Effectivity and In Vivo Safety of The Phage FR38 isolated from Domestic Waste to Decrease The Indigenous Salmonella P38 on Sausage, Milk, and Water.

(1)

EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN

IN VIVO

FAGE LITIK

FR38

DARI LIMBAH DOMESTIK DALAM MENURUNKAN

CEMARAN

SALMONELLA

P38

INDIGENOUS

PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR

DEWI SARTIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage Litik FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P38 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir Disertasi

Bogor, 2012 Dewi Sartika P062080091


(3)

Domestic Waste to Decrease The Indigenous Salmonella P38 on Sausage, Milk, and Water. Under direction of SRI BUDIARTI, MIRNAWATI B. SUDARWANTO and IMAN RUSMANA.

The ability of phage FR38 to lysis an indigenous Salmonella P38 from faeces of diarrhea patient has been studied, however its effects on food and its safety are not studied yet. This study was conducted to observe the effects of phage FR38 on food, and its safety in using of the phage on food.

Lysis efectivity of phage FR38 on food were measured on sausage, milk, and water. After phage's treatment on sausage, milk, and water, the total colony of Salmonella P38 was counted by surface plate method. Twelve male Sprague-Dawley rats were used for measure of phage's safety. Those rats were divided into two group; (i) control and (ii) treated with phage FR38’s 5 ml/kg bw (1 ml = 1.59 x 107 pfu phage). The phage treatment was administered by phage intragastricly. The clinical symptoms were observed at 15 days after treatment.

The result showed that indigenous phage FR38 had been able to decrease of indigenous Salmonella P38 on fresh sausage, milk, and water (0,01). The body

weight, organ weight, erythrocyt, hematocrit, hemoglobin, leukocyte, total protein,

creatinine, SGOT, SGPT of phage’s treatment rat were not different with control on 16th day (P > 0.05). It can be concluded that no effect of phage FR38 on body weight, blood chemistry, kidney, liver functions (0,01) and histology of the rat.


(4)

RINGKASAN

DEWI SARTIKA. Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage litik FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P38 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air. Dibimbing Oleh SRI BUDIARTI, MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan IMAN RUSMANA.

Sanitasi lingkungan sangat berperan pada prevalensi Salmonella di suatu daerah. Peningkatan populasi Salmonella di lingkungan dapat mencemari makanan baik pada bahan mentah maupun makanan jadi. Salmonella sp. merupakan bakteri patogen pencemar pangan dan penyebab food borne diseases serta water borne disease. Cemaran Salmonella, pada pangan telah banyak diteliti, diantaranya pada sosis dan susu serta produk olahannya. Di Indonesia penurunan cemaran Salmonella sp. pada pangan dilakukan dengan penambahan zat pengawet pangan/zat kimia. Dilaporkan bahwa bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan memberi efek karsinogenik bila digunakan dalam waktu yang lama (efek akumulasi). Sehingga perlu alternatif lain penurun Salmonella sp. pada pangan. Salmonella P38 ditemukan pada feses penderita diare di daerah sindang barang. Peneliti terdahulu telah menemukan fage FR38 dari limbah domestik yang dapat melisiskan Salmonella P38 indigeneous secara signifikan. Fage litik dapat dijadikan alternatif dalam melakukan sanitasi pada proses pengolahan pangan. Pemanfaatan fage FR38 pada susu, sosis dan air serta keamanannya terhadap tubuh sejauh ini belum diketahui pengaruhnya. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan fage FR38 terhadap penurunanan Salmonella P38 pada sosis, susu dan air serta keamanannya secara in vivo. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengendali hayati cemaran Salmonella P38 baik pada pangan maupun lingkungan.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomedis Hewan, Laboratorium Biologi Nutrisi PPSHB-IPB; Kandang tikus dan Laboratorium Fisiologi FKH-IPB; Laboratorium Kesehatan Daerah Bogor, serta Balai Besar Penelitian Veteriner Cimanggu Bogor.

Efektifitas pemanfaatan Fage litik pada susu dirancang dengan cara mengkombinasikan aplikasi penambahan fage litik pada susu pasteurisasi yang diberi cemaran 4.3 x 104 cfu Salmonella P38 dan ditambahkan fage FR38 sebanyak 3.8 x 104 pfu fage/100 ml susu. Efektifitas fage litik pada sosis dirancang dengan cara mengkombinasikan aplikasi penggunaan fage litik pada sosis sapi olahan yang diberi cemaran 4.7 x 104 cfu Salmonella dan 3.8 x 10 pfu fage/20 g sosis. Efektifitas fage litik pada air dilakukan dengan cara memberi perlakuan 3.4 x 104 pfu fage FR38 ke dalam 100 ml aquades yang telah dicemari dengan 4.8 x 104 cfu Salmonella P38. Pengamatan dilakukan pada selang waktu kontak 0, 24, dan 48 jam. Pengamatan meliputi total mikroba Salmonella P38 serta analisa proksimat kandungan nutrisi pangan yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, serat kasar dan kadar protein.

Uji keamanan fage dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan. Dua belas ekor tikus berumur 2 bulan dari galur Sprague Dawley yang diperoleh dari FKH-IPB digunakan dalam penelitian ini. Tikus percobaan diaklimatisasi di kandang hewan selama 15 hari. Tikus percobaan dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 adalah tikus kontrol dan kelompok 2 adalalah tikus yang diberi


(5)

diambil dari jantung dengan menggunakan syringe 5 ml, lalu dianalisis eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit, eritrosit, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, protein total, diferensiasi butiran darah putih (limfosit, neutrofil, eosinofil, basofil). Deskriptif feses diamati setiap hari. Histopathology dari organ hati, limpa, usus, lambung, dan ginjal diamati dengan membandingkan organ yang sama pada tikus kontrol.

Penambahan fage pada sosis ternyata menghambat laju pertumbuhan Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang. Pada penyimpanan 24 jam (7.5x101 cfu/ml) dan 48 jam (7.8x102 cfu/ml) ternyata fage litik menurunkan Salmonella P38 secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa fage pada penyimpanan 24 jam (2.57 x 106 cfu/ml) dan 48 jam (7.9x108 cfu/ml) (0,01). Penambahan fage pada susu ternyata juga mempengaruhi laju

pertumbuhan Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam di suhu ruang. Pada penyimpanan 24 jam (9.4 x 102 cfu/ml) dan 48 jam (1.2 x 103 cfu/ml) ternyata fage litik menurunkan Salmonella P38 secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa fage pada penyimpanan 24 jam (2.6 x 108 cfu/ml) dan 48 jam (7.9x1012 cfu/ml) (0,01). Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella

P38 pada air. Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan dari 3.6 menjadi 9cfu/ml dibandingkan dengan tanpa Fage (Salmonella P38) yang justru meningkatkan jumlah mikroba menjadi 9.5 x 106 cfu/ml pada lama penyimpanan 48 jam (0,01).

Uji in-vivo pada tikus menunjukkan bahwa kreatinin pada tikus yang diberi perlakuan fage (1.331±0.527) ternyata tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (1.394±0.743) (0,01). SGOT pada tikus yang diberi

perlakuan fage (193.50 ± 34.735) tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (211.67±65.503) (hitung>0.05). Hal ini menunjukkan

bahwa perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi hati. Hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit dan Packed Cell Volume (PCV) pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16. Pada uji histopatologi terlihat bahwa organ yang diberi perlakuan fage tidak menunjukkan kelainan yang spesifik (TAKS).

Simpulan dari penelitian ini adalah perlakuan penambahan fage FR38 pada sosis, susu dan air ternyata dapat menahan laju kecepatan tumbuh Salmonella P38 pada penyimpanan 24 dan 48 jam secara signifikan. Konsumsi secara oral fage sebanyak 1.59 x 107 pfu ternyata tidak berpengaruh terhadap gambaran darah, SGOT, SGPT, kreatinin, ureum dan jaringan dibandingkan dengan kontrol pada tikus putih (rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley. Hal ini menunjukkan bahwa fage adalah efektif menurunkan cemaran Salmonella pada pangan seperti sosis, susu, dan air serta aman bagi tubuh tikus.


(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR

DEWI SARTIKA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

Penguji Luar pada Ujian Tertutup:

Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, M.S. Dr. Ir. Eti Riani, MSi

Penguji Luar pada Ujian Terbuka:

Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Sc., SpF(K). Prof. drh. Roostita Balia, Ph.D.


(9)

Nama : Dewi Sartika

NIM : P062080091

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. dr. Sri Budiarti Ketua

Mengetahui

Ketua Program Studi,

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 30 Oktober 2012 Tanggal Lulus :

Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si.


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, disertasi dengan judul Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage Litik FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P388 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air dapat diselesaikan. Penelitian ini didanai oleh Hibah Penelitian Tim Pascasarjana sebagai ketua Tim Penelitian adalah Dr. dr. Sri Budiarti.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak mungkin tercipta tanpa bantuan dari segala pihak. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada: Ibu Dr. dr. Sri Budiarti, sebagai ketua Komisi Pembimbing; yang telah memberikan motivasi, ilmu, keteladanan kepada penulis mulai dari awal pemilihan tema, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi; inovasi, logika ilmiah dan ide-ide cemerlang beliau banyak menghiasi disertasi ini; motto beliau ‘keep spirit and be a Samurai’ menggugah penulis untuk bangkit menyelesaikan disertasi ini; Ibu Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah all out dalam membimbing dan mendampingi penulis baik dalam menentukan metode, rancangan percobaan, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi; keteladanan dan penerapan planning, organizing, actuating dan controlling dalam me-manage penelitian banyak saya adopsi dari beliau; dan Bapak Dr. Iman Rusmana, MSi selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, ide dan keteladanan baik selama pelaksanaan penelitian, penulisan disertasi hingga publikasi ilmiah; logika ilmiah yang beliau sarankan telah memberi warna tulisan ini.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan dengan tulus kepada: Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB; Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Ketua Program Studi PSL beserta staf dosen dan akademik; Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bapak Dr.Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.Eng., (Kajur THP), Ibu Ir. Susilawati MS (Sekjur THP) yang telah memberikan izin bagi penulis untuk mengikuti program pendidikan Doktor di IPB.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: Ibu Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, M.S. dan ibu Dr. Ir. Eti Riani, MSi sebagai penguji pada


(11)

masukan demi kesempurnaan disertasi ini; Ketua Laboratorium Biomedis Hewan, para laboran (bu Dewi Asnita, bu Ida, mbak Endang dan pak Edi), dan Bapak drh. Yulfian Sani, PhD. (Kepala Lab. Diagnostik Balai Besar Balitvet Cimanggu) yang telah meluangkan waktu dan tenaga memperlancar proses penelitian ini.

Ucapan terima kasih dan penghormatan juga penulis haturkan kepada Ayahnda H. Syukur Siadjin, Ibunda Hj. Syukuriah yang tak pernah putus mengingatkan penulis dengan cinta dan kasih sayangnya untuk menyelesaikan studi ini, dalam bentuk doa, dukungan, dan semangat sampai hari ini "Allahuma firlii waliwalidayya warhamhuma kamma rabbayyani saghiirrra". Sayangilah beliau berdua dan sempatkan penulis berbakti kepadanya, Aamiin YRA; Mertua penulis, Alm. Ayahnda KH. M. Burkan Saleh dan Almh. Ibunda Hj. Nuraini, yang ikut mendoakan sewaktu beliau masih hidup. Semoga Beliau berdua tenang disisi-Nya. Aamiin YRA; Suami penulis, Dr. Muhammad Ikbal, M.Pd. dengan cinta dan kasih sayangnya telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan S3 di IPB; anak-anak penulis, M. Rosikhul Ilmi, Egalita Fauziannissa, dan Najhwa Fazilla Ikbal, yang selalu ikut mendoakan penulis dan terpaksa mengerti bahwa uminya sedang menyelesaikan perkuliahan; Saudara penulis, kak Erwan Ekajaya, ST, M.T., mbak Rohai Inah, S.S., M.Si, dek Suharti Ningsih, S.P., M.Si., dek Verra Charoline, S.E., M.H., yang tak pernah putus dengan kasihnya membantu doa, semangat serta dukungannya: Seluruh keluarga baik di Lampung, Lahat maupun di Kerinci; Rekan-rekan penulis yaitu Dr. Rastina Rachim, Dr. Nurlita Pertiwi, M.T., dan Rekan-rekan S3 PSL tahun 2008; serta rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga bantuan, dukungan dan perhatian yang telah diberikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, 2012 Dewi Sartika


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung karang pada tanggal 20 Desember 1970 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan H. Syukur Siadjin dan Hj. Syukuriah. Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1994 pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian (THP), Universitas Lampung. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 1999 pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang dan tahun 2003 pada PPs Ilmu Pangan IPB. Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor yang didanai oleh beasiswa BPPS Dikti. Penulis bertugas pada Jurusan THP, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar lampung sejak tahun 2008.

Selama mengikuti program S3, penulis aktif menulis artikel ilmiah di bidang lingkungan. Artikel berjudul Economic Analysis on Deforestation telah diterbitkan di Quantitatif International Journal 2009. Artikel lain yang berjudul Clean Development Mechanism Project on Food industri telah disajikan pada Annual International Conference on Green Technology and Engineering 2st tahun 2009. Artikel ilmiah yang berjudul The Effect of Phage FR38 on Sprague Dawley Rat inferred from Blood Parameters and Organ Systems (merupakan bagian dari disertasi S3) telah dipublikasikan pada Hayati Journal of Biosciences Vol.19 No. 3, p.131-136 bulan September Tahun 2012.


(13)

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... I PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang ... 1.2 Perumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Penelitian ... 1.4 Hipotesis Penelitian ... 1.5 Novelty ...

II TINJAUAN PUSTAKA ………... ... 2.1 Dampak cemaran Salmonellosis pada Lingkungan ... 2.1.1 Ciri-ciri Salmonella sp ... 2.1.2. Patogenesis ... 2.1.3. Mekanisme Wabah Salmonellosis di Lingkungan ... 2.1.4 Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada makanan ... 2.2 Fage Litik ... 2.2.1 Karakteristik Fage ... 2.2.2 Penelitian dan Aplikasi Fage ... 2.3 Uji In Vivo ... 2.3.1 Paparan Alergi dan Tanggapan Tubuh ... 2.3.1.1 Alergen ... 2.3.1.2 Klasifikasi Reaksi Alergi ... 2.3.1.3 Antibodi ... 2.3.1.4 Sel Mast dan Basofil ... 2.3.2 Uji Keamanan ... 2.3.1.1 Keamanan dan toksisitas ... 2.3.1.2 Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi ... 2.3.1.3 Efek Toksikan pada Tubuh ... 2.3.1.4 Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal ... 2.3.1.5 Efek Toksikan pada Fungsi Hati ... 2.3.1.6 Efek Toksikan Terhadap Berat Badan ... 2.3.1.7 Penggunaan Hewan Coba pada Uji Keamanan ... 2.4 Susu... 2.5 Sosis ... III METODOLOGI PENELITIAN ...

3.1 Lokasi dan Waktu ... 3.2 Bahan dan Alat ... 3.3 Prosedur Penelitian ... 3.2.1 Produksi Fage ... 3.2.1.1 Pengkayaan Fage FR38 ...

xii xiii xv 1 1 4 7 7 8 9 9 10 11 12 14 14 14 17 18 18 18 19 21 21 22 22 23 24 25 26 27 27 28 34 36 36 36 36 36 36


(14)

3.2.1.2 Kuantifikasi Fage ... 3.2.1.3 Efisiensi Lisis Fage ...

3.2.2 Pemanfaatan fage ... 3.2.2.1 Pengolahan Susu dengan Aplikasi Fage ... 3.2.2.2 Pengolahan Sosis dengan Aplikasi Fage ... 3.2.2.3 Pengolahan Air dengan Aplikasi Fage ... 3.2.2.4 Pengamatan ...

3.2.3 Uji Keamanan Secara In Vivo ... 3.2.3.1 Persiapan Tikus ... 3.2.3.2 Persiapan Ransum ... 3.2.3.3 Konsumsi Makanan ... 3.2.3.4 Pengumpulan Feses ... 3.2.3.5 Pewarnaan ... 3.2.3.6 Pengamatan ... 3.4 Rancangan Percobaan ... 3.5 Analisis Data ... IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...

4.1 Perbanyakan Fage ... 4.2 Efektifitas Fage FR38 pada Susu ... 4.3 Efektifitas Fage FR38 pada Sosis ... 4.4 Efektifitas Fage FR38 pada Air ... 4.5 Keamananan Fage secara In Vivo ... 4.5 Histopathology ... V SIMPULAN DAN SARAN ...

5.1 Simpulan ... 5.2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... 37 37 38 38 39 40 41 43 43 44 44 44 44 44 44 45 46 46 50 53 55 56 62 65 65 66 67 75


(15)

No Teks Halaman 1 Bagan alir perumusan masalah ... ... 2 Pola pemutusan transmisi wabah salmonellosis di lingkungan ... 3 Mekanisme masuknya Salmonella pada tubuh manusia ... 4 Siklus transmisi wabah Salmonellosis di lingkungan ... 5 Siklus replikasi fage ... 6 Kepala, struktur, dan bentuk fage ... 7 Reproduksi fage ... 8 Mekanisme paparan alergen pada tubuh ... 9 Reaksi alergi dan tanggap tubuh terhadap alergen ... ... 10 Prosedur pengolahan susu dengan aplikasi fage litik ... .…………...…….35 11 Prosedur pengolahan sosis dengan aplikasi fage ...…...…36 12 Pengaruh buffer ringer dan buffer SM terhadap rata-rata ukuran

flaque fage ... 13 Efektifitas lisis fage FR38 yang diukur berdasarkan nilai OD ... 14 Uji bebas Salmonella, uji kuantifikasi fage, serta

pengamatan fage dengan menggunakan (TEM) ... 15 Pengaruh perlakuan fage selama 48 jam: (A) fage FR 38 dan

Salmonella P 38; (B) Salmonella P 38; (C) Kontrol; (D) Buffer SM dan dan (E) Nutrient Broth... …………...

16 Pengaruh fage FR38 terhadap nilai pH susu ... 17 Pertumbuhan tikus kontrol dan perlakuan fage FR38 ... 18 Perbandingan jaringan tikus yang diberi perlakuan fage (ginjal (A),

Liver (C), Lambung (E) dan limpa (G)) dan jaringan tikus kontrol

(ginjal (B), Liver (D), Lambung (F) dan limpa (H)) HE x 200. ... 19 Jaringan usus tikus yang diberi perlakuan FR38 (A) and Kontrol

(B) (HdanE.x200) ... 5 6 11 13 15 16 17 18 20 39 40

48 48

49

52 53 58

62


(16)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman 1 Prosentase wabah salmonellosis per 100.000 jiwa periode

2005-2009 ...

2 Infeksi Salmonella spp. Pada hewan ternak periode tahun 1990-2003 ... 3 Residu antibiotik pada produk ternak ...

4 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai PFU fage ... 5 Pengaruh buffer stock terhadap nilai Plaque Forming Unit (pfu)

fage FR38 ...

6 Pengaruh perlakuan Fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap

kandungan nutrisi susu ... 7 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah

Salmonella P38 pada susu ...

8 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah

Salmonella pada sosis ... 9 Pengaruh perlakuan fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap

kandungan nutrisi sosis ... 10 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah

Salmonella P38 pada air ... 11 Kreatinin dan total protein pada tikus yang diberi perlakuan fage ... 12 Nilai SGOT dan SGPT pada tikus yang diberi perlakuan fage ... 13 Rata-rata berat organ selama perlakuan fage FR38 ... 14 Penampakan feses tikus selama perlakuan fage FR38 ... 15 Gambaran hematologi darah tikus yang diberi perlakuan fage

FR38 …… ...

12 13 14 46 47

51

52

54

55

56 56 57 59 60


(17)

No Teks Halaman 1 Tampilan fage FR38 ... 2 Tampilan flak dari fage FR38 ... 3 Proses sentrifugasi cairan fage ... 4 Proses filtrasi cairan fage ... 5 Perlakuan fage pada susu ... 6 Penampakan sosis setelah mendapatkan perlakuan Salmonella P38 ... 7 Penghitungan total mikroba dengan menggunakan media XLD ... 8 Tata letak kandang tikus ... 9 Tempat minum tikus ... 10 Makanan tikus ... 11 Alat sonde tikus ... 12 Tampilan tikus pada hari ke-16 ... 13 Pengambilan data berat badan ... 14 Bentuk feses tikus ... 15 Proses anesthesia tikus ... 16 Organ tikus ...

17 Sampel organ diawetkan di dalam larutan formalin ... 18 Pengumpulan tikus setelah pembedahan ... 19 Artikel publikasi ilmiah ...

75 75 75 76 76 76 77 77 77 78 78 78 79 79 79 80 80 80 81


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Cemaran Salmonella di lingkungan seperti di tanah dan air banyak terjadi baik di negara maju maupun berkembang. Air dan tanah yang tercemar Salmonella , merupakan agen pencemar makanan dan minuman yang memicu timbulnya wabah salmonellosis di lingkungan. Wabah salmonellosis di dunia menyebabkan gastroenteritis akut atau diare (1.3 milyar jiwa) dan kematian (13 juta jiwa) (Portillo 2000). Budiarti et al. (1991) melaporkan bahwa Salmonella derby yang diisolasi dari penderita diare di Myanmar secara in-vitro dapat melekat dan menyerang sel Hep-2 yang mengindikasikan bahwa bakteri tersebut dapat menyebabkan diare. Lebih dari 50% penyebab wabah diare di dunia diakibatkan dari makanan yang tercemar Salmonella (Miliotis dan Bier 2003).

Di negara berkembang, wabah salmonellosis menyebabkan kematian sekitar 3 juta penduduk setiap tahun (Zein et al. 2004). Wabah tersebut ternyata tidak dapat dituntaskan dari tahun ke tahun. Acute Communicable Disease Control (ACDC) (2009) melaporkan bahwa insiden salmonellosis yang tertinggi pada golongan umur 15-34 tahun (22,7%); diikuti oleh golongan 1-4 tahun (19.2%); 5-14 tahun (16.3%); > 65 tahun (10.3%); 35-44 tahun (9.2%); 45-64 tahun (8.5%); < 1 tahun (7.5%); dan 55-64 tahun (6.4%).

Di Indonesia, berdasarkan survey di rumah sakit di Jakarta, Padang, Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar, dan Batam dari 2.812 pasien diare penyebab utama diantaranya adalah Salmonella spp, dengan rincian kasus diare yaitu di puskesmas (13.3%); rumah sakit rawat inap (0.45%); dan pasien rawat jalan (0.05%) (Zein et al. 2004). Agen penyebab wabah salmonellosis menurut Grau (1989) mudah ditransmisikan dari lingkungan ke hewan dan manusia baik langsung ataupun tidak langsung melalui produk pangan asal ternak. Menurut Poernomo (2004) infeksi Salmonella spp. Pada ternak tahun 1990-2003 yang

tertinggi adalah infeksi S. enteritidis (294 kasus); diikuti S. typhimurium (65 kasus) dan S. hadar (52 kasus). Hewan yang terinfeksi Salmonella dari

lingkungan dapat menyebarkan bakteri ini melalui fesesnya. Feses tersebut akan mencemari kembali lingkungan sekitar seperti tanah dan air.


(19)

Transmisi pencemaran Salmonella sp. dari lingkungan ke pangan menyebabkan food borne diseases dan water borne disease (Bell dan Kyriakides 2002). Cemaran Salmonella sp. pada pangan yang mengakibatkan keracunan pangan telah banyak diteliti, misalnya pada daging mentah dan sosis (Zhuang dan Mustapha 2005); susu serta produk olahannya (Izzo 2011).

Susu dan sosis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan Salmonella sp. Deteksi cemaran Salmonella sp. pada susu sudah banyak dilakukan yaitu pada susu sapi olahan (Bhattacharya et al. 2012); susu kambing (Migeemanathan et al. 2011); susu mentah (Hill et al. 2012); susu bebas lemak (Barbaree et al. 2007) dan susu bubuk (Anderson et al. 2007). Cemaran Salmonella sp. pada Sosis ternyata juga telah diteliti misalnya pada sosis babi di Irlandia (Buttler et al. 2012); sosis babi segar di Brazilia (Cardoso et al. 2009); dan sosis fermentasi (Hwang et al. 2009).

Di Indonesia penurunan cemaran Salmonella sp. pada pangan dilakukan dengan penambahan zat pengawet pangan/zat kimia, misalnya sodium benzoate, sodium nitrat, sodium sulfit, butylated hydroxyl toluene (BHT), butylated hydroxyl anisol (BHA), t-butyl hydroxy quinon (TBHQ). Bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan

memberi efek karsinogenik (BPOM 2003). Menurut Sinha dan D’Souza (2010), sodium benzoat pada dosis 155 mg/kg bb berefek gangguan pada sel hati tikus. Sodium benzoate juga merugikan bagi penderita asma yang peka terhadap aspirin (BPOM 2003).

Menurut Essien (2007) sosis umumnya menggunakan pengawet sodium benzoat dan sodium sulfat, sodium karbonat, BHA, BHT, ammonium karbonate, sodium fosfat, potasium fosfat, dan lain lain. Sedangkan susu umumnya menggunakan pengawet sodium benzoat, sodium asetat, sodium propionat, sodium sorbat, derivat sulfit (Zuethen dan Sorensen 2003)

Harga zat pengawet yang mahal ternyata membuat produsen pangan menggantinya dengan zat pengawet yang tidak diperbolehkan misalnya formalin, tawas dan hydrogen peroxida. Berdasarkan survey Sinaga (2011) di 3 pasar tradisional di Medan ternyata ikan kembung olahan mengandung formalin dengan kadar 1.86 mg/kg; 2,47 mg/kg; dan 1.46 mg/kg. Penggunaan formalin juga


(20)

3

terdapat pada produk tahu, susu, daging sapi, daging ayam, mie, dan saos. Zat pengawet yang tidak diperbolehkan seperti formalin selain menekan mikroba, juga menyebabkan kerusakan pada jaringan saluran cerna (Mahdi et al. 2009).

Penurunan paparan Salmonella pada hewan juga menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai takaran memberi efek resistensi pada mikroba sehingga produk hasil hewan seperti daging dan susu menjadi tidak aman dikonsumsi karena menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Residu antibiotik pada produk ternak sudah banyak diteliti misalnya pada susu individu (80%), susu kandang (24%), susu loper (34.4%) (Sudarwanto 1990); residu penisilin pada susu pasteurisasi (Sudarwanto 1992); serta residu tetrasiklin, khlortetrasiklin, oksitetrasiklin pada susu segar (Bahri 2008). Residu penisilin dan tetrasiklin juga terdeteksi pada daging sapi dan daging ayam (Iniansredef 1999). Budiarti (2011) melaporkan adanya paparan E. coli resisten antibiotik pada 95% manusia sehat pada berbagai usia bahkan pada fase neonatus. Berdasarkan paparan diatas perlu alternatif lain untuk menurunkan mikroba juga Salmonella pada pangan.

Fage litik dapat dijadikan alternatif dalam melakukan pengawetan pada proses pengolahan pangan, karena bersifat alami, dan banyak terdapat di lingkungan (Abedon 2008); dapat diisolasi dari berbagai macam bahan pangan misalnya fage E. coli pada kerang (Albert et al. 1994); fage E. coli pada wortel (Endley et al. 2003); fage Propionibacterium freudenreichii pada keju (Gautier et al. 1995); fage Campylobacter pada daging (Atterburry et al. 2001); fage Lactobacillus spp. pada yogurt (Kilic et al. 1996).

Di Indonesia isolasi fage sudah dilakukan, seperti isolasi fage Xanthomonas campestris (Triana, 1996); fage enteropatogenik E. coli (Budiarti et al. 2011); dan fage Salmonella FR38 (Budiarti dan Rusmana 2010). Penemuan fage bakteri tersebut belum diiringi pemanfaatannya di lingkungan dan pangan.

Pada penelitian ini dilakukan kajian pemanfaatan fage litik dalam menurunkan cemaran Salmonella pada sosis, susu, dan air. Menurut Winarno (2004) pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahan toksik yang membahayakan tubuh manusia. Dilaporkan oleh Budiarti dan Rusmana (2010) fage Salmonella FR38 yang diisolasi dari limbah domestik dapat


(21)

melisiskan bakteri Salmonella P38 indigenous yang diisolasi dari pasien anak-anak diare, secara signifikan. Salmonella P38 tersebut resisten amoxicillin-clavulanic acid, ampicillin, ampicillin sulbactam, chepalotin. Sehingga diduga fage FR 38 dapat menurunkan kontaminasi Salmonella P38 pada sosis, susu, dan air. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh pemanfaatan fage FR38 terhadap penurunan Salmonella P38 pada sosis, susu dan air serta keamanannya secara in vivo.

1.2 Perumusan Masalah

Salmonella sp. adalah bakteri patogen pencemar lingkungan tanah dan air, yang mengakibatkan wabah salmonellosis atau diare pada hewan dan manusia. Transmisi Salmonella dari lingkungan ke hewan atau manusia dan sebaliknya akan membentuk siklus terus menerus (Gambar 2). Cemaran Salmonella pada tanah, air, dan hewan menyebabkan kontaminasi pada produk pangan dan air. Cemaran Salmonella pada pangan ditemukan juga pada sosis, susu, dan air.

Salmonella P38 adalah bakteri resisten terhadap antibiotik. Bakteri resisten antibiotik bila mencemari pangan akan menyebabkan penyakit yang sulit diobati. Penurunan mikroba pada pangan di Indonesia dilakukan dengan penambahan zat pengawet pangan. Bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan memberi efek karsinogenik bila digunakan terus menerus (efek akumulatif).

Berdasarkan paparan diatas perlu alternatif penurun mikroba Salmonella pada pangan yang bersifat alami dan non toksik serta ramah lingkungan. Fage litik dapat dijadikan alternatif sebagai pengawet pada proses pengolahan pangan. Pada penelitian in vitro diketahui, populasi Salmonella P38 dapat diturunkan dengan melakukan penambahan Fage FR38. Fage FR38 diisolasi dari limbah domestik dan bersifat spesifik dalam menginfeksi host (inang). Efektifitas dan keamanan penggunaan fage pada pangan di Indonesia sejauh ini belum banyak dilakukan. Sehingga perlu adanya kajian efektifitas dan keamanan pemanfaatan fage FR38 untuk menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis, susu dan air. Perumusan masalah dan pola transmisi wabah salmonellosis disajikan pada Gambar 1 dan 2.


(22)

5

Gambar 1 Bagan alir Perumusan Masalah

RAMAH LINGKUNGAN

SALMONELLA P38 MENCEMARI PRODUK SOSIS, SUSU, DAN AIR

ZAT PENURUN CEMARAN BAKTERI PADA PANGAN DAN AIR YANG DIPERBOLEHKAN: MAHAL DAN KARSINOGENIK

PRODUSEN MENGGUNAKAN PENGAWET YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN DAN ANTIBIOTIK

TOKSIK DAN BERBAHAYA BAGI KESEHATAN

FAGE FR38 MERUPAKAN ALTERNATIF BARU

MUDAH DIDAPAT DAN DIPERBANYAK ALAMI

PERMASALAHAN: PENERAPAN PADA PANGAN DAN PENELITIAN FAGE DI INDONESIA SANGAT MINIM DILAKUKAN

PERLU PENELITIAN LEBIH LANJUT PEMANFAATAN FAGE FR38 DALAM MENURUNKAN CEMARAN

SALMONELLA P38 PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR SERTA KEAMANANNYA SECARA IN-VIVO

KEAMANAN IN-VIVO

EFISIENSI

PENURUNAN CEMARAN SALMONELLA P38

PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR TIDAK TOKSIK

SALMONELLA. MENCEMARI LINGKUNGAN TANAH DAN AIR

WABAH SALMONELLOSIS PADA HEWAN DAN MANUSIA

PENURUNAN WABAH SALMONELLOSIS


(23)

---

-

---

---

Gambar 2 Pola pemutusan transmisi wabah salmonellosis di Lingkungan Keterangan: --- = pemutusan rantai

Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini maka cemaran Salmonella P38 pada sosis, susu, serta air akan menurun. Pemanfaatan fage dalam penurunan cemaran Salmonella akan memutus rantai berulang siklus transmisi wabah salmonellosis di lingkungan (Gambar 2). Berdasarkan paparan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Apakah fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar?

2. Apakah fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu

seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu?

3. Apakah fage FR38 efektif menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba?

4. Apakah penggunaan fage FR38 aman secara in-vivo bila dikaji berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley?

Fage sebagai pencegah infeksi

Salmonella mencemari lingkungan

Wabah salmonellosis di Lingkungan

Hewan Manusia

Feses mengandung Salmonella Cemaran Salmonella di tanah dan air

Foodborne dan waterborne disease

Perlakuan

Fage pada air dan pangan


(24)

7

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan

kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar.

2. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan

kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.

3. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba.

4. Mengetahui tingkat keamanan penggunaan fage litik secara in-vivo bila dikaji berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan

cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar.

H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran

Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar.

2. H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan cemaran

Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.

3. H1:

H0:

Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.

Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba


(25)

H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran

Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba 4. H0: Penggunaan fage FR38 tidak aman secara in-vivo bila dikaji

berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley.

H1: Penggunaan fage FR38 aman secara in-vivo bila dikaji berdasarkan

fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley.

1.5 Novelty atau kebaruan

Kebaruan dari penelitian ini adalah:

1. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar.

2. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.

3. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba.

4. Keamanan penggunaan fage litik secara in vivo.bila dikaji berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dampak Cemaran Salmonella pada Lingkungan 2.1.1 Ciri-ciri Salmonella sp.

Salmonella sp. adalah bakteri berbentuk batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, memiliki ukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm (Jawetz et al. 2005). Salmonella sp. hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari manosa, memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S. Pada biakan agar koloninya memiliki median 2-8 milimeter, dengan bentuk bulat agak cembung, dan jernih (Robinson et al. 2000). Menurut Cox (2000) Salmonella sp. bersifat motil dan memfermentasi glukosa dengan membentuk gas dan asam.

Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu misalnya hijau brillian, sodium tetrathionat, dan sodium deoxycholate (Robinson et al. 2000). Menurut Ray (2001) Salmonella sp. mampu berkembang biak pada berbagai makanan tanpa mempengaruhi tampilan kualitasnya.

Genus Salmonella adalah termasuk family Enterobactericeae (Jawetz et al. 2005) dan merupakan bakteri fakultatif anaerob. Salmonella dapat tumbuh

pada suhu 5-45oC dengan suhu optimum 35-37oC (Ray 2001); mampu hidup pada pH rendah tetapi sensitif dengan penambahan garam. Salmonella akan membentuk rantai filamen panjang ketika tumbuh pada suhu ekstrim 4-8oC atau 44oC serta pada pH 4.4 atau 9.4 (Bhunia 2008). Semua Salmonella merupakan patogen intraselular fakultatif dan bersifat patogen, serta dapat menyerang makrofag, sel-sel dendrit, dan epitel (Jawetz et al. 2005). Faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas Salmonella sp meliputi lipopolisakarida (LPS) dan pili (Cogan dan Humprey 2003).

Klasifikasi Salmonella sp. berdasarkan dasar reaksi biokimia dan serotipe yang diidentifikasi menurut struktur antigen O, H dan Vi yang spesifik (Jawetz et al. 2005), menurut reaksi biokimianya, Salmonella sp. dapat diklasifikasikan menjadi tiga spesies yaitu S. typhi, S. enteritidis, S. cholerasuis (Molbak et al. 2006). Berdasarkan serotipenya di klasifikasikan menjadi empat serotipe yaitu S.


(27)

paratyphi A (Serotipe group A), S. paratyphi B (Serotipe group B), S. paratyphi C (Serotipe group), dan S. typhi dari Serotipe group D (Jawetz et al. 2005).

2.1.2 Patogenesis

S. typhi, S. paratyphi A, B dan C merupakan penyebab infeksi utama pada manusia. Bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral dan biasanya dengan cara mengkontaminasi makanan dan minuman (Jay 2000). Diantara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp adalah keasaman lambung, flora normal dalam usus dan ketahanan usus lokal (Jawetz et al. 2005). Menurut Robinson et al. (2000) Salmonella juga terdeteksi pada daging, susu, telur, buah dan Sayur. Telur yang terkontaminasi Salmonella yang disimpan pada suhu kamar dapat mencapai 1011 sel/telur (Robinson et al. 2000).

Mekanisme patogenesis Salmonella biasanya melalui proses infeksi sistemik yang mengakibatkan demam, diare, abdominal pain, dan vomitting. Gejala timbul tergantung daya tahan tubuh, umumnya setelah terpapar 3-4 hari (Bhunia 2008). Dosis infeksi Salmonella bervariasi yaitu 1-109 cfu/g, menurut Bhunia (2008) dosis minimal Salmonella yang mengakibatkan penyakit adalah 103 cfu/g. Menurut Cooper (1994) dosis 103 dapat menyebabkan wabah salmonellosispada manusia. Pola penyebaran penyakit ini adalah melalui saluran cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). S typhi, paratyphi A, B, dan C masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar (Rabson et al. 2005). Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain (Gambar 3). Akibatnya feses dan urin penderita bisa mengandung kuman S. typhi, S. paratyphi A, B dan C yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau minuman yang tercemar. Pada penderita yang tergolong carrier kuman Salmonella bisa ada terus menerus di feses dan urin sampai bertahun-tahun (Rabson et al. 2005).


(28)

11

Gambar 3 Mekanisme masuknya Salmonella pada tubuh manusia (Smida 2011)

Bakteri tersebut melalui aliran darah juga akan menyerang hati, kantong empedu, limpa, ginjal, dan sumsum tulang dan menyebabkan infeksi organ-organ tersebut (Ray 2001). Melalui organ-organ-organ-organ yang telah terinfeksi inilah mereka menyerang aliran darah yang menyebabkan bakteremia sekunder. Bakteremia sekunder ini bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya demam dan penyakit klinis (Rabson et al. 2005).

Gejala klinis pada salmonellosis tergantung pada sifat virulensi dan invasi bakteri, jumlah bakteri, daya tahan tubuh hospes (umur dan kesehatan). Masa inkubasi infeksi Salmonella pada manusia adalah 5-72 jam tetapi gejala umumnya terjadi setelah 12-36 jam menelan makanan yang terkontaminasi Salmonella. Tanda-tanda awal adalah diare, dehidrasi, sakit perut, mual-mual, dan muntah. Salmonellosis bila tidak ditangani dengan tepat akan mengakibatkan kematian (Rabson et al. 2005).


(29)

2.1.3 Mekanisme Wabah Salmonellosis di Lingkungan

Salmonellosis adalah wabah yang timbul akibat adanya infeksi bakteri Salmonella yang menyerang saluran gastrointestinal setelah mengkonsumsi makanan yang tercemar Salmonella. Wabah salmonellosis telah terjadi sejak 20 tahun yang lalu di Eropa. Tahun 1980-an terjadi peningkatan yang signifikan wabah salmonellosis yang diakibatkan oleh S. enteritidis dan pada tahun 1990 wabah ini menyebar ke negara berkembang. Wabah salmonellosis bersifat epidemik. Wabah ini menurun setelah dilakukan beberapa implementasi kontrol Salmonella. Prosentase wabah Salmonellosis berdasarkan usia disajikan oleh ACDC (2009) pada Tabel 1.

Tabel 1 Prosentase wabah salmonellosis per 100.000 jiwa periode 2005 - 2009

Kriteria 2005 2006 2007 2008 2009

Berdasarkan Usia (tahun)

< 1 8.8 8.2 9.2 5.4 7.5

1 - 4 17.6 18.2 16.9 37.4 19.2

5 - 14 17.4 17.1 15.9 10.4 16.3

15 - 34 20.3 20.6 20.9 17.0 22.7

35 - 44 10.8 8.6 10.5 9.2 9.2

45 - 54 8.1 9.2 7.9 7.1 8.5

55 - 64 6.7 6.6 6.9 5.6 6.4

65 + 10.1 11.5 11.5 7.8 10.3

Tidak teridentifikasi 0.2 0 0.3 0.2 0

Berdasarkan Ras/etnik

Asia 9.7 11.3 10.5 7.0 8.6

Hitam 6.8 7.8 5.9 4.7 6.3

Amerika 45.8 50.0 49.9 65.4 52.0

Putih 36.1 28.8 31.4 19.9 30.7

Lain-lain 0.6 0.3 0.9 0.2 0.8

Tidak teridentifikasi 1.2 1.6 1.4 2.9 1.6

Agen penyebab wabah salmonellosis ini mudah ditransmisikan dari lingkungan ke hewan dan manusia serta sebaliknya baik langsung ataupun tidak langsung melalui produk pangan asal ternak (Grau 1989). Hewan yang terinfeksi Salmonella dari lingkungan dapat menyebarkan bakteri ini melalui feses (Tabel 2). Feses tersebut akan mencemari lingkungan sekitar seperti tanah dan air. Mekanisme wabah salmonellosis di lingkungan tersaji pada Gambar 4.


(30)

13

Tabel 2 Infeksi Salmonella spp. pada hewan ternak periode tahun 1990-2003

Salmonella spp. A B C D E F G H

S. Typhi 16 4 2 5 35 1 2 65

S. enteritidis 197 - 8 59 22 5 3

S. hadar 29 - 1 15 4 3 - 52

S. lexington 4 - 1 10 1 - 1 17

S. ouakam 23 - 2 3 1 - - 29

S. schwarzengrund 19 2 1 11 4 1 - 38

Keterangan: A = Unggas (ayam, itik, burung); B = Ruminansia (Sapi, kerbau, kambing, domba); C = Babi, kucing, anjing; D = Limbah (Rumah potong hewan, alat, air, sampah, bulu); E = Pangan asal ternak

(karkas, daging, susu, telur dan produknya; F = Pakan ternak; G = Manusia; H = Jumlah (Poernomo 2004).

Gambar 4 Siklus transmisi wabah salmonellosis di Lingkungan

Penurunan paparan Salmonella pada hewan ternyata juga dilakukan dengan menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak sesuai takaran ternyata memberi efek negatif yaitu produk hasil hewan seperti daging dan susu tidak aman dikonsumsi, menyebabkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Residu antibiotik pada produk ternak tersaji pada Tabel 3.

Salmonella mencemari lingkungan

Wabah salmonellosis di Lingkungan

Hewan Manusia

Feses mengandung Salmonella

Cemaran Salmonella di tanah dan air

Foodborne dan waterborne disease


(31)

Tabel 3 Residu antibiotik pada produk ternak

Produk Sampel

positif (%)

Jenis residu Sumber

Susu individu 80 antibiotik Sudarwanto (1990)

Susu kandang 24 antibiotik Sudarwanto (1990)

Susu loper 34.4 antibiotik Sudarwanto (1990)

Susu pasteurisasi 32.5 penisilin Sudarwanto et al. (1992)

Susu segar 5.5

63.7 70.3 tetrasiklin klortetrasiklin oksitetrasiklin Bahri (2008) Bahri (2008) Bahri (2008)

Susu mentah 59.1 penisilin Sudarwanto et al. (1992)

Daging sapi (super market) 100 11.1 22.2 penisilin makrolida tetrasiklin Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) Hati sapi (super market) 100 12.5 12.5 penisilin makrolida tetrasiklin Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) Daging ayam (super market)

41.7 penisilin Iniansredef (1999)

Hati ayam (super market) 100 14.3 penisilin aminoglikosida Iniansredef (1999) Iniansredef (1999)

2.1.4 Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan

Menurut Adams dan Moss (2008) metode isolasi dan identifikasi Salmonella pada makanan mendapat perhatian lebih dibandingkan penyebab foodborne diseases lainnya. Untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan dapat menggunakan teknik biakan konvensional (Ray 2001). Terdapat lima tahapan prosedur untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan, yaitu tahap pre-enrichment (pra-pengayaan), selective enrichment (pengayaan selektif), selective plating media (media pemupukan selektif), uji biokimia, dan uji serologik (Ray 2001).

2.2 Fage litik

2.2.1 Karakteristik Fage

Fage merupakan parasit obligat intraselular yang dapat menggandakan diri di dalam bakteri dengan menggunakan beberapa atau semua mesin biosintetik sel inang. Fage secara metabolisme hanya dapat bereproduksi setelah menginfeksi sel inang bakteri yang cocok. Fage bersifat sangat spesifik dan tidak bersifat


(32)

15

toksik terhadap binatang dan tumbuhan. Seperti pada virus umumnya, fage mengandung asam nukleat DNA berantai tunggal atau ganda dan RNA berantai tunggal yang diliputi selubung protein atau kapsid. Kapsid terdiri atas subunit kapsomer (Pelczar dan Chan 2007).

Fage berdasarkan sistem klasifikasi dari the International Committee on Taxonomy of viruses, dimasukkan dalam kelompok ordo I, yaitu caudovirales dengan ciri fage yang memiliki DNA double-strand dan berekor. Fage yang merupakan virus penginfeksi bakteri, memiliki 2 tipe yaitu litik dan lisogenik dengan daur siklus yang berbeda (Gambar 5).

Gambar 5 Siklus replikasi fage (Todar 2009)

Semua fage mempunyai inti asam nukleat yang ditutupi oleh selubung protein atau kapsid (Gambar 6). Kapsid terdiri sub unit morfologis yang disebut kapsomer. Kapsomer terdiri dari sub unit atau molekul protein yang disebut protomer (Pelczar dan Chan 2007).


(33)

(A) Kepala fage (B) Struktur fage

(C) Bentuk fage

Gambar 6 Kepala, struktur dan bentuk fage (Sahrojas 2010) Cara reproduksi fage litik terdiri atas 5 tahap, yaitu tahap adsorpsi, tahap penetrasi, tahap sintesis, tahap pematangan, dan tahap lisis. Bila fage litik menginfeksi sel bakteri maka fage akan bereplikasi di dalam sel inang membentuk sejumlah fage baru kemudian akan membuat sel inang pecah (Hogg 2005). Pada tahap adsorpsi, ujung ekor melekat pada sel melalui reseptor khusus pada permukaan sel. Proses perlekatan ini bersifat spesifik dimana reseptor dan fage bersifat sebagai pasangan (Gambar 7). Reseptor dapat berupa lipopolisakaida, flagela, vili, karbohidrat, atau protein membran dinding sel.


(34)

17

Gambar 7 Reproduksi fage (Hyglos 2012)

Pembentukan kepala, ekor, dan serabut ekor diatur melalui 3 jalur yang dilaksanakan oleh runutan gen yang berlainan. Tahap pematangan atau perakitan merupakan tahap penyusunan asam nukleat dan protein virus menjadi partikel virus yang utuh. Tahap perakitan terjadi setelah sintesis protein dan asam nukleat yang diikuti oleh lisis sel bakteri dan pelepasan fage (Hogg 2005)

2. 2.2 Penelitian dan Aplikasi Fage

Penemuan dan penelitian fage telah banyak dilakukan sejak Ernest Hanbury Hankin melakukan pengamatan pertamakali terhadap aktivitas fage yang menginfeksi Vibrio cholerae di India pada tahun 1896. Setelah penemuan fage pada tahun 1915-1917, penggunaan fage secara klinis pada manusia terhadap infeksi bakteri telah dilakukan di Eropa khususnya di Eropa Timur (Pelczar dan Chan 2007). Terapi fage telah digunakan untuk melawan penyakit infeksi pada kulit, tulang, saluran gastrointestinal, dada, abdomen, kepala, leher, dan sistem organ tubuh lainnya (Abedon 2008). Pada tahun 1921, Bruynoghe dan Maisin menggunakan fage untuk perlakuan terhadap penyakit kulit akibat


(35)

Staphylococcus. Pada tahun l940-an, perusahaan Eli Lilly di US memproduksi 7 produk fage yang digunakan untuk manusia. Kemudian pada tahun 1980-an, Smith dan Huggins melaksanakan berbagai percobaan terapi fage (Abedon 2008).

2.3 Uji In-vivo

2.3.1 Paparan Alergi dan Respon Tubuh 2.3.1.1 Alergen

Istilah alergi adalah keadaan respon immun yang menyimpang atau respon immun berlebihan terhadap suatu substansi atau antigen (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Alergi dikenal juga dengan istilah reaksi hipersensitivitas. Secara definitif, alergi diartikan sebagai reaksi immunologi terhadap antigen (benda asing) secara tak wajar pada seseorang yang sebelumnya terpapar oleh antigen yang bersangkutan. Sedangkan Roitt's (2001) mendefinisikan alergi sebagai respon hipersensitivitas yang diakibatkan bahan asing yang dapat menimbulkan gangguan immun pada tubuh. Respon alergi adalah reaksi perlawanan yang dapat berulang terhadap suatu bahan yang diperantarai oleh respon immunologis (Gambar 8).

Gambar 8 Mekanisme paparan alergen pada tubuh (Ningrum 2009)

Zat atau senyawa yang dapat menimbulkan reaksi alergi disebut alergen. Reaksi alergi dapat disebabkan oleh makanan seperti kasein, protein dari telur,


(36)

19

susu sapi, kacang-kacangan, gandum, ikan, kerang-kerangan dan jenis makanan seperti coklat, jeruk, daging, kentang, apel dan tomat, antigen, vaksin, obat dan parasit (Corwin 2008). Senyawa ideal yang dapat bersifat alergen mempunyai berat molekul 10.000 sampai 70.000 Dalton. Berat molekul yang kurang dari 10.000 Dalton dapat bersifat alergen apabila berikatan dengan protein pembawa alergen.

2.3.1.2 Klasifikasi Reaksi Alergi

Reaksi alergi terdiri dari dua jenis yaitu reaksi tertunda (delayed) dan langsung (immediate). Reaksi alergi tertunda biasanya bersifat lokal sedangkan reaksi alergi langsung bersifat lebih serius dan tidak hanya melibatkan kulit, tetapi juga permukaan mukosa (Roitt's 2008). Waktu untuk memunculkan reaksi alergi sejak terpapar alergen pada reaksi alergi tertunda sekitar 6 jam sampai 2 hari, sedangkan pada reaksi langsung antara beberapa menit hingga 1 jam. Jalur immunologis dan perantara yang terlibat pada kedua jenis reaksi alergi berbeda.

Reaksi alergi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme immun yang terjadi (Kuby 2007; Roitt's 2008). Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, reaksi anafilaksis atau reaksi alergi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon immun dengan disintesisnya IgE yang disebut proses sensitisasi. Kemudian IgE diikat oleh reseptor Fc pada permukaan sel mast dan basofil.

Apabila tubuh sudah tersensitisasi tersebut terpapar oleh alergen yang sama, alergen tersebut akan membentuk ikatan dengan IgE pada permukaan sel mast dan sel basofil. Setiap alergen terikat oleh dua atau lebih molekul IgE (cross linking) (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Kuatnya ikatan tersebut menyebabkan terjadinya reaksi-reaki biokimia dalam sel.

Roitt's (2008) menjelaskan bahwa contoh reaksi tipe I adalah alergi terhadap makanan. Alergi makanan biasanya ditimbulkan oleh reaksi yang diperantarai oleh IgE. Sintesis IgE pada individu yang alergi terjadi sebagai akibat dari adanya respon immunologi terhadap alergen yang masuk ke dalam tubuh (Gambar 9). Sedangkan untuk individu yang non alergi, respon immunologi


(37)

terhadap protein makanan yang masuk ke dalam tubuh adalah sintesis IgD, IgA, IgM atau IgG (Kuby 2007).

Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi alergi sitotoksik yang terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG dan IgM terhadap antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan komplemen dan sel fagosit sehingga menimbulkan lisis (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimmun juga ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe II.

Gambar 9 Reaksi alergi dan tanggap tubuh terhadap alergen (Nature 2006) Reaksi alergi tipe III disebut juga reaksi kompleks immun terjadi akibat penimbunan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Biasanya antibodi yang terlibat adalah jenis IgG. Kompleks antigen-antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factors (Roitt's 2008).

Reaksi hipersensitifitas lambat atau tipe IV timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar antigen. Reaksi terjadi karena respon sel T yang sudah


(38)

21

disensitisasi terhadap antigen tertentu. Dalam keadaan ini tidak ada peranan antibodi (Corwin 2009).

2.3.1.3 Antibodi

Antibodi atau immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk oleh sel plasma akibat kontak dengan antigen. Antibodi jenis IgE, pertama kali ditemukan oleh Ishizaka. IgE atau antibodi reagenik mempunyai berat molekul 200.000 dalton. Kadar IgE ditemukan dalam serum paling sedikit, akan tetapi efeknya sangat nyata. Kadar IgE normal dalam serum orang Swedia (0,1-178 IU/ml) dan untuk orang Indonesia (0-<120 IU/ml). Antibodi jenis IgE ini banyak dihasilkan terutama pada traktus respiratorius, gastrointestinal dan merupakan bagian dari antibodi sistem sekterotis eksternal, seperti halnya IgA (Despopoulos dan Silbernagl 2003).

Individu yang menderita alergi dapat dicirikan dengan tingginya kadar IgE akibat stimulasi oleh antigen seperti debu, tepung sari, jamur atau makanan. Antibodi jenis IgE akan berikatan dengan kuat (high affinity) pada reseptor Fce (FceRl) pada sel mast dan sel basofil, sedangkan low affinity terjadi pada reseptor FceR (FceR2) pada sel limfosit, mast, eosinofil dan platelet (Kuby 2007).

2.3.1.4 Sel Mast dan Basofil

Jumlah sel basofil yang ditemukan dalam sirkulasi darah sangat sedikit, yaitu kurang dari 0.5% dari seluruh darah putih. Sel basofil diduga berfungsi sebagai sel fagosit, tetapi yang jelas sel tersebut berfungsi sebagai sel mediator. Sel Mast adalah sel yang dalam struktur, fungsi dan proliferasinya sama dengan basofil (Kuby 2007).

Berbeda dengan basofil, sel mast hanya dapat ditemukan di jaringan khususnya paling banyak ditemukan pada permukaan jaringan seperti kulit. Kandungan sel mast pada kulit yaitu 104 sel /mm3, kemudian pada alveoli paru-paru 106 sel/gram jaringan, gastrointestinal, mukosa dan membran mukosa nasal. Seperti halnya sel mast, sel basofil juga mempunyai reseptor dengan afinitas yang tinggi untuk IgE, kira-kira 270.000 reseptor FceRl terdapat dalam permukaan sel. Pada kulit, baik sel basofil maupun sel mast dapat melepaskan bahan-bahan (mediator) yang mempunyai aktivitas biologik, antara lain: meningkatkan


(39)

permeabilitas vaskuler, respon inflamasi, mengerutkan otot polos bronkus dan Iain-lain (Kuby 2007).

Sel mast dan basofil akan melepaskan mediatornya apabila diaktifkan oleh alergen spesifik dengan mekanisme IgE. Selain itu, dapat juga diaktifkan dengan:

1. Sel yang dapat merangsang pelepasan histamin: sel neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, trombosit,sel endotel.

2. Rangsangan obat: opionid, antibiotik, kontras pelemas otot. 3. Hipoksia

4. Komponen Ca-Ionophor (A-23187)

5. Anafilatoksin (polipeptida basa) : C3a, C4a dan C5a

6. Rangsangan fisis : panas, sinar matahari, dingin dan tekanan 7. Sitokin : Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-3 (IL-3) dan GM-SF

(Granidocyte-Macrophage-Colony-Stimulating Factor)

Mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil terdiri dari 2 jenis yaitu mediator primer dan sekunder. Mediator primer sudah tersimpan dalam granula sel dan mediator sekunder disintesis setelah aktivasi sel sasaran atau dilepaskan pada saat kerusakan fospolipid membran dalam proses degranulasi (Kuby 2007).

2.3.2 Uji Keamanan

2.3.1.1 Keamanan dan Toksisitas

Pada penelitian ini dilakukan uji keamanan terhadap fage. Uji keamanan pada fage untuk mengetahui ada tidaknya efek toksik/racun yang terdapat pada fage apabila digunakan sebagai bahan tambahan pada bahan pangan. Uji toksisitas yang diteliti pada hewan percobaan biasanya untuk mengevaluasi keamanan dari kandungan dari suatu bahan untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan, kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi. Pada penelitian ini dilakukan uji keamanan pada fage selama 15 hari.

Uji keamanan dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala keracunan dan efek suatu bahan pada tubuh. Uji keamanan dalam penelitian ini bertujuan mengukur efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal. atau berulang yang diberikan dalam 24 jam. Hewan uji harus sehat dan berasal dari satu galur yang jelas. Menurut Suckow


(40)

23

(2001) penelitian uji keamanan ini paling sedikit menggunakan 4 hewan uji. Dosis terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala keracunan, dan dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan kematian semua (100%) hewan uji.

Pada penelitian ini dilakukan pengujian tingkat keamanan suatu bahan. Cara pemberian obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan dengan pemberiannya pada manusia, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke manusia (Suckow 2001). Informasi yang didapatkan seperti hematologi, histologi dan pathogenesis, dapat menjelaskan adanya suatu proses aman atau tidaknya bahan bila masuk ke dalam tubuh hewan coba selama perlakuan.

2.3.1.2 Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi Alergen

Jalur utama bagi penyerapan alergen adalah saluran cerna, paru-paru dan kulit. Banyak alergen dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air minum, atau secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang kaustik, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali kalau mereka diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lebih lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Kuby 2007).

Alergen mencapai hati melalui sistem vaskuler. Di dalam hati, alergen mengalami biotransformasi. Hasil dari biotransformasi tersebut dapat berupa metabolit aktif dari alergen tersebut atau berupa senyawa lainnya yang merupakan produk sampingannya. Metabolit aktif atau senyawa sampingannya tersebut dapat mempengaruhi fisiologi hati bila bersifat toksik. Sebagai akibatnya, fungsi hati dapat terganggu, seperti menurunnya kemampuan sintesa protein, hambatan konjugasi bilirubin, dan timbulnya lesi pada hepatosit yang semakin lama berkembang menjadi nekrosis yang meluas (Kuby 2007).

Ginjal membuang alergen dari tubuh dengan mekanisme yang serupa dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler. Kapiler glomerulus memiliki pori-pori yang besar (70 nm) karena itu, sebagian besar alergen akan lewat di glomerulus, kecuali alergen yang sangat besar (lebih besar dari


(41)

berat molekul 60.000 Dalton) atau yang terikat erat pada protein plasma. Alergen dalam filtrat glomerulus akan mengalami reabsorps di sel-sel tubulus bila koefisien partisi tinggi. Suatu alergen diekskresikan lewat tubulus ke dalam urin melalui mekanisme difusi pasif (Roitt's 2001).

Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi alergen. terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi dan yang terikat pada protein plasma. Umumnya, alergen tersebut tidak akan diserap kembali ke dalam darah, hanya dikeluarkan melalui feses (Kuby 2007).

2.3.1.3 Efek Toksikan pada Tubuh

Efek toksik sangat bervariasi baik dalam sifat maupun mekanisme kerjanya. Semua efek toksik terjadi karena interaksi biokimiawi antara toksikan (dan/atau metabolitnya) dengan struktur reseptor tertentu dalam tubuh. Struktur itu dapat bersifat nonspesifik, seperti jaringan yang berkontak langsung dengan bahan korosif. Tetapi seringkali strukturnya itu spesifik, misalnya struktur subseluler tertentu. Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan lesi pada tempat bahan itu bersentuhan dengan tubuh. Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau beberapa organ saja. Organ seperti itu disebut sebagai target organ (Roitt's 2001).

Efek toksik disebut reversibel jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, efek bersifat irreversibel bila menetap atau justru bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek irreversibel ini di antaranya adalah karsanoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Efek toksikan dapat reversibel bila tubuh terpajan pada kadar yang rendah atau untuk waktu yang singkat. Sementara. efek ireversibel dapat dihasilkan pada pajanan dengan kadar yang lebih tinggi atau waktu yang lebih lama efek morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini, misalnya nekrosis dan neoplasia, bersifat ireversibel dan berbahaya. Efek fungsional biasanya berupa perubahan reversibel pada fungsi organ sasaran. Karenanya, pada penelitian toksikologi fungsi hati dan ginjal juga diperiksa. Uji keamanan sangat berharga untuk memantau efek toksik pada organ sasaran dalam penelitian jangka panjang pada hewan dan manusia (Kuby 2007).


(42)

25

2.3.1.4 Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal

Ginjal mamalia adalah sebuah organ yang sangat kompleks, baik secara anatomis maupun fisiologis. Selain fungsi utamanya yaitu ekskretorik. ginjal berperan besar dalam mempertahankan homeostasis tubuh, dengan mengatur volumen cairan ekstraseluler dan komposisi elektrolit tubuh (Corwin 2009).

Urin adaiah jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya, ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, yang mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat dan membawa toksikan melalui sel tubulus. Karenanya, ginjal adalah target organ utama dari efek toksik. Beratnya beberapa efek yang diakibatkan oleh toksikan beragam dari satu perubahan biokimia atau lebih sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai perubahan kecil pada fungsi ginjal atau gagal ginjal total (Kuby 2007).

Suatu bahan yang bersifat toksik dapat mengakibatkan gagal ginjal akut, apabila diberikan dalam dosis tertentu pada jangka waktu yang singkat. Keadaan ini disebut sebagai nephrotoxic acute renal failure. Kerusakan yang ditimbuikan terjadi pada nefron, unit terkecil dari ginjal. Nefrotoksik menyebabkan iskemia dan nekrosis fokal pada epitel tubulus, sehingga tubulus ginjal terlepas dari membrana basalis. Nekrosis paling parah terjadi pada tubulus proksimal yang menyebabkan kerusakan ginjal (Brady dan Brenner 2001).

Pemeriksaan fungsional ginjal secara rutin dilakukan sebagai bagian integral dari penelitian toksisitas jangka pendek dan jangka panjang. Parameter fungsi ginjal dapat diamati dari analisis darah seperti kadar nitrogen urea darah (Blood Urea Nitrogen, BUN) atau ureum dan kreatinin. Nitrogen urea darah diperoleh dari metabolisme protein normal dan diekskresi melalui urin. Ureum yang meningkat menunjukkan kerusakan glomerulus. Kadar ureum juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan hefatotoksisitas yang merupakan efek umum beberapa toksikan. Sedangkan kreatinin adaiah suatu metabolit kreatin dan diekskresi seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus. Meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal, yang seringkali digunakan secara klini s (Corwin 2009).


(43)

2.3.1.5 Efek Toksikan pada Fungsi Hati

Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Toksikan biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap, toksikan dibawa oleh vena porta hati ke hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang melakukan metabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut air, dan karenanya lebih mudah diekskresikan. Tetapi dalam beberapa kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi. Beberapa enzim serum digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Bila terjadi kerusakan hati, enzim ini dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel, seperti mitokondria, lisosom, dan nukleus. Alanine transaminase/serum glutamic-pyruvic transaminase (SGPT) dan serum glutamic-oxaloacetic transaminase/aspartat transaminase (SGOT) meningkat nyata sekali pada keadaan nekrosis hati akut (Kuby 2007).

Kerusakan hati dapat terjadi sebagai akibat dari paparan sejumlah bahan kimia atau obat-obatan, melalui inhalasi, ingesti, atau parenteral. Bahan yang bersifat hepatotoksik dapat menyebabkan kerusakan hati secara langsung, misalnya sebagai radikal bebas atau metabolit antara yang menyebabkan peroksidasi membran lipid yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan hepatosit. Obat atau metabolit dapat juga merusak membran sel atau molekul seluler lainnya, atau mengganggu jalur biokimiawi dan integritas sel.

Hepatitis toksik terjadi pada semua individu yang terpapar toksikan, sifatnya tergantung pada dosis. Periode laten antara paparan dengan kerusakan hati umumnya singkat, antara 24 hingga 48 jam. Bahan penyebabnya bisa bersifat sistemik atau dirubah menjadi metabolitnya di dalam hati. Reaksi hipersensitivitas timbul juga pada penderita hepatotoksik (Corwin 2009).

Secara mikroskopis, pada kerusakan hati setelah paparan toksikan dalam dosis tinggi dan waktu yang singkat atau akut, akan tampak akumulasi lemak pada hepatosit, sel-sel yang nekrotik, atau disfungsi hepatobilier. Paparan


(44)

27

toksikan pada hati dalam jangka panjang atau kronis tampak sebagai sirosis hepatis atau perubahan ke arah neoplasia dalam gambaran mikroskopisnya (Roitt's 2001).

2.3.1.6 Efek Toksikan Terhadap Berat Badan

Berkurangnya berat badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun sensitif. Konsumsi makanan juga merupakan indikator yang berguna. Seiain itu, konsumsi makanan yang nyata berkurang dapat menimbulkan efek yang mirip atau memperberat manifestasi toksik zat kimia itu. Dan sebaliknya, status gizi individu mempengaruhi efek toksik suatu bahan. Defisiensi asam-asam lemak esensial biasanya menekan aktivitas sistem ini. Hal yang sama juga terjadi pada defisiensi protein (Kuby 2007).

2.3.1.7 Penggunaan Hewan Coba pada Uji Toksisitas

Tikus dan mencit umumnya digunakan dalam uji toksisitas. Hewan ini dipilih karena murah, mudah didapat, dan mudah ditangani. Seiain itu. banyak data toksik yang dapat diperoleh pada uji toksisitas dengan menggunakan kedua spesies hewan tersebut. Kadang kala digunakan spesies hewan lain, seperti marmut, kelinci, atau anjing, untuk memperoleh informasi yang lebih mudah didapatkan daripada menggunakan tikus dan mencit. Pengujian suatu toksikan dengan menggunakan dosis tinggi secara per oral juga dimungkinkan pada penggunaan kelinci dan anjing sebagai hewan coba, karena kapasitas lambungnya yang relative besar, dan dapat menerima asupan per oral dalam dosis tinggi. Hewan coba yang digunakan sebaiknya merupakan hewan dewasa namun masih muda (Suckow et al. 2001).

Dosis yang diberikan pada hewan coba merupakan dosis yang diperkirakan mampu diterima oleh hewan coba. Secara umum bahan yang akan diujikan pada hewan coba harus diberikan melalui jalur yang biasa digunakan pada manusia. Jalur oral paling sering digunakan, karena sebagian besar bahan yang diujikan merupakan bahan yang digunakan pada manusia melalui jalur ingesti. Bila akan diberikan secara oral, bahan yang akan diujikan harus dipastikan jumlahnya sesuai dengan dosis yang telah ditentukan sebelumnya. Pengujian bahan toksik melalui


(1)

Castro D, Morińigo MA, Manzanares EM, Cornax R. 1991. Development and application of a new scheme of phages for typing and differentiating Salmonella strains from different sources. J Clin Microbiol 30:1418-1423. Chakrabarti AK, Ghosh AN, Nair GB. 2000. Bacteriology development and

evaluation of a phage typing scheme for Vibrio cholerae O139. J Clin Microbiol 38:44-49.

Clokie MRJ, Kropinski AM. 2009. Bacteriophages: Method and Protocols. UK: Humana Press.

Cogan TA, Humphrey TJ. 2003. The rise and fall of Salmonella enteritidis in the UK. J appl Microbiol 94:114-119.

Collier. 1998. Microbiology and Microbial Infections 9th Ed. New York: Oxford University Press, Inc.

Cooper GL. 1994. Salmonellosis: infection in man and the chicken: pathogenesis and developtmen of live vaccines-a review. Vet Bull 64: 123-143.

Corwin EJ. 2009. Handbook of Pathophysiology. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Cox J. 2000. Salmonella (Introduction). In: Robinson RK, Batt CA, Pattel PD. Encyclopedia of food microbiology third Ed. San Diego: Academic Press. Delibato E. 2006. Development of a SYBR green real-time PCR and multichannel

electrochemical immunosensor for specific detection of Salmonella enterica. Anal LettJ 39:1611-1620.

Derelanko MJ, Hollinger MA. 2004. Handbook Toxicology (2nd Ed). USA: CRC Press.

Despopoulos A, Silbernagl S. 2003 Color Atlas of Physiology. New York: Thieme.

Djojosoebagio, Soewondo. 2007. Veterinery Physiology. Bogor: Bogor Agricultural Univ.

Duijkeren V, Wannet WJ, Houwers C.2002. Serotype and phage type distribution of Salmonella strains isolated from humans, cattle, pigs, and chickens in the Netherlands from 1984 to 2001. J Clin Microbiol 40:3980-3985

Edgar R, Friedman R, Mor SM. 2011. Reversing bacterial resistance to antibiotic by phages-mediated delivery of dominnat sensitive genes. Appl Environ Microbiol 78:3744-3751.

Ellis DE, Whitman PA, Marshall RT. 1973. Effects homologous bacteriophage on growth of Psedomonas fragi WY in milk. Appl & Env Microbiol 25:24-27. Endley SI, Vega LE, Hume ME, Pillai SD. 2003. Male-specific coliphages as an

additional fecal contamination indicator for screening fresh carrots. J Food Prot 66:88-93.

Essien E. 2003. Sausage Manufacture. England: CRC Press.


(2)

Fista GA, Bloukas JG, Siomas AS. 2004. Effect of leek and onion on processing and quality of Greek traditional sausages. Meat Sciences 6:163-172.

Fleet GH. 1978. Dairy science and technology. Brisbane: Watson Fergusson & Co.

Foddai A, Strain S, Whitlock RH, Elliott CT, Irene R. Grant. 2011. Clinical veterinary microbiologynotes: application of a peptide-mediated magnetic separation-phage assay for detection of viable Mycobacterium vium subsp. paratuberculosis to bovine bulk tank milk and feces samples. J Clin Microbiol 49:2017-2019.

Gast RK, Benson ST. 1995. Comparative virulence for chicks of Salmonella. Avian Diseas J 10:567-574.

Gautier M, Roult A, Sommer P, Eret V, Jan G, Fraslin JM. 1999. Occurence of propionibacterium freudenreichii bacteriophages in swiss cheese. Appl Environ Microbiol 61:2572-2576.

Ghaemi A, Gill P, Jahromy SR, Roohvand F. 2010. Recombinant -Phage Nanobioparticles for tumor therapy in mice models. Gen Vacc and Therapy J 8:3-10.

Goode D, Allen VM, Barrow PA. 2003. Reduction of chicken skin by application lityc bacteriophage. Appl Environ Microbiol 69:5032-6.

Goodridge L, Gallaccio A, Griffiths WM. 2001. Morphological, host range, and genetic characterization of two colifages. Appl Environ Microbiol 69: 5364-5371.

Grau FH. 1989. Salmonellaphysiology. NSW: Food Microbiology group.

Harrigan WF. 1998. Laboratory methods in food microbiology. England: Academic Press Ltd.

Harriganw F. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. San Diego: Academic Press Ltd.

Hill B, Lindsay D, Shepherd J, Smythe B. 2012. Microbiology of raw milk in New Zealand. Int J Food Microbiol 157:305-306.

Hogg S, 2005. Essential Microbiology. England: John Willey & Sons Ltd.

Hwang C, Ingham BH, Ingham SC, Juneja VK, Luchansky JB, Fett ACS. Modeling the survival of Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes, and Salmonella Typhimurium during fermentation, drying, and storage of soudjouk-style fermented sausage. Int J Food Microbiol 129(3):244-248. Hyglos. 2012. Bacteriophage Biology [Terhubung Berkala]. http://www.

google.com sg/image=bacteriophage&start [6 jun 2012].

Iniansredef 1999. Case study on quality control of livestock products in Indonesia. Jepang: JICA.

Izzo MM, House JK. 2011. Prevalency of mayor enteric pathogen in Australian dairy calves. Aust Veterinary J 169:8—5.


(3)

Jawetz, Melnick, Adelberg's. 2005. Medical Microbiology. McGraw-Hill Companies. USA.

Jawi K, Indrayani S, Sumardika, Yasa. 2008. Paracetamol effect on SGPT dan SGOT of mice. MedicinJ 21:57-59.

Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology 6th Ed.. Maryland: Aspen Inc.

Killic AO, Pavlova SI, Ma WG, Tao I. 1996. Analysis of Lactobacillus phages and bacteriocins in American dairy products and characterization of phage isolated from yogurt. Appl Environ Microbiol 62:2111-2116.

Kim JW, Dutta V, Elhanafi, D. 2012. A novel restriction-modification system is responsible for temperature-dependent phage resistence in L. monocytogenes. Appl Environ Microbiol 78:1995-2004.

Kuby. 2007. Immunology 6th Ed. New York: W.H. Freeman and Company. Kudva ITS, Jelacic PI, Youderian P, dan Hovde CJ. 1999. Biocontrol of E. coli:

0157 specific bacteriophage. J Appl Environ Microbiol 65:3767-73.

Laanto E, Sundberg LR, and Bamford KH. 2011. Phage specificity of the fresh water fish pathogen F. columnare. Appl And Env Microbiol 77:7868-7872. Lampert LM. 1965. Modern dairy products. New York: Chemical Publishing

Company.

Li R, Mustapha. 2005. Application PCR for detection E. coli, Shigella and Salmonella in raw and ready to eat meat product. Meat Sci J 20:402-406. Lu Z, Breidt F, Flemming JR. 2003a. Bacteriophage ecology in commercial

sauerkraut fermentation. Appl Environ Microbiol 69:3192-3202.

Lu Z, Breidt F, Flemming JR. 2003b. Isolation and characterization of L. Plantarun bacteriophage. From cucumbar fermentation. Int J Food Microbiol 84: 225-235.

Mahdi C. Roekan SH, Safitri A. 2009. Immunomodulasi oleh paparan formalin dalam makanan terhadap permeabilitas barrier tractus gastrointestinal dan alternatif perbaikannya melalui diet yogurt [Laporan Penelitian]. Malang: Universitas brawijaya.

Maura D, Debarbieux, L. 2011. Phages as twenty-first century antibacterial tools for food and medicine. Appl Microbiol Biotech J 90:851-860.

Mclaughlin MR, Balaa MF, Sims J, King R. 2008. Isolation of Salmonellabacteriophages from swine effluent lagoons. J Environ Qual 35:522-528

McMeekin TA. 2003. Detecting pathogens in food. England: Woodhead Publishing.

Meredith A. 2002. BSAVA Manual of Exotic Pets (4th Ed). British: BSAVA Press. Migeemanathan S. Bhat R. Min-Tze L, Abdulah WNW. 2011. Effect of

temperature abuse on the survival, growth, and inactivation on Salmonella typhimurium in goat milk. Foodborne Path & Diseas 8(11):1235-1240.


(4)

Miliotis MD & Bier JW. 2003. International Handbook of Foodborne Pathogens. USA: Marcel Dekker Inc.

Mim's, C. 2000. Pathogenesis of Infectious Diseases. San Diego: Academic Press. Molbak K, Olsen JE, Wegener HC. 2006. Salmonella inection. In: Riemann HP,

Cliver DO. Foodborne Infection and intoxications. California: Elsevier.

Murchan S, Aucken HM, O'Neill GL. 2004. Emergence, spread, and

characterization of phagevariants of epidemic

methicillin-resistantStaphylococcus aureus 16 in England and Wales. J Clin Microbiol 42:5154-5160

Murphy KP. 2001. Protein Structure Stability. New Jersey: Humana Press Inc. Nature PUBL. 2006. Penggunaan imunoterapi panda penderita alergi.

http://www. google.com. sg/image.alergen [6 jun 2012].

Nerney R, Kambashi R, Kinkese J. 2004. Mycobacteriology and aerobic actinomycetes development of a bacteriophage phage replication assay for diagnosis of pulmonary tuberculosis. J Clin Microbiol 42:52115-52120. Ningrum. 2009. Rinitis alergi [Terhubung Berkala]. http://www.google.com.

sg/image.alergen [6 jun 2012].

O'Neill GL, Murchan S, Setas AG. 2001. Epidemiology identification and characterization of phage variants of a strain of epidemic methicillin-resistant Staphylococcus aureus (EMRSA-15). J Clin Microbiol 39:1540-1548.

Pang S, Octavia S, Reevers PR. 2011. Genetic relationship polymorphisme typing of Salmonellaenterica. J Clin Microbiol 50:3727-3734;

Pearson AM, Tauber FW. 1984. Processed Meat. Connecticut: AVI Publishing Company.

Pelczar MJ, Chan ECS. 2007. Elements of Microbiology. Marryland: Mc-Graw Hill Book Company.

Poernomo S. 2004. Variasi tipe antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipenya pada ternak. Wartazoa 14(4):143-159. Portillo FG. 2000. Molecular and celullar biology of Salmonella pathogenesis in

microbial foodborne diseases. USA: Technomic Publishing Company Inc. Pratiwi RH. 2009. Infektifitas fage litik dari limbah cair terhadap EPEC resisten

antibiotik [Thesis]. Bogor: IPB.

Rabson A, Roitt IM, Delves PJ. 2005. Medical Imunnology. Blackwell Publ: USA.

Radji M. 2010. Immunologi dan Virologi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan.

Ray, Bibek. 2001. Fundamental Food Microbiology. Washington DC: CRC Press. Robinson RK. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press: San

Diego.

Rode TM, Axelsson L, Granum PE. 2011. High stability of stx2 phage in food and under food processing condition. Appl Environ Microbiol 77:5336-5341.


(5)

Roitt's IM. Essential Immunology. British: Blackwell Publishing.

Sahrojas. 2010. Bacteriophage [Terhubung Berkala]. http://www.google.com sg/image=bacteriophage&start [6 jun 2012].

Sartika, D. 2003. Pengaruh penambahan besi pada bihun yang diformulasi dari beras dengan suplementasi kedelai terhadap nilai biologis protein dan retensi zat besi in vivo [Tesis]. Bogor: IPB.

Schofield DA, Molineux IJ, Westwater C. 2009. Diagnostic

bioluminescent phage for detection of Yersinia pestis. J Clin Microbiol 47:3887-3894.

Sinaga EJ. Analisis kandungan formalin pada ikan kembung rebus di pasar tradisional kota Medan tahun 2009 [Laporan Penelitian]. Medan: e-USU repository.

Sinaga. 2009. Analisis kandungan formalin pada ikan kembung rebus di pasar tradisional kota Medan Tahun 2009 [Laporan Penelitian]. Medan: e-USU repository.

Sinha R, D'Souza D. 2010. Liver cell damage caused due to sodium benzoate toxicity in mice. Int J of Biotech & Biochem 6(4):549-554.

Smida V. 2011. Salmonella infection-pathogenesis, transmission, and treatment [Terhubung Berkala]. http://www.doctortipster.com [6 jun 2012]

Suckow D, Danneman J, Brayton J. 2001. The Laboratory Mouse. New York: CRC Press.

Sudarwanto MB. 1990. Residu antibiotika di dalam air susu ditinjau dari kesehatan masyarakat veteriner. Prosiding Seminar Nasional Penggunaan Antibiotik dalam Bidang kedokteran hewan, Jakarta, 9 januari 1990. Jakarta. hal: 88-91.

Sudarwanto MB. 1992. Residu antibiotika di dalam air susu pasteurisasi ditinjau dari kesehatan masyarakat veteriner. J Ilmu Pertanian ind 2(1):37-40.

Suntoro SH. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Tadesse G, Ashenafi M, Ephraim E. 2005. Survival E. coli, Shigella and Salmonella in Fermenting Borde (beverage). Meat Sci J 5:189-196.

The National Academy of Sciences. 2007. Toxicity Testing in The 21st Century: A Vision and a Strategy. Washington: The National Academic Press.

Todar K. 2009. The microbiology word [Terhubung Berkala]. http://www. google. com.sg/image =bacteriophage&start [20 jun 2012]

Triana S. 1996. Skrining dan isolasi bakteriofage yang menginfeksi Xanthomonas [Skripsi]. Bogor: IPB.

Warren BR, Yuk HG, Schneider KR. 2007. Survival Shigella on tomato surface, potato salad, and raw ground beef. Int J Food Microbiol 7:400-404.


(6)

Zein U, Sagala KH, Ginting J. 2004. Diare akut disebabkan bakteri [e-USU Repository]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Zhuang Z, Yu L, Mustapha A. 2005. Simultaneous detection of E. coli, Salmonella, Shigella in apple cider. J Food Protect 67:27—33.

Zuethen P & Sorensen LB. 2003. Food preservation techniques. Cambridge: CRC Press.