14
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini terbagi kedalam tiga tahapan yaitu tahap pendahuluan, pengambilan data lapangan dan pengolahan serta analisis data. Tahap
pendahuluan dan pengolahan data serta analisis dilakukan di Bogor. Tahap pengambilan data dilakukan di daerah pantai selatan Jawa Barat.
Penelitian telah dilakukan sejak bulan Mei 2009 hingga Nopember 2010. Kegiatan pengambilan data di lapangan dilaksanakan pada bulan Juli 2009 dan
bulan Juni 2010.
3.2. Data, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras
Data pendukung utama yang digunakan pada penelitian ini adalah peta-peta tematik, citra Landsat TM tahun 2006 dengan resolusi 30 m, catatan riset
mengenai karakteristik tsunami dan kerusakan akibat tsunami wilayah pantai Ciamis. Peta-peta tematik yang digunakan yaitu peta tutupan lahan, peta batas
administrasi pemerintahan, peta kontur ketinggian, peta kemiringan lereng dan peta garis pantai. Peta kontur dan peta kemiringan lereng dengan skala 1:50.000
sedangkan peta garis pantai yang mengacu kepada citra Landsat TM mempunyai perpadanan skala 1:100.000. Peta administrasi bersumber pada Peta Dasar
Rupabumi Indonesia skala 1:25.000. Peta tutupan lahan dari BAPLAN yang merupakan hasil interpretasi citra Landsat TM tahun 2006 dengan perpadanan
skala menjadi 1:100.000. Perangkat lunak yang digunakan untuk analisis citra, spasial dan statistik
adalah MINITAB, SPSS, ARCVIEW, ERDAS dan IHMB Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala. Perangkat keras berupa satu set komputer dan printer.
Untuk kegiatan survei lapangan digunakan peta rencana survei, lembar pengamatan tally sheet dan peralatan berupa GPS receiver, kompas dan kamera
digital.
3.3 Metode Penelitian
Kegiatan pendahuluan meliputi penyusunan usulan penelitian, pengumpulan data dan informasi, dan penyiapan kegiatan lapangan. Kegiatan lapangan meliputi
ground check dan pengumpulan data pendukung.
15 Tahapan penelitian dan alir data dan informasi pembuatan model kerawanan
kerusakan akibat tsunami pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Tahapan dan alir data serta informasi pada kegiatan penelitian
No Tahapan
Inputmasukan Proses
Outputluaran
1 Identifikasi
areal yang terkena tsunami
Koordinat titik lapang, data
inundasi, bentuk pantai, kemiringan
lereng, ketinggian, tutupan lahan
Analisis deskriptif data sekunder dari
sumber terpercaya BMG, dll, survei
lapangan Faktor-faktor
pembangun model peubah yang
mempengaruhi tingkat kerusakan
akibat tsunami
2 Penentuan
potensi genangan
Peta ketinggian tempat elevasi
Pengkelasan daerah genangan
7,5 m, 15 m dan 30 m
Layer potensi genangan
3 Penentuan
faktor biofisik yang akan
dikaji Faktor biofisik, data
lapangan statistik, catatan riset:
penggenangan, kerusakan
Reklasifikasi data dan peta
Layer dan data faktor biofisik
4 Pembuatan peta
kerapatan vegetasi
Citra LANDSAT, data lapangan,
resolusi 30 m Analisis citra
digital spectral enhancement
Layer kerapatan vegetasi
5 Pembuatan peta
tutupan lahan Peta tutupan lahan
BAPLAN tahun 2006, peta batas
wilayah penelitian Pengkelasan dan
koreksi garis pantai
Interpretasi visual
Digitasi Layer tutupan lahan
6 Penentuan
faktor pembangun
model dan skor Faktor pembangun
model, peta genangan, data
lapangan statistik, catatan riset:
penggenangan, kerusakan
Operasi spasial overlay
, dengan intersectidentity
Pengkelasan Analisis korelasi
Pembangunan
skor Skor pada kelas
masing-masing faktor pembangun
model
7 Pembuatan peta
kerawanan kerusakan
terhadap tsunami
Faktor pembangun model, data
genangan Pemodelan spasial:
Pengujian model statistik
Penghitungan bobot
Pembangunan kelas-kelas
kerawanan Validasi
Peta tingkat kerawanan
kerusakan akibat tsunami skala
1:100.000 bagi perencanaan
umum
16 Beberapa peta bersumber dari citra Landsat yang beresolusi 30 m, yaitu peta
tutupan lahan dan peta kerapatan vegetasi. Garis pantai pada semua peta direvisi menggunakan garis pantai berdasarkan penampakan citra Landsat tahun 2006.
Kesepadanan skala peta dan spasial citra yang dikemukakan Tobler tahun 1987 menyatakan citra satelit dengan resolusi 30 m sepadan dengan skala peta 1 :
100.000. Skala peta dasar dan peta laporan 1:100.000 disebutkan sebagai skala tinjau dan memiliki kegunaan bagi perencanaan umum penggunaan lahan dan
penetapan areal yang akan disurvei lebih dalam Arsyad, 2010. Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat menjadi masukan awal bagi perencanaan tata
ruang pantai yang lebih detil. Kegiatan pengolahan data dan analisis menggunakan teknologi inderaja dan
sistem informasi geografi, yang diikuti dengan penulisan disertasi. Penentuan skor dan bobot dilakukan melalui analisis data.
3.3.1. Pengkajian Potensi Genangan Akibat Tsunami Secara Spasial
Wilayah studi difokuskan kepada wilayah desa pantai di enam kecamatan di Kabupaten Ciamis, dimana desa pantai merupakan desa dengan wilayah yang
memiliki batas dengan garis pantai. Dari enam kecamatan tersebut terdapat 19 desa. Batas luar kesembilan belas desa menjadi batas wilayah studi.
Berdasarkan analisis ketinggian dari data kontur wilayah pesisir yang dibangun melalui DEM, maka dapat dihitung dan dipetakan distribusi luas dan
tinggi genangan secara spasial dapat diperoleh Diposaptono dan Budiman 2008. Analisis kontur dilakukan untuk menghasilkan peta ketinggian. Pengkelasan
dilakukan dengan interval tinggi 2,5 m. Penelitian ini mengkaji 3 nilai tinggi gelombang tsunami yang mungkin terjadi yaitu 7,5 m, 15 m dan 30 m. Dari
ketiga nilai tinggi gelombang diketahui distribusi luas dan jarak genangan secara spasial, kemudian dicari hubungan antara jarak genangan dengan faktor biofisik
wilayah pantai Ciamis. Hubungan yang diketahui melalui analisis korelasi ini akan mendukung pemilihan faktor pembangun model kerawanan kerusakan akibat
tsunami. Potensi genangan tsunami dapat diperoleh menggunakan data historis
genangan dan run up tsunami yang pernah terjadi sebelumnya. Di Indonesia dokumentasi mengenai run up tsunami belum didata secara lengkap sehingga
17 sangat sulit membuat peta resiko tsunami berdasarkan data historis. Pendekatan
yang dapat dilakukan adalah dengan mengasumsikan gelombang tsunami yang mencapai pantai mempunyai ketinggian sama diukur dari permukaan laut
Diposaptono dan Budiman 2008. Dari masing-masing peta diketahui distribusi luas genangan dari garis pantai menuju daratan. Titik-titik contoh diambil pada
masing-masing peta dengan tinggi genangan berbeda. Masing-masing titik diukur jarak genangannya dari pantai. Tahapan yang dilakukan dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Metode penentuan potensi kerawanan kerusakan secara spasial Peta ketinggian
Pemilihan areal dengan ketinggian berbeda
Ketinggian hingga 7,5 m
Ketinggian hingga 15 m
Ketinggian hingga 30 m
Mulai
Pemilihan areal yang berhubungan dengan garis pantai
Peta genangan hingga 7,5 m
Peta genangan hingga 15 m
Peta genangan hingga 30 m
Pengambilan titik contoh jarak genangan
Data jarak genangan dari masing- masing tinggi gelombang tsunami
Selesai
18
3.3.2. Faktor-faktor yang Berperan pada Tingkat Kerusakan Akibat Tsunami
Pemilihan faktor yang diduga berperan dalam tingkat kerusakan akibat tsunami dilakukan berdasarkan analisis karakteristik spesifik lokasi dan beberapa
hasil penelitian terkait tsunami dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut kemudian dikaji menggunakan analisis korelasi untuk menentukan faktor
penentu tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami. Kesemua faktor dianalisis dalam bentuk peta dengan menggunakan analisis
SIG. Proses awal adalah penyiapan peta-peta input yang merupakan peta faktor- faktor yang akan dijadikan input model. Peta pendukung adalah peta dasar yang
menjadi acuan bagi peta faktor dan mendukung analisis faktor. Oleh karena lokasi penelitian merupakan wilayah pantai, maka semua peta
dasar dan peta faktor direvisi garis pantainya berdasarkan garis pantai yang diperoleh dari penampakan citra satelit. Citra yang digunakan dalam penelitian
ini adalah citra Landsat TM tanggal 10 Oktober 2006 yaitu setelah kejadian tsunami. Citra ini juga digunakan untuk mendapatkan peta kerapatan vegetasi.
Peta pendukung mencakup peta administrasi dan peta sistem lahan. Peta administrasi mencakup batas desa, kecamatan dan kabupaten. Peta sistem lahan
mencakup informasi tentang nama sistem lahan, karakteristik lahan dan kesesuaian lahan.
Faktor yang telah dikaji dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Faktor pembentuk model kerawanan kerusakan akibat tsunami
No Faktor-faktor yang dikaji
1 Bentuk Pantai Sutowijoyo 2005, Chandrasekar et al.
2006, Diposaptono dan Budiman 2008 2
Jarak dari garis pantai Kumaraperal et al 2007 3
Kemiringan slope Diposaptono dan Budiman 2008, Pribadi et al. 2006
4 Ketinggian tempat
Chandrasekar et al. 2006, Diposaptono dan Budiman 2008.
5 Tutupan lahan Diposaptono dan Budiman 2008, Pribadi et
al . 2006
6 Vegetasi
Diposaptono dan Budiman 2008, Harada dan Kawata 2004, Sudarmono 2005
19
3.3.2.1. Kelas Bentuk Pantai
Input yang dipakai adalah peta garis pantai selatan Jawa Barat. Garis pantai diperoleh berdasarkan penampakan garis pantai pada citra Landsat TM bulan
Oktober 2006. Pada pantai Kabupaten Ciamis terdapat bentuk pantai rata, lekuk, bentuk V atau tanjung dan bergerigi gergaji.
Bentuk pantai menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya kerusakan akibat tsunami Sutowijoyo 2005. Tinggi gelombang tsunami
mencapai maksimum pada pantai dengan morfologi landai dan berlekuk seperti teluk, muara sungai dan tanjung karena adanya proses refraksi dan difraksi
gelombang. Hal ini terlihat pada kasus tsunami di Teluk Lhoknga NAD 26 Desember 2004 dengan tinggi run up 31,5 m, Teluk Pancer Banyuwangi 2 Juni
1994 yang mencapai tinggi run up 14 m dan di Teluk Korim Biak 17 Pebruari 1996 dengan tinggi run up 12 m. Wilayah pesisir di Indonesia umumnya memiliki
teluk berbentuk V yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang banyak dan berderet satu sama lain sehingga menyerupai gigi gergaji. Kondisi ini
menimbulkan gelombang tsunami di pantai semakin tinggi akibat adanya amplifikasi gelombang oleh teluk berbentuk V tersebut Diposaptono dan
Budiman 2008. Chandrasekar et al. 2006 membagi pantai kedalam beberapa zona berbeda berkaitan dengan fitur geomorfik pantai. Areal pantai dibagi
kedalam zona pantai terbuka, zona estuari dan zona dataran tinggi.
3.3.2.2. Kelas Jarak dari Garis Pantai
Input yang dipakai adalah peta garis pantai selatan Jawa Barat. Garis pantai diperoleh berdasarkan penampakan garis pantai pada citra Landsat TM bulan
Oktober 2006. Masing-masing garis pantai dibuat buffer dengan jarak per 100 m dari pantai
kemudian dilakukan pengkelasan berdasarkan kedekatan dari garis pantai. Prosesing data dilakukan dengan perangkat lunak ArcView.
3.3.2.3. Kelas Ketinggian Tempat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chandrasekar et al. 2006, daerah yang lebih tinggi mengalami jarak inundasi lebih pendek daripada daerah
20 yang lebih rendah. Pembuatan Digital Elevation Model DEM dan pengkelasan
dilakukan dengan perangkat lunak ArcView. Ketinggian wilayah dibagi kedalam kelas yang lebih rinci dengan interval
tinggi 2,5 m. Hal ini dilakukan untuk lebih memperdalam hubungan antara faktor ketinggian dengan kerawanan kerusakan akibat tsunami.
3.3.2.4. Kelas Kemiringan lereng
Tinggi gelombang tsunami mencapai maksimum pada pantai yang landai. Tsunami tertahan pada pantai yang terjal Diposaptono dan Budiman 2006.
Pribadi et al. 2006 mengamati wilayah pesisir dengan tebing –tebing pasir relatif
aman dibandingkan pantai dengan topografi landai. Dampak tsunami lebih terlihat pada pantai dengan topografi datar dibandingkan daerah dengan topografi
bergelombang Chandrasekar et al. 2006. Input yang digunakan adalah peta kontur dengan perangkat lunak ArcView
bagian Spatial Analyst. Pengkelasan kemiringan lereng dilakukan dengan interval 4. Dengan interval kemiringan lereng lebih rinci hubungan antara kemiringan
lereng dengan kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat lebih terlihat. Hal ini berguna untuk memperoleh informasi lebih mengenai peran kemiringan lereng
terhadap kerusakan akibat tsunami.
3.3.2.5. Kelas Kerapatan Vegetasi
Sudarmono 2005 menyatakan bahwa jajaran pohon yang cukup banyak dan berlapis-lapis dapat memecah gelombang dan memperlemah daya dorongnya.
Penelitian Harada dan Kawata 2004 menunjukkan bahwa dalam kasus tsunami dengan tinggi gelombang 3 m, hutan pantai dengan kerapatan hutan 30 m per 100
m
2
, diameter batang 15 cm, dan lebar hutan 200 m dapat mengurangi kedalaman inundasi hingga 50-60 dan kecepatan aliran hingga 40-60.
Peta kerapatan vegetasi dibuat melalui klasifikasi citra Landsat menggunakan perhitungan Normalized Difference Vegetation Index NDVI.
Band yang dipakai adalah band infra merah dekat near infra redNIR dan merah red. Indeks ini memiliki kisaran nilai antara -1 dan +1. Vegetasi lebat akan
mendekati nilai 1 Jaya 2009. Rumus dari indeks vegetasi ini adalah: NIR
– RED NIR + RED
NDVI =
21 Hasil klasifikasi citra dikelaskan kedalam kelas kerapatan vegetasi.
Kerapatan vegetasi dibagi kedalam tiga kelas, yaitu “Kerapatan Tinggi”, “Kerapatan Sedang”, dan “Kerapatan Rendah”. Pembagian kelas tersebut didapat
dengan membagi rentang nilai NDVI kedalam tiga kelas.
3.3.2.6. Kelas Tutupan Lahan
Informasi tutupan lahan diperoleh dari peta tutupan lahan Badan Planologi tahun 2006. Kelas tutupan lahan yang ada di wilayah pantai Ciamis adalah Hutan
Lahan Kering Sekunder, SemakBelukar, Perkebunan, Tanah Terbuka, Hutan Mangrove Sekunder, Hutan Rawa Sekunder, SemakBelukar Rawa, Pertanian
Lahan Kering dengan Semak, Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak, Sawah, Tambak, Tubuh Air dan Permukiman. Peta tersebut dikelaskan kembali dengan
mengelompokkan kelas kedalam kelas lebih umum. Vegetasi mempunyai tingkat reduksi tertentu saat terkena gelombang
tsunami di suatu daerah. Dalam kaitannya dengan kepekaan terhadap tsunami, hutan dikategorikan sebagai jenis vegetasi yang sangat tidak peka diikuti oleh
semak belukar, dan kebun. Ladang agak peka terhadap tsunami diikuti oleh rumput yang peka terhadap tsunami, sedangkan sawah sangat peka dan rawa
sangat peka sekali. Pasir pantai juga dikatakan sangat peka terhadap tsunami Diposaptono dan Budiman 2008.
Melalui penelitian ini ingin diketahui bagaimana faktor biofisik kawasan pantai Ciamis berperan dalam kerusakan akibat tsunami sehingga diketahui
bagaimana hubungan masing-masing faktor dengan kerusakan akibat tsunami. Kajian faktor biofisik yang berperan dalam kerusakan akibat tsunami akan
memberikan informasi mengenai faktor mana saja yang berpengaruh dalam kerusakan akibat tsunami khususnya di kawasan pantai Ciamis. Informasi ini
sangat penting bagi pemodelan spasial kerawanan kerusakan akibat tsunami yang nantinya berguna bagi upaya perlindungan wilayah dan rehabilitasi kawasan
pantai.
3.3.3. Pemberian Skor pada masing-masing kelas faktor
Proporsi luas genangan pada masing-masing kelas dalam faktor biofisik dikaji hubungannya dengan masing-masing faktor. Faktor yang digunakan dalam
22 analisis adalah kelas bentuk pantai, kelas jarak dari pantai, kelas ketinggian, kelas
kemiringan lereng, kelas tutupan lahan dan kelas kerapatan vegetasi. Data tingkat kerusakan akibat tsunami hanya mewakili satu tempat untuk
setiap kecamatan sehingga data yang digunakan adalah data inundasi yang diambil dari peta genangan yang dibuat secara spasial.
Pola kecenderungan dilihat untuk mengetahui hubungan proporsi genangan dengan masing-masing faktor biofisik yang dikaji. Skoring diberikan
menggunakan peringkat berdasarkan analisis tersebut kemudian dilakukan standarisasi skor dengan menyamakan skala rescalling dari 10 hingga 100.
Dimana rumus skor tersebut Jaya et al. 2007 adalah: Skor lama
– Skor minimal 90 +10 Skor maksimal
– Skor minimal
3.3.4. Pemodelan Spasial Kerawanan Kerusakan akibat Tsunami
Daerah rawan kerusakan merupakan daerah yang berpotensi tergenangi air limpasan gelombang tsunami. Kecepatan tsunami yang sangat tinggi menjadikan
air limpasan tsunami bersifat merusak sehingga tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami pada penelitian ini diwakili oleh proporsi genangan akibat tsunami.
Kajian faktor yang berpengaruh dalam menentukan tingkat kerusakan akibat tsunami menjadi dasar pembuatan kelas kerawanan kerusakan akibat tsunami.
Pengambilan contoh dilakukan untuk membangun model karena cakupan wilayah yang besar yaitu hampir 23.000 ha dengan garis pantai 91 km. Wilayah dibagi
kedalam grid-grid dengan jarak masing-masing 2 km menggunakan perangkat lunak IHMB sehingga didapat 65 titik contoh Gambar 4. Masing-masing titik
contoh memiliki informasi skor masing-masing kelas faktor dan proporsi genangan.
Skor baru =
23 Gambar 4. Titik-titik contoh bagi analisis regresi
Karakteristik biofisik yang telah diberi skor dihubungkan dengan proporsi genangan untuk membangun model. Regresi Stepwise dilakukan untuk
mendapatkan model terbaik dari sebuah analisis regresi. Regresi ini akan memasukkan variabel yang memiliki korelasi tinggi dan signifikan terhadap nilai
y dan menyisihkan variabel yang tidak signifikan. Proses ini berlangsung terus menerus hingga tidak ada lagi variabel yang ditambahkan atau dihilangkan.
Persentase besarnya variabilitas dalam data yang dijelaskan oleh model regresi ditunjukkan oleh koefisien determinasi R
2
yang merupakan besaran yang mengukur ketepatan garis regresi. Nilai berkisar dari 0 hingga 100. Semakin
besar nilai menandakan semakin erat hubungan antara x dan y. Persamaan yang menghubungkan faktor biofisik dengan proporsi genangan
akibat tsunami diolah secara spasial untuk menghasilkan model kerawanan kerusakan akibat tsunami. Model tersebut menunjukkan wilayah pantai dengan
tingkat kerawanan yang berbeda. Model dibagi kedalam 3 kelas kerawanan yaitu Sangat Rawan, Rawan, dan Tidak Rawan. Pembagian kelas berdasarkan
pembagian total bobot kedalam tiga selang nilai. Metode pembuatan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat diihat pada Gambar 5.
Validasi dilakukan untuk mengetahui kedekatan model dengan kenyataan yang terjadi setelah tsunami. Model kerawanan yang dihasilkan dikaji dengan
data kejadian tsunami yang tercatat yaitu jarak genangan tahun 2006 yang dicatat
24 BMG dan data genangan berdasarkan ketinggian tempat yang dihasilkan pada
penelitian ini. Daerah genangan dibagi kedalam grid-grid yang kemudian ditampalkan
dengan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami. Untuk wilayah genangan pada tinggi gelombang 7,5 m grid dibuat berjarak 500 m dan didapat 177 grid.
Wilayah genangan dari gelombang 15 m dan 30 m dibagi kedalam grid berjarak 1 km sehingga masing-masing terbagi kedalam 202 dan 241 grid. Ketika
ditampalkan dengan peta kerawanan kerusakan akibat tsunami, grid-grid tersebut memberikan informasi tingkat kerawanan.
Peta yang menunjukkan tingkat kerawanan kerusakan akibat tsunami dapat memberi informasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemegang kebijakan
untuk membuat perencanaan dan penataan kawasan pantai yang dapat melindungi wilayah dari resiko kerusakan akibat tsunami.
25 Gambar 5. Metode pembuatan peta kerawanan
kerusakan akibat tsunami
Pengambilan titik contoh analisis regresi
Peta dengan pembobotan Layer
Jarak pantai
Skor Jarak pantai
MULAI Persiapan peta faktor
pembangun model
SELESAI Layer
Bentuk pantai Layer tutupan
lahan Layer
Kemiringan Layer
Ketinggian Peta
inundasi
Kalkulasi skor
Skor Bentuk pantai
Skor kerapatan vegetasi
Skor Kemiringan
Pertampalan
Peta gabungan
Pengkelasan
Peta kerawanan kerusakan akibat tsunami
Pertampalan validasi
Tingkat akurasi Skor
Ketinggian Layer
Kerapatan vegetasi
Skor tutupan lahan
26
IV. KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN TSUNAMI PADA LOKASI PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah pantai selatan Jawa Barat khususnya Kabupaten Ciamis. Wilayah tersebut merupakan areal yang terkena dampak
gelombang tsunami dan gempa tektonik. Gempa bumi yang diikuti tsunami terjadi pada hari Senin 17 Juli 2006 jam 15:19:22 WIB dengan pusat 9,46
o
LS –
107,19
o
BT, kedalaman 33 km dan kekuatan 6,8 Skala Richter. Pusat gempa bumi di Samudera Hindia 280 km selatan Bandung atau 255 km barat daya
Pangandaran. Dampak tsunami dialami oleh kawasan pantai selatan Jawa Barat, Cilacap dan Yogyakarta menelan korban jiwa lebih dari 378 orang meninggal,
272 orang luka-luka, 77 orang menghilang. Kerugian pada perumahan 842 rumah hancur, 92 rumah rusak, 62 bangunan hotel dan penginapan hancur, 5 kantor
hancur. Sarana transportasi 56 mobil hancur, 97 motor hancur, 190 kapal boat rusak dan 29 becak tradisional hancur. Total kerugian akibat bencana tsunami ini
berkisar lebih dari pada 70 milyar rupiah Pribadi et al. 2006. Wilayah pantai Ciamis mencakup 6 kecamatan, yaitu Kecamatan
Kalipucang, Kecamatan Pangandaran, Kecamatan Sidamulih, Kecamatan Parigi, Kecamatan Cijulang dan Kecamatan Cimerak. Fokus penelitian diberikan kepada
desa pantai yaitu desa-desa di pantai Ciamis yang wilayahnya memiliki batas dengan pantai. Di sepanjang pantai Ciamis terdapat 19 desa, yaitu desa
Putrapinggan, Emplak, Bagolo, Babakan, Pananjung, Pangandaran, Sidomulyo, Sukaresik, Cikembulan, Karangjaladri, Ciliang, Cibenda, Katukaras, Cijulang,
Kondangjajar, Kertamukti, Legokjawa, Masawah, dan desa Limusgede Gambar 6.
27 Gambar 6. Desa pantai di Kabupaten Ciamis
28 Wilayah selatan berbatasan langsung dengan garis pantai samudera
Indonesia yang membentang di 6 kecamatan dengan panjang garis pantai mencapai 91 km. Kabupaten Ciamis memiliki wilayah laut seluas 67.340 ha BPS
Kabupaten Ciamis 2009
.
Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Ciamis berada pada posisi strategis yang dilalui jalan Nasional lintas Jawa Barat-Jawa Tengah dan jalan
Provinsi lintas Ciamis-Cirebon-Jawa Tengah. Dalam konteks pengembangan wilayah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Ciamis mempunyai 2 dua Kawasan
Andalan yaitu Kawasan Andalan Priangan Timur dengan arahan pengembangan untuk kegiatan pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, dan pariwisata serta
Kawasan Andalan Pangandaran dengan kegiatan unggulan pengembangan kepariwisataan dan bisnis kelautan Pemkab Ciamis 2009.
Daerah pantai selatan termasuk pantai wilayah Kabupaten Ciamis merupakan bagian dari wilayah rawan gempa dan tsunami karena berada di
pertemuan lempeng oseanik Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia. Penelitian geologi juga mengungkapkan bahwa sebelum tsunami tahun 2006 lalu,
pada tahun 1921 telah terjadi tsunami di Pangandaran Yulianto et al. 2008. Pemerintah Kabupaten Ciamis telah menetapkan kawasan rawan bencana
yang merupakan kawasan yang perlu mendapat perhatian khusus. Kawasan rawan bencana longsor tersebar di Kecamatan Panawangan, Kawali, Cikoneng, Rajadesa,
Jatinagara, Rancah dan Tambaksari; kawasan rawan bencana banjir di Kecamatan Pamarican, Banjarsari, Padaherang, Kalipucang, Lakbok dan Pangandaran;
kawasan rawan kekeringan di Kecamatan Langkaplancar dan Cigugur; serta kawasan rawan bencana gempa bumitsunami di Kecamatan Cimerak, Cijulang,
Parigi, Sidamulih, Pangandaran dan Kalipucang.
4.2. Tsunami dan dampak yang ditimbulkan di pantai Ciamis