Keadaan resistensi insulin lama-kelamaan dapat menyebabkan penyakit diabetes melitus tipe 2. Kasus diabetes melitus menunjukkan bahwa jumlah
penderita diabetes melitus tahun 2011 telah mencapau 366 juta orang, jumlah ini akan diperkirakan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 IDF, 2011.
Diabetes melitus DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia Powers, 2001. Diabetes melitus tipe 2 merupakan
suatu keadaan hiperglikemi kronik dengan etiologi yang kompleks, yang timbul sebagai respons terhadap pengaruh genetik dan lingkungan. Berdasarkan Centers
for Disease Control and Prevention 2013 diabetes melitus tipe 2 umumnya terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Obesitas, khususnya obesitas sentral atau
viseral merupakan keadaan yang umum dijumpai pada DM tipe 2 Powers, 2001.
D. Kadar HbA1c
HbA1c atau disebut juga dengan hemoglobin A1c atau glikohemoglobin adalah suatu indikator untuk mengetahui kondisi gula darah. HbA1c merupakan
hemoglobin non enzimatis yang dikombinasikan dengan gula Acton, 2013. HbA1c adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui apakah
penyakit DM terkendali dengan baik atau tidak. HbA1c dapat digunakan untuk memperkirakan kadar rata-rata glukosa darah seseorang selama 3 bulan terakhir
Reinhold and Earl, 2014. Menurut American Diabetes Association membagi klasifikasi kadar HbA1c dapat dilihat pada tabel II di bawah ini :
Tabel III. Klasifikasi nilai HbA1c American Diabetes Association, 2014 Klasifikasi
Nilai HbA1c Normal
5,7
Prediabetes
5,7-6,4
Diabetes
≥ 6,5
Kadar HbA1C yang rendah bukan berarti penderita DM bebas dari risiko komplikasi, namun tingkat risiko akan lebih rendah dibanding penderita DM
dengan kadar HbA1C yang tinggi, oleh sebab itu International Expert Committe menetapkan pentingnya pemeriksaan HbA1C dalam skrining diagnosa penyakit
DM America Diabetic Association, 2014. Beberapa faktor yang menjadi alasan mendukung penggunaan HbA1c sebagai alat skrining dan diagnosis diabetes
antara lain responden tidak perlu puasa, pemeriksaan dapat dilakukan kapan saja, dapat memperkirakan keadaan glukosa darah dalam waktu yang lebih lama serta
tidak dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup jangka pendek, kesalahan yang disebabkan faktor nonglikemik yang dapat mempengaruhi nilai HbA1c sangat
jarang ditemukan dan dapat diminimalisasi dengan melakukan pemeriksaan konfirmasi diagnosis dengan glukosa plasma, lebih stabil dalam penyimpanan,
serta HbA1c berkorelasi dengan komplikasi diabetes. Faktor-faktor yang menjadi kekurangan HbA1c sebagai alat skrining atau diagnosis antara lain perubahan
karena faktor-faktor selain glukosa misalnya perubahan masa hidup eritrosit dan etnis,
kondisi yang
dapat menggangu
pengukuran seperti
selected hemoglobinopathies, pengujian HbA1c belum tersedia di beberapa laboratorium
di dunia, dan biaya yang mahal Sacks, 2011. HbA1c merupakan prediktor yang lebih kuat dalam menentukan risiko
diabetes dan penyakit kardiovaskuler dibanding glukosa puasa. Namun, data yang menunjukkan peran Hba1c sebagai alat skrining diabetes masih sangat terbatas
dan bervariasi, sehingga dipandang perlu untuk menetapkan cut off standar untuk HbA1c. Diharapkan dimasa mendatang HbA1c ini diperkirakan akan menjadi
salah satu pemeriksaan untuk skrining maupun diagnosis diabetes. Dengan demikian, deteksi dini dan tindakan pencegahan yang efektif dapat dilakukan
Stump, Clark, Sowers, 2005.
E. Landasan Teori