Latar Belakang Study of Rauh Tree Architectural Model As an Effort to Conserve Water and Soil: A Case Study of Altingia excelsa Noronha and Schima wallichii (DC.) Korth in The Mount Gede Pangrango National Park

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah dan air merupakan sumber daya yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai media utama di mana manusia bisa mendapatkan bahan pangan, sandang, papan, dan tambang. Tanah merupakan tempat dilaksanakannya berbagai aktivitas di muka bumi. Air adalah zat yang sangat esensial bagi makhluk hidup. Air tidak hanya dibutuhkan oleh manusia, tetapi juga oleh seluruh makhluk hidup, termasuk hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme. Kuantitas sumberdaya tanah dan air yang ada di bumi ini relatif tetap, tetapi kualitasnya selalu berubah setiap saat. Fenomena lahan terdegradasi dan rawan longsor makin mengemuka dan merupakan salah satu masalah lingkungan yang cukup serius karena mempengaruhi kualitas ketersediaan sumberdaya tanah dan air. Rangkaian peristiwa alam yang ekstrim seperti perubahan iklim, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan terjadi silih berganti. Desakan kebutuhan manusia dalam bentuk penggunaan lahan meningkat secara tajam dan massif dari waktu ke waktu, terutama untuk ekstraksi dan bukan pemanfaatan secara berkelanjutan. Jika hal ini terus berlanjut, maka manusia akan menemui kesulitan besar dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan dan lahan untuk tempat tinggal. Kekhawatiran ini akan semakin kuat jika dikaitkan dengan keberadaan sumberdaya air, di mana siklus hidrologinya sudah mulai terganggu. Laporan World Bank 2007 memprediksikan bahwa perubahan iklim untuk kawasan Indonesia mengakibatkan peningkatan curah hujan sebesar 2-3, sehingga dapat dipastikan akan meningkatkan risiko terjadinya bencana alam, seperti banjir, terutama pada lahan terdegradasi dan rawan longsor. Kejadian longsor tidak hanya ditemui di daerah pemukiman warga, tetapi juga sering terjadi di kawasan hutan. Tanah longsor merupakan proses perpindahan tanah dari dataran tinggi ke dataran yang lebih rendah, dan akan berakhir setelah mencapai keseimbangan baru. Tanah longsor muncul akibat adanya banjir, lereng yang curam, lapisan di bawah permukaan massa tanah yang sedikit kedap air dan lunak, adanya cukup air dalam tanah Arsyad 2006. Banjir akan terjadi jika tidak tersedia daur air yang efektif, sehingga mengakibatkan memadatnya permukaan tanah dan berkurangnya daya serap. Untuk mencegah munculnya banjir, perlu adanya daur air yang efektif, ketersediaan tumbuhan di hutan dan kondisi DAS yang terjaga fungsinya. Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap air yang tinggi dan mengatur siklus hidrologinya. Peristiwa lahan terdegradasi dan rawan longsor mudah ditemui dan menjadi masalah khas pada ekosistem daerah aliran sungai DAS. Ekosistem DAS merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Sekitar 117 dari 141 DAS di pulau Jawa kondisinya telah rusak Dephut 2008, diantaranya termasuk DAS prioritas I Jawa Barat yaitu Cisadane, Ciliwung dan Cisadane. Keberadaan DAS ini sangat vital karena merupakan kawasan tangkapan air catchment areas serta pusat pertumbuhan ekonomi, energi pendidikan, wisata, serta sekaligus sebagai penyangga wilayah ibu kota negara Jakarta. Luas total lahan terdegradasi di DAS Cisadane, Ciliwung, dan Cisadane mencapai 127, 977, 10 ha atau 16, 89 . Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat menyatakan bahwa sekitar 54 dari tutupan hutan di DAS Cisadane telah hilang dalam periode 1983-2002 Simamora 2007. Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan pertanian menjadi perumahan peningkatan 233 dan kawasan industri peningkatan 868 dan berkontribusi dalam pengurangan air di daerah tangkapan air. Kasus kehilangan area hutan sebesar 30,3 dan area kebun campuran sebesar 11,9 di kawasan Puncak periode 1972-2005 menjadi contoh riil disfungsi DAS Ciliwung. Merujuk Undang-Undang No. 26 tahun 2007, pasal 17 ayat 5 tentang Tata Ruang, bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan, maka 30 dari luas DAS harus ditetapkan sebagai kawasan hutan atau menjadi kawasan hijau, yang berfungsi sebagai lahan konservasi air dan tanah, sehingga mampu untuk mengurangi laju erosi dan banjir yang mengakibatkan terhadap kerusakan lingkungan seperti tanah longsor dan sedimentasi. Pemikiran di atas memberi gambaran dengan jelas betapa pentingnya sumberdaya tanah dan air bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pada saat ini telah terjadi penurunan kualitas dan kuantitas kedua sumberdaya tersebut. Dibutuhkan usaha-usaha konservasi sumberdaya air dan tanah secara luas untuk mengurangi bencana alam yang mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Penanganan lahan terdegradasi dan rawan longsor pada ekosistem DAS dapat Cisadane dilakukan dengan cara restorasi dan rehabilitasi ekosistem. Dalam penelitian, peneliti lebih memfokuskan terhadap upaya restorasi ekosistem. Restorasi ekosistem merupakan proses pengkondisian ekosistem tanah, vegetasi, dan hidupan liar untuk mencapai pola dan profil yang serupa dengan kondisi sebelum terjadinya kerusakan ekosistem, baik dari segi komposisi, struktur maupun fungsinya. Keberadaan vegetasi penutup di dalam suatu kawasan hutan akan mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap proses biologi, baik fisik dan kimia tanah. Setiap jenis tumbuhan hutan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri dalam melindungi tanah dan tata air. Hal ini disebabkan setiap tumbuhan memiliki sistem perakaran, bentuk tajuk, dan penutupan tanah yang berbeda Soper dan Lull 1967, dalam Ginting AN Semadi IGK 1996. Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan setiap tumbuhan dalam mengevapotranspirasikan air hujan serta menyimpan air pada permukaan tanah. Dalam upaya konservasi air dan tanah di area lahan restorasi hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP, pemilihan jenis pohon yang digunakan akan sangat mendukung keberhasilan usaha konservasi ini. Pemilihan spesies untuk restorasi kawasan lindung dilakukan dengan cara penapisan secara ekologi, yaitu dengan mencontoh profil karakteristik vegetasi alami yang ada di kawasan sekitarnya. Tumbuhan Schima wallichii dan Altingia excelsa merupakan tumbuhan dominan yang ada di TNGGP. Berdasarkan hasil penelitian Arijani et.al 2006 nilai frekuensi Schima wallichii yang ada di TNGGP yaitu 86,67, sedangkan A. excelsa memiliki nilai frekuensi 73,33 dari 30 plot penelitian. Kedua nilai ini menggambarkan bahwa tumbuhan S. wallichii dan A.excelsa tersebar dengan luas dan memiliki kerapatan yang sangat tinggi. Dengan demikian untuk mendukung usaha konservasi air dan tanah ini, maka dilakukan kajian terhadap arsitektur pohon model Rauh dari tumbuhan S. wallichii dan A. excelsa yang ada di daerah TNGGP sebagai upaya mencegah bahaya erosi.

1.2. Perumusan Masalah