0.03 0.51 5.66 Study of Rauh Tree Architectural Model As an Effort to Conserve Water and Soil: A Case Study of Altingia excelsa Noronha and Schima wallichii (DC.) Korth in The Mount Gede Pangrango National Park

Tanggal Pengambilan Data Curah hujan mm Aliran batang mm Curahan tajuk mm Infiltrasi mlmm 2 dtk Aliran permukaan mm Erosi g Intersepsi mm 05022011 8.75 0.02 5.00 0.53 3.9 6.74 3.73 06022011 5.01 0.05 4.84 0.49 4.625 7.85 0.12 08022011 7.96 0.02 1.63 0.51 1.5 2.35 6.31 17022011 14.62 0.04 4.63 0.46 3.575 6.02 9.95 18022011 23.24 0.06 5.00 0.45 4.625 7.67 18.18 01032011 8.44 0.03 4.00 0.46 3.5 5.81 4.41 02032011 10.06 0.04 4.59 0.52 3.475 5.61 5.44 03032011 6.39 0.04 4.88 0.47 2.575 3.36 1.48 04032011 7.83 0.05 5.00 0.49 4.075 7.07 2.79 05032011 13.63 0.04 4.88 0.49 4.1 7.12 8.72 Jumlah 290.11 1.02 162.79 15.16 103.63 169.91 126.31 Rata-rata Harian

9.67 0.03

5.43 0.51

3.45 5.66

4.21 Lanjutan lampiran 1 Lampiran 2 Data parameter konservasi air dan tanah pada tumbuhan Schima wallichii DC. Korth di lokasi penelitian kawasan hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol PPKAB Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP Tanggal Pengambilan Data Curah hujan mm Aliran batang mm Curahan tajuk mm Infiltrasi mlmm 2 dtk Aliran permukaan mm Erosi g Intersepsi mm 06012011 8.17 0.06 4.88 0.52 5.05 12.53 3.23 07012011 12.53 0.05 5.00 0.57 15.75 23.05 7.48 10012011 41.40 0.07 5.00 0.52 19.58 28.02 36.34 11012011 5.10 0.03 1.83 0.51 1.53 2.55 3.25 12012011 5.10 0.01 1.93 0.49 0.68 0.57 3.16 16012011 4.34 0.03 3.78 0.51 5.88 14.09 0.54 17012011 7.04 0.02 2.13 0.52 1.53 2.27 4.89 22012011 5.10 0.05 4.16 0.52 3.80 8.03 0.88 23012011 4.99 0.04 2.89 0.49 3.33 7.26 2.07 25012011 8.33 0.02 2.71 0.51 1.43 2.30 5.61 26012011 4.72 0.02 3.10 0.46 3.05 6.52 1.61 27012011 6.07 0.06 5.00 0.46 4.55 10.88 1.01 28012011 5.36 0.03 3.65 0.49 3.20 6.93 1.68 29012011 9.61 0.04 4.75 0.47 3.80 7.87 4.82 30012011 7.54 0.05 4.75 0.45 18.45 25.69 2.74 31012011 8.28 0.04 4.60 0.46 15.50 21.03 3.64 01022011 8.07 0.03 5.00 0.50 1.95 3.89 3.04 02022011 8.65 0.07 5.00 0.50 19.25 27.70 3.58 03022011 11.25 0.04 5.00 0.51 14.75 17.95 6.21 Tanggal Pengambilan Data Curah hujan mm Aliran batang mm Curahan tajuk mm Infiltrasi mlmm 2 dtk Aliran permukaan mm Erosi g Intersepsi mm 04022011 12.53 0.03 5.00 0.54 17.68 15.33 7.50 05022011 8.75 0.04 5.00 0.48 4.58 10.59 3.71 06022011 5.01 0.06 4.87 0.47 18.75 26.07 0.08 08022011 7.96 0.02 0.63 0.53 2.38 4.31 7.31 17022011 14.62 0.04 1.00 0.48 4.55 10.40 13.58 18022011 23.24 0.07 5.00 0.49 18.95 24.86 18.17 01032011 8.44 0.05 4.29 0.48 4.00 9.51 4.11 02032011 10.06 0.06 4.68 0.48 4.05 9.61 5.33 03032011 6.39 0.03 5.00 0.47 3.50 7.38 1.36 04032011 7.83 0.06 5.00 0.46 10.90 16.89 2.78 05032011 13.63 0.05 5.00 0.49 12.90 17.24 8.58 Jumlah 290.11 1.26 120.60 14.81 245.25 381.27 168.25 Rata-rata harian 9.67 0.04 4.02 0.49 8.18 12.71 5.61 Lanjutan lampiran 2 ABSTRACT Study of Rauh Tree Architectural Model As an Effort to Conserve Water and Soil: A Case Study of Altingia excelsa Noronha and Schima wallichii DC. Korth in The Mount Gede Pangrango National Park. Supervised by DEDE SETIADI and DIDIK WIDYATMOKO Tree architecture model is basically tree construction as a result of meristematic growth pattern. Tree architecture is closely associated with water and soil components, i.e rainfall, throughfall, stemflow, infiltration, surface run- off, and erosion. Two sample plots of 4 m x 8 m each were established, which one plot was to measure Altingia excelsa Rasamala and another plot for Schima wallichii Puspa. Total rainfall, throughfall, stemflow, infiltration, surface run- off, and erosion were measured. Correlation coefficients between rainfall with erosion, throughfall with erosion, stemflow with erosion, and surface run-off with erosion were calculated and analized. For A. excelsa, the results showed that the intensity of rainfall observed was 290.11 mm, stem flow 0.03 mm, throughfall 5.43 mm, infiltration 0.51 mlmm 2 sec, surface run-off 3.45 mm, and erosion 169,91 kgm 2 month. While for S. wallichii, the amount of rainfall was 290.11 mm, stemflow 0.04 mm, throughfall 4.02 mm, infiltration 0.49 mlmm 2 sec, surface run-off 8.18 mm, and erosion 381,27 kgm 2 month. Compared to A. excelsa, S. wallichii had larger values for some parameters measured i.e. stemflow, surface run-off, and erosion indicate that on more than 50 land slope of the Mount Gede Pangrango National Park, individual plants of S. wallichii seemed to be more well adapted. However, individuals of A. excelsa possessed a more spreadly branching model, larger vertical width, and higher trunk height. Consequently individual plants of A. excelsa would generally able to conserve more water and soil better than S. wallichii plants. Keywords: erosion, infiltration, Rauh tree architectural model, stemflow, surface run-off, throughfall. RINGKASAN ENI NURAENI. Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii DC. Korth di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan DIDIK WIDYATMOKO. Model arsitektur pohon merupakan konstruksi bangunan dari sebuah pohon sebagai hasil dari pertumbuhan meristematik yang dikontrol secara morfogenik. Arsitektur pohon model Rauh memiliki ciri batang monopodial dengan pola pertumbuhan ritmik serta membentuk pola percabangan orthotropik. Model Rauh umumnya ditemukan pada kelompok tumbuhan berbiji. Selain itu model ini sering ditemukan pada tumbuhan yang tumbuh di pegunungan daerah tropis. Model arsitektur pohon memiliki hubungan dengan komponen-komponen konservasi air dan tanah, yaitu komponen curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, dan aliran permukaan. Tumbuhan yang memiliki model arsitektur pohon yang sama, tidak selalu memiliki pengaruh yang sama terhadap parameter- parameter konservasi air dan tanah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya aliran batang stemflow, curahan tajuk throughfall, infiltrasi, aliran permukaan dan erosi pada Altingia excelsa Noronha Rasamala dan Schima wallichii DC. Korth Puspa yang memiliki arsitektur pohon model Rauh yang ditanam pada kemiringan lahan lebih dari 50 di lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP, dan mengetahui kemampuan tumbuhan dengan arsitektur pohon model Rauh yang ada di lokasi TNGGP terhadap konservasi air dan tanah yang baik, dalam upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada ekosistem DAS Citarum. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan pengukuran terhadap parameter-parameter konservasi air dan tanah, meliputi curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, infiltrasi, aliran permukaan, dan besarnya erosi, dengan menggunakan dua spesies target: A. excelsa dan S. wallichii. Curah hujan yang terukur selama 30 kali pengamatan memiliki nilai yang bervariasi, dengan curah hujan harian rata-rata sebesar 9,67 mm dengan nilai tertinggi yaitu 41.4 mm dan terendah 4.3 mm. Total nilai curah hujan selama 30 kali pengamatan yaitu 290.11 mm. Nilai rata-rata aliran batang pada A. excelsa yaitu 0.03 mm total untuk 30 pengamatan yaitu 1.02 mm. Nilai rata-rata aliran batang pada S. wallichii yaitu 0.04 mm dengan total 1.26 mm . Nilai curahan tajuk rata-rata untuk A. excelsa yaitu 5,43 mm dengan total 162,79 mm. Pada tegakan pohon S. wallichii nilai curah hujan rata-rata sebesar 4,02 mm dengan total 120,60 mm. Nilai infiltrasi harian untuk tanah di bawah tegakan A. excelsa selama 30 kali pengukuran yaitu rata-rata 0,51 mlmm 2 detik, dengan nilai total sebesar 15,16 mlmm 2 detik, sedangkan pada tanah di bawah tegakan S. wallichii yaitu rata-rata 0,49 mlmm 2 detik dengan total selama 30 kali pengamatan sebesar 14,81 mlmm 2 detik. Tumbuhan A. excelsa memiliki nilai rata-rata aliran permukaan 3,45 mm dengan total 103,63 mm sedangkan S. wallichii mempunyai rata-rata aliran permukaan sebesar 8,18 mm dengan total 245,25 mm. Nila erosi pada plot A. excelsa adalah 5,66 kgm 2 hari dengan total 169,91 kgm 2 bulan atau 1,23 tonhatahun. Nilai erosi pada plot tegakan S. wallichii 12,71 kgm 2 hari dengan total 381,27 kgm 2 bulan atau 2,76 tonhatahun. Secara umum tumbuhan S. wallichii memiliki nilai lebih besar untuk beberapa parameter dibandingkan tumbuhan A. excelsa. Hal ini ditunjukkan pada lahan dengan kemiringan lebih dari 50 di daerah Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tumbuhan yang sesuai untuk restorasi hutan tersebut adalah A. excelsa . Tumbuhan A. excelsa ini memiliki model percabangan yang lebar, vertikal, dan batangnya tinggi sehingga tumbuhan ini mampu mengkonservasi air dan tanah lebih optimal daripada S. wallichii . Kata kunci: aliran batang, aliran permukaan, arsitektur pohon model Rauh, curahan tajuk, erosi, infiltrasi. BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah dan air merupakan sumber daya yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai media utama di mana manusia bisa mendapatkan bahan pangan, sandang, papan, dan tambang. Tanah merupakan tempat dilaksanakannya berbagai aktivitas di muka bumi. Air adalah zat yang sangat esensial bagi makhluk hidup. Air tidak hanya dibutuhkan oleh manusia, tetapi juga oleh seluruh makhluk hidup, termasuk hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme. Kuantitas sumberdaya tanah dan air yang ada di bumi ini relatif tetap, tetapi kualitasnya selalu berubah setiap saat. Fenomena lahan terdegradasi dan rawan longsor makin mengemuka dan merupakan salah satu masalah lingkungan yang cukup serius karena mempengaruhi kualitas ketersediaan sumberdaya tanah dan air. Rangkaian peristiwa alam yang ekstrim seperti perubahan iklim, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan terjadi silih berganti. Desakan kebutuhan manusia dalam bentuk penggunaan lahan meningkat secara tajam dan massif dari waktu ke waktu, terutama untuk ekstraksi dan bukan pemanfaatan secara berkelanjutan. Jika hal ini terus berlanjut, maka manusia akan menemui kesulitan besar dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan dan lahan untuk tempat tinggal. Kekhawatiran ini akan semakin kuat jika dikaitkan dengan keberadaan sumberdaya air, di mana siklus hidrologinya sudah mulai terganggu. Laporan World Bank 2007 memprediksikan bahwa perubahan iklim untuk kawasan Indonesia mengakibatkan peningkatan curah hujan sebesar 2-3, sehingga dapat dipastikan akan meningkatkan risiko terjadinya bencana alam, seperti banjir, terutama pada lahan terdegradasi dan rawan longsor. Kejadian longsor tidak hanya ditemui di daerah pemukiman warga, tetapi juga sering terjadi di kawasan hutan. Tanah longsor merupakan proses perpindahan tanah dari dataran tinggi ke dataran yang lebih rendah, dan akan berakhir setelah mencapai keseimbangan baru. Tanah longsor muncul akibat adanya banjir, lereng yang curam, lapisan di bawah permukaan massa tanah yang sedikit kedap air dan lunak, adanya cukup air dalam tanah Arsyad 2006. Banjir akan terjadi jika tidak tersedia daur air yang efektif, sehingga mengakibatkan memadatnya permukaan tanah dan berkurangnya daya serap. Untuk mencegah munculnya banjir, perlu adanya daur air yang efektif, ketersediaan tumbuhan di hutan dan kondisi DAS yang terjaga fungsinya. Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap air yang tinggi dan mengatur siklus hidrologinya. Peristiwa lahan terdegradasi dan rawan longsor mudah ditemui dan menjadi masalah khas pada ekosistem daerah aliran sungai DAS. Ekosistem DAS merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Sekitar 117 dari 141 DAS di pulau Jawa kondisinya telah rusak Dephut 2008, diantaranya termasuk DAS prioritas I Jawa Barat yaitu Cisadane, Ciliwung dan Cisadane. Keberadaan DAS ini sangat vital karena merupakan kawasan tangkapan air catchment areas serta pusat pertumbuhan ekonomi, energi pendidikan, wisata, serta sekaligus sebagai penyangga wilayah ibu kota negara Jakarta. Luas total lahan terdegradasi di DAS Cisadane, Ciliwung, dan Cisadane mencapai 127, 977, 10 ha atau 16, 89 . Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat menyatakan bahwa sekitar 54 dari tutupan hutan di DAS Cisadane telah hilang dalam periode 1983-2002 Simamora 2007. Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan pertanian menjadi perumahan peningkatan 233 dan kawasan industri peningkatan 868 dan berkontribusi dalam pengurangan air di daerah tangkapan air. Kasus kehilangan area hutan sebesar 30,3 dan area kebun campuran sebesar 11,9 di kawasan Puncak periode 1972-2005 menjadi contoh riil disfungsi DAS Ciliwung. Merujuk Undang-Undang No. 26 tahun 2007, pasal 17 ayat 5 tentang Tata Ruang, bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan, maka 30 dari luas DAS harus ditetapkan sebagai kawasan hutan atau menjadi kawasan hijau, yang berfungsi sebagai lahan konservasi air dan tanah, sehingga mampu untuk mengurangi laju erosi dan banjir yang mengakibatkan terhadap kerusakan lingkungan seperti tanah longsor dan sedimentasi. Pemikiran di atas memberi gambaran dengan jelas betapa pentingnya sumberdaya tanah dan air bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pada saat ini