Uji Keamanan 2.3.1.1 Keamanan dan Toksisitas

permeabilitas vaskuler, respon inflamasi, mengerutkan otot polos bronkus dan Iain-lain Kuby 2007. Sel mast dan basofil akan melepaskan mediatornya apabila diaktifkan oleh alergen spesifik dengan mekanisme IgE. Selain itu, dapat juga diaktifkan dengan: 1. Sel yang dapat merangsang pelepasan histamin: sel neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, trombosit,sel endotel. 2. Rangsangan obat: opionid, antibiotik, kontras pelemas otot. 3. Hipoksia 4. Komponen Ca-Ionophor A-23187 5. Anafilatoksin polipeptida basa : C3a, C4a dan C5a 6. Rangsangan fisis : panas, sinar matahari, dingin dan tekanan 7. Sitokin : Interleukin-1 IL-1, Interleukin-3 IL-3 dan GM-SF Granidocyte-Macrophage-Colony-Stimulating Factor Mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil terdiri dari 2 jenis yaitu mediator primer dan sekunder. Mediator primer sudah tersimpan dalam granula sel dan mediator sekunder disintesis setelah aktivasi sel sasaran atau dilepaskan pada saat kerusakan fospolipid membran dalam proses degranulasi Kuby 2007.

2.3.2 Uji Keamanan 2.3.1.1 Keamanan dan Toksisitas

Pada penelitian ini dilakukan uji keamanan terhadap fage. Uji keamanan pada fage untuk mengetahui ada tidaknya efek toksikracun yang terdapat pada fage apabila digunakan sebagai bahan tambahan pada bahan pangan. Uji toksisitas yang diteliti pada hewan percobaan biasanya untuk mengevaluasi keamanan dari kandungan dari suatu bahan untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan, kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi. Pada penelitian ini dilakukan uji keamanan pada fage selama 15 hari. Uji keamanan dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala keracunan dan efek suatu bahan pada tubuh. Uji keamanan dalam penelitian ini bertujuan mengukur efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal. atau berulang yang diberikan dalam 24 jam. Hewan uji harus sehat dan berasal dari satu galur yang jelas. Menurut Suckow 2001 penelitian uji keamanan ini paling sedikit menggunakan 4 hewan uji. Dosis terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala keracunan, dan dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan kematian semua 100 hewan uji. Pada penelitian ini dilakukan pengujian tingkat keamanan suatu bahan. Cara pemberian obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan dengan pemberiannya pada manusia, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke manusia Suckow 2001. Informasi yang didapatkan seperti hematologi, histologi dan pathogenesis, dapat menjelaskan adanya suatu proses aman atau tidaknya bahan bila masuk ke dalam tubuh hewan coba selama perlakuan.

2.3.1.2 Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi Alergen

Jalur utama bagi penyerapan alergen adalah saluran cerna, paru-paru dan kulit. Banyak alergen dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air minum, atau secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang kaustik, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali kalau mereka diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lebih lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus Kuby 2007. Alergen mencapai hati melalui sistem vaskuler. Di dalam hati, alergen mengalami biotransformasi. Hasil dari biotransformasi tersebut dapat berupa metabolit aktif dari alergen tersebut atau berupa senyawa lainnya yang merupakan produk sampingannya. Metabolit aktif atau senyawa sampingannya tersebut dapat mempengaruhi fisiologi hati bila bersifat toksik. Sebagai akibatnya, fungsi hati dapat terganggu, seperti menurunnya kemampuan sintesa protein, hambatan konjugasi bilirubin, dan timbulnya lesi pada hepatosit yang semakin lama berkembang menjadi nekrosis yang meluas Kuby 2007. Ginjal membuang alergen dari tubuh dengan mekanisme yang serupa dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler. Kapiler glomerulus memiliki pori-pori yang besar 70 nm karena itu, sebagian besar alergen akan lewat di glomerulus, kecuali alergen yang sangat besar lebih besar dari berat molekul 60.000 Dalton atau yang terikat erat pada protein plasma. Alergen dalam filtrat glomerulus akan mengalami reabsorps di sel-sel tubulus bila koefisien partisi tinggi. Suatu alergen diekskresikan lewat tubulus ke dalam urin melalui mekanisme difusi pasif Roitts 2001. Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi alergen. terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi dan yang terikat pada protein plasma. Umumnya, alergen tersebut tidak akan diserap kembali ke dalam darah, hanya dikeluarkan melalui feses Kuby 2007.

2.3.1.3 Efek Toksikan pada Tubuh

Efek toksik sangat bervariasi baik dalam sifat maupun mekanisme kerjanya. Semua efek toksik terjadi karena interaksi biokimiawi antara toksikan danatau metabolitnya dengan struktur reseptor tertentu dalam tubuh. Struktur itu dapat bersifat nonspesifik, seperti jaringan yang berkontak langsung dengan bahan korosif. Tetapi seringkali strukturnya itu spesifik, misalnya struktur subseluler tertentu. Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan lesi pada tempat bahan itu bersentuhan dengan tubuh. Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau beberapa organ saja. Organ seperti itu disebut sebagai target organ Roitts 2001. Efek toksik disebut reversibel jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, efek bersifat irreversibel bila menetap atau justru bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek irreversibel ini di antaranya adalah karsanoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Efek toksikan dapat reversibel bila tubuh terpajan pada kadar yang rendah atau untuk waktu yang singkat. Sementara. efek ireversibel dapat dihasilkan pada pajanan dengan kadar yang lebih tinggi atau waktu yang lebih lama efek morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini, misalnya nekrosis dan neoplasia, bersifat ireversibel dan berbahaya. Efek fungsional biasanya berupa perubahan reversibel pada fungsi organ sasaran. Karenanya, pada penelitian toksikologi fungsi hati dan ginjal juga diperiksa. Uji keamanan sangat berharga untuk memantau efek toksik pada organ sasaran dalam penelitian jangka panjang pada hewan dan manusia Kuby 2007.

2.3.1.4 Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal

Ginjal mamalia adalah sebuah organ yang sangat kompleks, baik secara anatomis maupun fisiologis. Selain fungsi utamanya yaitu ekskretorik. ginjal berperan besar dalam mempertahankan homeostasis tubuh, dengan mengatur volumen cairan ekstraseluler dan komposisi elektrolit tubuh Corwin 2009. Urin adaiah jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya, ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, yang mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat dan membawa toksikan melalui sel tubulus. Karenanya, ginjal adalah target organ utama dari efek toksik. Beratnya beberapa efek yang diakibatkan oleh toksikan beragam dari satu perubahan biokimia atau lebih sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai perubahan kecil pada fungsi ginjal atau gagal ginjal total Kuby 2007. Suatu bahan yang bersifat toksik dapat mengakibatkan gagal ginjal akut, apabila diberikan dalam dosis tertentu pada jangka waktu yang singkat. Keadaan ini disebut sebagai nephrotoxic acute renal failure. Kerusakan yang ditimbuikan terjadi pada nefron, unit terkecil dari ginjal. Nefrotoksik menyebabkan iskemia dan nekrosis fokal pada epitel tubulus, sehingga tubulus ginjal terlepas dari membrana basalis. Nekrosis paling parah terjadi pada tubulus proksimal yang menyebabkan kerusakan ginjal Brady dan Brenner 2001. Pemeriksaan fungsional ginjal secara rutin dilakukan sebagai bagian integral dari penelitian toksisitas jangka pendek dan jangka panjang. Parameter fungsi ginjal dapat diamati dari analisis darah seperti kadar nitrogen urea darah Blood Urea Nitrogen, BUN atau ureum dan kreatinin. Nitrogen urea darah diperoleh dari metabolisme protein normal dan diekskresi melalui urin. Ureum yang meningkat menunjukkan kerusakan glomerulus. Kadar ureum juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan hefatotoksisitas yang merupakan efek umum beberapa toksikan. Sedangkan kreatinin adaiah suatu metabolit kreatin dan diekskresi seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus. Meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal, yang seringkali digunakan secara klini s Corwin 2009.

2.3.1.5 Efek Toksikan pada Fungsi Hati

Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Toksikan biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap, toksikan dibawa oleh vena porta hati ke hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang melakukan metabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut air, dan karenanya lebih mudah diekskresikan. Tetapi dalam beberapa kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi. Beberapa enzim serum digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Bila terjadi kerusakan hati, enzim ini dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel, seperti mitokondria, lisosom, dan nukleus. Alanine transaminaseserum glutamic-pyruvic transaminase SGPT dan serum glutamic-oxaloacetic transaminaseaspartat transaminase SGOT meningkat nyata sekali pada keadaan nekrosis hati akut Kuby 2007. Kerusakan hati dapat terjadi sebagai akibat dari paparan sejumlah bahan kimia atau obat-obatan, melalui inhalasi, ingesti, atau parenteral. Bahan yang bersifat hepatotoksik dapat menyebabkan kerusakan hati secara langsung, misalnya sebagai radikal bebas atau metabolit antara yang menyebabkan peroksidasi membran lipid yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan hepatosit. Obat atau metabolit dapat juga merusak membran sel atau molekul seluler lainnya, atau mengganggu jalur biokimiawi dan integritas sel. Hepatitis toksik terjadi pada semua individu yang terpapar toksikan, sifatnya tergantung pada dosis. Periode laten antara paparan dengan kerusakan hati umumnya singkat, antara 24 hingga 48 jam. Bahan penyebabnya bisa bersifat sistemik atau dirubah menjadi metabolitnya di dalam hati. Reaksi hipersensitivitas timbul juga pada penderita hepatotoksik Corwin 2009. Secara mikroskopis, pada kerusakan hati setelah paparan toksikan dalam dosis tinggi dan waktu yang singkat atau akut, akan tampak akumulasi lemak pada hepatosit, sel-sel yang nekrotik, atau disfungsi hepatobilier. Paparan toksikan pada hati dalam jangka panjang atau kronis tampak sebagai sirosis hepatis atau perubahan ke arah neoplasia dalam gambaran mikroskopisnya Roitts 2001.

2.3.1.6 Efek Toksikan Terhadap Berat Badan

Berkurangnya berat badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun sensitif. Konsumsi makanan juga merupakan indikator yang berguna. Seiain itu, konsumsi makanan yang nyata berkurang dapat menimbulkan efek yang mirip atau memperberat manifestasi toksik zat kimia itu. Dan sebaliknya, status gizi individu mempengaruhi efek toksik suatu bahan. Defisiensi asam- asam lemak esensial biasanya menekan aktivitas sistem ini. Hal yang sama juga terjadi pada defisiensi protein Kuby 2007.

2.3.1.7 Penggunaan Hewan Coba pada Uji Toksisitas

Tikus dan mencit umumnya digunakan dalam uji toksisitas. Hewan ini dipilih karena murah, mudah didapat, dan mudah ditangani. Seiain itu. banyak data toksik yang dapat diperoleh pada uji toksisitas dengan menggunakan kedua spesies hewan tersebut. Kadang kala digunakan spesies hewan lain, seperti marmut, kelinci, atau anjing, untuk memperoleh informasi yang lebih mudah didapatkan daripada menggunakan tikus dan mencit. Pengujian suatu toksikan dengan menggunakan dosis tinggi secara per oral juga dimungkinkan pada penggunaan kelinci dan anjing sebagai hewan coba, karena kapasitas lambungnya yang relative besar, dan dapat menerima asupan per oral dalam dosis tinggi. Hewan coba yang digunakan sebaiknya merupakan hewan dewasa namun masih muda Suckow et al. 2001. Dosis yang diberikan pada hewan coba merupakan dosis yang diperkirakan mampu diterima oleh hewan coba. Secara umum bahan yang akan diujikan pada hewan coba harus diberikan melalui jalur yang biasa digunakan pada manusia. Jalur oral paling sering digunakan, karena sebagian besar bahan yang diujikan merupakan bahan yang digunakan pada manusia melalui jalur ingesti. Bila akan diberikan secara oral, bahan yang akan diujikan harus dipastikan jumlahnya sesuai dengan dosis yang telah ditentukan sebelumnya. Pengujian bahan toksik melalui jalur dermal dan inhalasi umumnya digunakan untuk menilai cemaran lingkungan terhadap kesehatan orang-orang yang bersentuhan atau menangani bahan-bahan tersebut. Sedangkan jalur parenteral dipakai untuk menilai toksisitas obat parenteral Suckow et al. 2001. 2.4 Susu

2.4.1 Persyaratan Susu