Y
j
- C
i
dengan batasan: S
f
Y
j
C
i
: surplus pendapatan keluarga Rp : pendapatan keluarga Rp
: pengeluaran konsumsi Rp
Jika didapatkan nilai S
f
0, maka petani dikatakan tidak memiliki kemampuan memelihara
pohon, dan jika nilai S
f
0, maka dikatakan petani memiliki kemampuan memelihara pohon
Pendapatan petani manggis terdiri dari berbagai sumber di antaranya: pendapatan dari usaha
manggis dan pendapatan sampingan. Sedangkan pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pangan,
sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan kemasyarakatan. Selain ada tidaknya kemampuan
memelihara pohon juga akan dilihat aspek lainnya yang erat kaitannya dengan modal usahatani manggis
meliputi besar modal sendiri, sumber modal petani
Dihasilkan informasi tingkat kemampuan financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis,
sehingga dapat diprediksi apakah memerlukan bantuan modal dari luar kredit
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola pembiayaan Petani Manggis
Pola pembiayaan meliputi besarnya biaya dana yang dimiliki petani untuk usahatani manggis,
waktu penggunaan
dan sumber
pembiayaan itusendiri. Pola pembiayaan yang dilakukan petani
manggis kabupaten Subang meliputi: Besarnya biaya yang digunakan petani
manggis adalah 25.519,51 rupiah per pohon Tabel 1, petani mengeluarkan biaya tersebut dalam
usahatai manggis mulai saat pohon manggis mau berbuah yaitu digunakan
untuk pemupukan, penyiangan dan pemanenan. Petani di Kabupaten
Subang tidak secara husus mengeluarkan dana untuk perluasan kebun dikarenakan lahan yang dimilki
sudah terbatas. Tabel 1. Biaya, Penerimaan dan Pendapatan petani
dari Usahatani Manggis
Item Nilai
Rp Persentase
Nilai per pohon
Penerimaan 4.336.969,7
100,0 135.658,76
Biaya variabel
593.366.7 72,6
18.542,71 Biaya tetap
223.257 27,3
6.976,79 Total biaya
816.624 100,0
25.519,51 Pendapatan
3.650.345,5 84,2
110.010,79
Jumlah dana
yang digunakan
untuk pemupukan adalah 9.867 rupiah per pohon tabel 2,
dana pemupukan digunakan pada bulan Mei, pemupukan tersebut dilakukan sekali dilakukan oleh
50 responden dalam setahun hanya sebagian kecil 3 responden yang memupuk dua kali dalam
setahun, sisanya 47 petani tidak memupukpohon manggisnya. Minimnya penggunaan dana untuk
pemupukan dikarenakan nimnya dana yang dimiliki petani dan usahatani manggis merupakan usaha
sampingan. Pupuk yang digunakan umumnya pupuk kandang yang harganya relatif lebih murah. Pupuk
diberikan sekarung per pohon manggis berbuah. Pohon manggis yang belum berbuah umumnya tidak
diberi pupuk, walaupun diberi pupuk tapi hanya sedikit dan dilakukan oleh sebagian kecil petani. Jadi
secara umum petani memupuk pohon manggis yang akan berbuah sudah terlihat bunga dengan harapan
buahnya banyak. Minimnya pemupukanyang dilakukan petani menyebabkan bauah manggis yang
dihasilkan relatif kecil ukuranya.
Tabel 2. Biaya bahan Usahatani Manggis
Dana untuk penyiaangan digunakan sebesar 12.893 rupiah per pohon, penyiangan dilakukan dua
kali dalam setahun dilakukan oleh 61 responden. Sisanya sekali setahun atau lebih Minimya kegiatan
penyiangan yang dilakukan petani karena kebiasaan
Jenis bahan Nilai
Rp Persentase
pupuk 62.597
7,5 Pestisida
17.276 2,0
total 78.253
9,5
84 mereka kebun manggis dibiarkan, merupakan kebun
campuran, dana yang dimiliki terbatas dan usahatani manggis merupakan usaha sampinga. Dampak
minimnya dana penyiangan maka kebun petani dipenuhi ilalang, kelihatan kurang terawat. Mereka
melakukan penyiangan menjelang pohon manggis berbuah dimaksudkan agar memudahkan saat panen
nanti. Petani membiarkan kebunnya karena selain usahatani merupakan usaha sampingan, mereka juga
terbatas dana untuk penyiangan.
Tabel 3. Biaya Tenaga Kerja Usahatani Manggis
Jenis kegiatan Nilai
Rp Persentase
Nilai per pohon
Penyiangan 201.212
24,6 Pemangkasan
10.606 1,2
Pemupukan 105.151
12,9 Pemberantasan
HPT 15.151
1,8 Pemanenan
94.954 11,5
Pengangkutan 94.954
11,5 total
511.424 62,6 15.982,00
Penyiangan biasanya dilakukan di sekitar pohon manggis. Penyiangan dilakukan secara
manual, yaitu dilakukan pembabatan gulma dengan menggunakan parang. Biaya tetap termasuk
peralatan yang dikeluarkan petani setahun sebesar 6.979,29 rupiah
Tabel 4. Biaya Tetap Usahatani Manggis
Jenis biaya
Nilai Rp
Persentase Nilai
Per pohon
Biaya alat
130.000 15,9
4.062,50 PBB
93.257 11,3
2.914,29 Biaya
tetap 223.257
27,3 6.976,79
Biaya panen terbagi dua yaitu dengan mengikuti sistim tebasan, biaya panen di tanggung
penebas, oleh penebas biaya panen tersebut dibebankan kepada harga beli yang diberikan kepada
petani manggis. Tebasan dilakukan petani dikarenakan simpel nya sitem tersebut, petani tidak
usah memetik, mengangkut dan mencari pembeli. Dengan sistim tebasan petani langsung menerima
dana dari penebas walaupun harga jual manggis yang diterima petani lebih rendah. penerimaan yang
diterima petani dengan sistim tebasan sekitar 124.024 rupiah per pohon, sementara penerimaan yang
diterima petani dengan sistim dikilo 151.358 rupiah per pohon harga jual per kilo 5.304 rupiah, satu
pohon menghasilkan sekitar 28,5 kilogram.
Tabel 5. Penerimaan Usahatani Manggis
Sistim tebasan
Satuan Nilai
Rp Keterangan
Jumlah pohon
pohon 39,25 60
responden Harga per
pohon Rupiah
124.203,80
Penjualan di kilo
Jumlah berat
kilogram 489,29 40
responden Harga per
kilogram Rupiah
kilogram 5.304
Penerimaan
Nilai penerimaan
4.336.969,70 Rata-rata
Jumlah pohon
32 Penerimaan
per pohon 135.658,76
Biaya panen dengan mengikut penjualan dikilo biasanya dikeluarkan jika petani menggunkan
orang lain untuk panen, besarnya biaya tersebut mengikut sistim borongan yaitu 750 rupiah per
kilogram manggis yang dipanen dan 750 rupiah per kilogram manggis yang di angkut. Biaya panen ini
lebih kurang 30 persen dari harga jual yang diterima petani 5.304 rupiah per kilogram. Sistim panen
borongan ini berpengaruh pada kualitas manggis yang
dihasilkan karena
pemborong pemetik
mengejar jumlah petikan ataupun pengangkutan, hal ini berpengaruh pada kualitas manggis yang dipetik,
mengingat kualitas manggis salah satunya ditentukan oleh sistim pemanenan. Banyaknya buah manggis
yang memar akan menurunkan harga jual.
Kelembagaan Pembiayaan
Kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani manggis, petani mengandalkan biaya sendiri
untuk usahatani manggis atau seadanya atau relatif tanpa adanya sumber dana dari luar. Akibatnya,
petani berada dalam keadaan kekurangan dana untuk kebunnya. Kelembagaan informal penyandang
dana yang diakses petani adalah pinjaman dari bandar dengan menjaminkan usahataninya misal saat
pohon manggis nya sedang berbuah maka dijaminkanlah untuk meminjam uang ke bandar
dengan sarat penjualan dilakukan ke bandar dengan harga yang ditentukan bandar baik mengikut sistim
tebasan atau sistim dikilo tentunya dengan harga yang lebih rendah. Petani meminjam uang ke bandar
bukan untuk memelihara kebunnya namun lebih banyak digunakan untuk kebutuhan lainnya, sebagian
kecil saja dana pinjaman dari bandar itu untuk biaya panen.
Kelembagaan formal yang bisa diikuti petani sangat terbatas, meliputi koperasi dan perbankan
85
BRI. Koperasi yang ada berupa koperasi simpan pinjam namun kurang berjalan karena terbatasnya
modal. Keberadaan koperasi sangat minim, koperasi biasanya berupa simpan pinjam, diikuti olah sedikit
petani karena pinjaman yang bisa diberikan terbatas, akatifitas lainnya koperasi menjual barang-barang
kebutuhan petani kebutuhan sehari-hari, kebutuhan usahatani. Dengan demikian keberadaan koperasi
kurang berjalan.
Perbankan BRI yang ada berada dekat kota kecamatan. Lembaga perbankan tersebut hanya
memberikan pinjaman untuk usaha dagang atau untuk tujuan lainnya, bukan menghususkan untuk
usahatani manggis. Relatif jarangnya petani meminjam ke bank karena prosudur yang rumit
dibandingkan meminjam ke bandar, juga jarak yang relatif jauh.
Kemampuan finansial petani
Pendapatan keluarga petani manggis per tahun sebesar 22.434.242,42 rupiah yang terdiri dari
berbagai sumber: usahatani non manggis yang meliputi usahatani sawah, usahatani tegalan dan
diluar usahatani pensunan, wiraswasta dll.
Pendapatan usaha tani manggis ternyata hanya merupakan
pendapatan samingan
mengingat kontribusinya
hanya 13,9
persen terhadap
pendapatan keluarga. Sisanya sebesar 86,1 persen berasal dari pendapatan diluar usahatani manggis.
Pendapatan keluarga terlihat seperti di tabel
Tabel 6. Pendapatan Keluarga Petani Manggis
Jenis pendapatan
Nilai Rp
Persentase
Usahatani manggis
3.650.345,50 13,9
Usaha non
manggis 22.434.242,42
86,1 26.084.587,88
100,0
Pengeluaran keluarga petani manggis per tahun sebesar 19.740.788rupiah yang sebagian besar
79,38 digunakan untuk kebutuhan pokok, besarnya persentase pendapatan keluarga untuk kebutuhan
pokok mencerminkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih rendah.
Tabel 7. Pengeluaran Keluarga Petani Manggis
Jenis Pengeluaran
Nilai Rp
Presentas e
keterangan
Kebutuhan pokok
Listrik dan air Pendidikan
kesehatan 15.730.550,
1.553,891,5 446.363,7
909.090,9 79,38
7,84 2,25
4,59 3,72
Pengeluara n
didominasi untuk
Jenis Pengeluaran
Nilai Rp
Presentas e
keterangan
Sandang Kemasyarakat
an 737.878,8
438.125,0 2,21 kebutuhan
pokok Jumlah
19.740.788 100,00
Petani hanya memiliki kemampuan finansial yang sangat rendah, hal tersebut terlihat dari surplus
pendapatan sebesar 6.343.800,00 rupiah per tahun, namun demikian hanya sebagian responden 61
yang memeiliki surplus, sisanya 39 petani dalam kondisi defisit. Petani alainnya dalam kondisi pas-
pasan dan dalam kondisi kekurangan. Rendahnya kemampuan finansial tersebut karena usahatani yang
mereka ikuti skalanya kecil, usahtani manggis merupakan usaha sampingan, pendapatan dari
sumber lain terbatas. Berikut disajiakan nilai surplus pendapatan petani
Tabel 8. Surplus Pendapatan Keluarga Petani Manggis
Unsur Nilai Rp
Persentase
Pendapatan keluarga 26.084.587,88
100,0 Pengeluaran keluarga
19.740.788,88 73,0
Surplus pendapatan keluarga
6.343.800,00 27,0
KESIMPULAN
1 Pola pembiayaan petani manggis mengikut
kegiatan usahatani yang dilakukan, biaya dikeluarkan saat sebelum pohon manggis
berbubunga, yaitu dilakukan penyiangan pada bulan Juni dan Oktober, selanjutnya pemanenan
dari bulan Februar sampai bulan Mei dan selesai panen mereka memupuk pohon manggis pada
bulan Mei. Dana yang dikeluarkan untuk usahatani manggis jumlahnya sangat minim,
berasal dari dana pribadi.
2 Kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani
adalah kelembagaan non formal pinjam ke bandar jika mereka kekurangan dana untuk
kebutuhan keluarga dengan jaminan tanaman yang akan dipanen termasuk menjaminkan
pohon manggis
3 Kemampuan finansial pertani Manggis sangat
rendah sehingga mereka menterlantarkan kebun manggis memiliki, mereka mengeluarkan dana
yang sangat terbatas untuk memelihara kebun manggis,
disamping itu
usaha manggis
memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap pendapatan keluarga
86
SARAN
1 Perlunya dukungan dana dari luar sehingga
petani dapat membiayai kebun manggisnya 2
Perlunya dorongan dari pihak terkait agar petani memanen sendiri, mengikuti sistim penjualan
secara dikilo, mengingat sistim ini dapat memperbaiki mutu manggis dan memberikan
harga jual yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bagi, F. S and I. .J Singh. 1974.
A Microeconomic Model of Farm Decisions in an LDC: A
Simultaneous Equation Approach. Occasional Paper. No.207. Department of Agricultural
Economics and Rural Sociology.
The Ohio State University. Columbus-Ohio.
Becker, Gary S. 1965. A Theory of the Allocation of Time. Journal of Economic, Vol. LXXV 299,
September 1965. Columbia. Departemen Pertanian. 2007.
Profil Manggis Di Indonesia
. Departemen Pertanian. Jakarta Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. 2012.
Potensi Tanaman Buah-buahan. Melalui: www.tasikmalayakota.go.id
Dinas Pertanian Kabupaten Subang. 2012 Potensi Pertanian Melalui: www.subang.go.id
Eti Suminartika 1997. Kemampuan Petani PIR The dan Kelapa Sawit dalam Peremajaan Tanaman.
IPB, Bogor. Eti Suminartika 2006. Kemampuan Pembentukan
Modal Usaha pada Industri Pengolah Kedele di Kota Bandung. UNPAD, Bandung.
Gaspez, Vincent. 1991.
Tehnik pengambilan Contoh untuk Penelitian Survei
. Tarsito, Bandung.
Kadarsan. 1992.
Keuangan Pertanian
dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977.
Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics
Methods.
2
nd
Edition. The MacMillan Press Ltd. New York.
Nelson, A. 1976. Agricultural Finance. The Iowa State University Press, Ames.
Pindyk, Robert S. and Daniel L. Rubinfeld 1991.
Econometric Models and Economic Foreca st.
McGraw-Hill. New York. Putri Hedya 2011.
Pengaruh Penerapan Standar Operasional prosedur terhadap pendapatan
Petani Maanggis di kecamatan Puspahiyang Tasikmalaya.
Fakultas Pertanian Unpad. Bandung
Singh, I. J., L. Squire and J. Strauss. 1986.
The Basic Model: Theory, Empirical Result and
Policy Conclusions in Agricultural Household Models: Extensions, Applications and Policy.
The John Hopkins University Press. Baltimore.
87
Persepsi dan SikapPedagang Beras di Pasar Traditional Terhadap Ritel Modern Studi Kasus di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan
Rice Seller Perception and Attitude in Traditional Market toward Modern Ritel Case Study in Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan
Fauziah Tantry¹, Sara Ratna Qanti
2
¹
Mahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21, Ja tinangor, Sumedang 45363, Indonesia
2
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian,Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung -Sumedang km 21, Ja tinangor, Sumedang 45363, Indonesia
ABSTRAK Kata Kunci:
Persepsi Sikap
Pedagang beras Ritel modern
Pasar tradisional
Tingkat konsumsi beras di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara di Asia lainnya. Saat ini penjualan beras tidak hanya terjadi di pasar tradisional
saja, tetapi juga di ritel modern yang mulai berkembang pesat dengan berbagai macam format. Persamaan produk yang dijual di ritel modern dan juga pasar tradisional, salah
satunya beras, membuat munculnya berbagai persepsi dan sikap dari pedagang beras. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan sikap para pedagang beras
akibat adanya ritel modern sehingga dapat memberikan bukti empiris terjadi tidaknya pembangunan inklusif di sektor ritel produk pertanian. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik studi kasus yang dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Responden pada penelitian ini adalah
seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon. Penelitian ini menunjukkan bahwa pedagang beras tidak merasa terganggu dengan adanya ritel modern karena
mereka berpersepsi bahwa dengan adanya ritel modern tidak mempengaruhi besarnya pendapatan mereka dan tidak berpengaruh terhadap kebiasaan tawar menawar dan
praktik
kasbon
. Akan tetapi untuk variabel sikap, sikap ragu-ragu ditunjukkan oleh pedagang beras mengenai pandangan terhadap ritel modern yang menjual beras saat
ini dan sikap tidak mendukung ditunjukkan para pedagang beras terhadap keberlanjutan ritel modern yang lokasinya terlalu dekat dengan lokasi penjualan
mereka.
ABSTRACT
Keywords: Perception
Attitude Rice seller
Modern retail Traditional retail
The rice consumption level in Indonesia is relatively high compared to other countries in Asia. Currently, rice is not only sold in traditional market, but also available in
various formats of modern retails. Infact, it makes many perceptions and attitudes of rice sellesr. This study aims to determine the perceptions and attitudes of rice sellers
due to the existence of modern retail and to give empirical evidence whether or not inclusive development occurred in agricultural products retail sector. The method that
is used in this research is descriptive qualitative, using case study technique. The data is analyzed using descriptive analysis. Respondents in this study were rice sellers
located in Pasar Traditional Kordon, Bandung. The results show that traditional retail rice sellers do not bothered by the presence of modern retail, their income are not
affected by the existence of modern market around their selling location, bargaining and post transaction paymen
t “kasbon” are two common activities that are still occur
in the traditional market and those are not affected by the modern market. On the contrary, for attitude variable, hesitation are shown by rice sellers regarding to the
outlook of the modern retail
selling rice and they don’t support the existence of modern
retails that are located too close with their location.
Korespondensi Penulis Alamat e-mail
: tantryfauziahgmail.com
88
PENDAHULUAN
Beras merupakan salah satu komoditas pangan paling penting bagi masyarakat di Indonesia.
Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi lebih dari setengah
penduduk dunia, dan konsumsi beras menyumbang asupan lebih dari 20 persen kalori. Lebih dari 90
persen beras dunia diproduksi dan dikonsumsi oleh 6 negara Asia China, India, Indonesia, Bangladesh,
Vietnam dan Jepang. Berdasarkan data hasil SUSENAS
–BPS tahun 2014,saat ini tingkat konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke tahun
cenderung mengalami penurunan. Untuk
memenuhi konsumsi
beras masyarakat di Indonesia saat ini beras tersedia
dengan berbagai jenis dan merk beras yang beredar di pasaran. Saat ini penjualan beras pun tidak hanya
di pasar tradisional saja, tetapi juga tersedia di ritel modern yang saat ini mulai berkembang dengan
cukup pesat dengan berbagai macam format.
Berdasarkan penelitian dari
Business Watch Indonesia
BWI, perkembangan ritel modern di Indonesia sejak tahun 2000 semakin pesat yakni
sebesar 20 dan pada tahun 2007 naik menjadi 40. Di kota Bandung, berdasarkan data dari Aprindo
2013 menunjukkan bahwa penjualan ritel modern meningkat sebesar 18-22 per tahunnya.
Pesatnya perkembangan ritel modern saat ini menimbulkan berbagai dampak, salah satunya yaitu
persaingan dengan pasar tradisional. Berdasarkan data dari Aprindo 2013, dalam beberapa tahun
terakhir pertumbuhan minimarket sangat pesat, yaitu pada awal tahun 2009 berjumlah 350 unit menjadi
500 unit hingga Maret 2010. Sedangkan jumlah pasar tradisional di Jawa Barat terus berkurang setiap
tahunnya. Pada tahun 2005, di Jawa Barat masih berdiri sekitar 700 pasar, tetapi seiring mulai
maraknya ritel modern, jumlah pasar tradisional pun berkurang. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir,
lebih dari 100 pasar tradisional di Jawa Barat yang tutup.
Pesatnya perkembangan ritel modern di Indonesia saat ini pun membuat munculnya berbagai
macam persepsi yang ditimbulkan oleh berbagai pihak, termasuk para pedagang di pasar tradisional.
Salah satunya yaitu pedagang beras di Pasar Kordon, Buah Batu, yang merupakan salah satu pasar
tradisional di Kota Bandung yang di sekitarnya berdiri cukup banyak berdiri ritel modern dengan
berbagai format. Hal ini dikarenakan beras merupakan salah satu komoditas pertanian pokok
yang saat ini tidak hanya dijual di pasar tradisional, tetapi juga dijual di ritel modern besar, sedang,
maupun kecil minimarket. Di Pasar Tradisional Kordon sendiri penjualan beras mengalami fluktuasi
dari segi omzet, volume penjualan,dan jumlah pembeli. Akan tetapi memang saat ini penjualan
beras di Pasar Tradisional Kordon memang dirasa cukup berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Untuk lebih jelas mengenai penjualan beras di Pasar Tradisional Kordon dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 1. Data Penjualan Beras di Pasar Tradisional Kordon Tahun
Data Penjualan Per Hari Omzet
juta rupiah
Volume Penjualan
ton Jumlah
Pembeli orang
2008-2011 10
1,5 100
2012-sekarang 10
1 70
Tabel 1 di atas merupakan rata-rata penjualan per hari dari seluruh pedagang beras di
Pasar Kordon. Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat jika dari tahun 2008 sampai saat ini volume penjualan
beras dan juga jumlah pembeli per harinya cenderung mengalami penurunan. Data tersebut menunjukkan
adanya suatu hal yang menyebabkan penurunan volume penjualan dan jumlah pembeli per harinya.
Pasar Tradisional Kordon dikelilingi cukup banyak ritel modern di sekitarnya, yang rata-rata
berjarak kurang dari 2 km dari pusat pasar. Ritel modern tersebut diantaranya adalah Carrefour, Griya,
Borma, Alfamart, Indomart, dan Yomart. Ritel modern tersebut termasuk dalam ritel modern besar,
sedang, dan kecil minimarket. Ritel modern besarnya adalah Carrefour Kiaracondong yang sudah
berdiri sejak tahun 2007 dan berjarak sekitar 1,1 km dari pusat Pasar Kordon. Selanjutnya ritel modern
sedang yaitu Borma Ciwastra dan Griya Buah Batu yang telah berdiri sejak tahun 2000 dan masing-
masing berjarak sekitar 2 km dari pusat pasar. Selanjutnya ritel modern kecil yaitu Yomart dan
Alfamart yang telah berdiri sekitar tahun 2008 dan masing-masing berjumlah dua gerai dengan jarak
rata-rata berjarak 500 m dari pusat pasar, bahkan ada salah satu Gerai Yomart yang berlokasi tepat di
sebelah salah satu akses masuk Pasar Kordon. Ritel modern kecil minimarket ini mulai berkembang di
sekitar Pasar Tradisional Kordon sejak 5 tahun terakhir.
Banyaknya ritel modern yang berdiri di sekitar Pasar Tradisional Kordon menjadi salah satu
alasan pemilihan tempat penelitian. Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan karena Pasar Kordon
merupakan salah satu pasar tradisional di Bandung yang sudah berdiri lebih lama dibandingkan pasar
lain di sekitarnya dan masih tetap bertahan sampai
89 saat ini ditengah marak berdirinya ritel modern di
sekitarnya, seperti Carrefour, Griya, Borma, dll. Persepsi yang ditimbulkan dari para
pedagang beras
tersebut nantinya
akan mempengaruhi sikap apa yang akan dilakukan terkait
dengan adanya ritel modern. Sikap positif atau negatif akan tergantung dari persepsi para pedagang
beras terhadap adanya ritel modern yang menjual beras. Persepsi dan sikap dari para pedagang di Pasar
Tradisional
Kordon terhadap
dampak yang
ditimbulkan oleh pesatnya pertumbuhan ritel modern di sekitar pasar merupakan faktor yang sangat
penting terkait dalam perkembangan ritel modern maupun pasar tradisional itu sendiri.
Persepsi dan sikap dari para pedagang sangat terkait dengan besar kecilnya atau positif negatifnya
dampak yang diperoleh para pedagang dari pesatnya pertumbuhan ritel modern di sekitar pasar tradisional.
Ritel modern yang saat ini sudah berkembang cukup pesat pun tidak mungkin dapat dihilangkan, untuk itu
diperlukan adanya keselarasan dalam persaingan yang terjadi antara ritel modern dan juga pasar
tradisional. Oleh karena itu, sangat pentingnya persepsi dan sikap yang ditimbulkan oleh para
pedagang yang dapat mempengaruhi perkembangan ritel modern dan juga eksistensi dari para pedagang
beras dalam menjalankan usaha bisnis penjualan beras agar keduanya dapat berjalan secara selaras.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP 1. Persepsi
Menurut Gibson 2000, persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang
untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Robbins 2006 menyatakan bahwa persepsi adalah
proses yang
digunakan individu
dalam mengorganisasi dan menafsirkan kesan yang
ditangkap oleh indra mereka untuk memberi makna kepada lingkungan mereka. Menurut Atkinson
1997, persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus yang
ada di sekitar kita ke dalam lingkungan. Persepsi juga merupakan proses penggabungan sensasi. Sensasi ini
merupakan tahap paling awal dalam penerimaan infomasi.Jadi dapat disimpulkan, persepsi adalah
sebuah proses pengenalan terhadap suatu objek benda, manusia, gagasan, gejala, dan peristiwa
yang dapat memberi makna dan nilai kepada suatu objek dengan menonjolkan sifat khas dari suatu objek
serta hasil dari persepsi bisa berupa tanggapan atau penilaian yang berbeda dari setiap individu.