I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Cemaran Salmonella di lingkungan seperti di tanah dan air banyak terjadi baik di negara maju maupun berkembang. Air dan tanah yang tercemar
Salmonella , merupakan agen pencemar makanan dan minuman yang memicu timbulnya wabah salmonellosis di lingkungan. Wabah salmonellosis di dunia
menyebabkan gastroenteritis akut atau diare 1.3 milyar jiwa dan kematian 13 juta jiwa Portillo 2000. Budiarti et al. 1991 melaporkan bahwa Salmonella
derby yang diisolasi dari penderita diare di Myanmar secara in-vitro dapat melekat dan menyerang sel Hep-2 yang mengindikasikan bahwa bakteri tersebut dapat
menyebabkan diare. Lebih dari 50 penyebab wabah diare di dunia diakibatkan dari makanan yang tercemar Salmonella Miliotis dan Bier 2003.
Di negara berkembang, wabah salmonellosis menyebabkan kematian sekitar 3 juta penduduk setiap tahun Zein et al. 2004. Wabah tersebut ternyata
tidak dapat dituntaskan dari tahun ke tahun. Acute Communicable Disease Control ACDC 2009 melaporkan bahwa insiden salmonellosis yang tertinggi
pada golongan umur 15-34 tahun 22,7; diikuti oleh golongan 1-4 tahun 19.2; 5-14 tahun 16.3; 65 tahun 10.3; 35-44 tahun 9.2; 45-64
tahun 8.5; 1 tahun 7.5; dan 55-64 tahun 6.4. Di Indonesia, berdasarkan survey di rumah sakit di Jakarta, Padang,
Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar, dan Batam dari 2.812 pasien diare penyebab utama diantaranya adalah Salmonella spp, dengan rincian kasus diare
yaitu di puskesmas 13.3; rumah sakit rawat inap 0.45; dan pasien rawat jalan 0.05 Zein et al. 2004. Agen penyebab wabah salmonellosis menurut
Grau 1989 mudah ditransmisikan dari lingkungan ke hewan dan manusia baik langsung ataupun tidak langsung melalui produk pangan asal ternak. Menurut
Poernomo 2004 infeksi Salmonella spp. Pada ternak tahun 1990-2003 yang tertinggi adalah infeksi S. enteritidis 294 kasus; diikuti S. typhimurium
65 kasus dan S. hadar 52 kasus. Hewan yang terinfeksi Salmonella dari lingkungan dapat menyebarkan bakteri ini melalui fesesnya. Feses tersebut akan
mencemari kembali lingkungan sekitar seperti tanah dan air.
Transmisi pencemaran Salmonella sp. dari lingkungan ke pangan menyebabkan food borne diseases dan water borne disease Bell dan Kyriakides
2002. Cemaran Salmonella sp. pada pangan yang mengakibatkan keracunan pangan telah banyak diteliti, misalnya pada daging mentah dan sosis Zhuang dan
Mustapha 2005; susu serta produk olahannya Izzo 2011. Susu dan sosis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
Salmonella sp. Deteksi cemaran Salmonella sp. pada susu sudah banyak dilakukan yaitu pada susu sapi olahan Bhattacharya et al. 2012; susu kambing
Migeemanathan et al. 2011; susu mentah Hill et al. 2012; susu bebas lemak Barbaree et al. 2007 dan susu bubuk Anderson et al. 2007. Cemaran
Salmonella sp. pada Sosis ternyata juga telah diteliti misalnya pada sosis babi di Irlandia Buttler et al. 2012; sosis babi segar di Brazilia Cardoso et al. 2009;
dan sosis fermentasi Hwang et al. 2009. Di Indonesia penurunan cemaran Salmonella sp. pada pangan dilakukan
dengan penambahan zat pengawet panganzat kimia, misalnya sodium benzoate, sodium nitrat, sodium sulfit, butylated hydroxyl toluene BHT, butylated
hydroxyl anisol BHA, t-butyl hydroxy quinon TBHQ. Bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan
memberi efek karsinogenik BPOM 2003. Menurut Sinha dan D’Souza 2010, sodium benzoat pada dosis 155 mgkg bb berefek gangguan pada sel hati tikus.
Sodium benzoate juga merugikan bagi penderita asma yang peka terhadap aspirin BPOM 2003.
Menurut Essien 2007 sosis umumnya menggunakan pengawet sodium benzoat dan sodium sulfat, sodium karbonat, BHA, BHT, ammonium karbonate,
sodium fosfat, potasium fosfat, dan lain lain. Sedangkan susu umumnya menggunakan pengawet sodium benzoat, sodium asetat, sodium propionat,
sodium sorbat, derivat sulfit Zuethen dan Sorensen 2003 Harga zat pengawet yang mahal ternyata membuat produsen pangan
menggantinya dengan zat pengawet yang tidak diperbolehkan misalnya formalin, tawas dan hydrogen peroxida. Berdasarkan survey Sinaga 2011 di 3 pasar
tradisional di Medan ternyata ikan kembung olahan mengandung formalin dengan kadar 1.86 mgkg; 2,47 mgkg; dan 1.46 mgkg. Penggunaan formalin juga
terdapat pada produk tahu, susu, daging sapi, daging ayam, mie, dan saos. Zat pengawet yang tidak diperbolehkan seperti formalin selain menekan mikroba,
juga menyebabkan kerusakan pada jaringan saluran cerna Mahdi et al. 2009. Penurunan paparan Salmonella pada hewan juga menggunakan antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai takaran memberi efek resistensi pada mikroba sehingga produk hasil hewan seperti daging dan susu menjadi tidak aman
dikonsumsi karena menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Residu antibiotik pada produk
ternak sudah banyak diteliti misalnya pada susu individu 80, susu kandang 24, susu loper 34.4 Sudarwanto 1990; residu penisilin pada susu
pasteurisasi Sudarwanto 1992; serta residu tetrasiklin, khlortetrasiklin, oksitetrasiklin pada susu segar Bahri 2008. Residu penisilin dan tetrasiklin juga
terdeteksi pada daging sapi dan daging ayam Iniansredef 1999. Budiarti 2011 melaporkan adanya paparan E. coli resisten antibiotik pada 95 manusia sehat
pada berbagai usia bahkan pada fase neonatus. Berdasarkan paparan diatas perlu alternatif lain untuk menurunkan mikroba juga Salmonella pada pangan.
Fage litik dapat dijadikan alternatif dalam melakukan pengawetan pada proses pengolahan pangan, karena bersifat alami, dan banyak terdapat di
lingkungan Abedon 2008; dapat diisolasi dari berbagai macam bahan pangan misalnya fage E. coli pada kerang Albert et al. 1994; fage E. coli pada wortel
Endley et al. 2003; fage Propionibacterium freudenreichii pada keju Gautier et al. 1995; fage Campylobacter pada daging Atterburry et al. 2001; fage
Lactobacillus spp. pada yogurt Kilic et al. 1996. Di Indonesia isolasi fage sudah dilakukan, seperti isolasi fage
Xanthomonas campestris Triana, 1996; fage enteropatogenik E. coli Budiarti et al. 2011; dan fage Salmonella FR38 Budiarti dan Rusmana 2010. Penemuan
fage bakteri tersebut belum diiringi pemanfaatannya di lingkungan dan pangan. Pada penelitian ini dilakukan kajian pemanfaatan fage litik dalam
menurunkan cemaran Salmonella pada sosis, susu, dan air. Menurut Winarno 2004 pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahan toksik
yang membahayakan tubuh manusia. Dilaporkan oleh Budiarti dan Rusmana 2010 fage Salmonella FR38 yang diisolasi dari limbah domestik dapat
melisiskan bakteri Salmonella P38 indigenous yang diisolasi dari pasien anak- anak diare, secara signifikan. Salmonella P38 tersebut resisten amoxicillin-
clavulanic acid, ampicillin, ampicillin sulbactam, chepalotin. Sehingga diduga fage FR 38 dapat menurunkan kontaminasi Salmonella P38 pada sosis, susu, dan
air. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh pemanfaatan fage FR38 terhadap penurunan Salmonella P38 pada sosis, susu dan air serta
keamanannya secara in vivo.
1.2 Perumusan Masalah