Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembelian impulsif telah menjadi gaya hidup yang menyebar ke setiap segmen populasi dan terjadi di berbagai situasi dan budaya yang berbeda Kacen Lee, 2002. Rook dalam Verplanken, 2001 menyatakan bahwa pembelian impulsif adalah pembelian tidak terencana yang dikarakteristikkan dengan pembelian yang mendadak, diikuti dengan perasaan menyenangkan dan memuaskan. Pembelian impulsif tidak memikirkan konsekuensi terhadap barang yang telah dibeli, misalnya uang yang dihabiskan untuk barang yang tidak perlu. Mowen dan Minor 2002 mendefinisikan pembelian impulsif sebagai tindakan membeli yang sebelumnya tidak diakui secara sadar sebagai hasil dari suatu pertimbangan atau niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko. Pembelian impulsif mempunyai arti suatu desakan hati yang tiba-tiba dengan penuh kekuatan, tidak direncanakan untuk membeli sesuatu secara langsung, dan tanpa banyak memperhatikan akibatnya. Fokus perhatian individu dalam pembelian impulsif terletak pada kepuasan dari keputusan spontan pembelian suatu barang. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pembelian juga sangat singkat. Oleh karena itu, orang-orang dengan kecenderungan pembelian impulsif ini hampir tidak mungkin untuk menunda pembelian dengan melakukan pertimbangan, berdiskusi dengan orang lain, atau membandingkan produk yang satu dengan produk yang lain Rook Fisher, 1995. Terdapat contoh sebuah penelitian kecil yang memperlihatkan bahwa konsumen melakukan pembelian impulsif jika konsumen menghadapi suatu produk, memproses informasi mengenai hal tersebut secara holistik, dan memberi reaksi dengan pengaruh positif yang sangat kuat. Hasil studi menunjukkan sekitar 39 dari pembelian di toko serba ada toserba dan 67 dari pembelian di toko sandang dan pangan adalah tidak direncanakan Mowen Minor, 2002. Penelitian lain menunjukkan 65 keputusan pembelian di supermarket dilakukan di dalam toko, dan lebih dari 50 merupakan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya Bayley, et al. dalam Semuel, 2007. Fenomena ini menarik untuk diteliti karena pembelian impulsif juga melanda kehidupan remaja yang sebenarnya belum memiliki penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Pada masa remaja, kematangan emosi individu belum stabil yang mendorong munculnya berbagai gejala dalam perilaku membeli yang tidak wajar. Membeli tidak lagi dilakukan karena produk tersebut memang dibutuhkan, tetapi membeli dilakukan karena alasan lain seperti sekedar mengikuti arus mode atau hanya ingin mencoba produk baru Zebua Nurdjayadi, 2001. Masa perkembangan remaja tengah memiliki rentang usia antara 15-18 tahun Santrock, 2003. Pada masa ini remaja memiliki minat akan simbol status. Simbol status merupakan simbol prestise yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya mempunyai status yang lebih tinggi dalam kelompok Hurlock, 1980. Kondisi emosional remaja yang belum matang membuat remaja tidak memikirkan segala sesuatu dengan baik sehingga dapat mengganggu pengambilan keputusan. Steinberg menyatakan secara psikososial perkembangan remaja memang dihadapkan kepada hal-hal yang berhubungan dengan peran mereka sebagai konsumen. Remaja memiliki pilihan mandiri mengenai apa yang hendak dilakukan dengan uangnya dan menentukan sendiri produk apa yang ingin ia beli. Di sisi lain, remaja sebagai konsumen memiliki karakteristik mudah terpengaruh, mudah terbujuk iklan, tidak berpikir hemat, dan kurang realistis dalam Wulandari, 2004. Hal ini dapat membuat remaja melakukan pembelian secara impulsif. Menurut Verplanken dan Herabadi 2001, terdapat faktor internal dan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Faktor internal tersebut seperti kondisi mood dan emosi konsumen. Keadaan mood dapat mempengaruhi perilaku konsumen, misalnya kondisi mood konsumen yang sedang senang atau sedih. Pada konsumen yang memiliki mood negatif, pembelian impulsif lebih tinggi dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kondisi mood yang negatif tersebut. Sedangkan faktor eksternal seperti kategori produk dan pengaruh toko juga mempengaruhi pembelian impulsif. Faktor-faktor ini misalnya penampilan produk bau yang menyenangkan, warna yang menarik, cara memasarkan produk, dan tempat dimana produk itu dijual. Tata ruang dan dekorasi toko yang menarik juga lebih menimbulkan dorongan pembelian impulsif. Verplanken dan Herabadi 2001 juga mempertimbangkan kepribadian individu sebagai variabel yang mempengaruhi pembelian. Kepribadian individu merupakan aspek psikologis yang terkait dengan kecenderungan pembelian impulsif. Selanjutnya akan dibahas mengenai kepribadian yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif. Keputusan konsumen sering didasarkan pada kepribadiannya ketika memilih suatu produk. Konsumen akan menampakkan karakter-karakter yang mampu merespon berbagai situasi yang dihadapi. Konsumen secara alamiah akan membangun seperangkat karakteristik yang relatif tetap yang mampu memberikan jawaban bagaimana seharusnya mereka merespon setiap situasi. Artinya, kepribadian merupakan panduan konsumen dalam memilih cara untuk memenuhi tujuannya dalam berbagai situasi yang berbeda termasuk bagaimana cara konsumen memandang dirinya sendiri dalam menentukan pilihan produk yang akan dibeli Ferrinadewi, 2008. Pernyataan tersebut didukung oleh Anwar 2005 yang menyatakan dalam mengambil keputusan membeli, konsumen dipengaruhi oleh kepribadian dalam diri. Hall dan Lindzey 1993 mengartikan kepribadian adalah sesuatu yang memberi tata- tertib dan keharmonisan terhadap segala macam tingkah laku berbeda-beda yang dilakukan oleh individu. Kepribadian mencakup usaha-usaha penyesuaian diri yang khas dari tingkah laku individu. Terdapat banyak teori tentang perkembangan kepribadian, salah satunya adalah teori kepribadian Carl Jung. Jung melihat kepribadian individu sebagai produk dan wadah sejarah leluhur. Manusia modern dibentuk oleh pengalaman-pengalaman generasi masa lampau. Penekanan dalam perkembangan manusia ini menjadikan pandangan kepribadian Jung berbeda dengan tokoh kepribadian lain dalam Hall Lindzey, 1993. Menurut Jung, kepribadian mencakup seluruh pikiran, perasaan, dan perilaku baik secara sadar maupun tidak sadar serta mengarahkan kita dalam beradaptasi dengan lingkungan sosial dan fisik dalam Hall Lindzey, 1993. Jung berpendapat dalam psikologi terdapat dua dimensi cara berperilaku. Dua dimensi tersebut berorientasi dan menggambarkan tentang arah aliran energi psikis atau perhatian yaitu ektraversi dan introversi. Ekstraversi adalah energi psikis yang diarahkan untuk mewujudkan dunia luar atau sesuatu. Sedangkan introversi adalah energi psikis yang fokus pada proses-proses psikis internal yang meliputi perasaan dan ide-ide pemikiran dalam Ferrinadewi, 2008. Jung mengungkapkan konsep jiwa sebagai dasar pembagian tipe kepribadian. Berdasarkan sikap jiwa tersebut, manusia digolongkan menjadi dua tipe, yaitu tipe ekstravert dan tipe introvert. Individu dengan tipe kepribadian ekstravert dipengaruhi oleh dunia objektif, yaitu dunia di luar dirinya. Orientasinya tertuju ke luar yaitu pikiran, perasaan, serta tindakan ditentukan oleh lingkungannya baik lingkungan sosial maupun lingkungan non sosial. Individu ekstravert bersikap positif, lebih terbuka, mudah bergaul, dan hubungan dengan orang lain lancar. Sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasinya tertuju ke dalam yaitu pikiran, perasaan, serta tindakan ditentukan faktor-faktor subjektif. Individu introvert kurang dapat menyesuaikan diri dengan dunia luar, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan dengan orang lain, dan kurang dapat menarik hati orang lain dalam Suryabrata, 2008. Shahjehan et al., 2012 menyimpulkan bahwa karakter kepribadian mempengaruhi perilaku pembelian impulsif. Sifat terbuka menunjukkan bahwa individu-individu yang lebih imajinatif, penasaran, dan berpikir luas mungkin untuk menampilkan perilaku pembelian impulsif. Individu yang mudah bersosialisasi, banyak bicara, dan tegas adalah individu yang juga memiliki sifat kepribadian berkaitan positif dengan perilaku pembelian impulsif. Selain itu, sifat berhati-hati mencakup tingkat perhatian yang tinggi dengan kontrol impuls yang baik dan perilaku yang diarahkan pada tujuan. Dorongan hati yang tinggi cenderung terorganisir dan memperhatikan detail. Hal ini merupakan ciri yang dapat meningkatkan kemungkinan individu untuk memanjakan diri dalam perilaku pembelian impulsif. Dittmar et al., dalam Verplanken Herabadi, 2001 juga menjelaskan konsumen yang impulsif akan melakukan kegiatan pembelian barang atau produk tertentu untuk mengungkapkan diri mereka atau mengungkapkan identitas kelompok. Verplanken dan Herabadi 2001 menemukan hubungan antara kepribadian yang dimiliki individu terhadap kecenderungan pembelian impulsif. Penelitian ini dilakukan terhadap subjek yang berusia lebih dari 18 tahun. Individu bertipe ekstraversi memiliki kecenderungan pembelian impulsif tinggi yang ditandai dengan ketertarikan secara berlebihan terhadap stimulasi produk yang ditawarkan. Beatty dan Ferrell dalam Lin Chuang, 2005 menambahkan bahwa sebagian besar fokus penelitian mengenai pembelian impulsif adalah orang dewasa. Simpson et al., dalam Lin Chuang, 2005 juga berpendapat hanya sedikit penelitian yang berfokus pada remaja, dalam kenyataannya pemasar menjadikan remaja sebagai target pemasaran karena mereka percaya bahwa remaja mendatangkan pendapatan yang lebih banyak. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Kepribadian Ekstravert dan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Remaja Tengah”.

B. Rumusan Masalah