0.04 0.36 -0.15 Kebijakan Non Tarif Non Tariff BarrierNTB

104 Tabel 38. Perbandingan Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia dan Malaysia Lanj. Deskripsi Indonesia Malaysia Kinerja Pasar Kinerja Pasar Pengembangan produk turunan dan diversifikasi pasar masih terbatas Produktivitas tinggi, Efisiensi tinggi, Usaha Terpadu Perilaku Harga Price taker Ep= 0.36 dan Es=0.06 Price taker Ep= -0.15 dan Es=0.04 Harga Domestik CPO rata-rata USD 760 ton USD 829 ton Harga Ekspor eq.CPO rata-rata FOB USD 921 ton USD 940 ton Pajak Ekspor CPO 7.5 – 22.5 progresif 4.5 – 8.5 progresif Produk yang dikembangkan Terbatas pada bibit unggul dan bahan baku CPO dan baru mengembangkan 47 produk turunan sawit 105 produk turunan Total Produksi CPO 2013 26.7 juta ton 21.7 juta ton Permintaan CPO Domestik 2013 11.7 ton 3.8 juta ton Volume ekspor produk sawit 2013 21.2 juta ton CPO 15 jt ton 17,5 juta ton CPO 3.5 jt ton Total Nilai Ekspor Produk Sawit 2013 USD 19.1 Milyar tahun USD 19.4 Milyar Nilai Ekspor ke USA 2013 USD 297 juta USD 1.14 Milyar Volume Ekspor ke USA 2013 329 ribu ton 1.5 1.03 juta ton 5.9 Biaya Variabel Produksi CPO rata-rata USD 190 ton USD 215 ton Sumber : diolah 2014 105 Kebijakan Perdagangan Minyak Sawit Kebijakan Perdagangan Minyak Sawit Indonesia Pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia mengeluarkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia MP3EI dengan visi mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur, dengan tiga misi sebagai fokus utamanya, yaitu 1 peningkatan nilai tambah dan rantai nilai proses produksi serta distribusi dan pengelolaan asset dan akses potensi sumber daya alam, geografis wilayah, dan sumberdaya manusia, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergi di dalam maupun antar kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, 2 mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta pasar integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional, 3 mendorong penguatan sistem inovasi disisi produksi, proses maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan menuju ekonomi di pasar inovasi. Sebagai komoditas unggulan nasional, minyak sawit masuk dalam program MP3EI. Fokus kinerja pemerintah pada MP3EI diletakkan pada delapan program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, telematika, serta pengembangan kawasan strategis Jabodetabek area dan KSN Selat Sunda. Kedelapan program utama tersebut secara terstruktur ditekankan melalui kinerja 22 kegiatan ekonomi utama yang akan dilaksanakan, yaitu: pertanianpangan, pariwisata, perikanan, bauksit, tembaga, nikel, batu bara, minyak dan gas, perkayuan, peternakan, kakao, karet, kelapa sawit, alutsista, besi baja, makanan-minuman, tekstil, perkapalan, telematika, peralatan transportasi, dan KSN Selat sunda serta wilayah Jabodetabek. Sembilan kegiatan diantaranya berada di ranah yang terkait pada sektor pertanian secara luas, yakni pertanian pangan, perikanan, perkayuan, peternakan, makanan dan minuman, kelapa sawit, karet, kakao dan pariwisata. Terdapat enam koridor ekonomi KE yang secara bersamaan harus dikembangkan, yakni KE Sumatera, KE Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi, KE Bali – Nusa Tenggara, dan KE Papua – Kepulauan Maluku. KE Sulawesi secara khusus dijadikan pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional. Berdasarkan pemetaan kegiatan potensial, maka dalam MP3EI potensi terbesar kelapa sawit dipetakan berada di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Fokus penekanan kegiatan ekonomi utama kelapa sawit berada pada rantai nilai kelapa sawit, yang dimulai dari perkebunan, penggilingan PKS, penyulingan, dan pengolahan kelapa sawit di industri hilir Said, 2011. Agenda terpenting bagi perbaikan rantai nilai kelapa sawit dalam catatan MP3EI Kemenko Perekonomian, 2011 adalah sebagai berikut: 1 Peningkatan produksi kelapa sawit akan lebih difokuskan kepada peningkatan produktifitas CPO per hektar, yang saat ini baru mencapai 3.8 tonha, mengejar ketertinggalan dari Malaysia yang telah mampu mencapai 4.6 tonha. Dalam jangka panjang kegiatan di atas secara ambisius harus mencapai 7 tonha, yang secara hipotetik akan dapat dicapai di Indonesia. 2 Dalam hal penggilingan tandan buah segar kelapa sawit, permasalahan yang harus diperbaiki adalah perbaikan infrastruktur jalan akses jalan dari lahan 106 ke PKS, dan penyediaan tangki timbun yang memadai. Selain itu, secara nyata hasil penggilingan secara terstruktur harus mampu ditingkatkan, yakni dari rata-rata produksi CPO sekitar 21 persen menjadi diantara 24 – 25 persen. 3 Dalam hal rantai nilai penyulingan, saat ini marginnya dianggap sangat rendah, yakni hanya USD 10ton dari CPO menjadi minyak goreng. Margin di atas menjadi tidak menarik bagi investor yang lebih menyukai investasi di hulu, karena rantai nilai perkebunan mampu memberikan nilai sebesar USD 350Ton. 4 Sektor hilir kelapa sawit Indonesia kurang menerapkan manajemen rantai nilai, sehingga belum mampu memberikan nilai tambah yang besar, karena ragam produk yang dihasilkan masih terbatas kepada oleokimia dasar dan biodiesel yang produksinya belum menguntungkan. Namun demikian, hilirisasi produk kelapa sawit harus digalakkan karena akan memperkuat posisi strategis Indonesia dalam persaingan industri kelapa sawit global, terutama melawan Malaysia. Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasikan tiga elemen utama, yaitu: 1 mengembangkan potensi ekonomi wilayah di enam Koridor Ekonomi Indonesia KEI, 2 memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global dan 3 memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama disetiap koridor ekonomi. Komoditi kelapa sawit yang merupakan salah satu andalan komoditi pertanian Indonesia yang pertumbuhannya sangat cepat dan mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional. Pemanfaatan minyak sawit CPO sebagai bahan baku industri dapat memberikan multiplier effect meliputi: pertumbuhan sub sektor ekonomi lainnya, pengembangan wilayah industri, proses alih teknologi, perluasan lapangan kerja, perolehan devisa, dan peningkatan penerimaan pajak. Mengingat potensi minyak sawit Indonesia yang sangat besar tersebut, maka perlu dilakukan pengembangan CPO menjadi berbagai produk turunan yang bernilai tambah tinggi, sehingga dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi negara karena produk-produk turunan sawit umumnya memiliki harga yang relatif mahal dan stabil dalam perdagangan internasional sehingga akan meningkatkan nilai ekspor minyak sawit Indonesia. Penggunaan CPO untuk industri hilir di Indonesia tahun 2013 relatif masih rendah yaitu baru sekitar 43.82 persen dari total produksi CPO Nasional. Dalam rangka meningkatkan nilai minyak sawit Indonesia di pasar ekspor melalui pengembangan industri turunan minyak sawit di Indonesia, maka pemerintah menyususun roadmap pengembangan industri turunanhilir minyak sawit di Indonesia. Kerangka pengembangan industri hilir kelapa sawit yang disusun oleh Kementerian Perindustrian disajikan pada Gambar 52. Adapun roadmap pengembangan industri turunan kelapa sawit berdasarkan kerangka pengembangan tersebut disajikan pada Gambar 53. Dalam roadmap ini telah ditetapkan tiga wilayah sebagai lokasi pendirian klaster industri kelapa sawit sesuai dengan keputusan Menteri Perindustrian No. 13M-INDPER2010, yaitu: Sei Mangkei Sumatera Utara, Dumai dan Kuala Enok Riau dan Maloy Kalimantan Timur. 107 Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011 Gambar 52. Roadmap pengembangan industri hilir kelapa sawit 108 Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011 Gambar 53. Roadmap pengembangan industri hilir kelapa sawit 109 Untuk pengembangan industri dan perdagangan minyak sawit, Indonesia membuat beberapa kebijakan dalam bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden maupun Kementerian seperti terlihat pada Lampiran 6. Kebijakan Minyak Sawit Malaysia Malaysia dan Indonesia secara bersama-sama merupakan penghasil minyak sawit terbesar di dunia.Dibandingkan Indonesia, Malaysia lebih pesat perkembangan industri produk turunan sawitnya. Berdasarkan Laporan Seksi Perdagangan dan Ekonomi Uni Eropa tahun 2012 mengenai Minyak Sawit Malaysia menyatakan bahwa perkembangan industri sawit di Malaysia tidak terlepas dari dukungan Pemerintahnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat Pemerintah untuk mendukung industri perkelapa sawitan di Malaysia. Beberapa kebijakan yang dibuat Pemerintah Malaysia seperti memberikan tax holiday bagi industri dan eksportir produk turunan minyak sawit dan perusahaan minyak sawit diberikan pembebasan pajak untuk belanja modal. Pengembangan industri minyak sawit dan produk turunannya di Malaysia telah direncanakan sejak tahun 1986 melalui Industrial Master Plans IMP.Di dalam IMP ini dirumuskan strategi pengembangan industri minyak sawit Malaysia dimana sektor komoditi minyak sawit dianggap sebagai sektor yang sangat penting bagi Malaysia. IMP minyak sawit yang dirumuskan Malaysia terbagi atas 3 tahap pengembangan sebagai berikut: IMP Tahap 1 1986-1995 Pada IMP tahap pertama ini, pemerintah melakukan melakukan proses rasionalisai pada industri minyak sawit Malaysia dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing industri refinery minyak sawit domestik dan meningkatkan ekspor. Pemerintah Malaysia juga melakukan perubahan pada struktur pajak ekspor dan pemberian insentif pajak ekspor pengurangan pajak 5 persen dari pajak pendapatan kotor dan subsidi pembiayaan ekspor dan menjadikan Malaysia pusat pengolahan minyak internasional. IMP Tahap 2 1996-2005 Pada IMP tahap 2 ini, pemerintah Malaysia mendorong perusahaan- perusahaan di Malaysia untuk pengembangan produksi hilir minyak sawit yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Untuk mengamankan input bahan baku untuk industri hilir minyak sawit Malaysia memperluas area perkebunan di Borneo Kamlimantan Utara dan pembelian lahan di Indonesia. Pada periode ini beberapa lembaga didirikan seperti Malaysia Palm Oil Board MPOB dan Malaysia Palm Oil Association MPOA yang bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan penelitian pemerintah, kebijakan dan promosi minyak sawit Malaysia. IMP Tahap 3 2006-2020 Selama tahap ketiga ini industri diharapkan memperluas pengembangan produk hilir minyak sawit yang bernilai tambah tinggi. Pengembangan produk difokuskan pada produk oleokimia terutama consumer goods bukan bahan olahan, biodiesel, biomass energi dan produk kayu lapis, pulp, kertas dan 110 bioplastik dan biogas serta mengembangkan pasar ekspor baru minyak sawit Malaysia. Untuk pengembangan industri minyak sawit dalam negerinya, Malaysia juga mengeluarkan Program Transformasi Ekonomi Economic Transformation Program ETP untuk periode 2011 sampai 2020. Dalam ETP ini minyak sawit terpilih sebagai salah satu dari dua belas bidang ekonomi utama nasional.Dalam ETP ini dibuat Entry Point Project EPP sebagai indikator yang jelas untuk pencapaian kinerja tahunan di sektor minyak sawit. EPP dibawah ETP terdiri dari 1 mempercepat penanaman kembali kelapa sawit, 2 meningkatan hasil tandan buah segar, 3 meningkatkan produktivitas tenaga kerja, 4 meningkatkan tingkat ekstraksi minyak sawit, 5 mengembangkan fasilitas biogas di pabrik kelapa sawit, 6 fokus pada produk turunan oleokimia yang bernilai tambah tinggi, 7 komersialisasi biofuel generasi kedua dan 8 mempercepat pertumbuhan produk hilir minyak sawit untuk makanan dan kesehatan. Prinsip utama dari transformasi ekonomi ini adalah memperluas keterlibatan swasta di sektor minyak sawit, namun beberapa proyek akan dipimpin dan didanai oleh Pemerintah Malaysia. Untuk mencapai target penanaman kembali pohon kelapa sawit, pada 2011 pemerintah Malaysia memberikan insentif sebesar RM 1 Milyar. Insentif ini diberikan kepada petani sawit yang memiliki lahan sawit hingga 40 Ha. Setiap petani sawit akan diberikan RM 6.000 per Ha sebagai pengganti biaya penanaman kembali. Kemudian program ini direvisi pada April 2012 dimana pemerintah menawarkan RM 7500 per Ha untuk penanaman kembali lahan sawit petani Semenanjung Malaysia dan RM 9000 per Ha untuk daerah Sabah dan Serawak. Tarif pajak ekspor CPO yang diberlakukan Malaysia hampir mirip dengan Indonesia dengan sistem progresif atas harga CPO di pasaran.Tarif pajak ekspor Malaysia berdasarkan Customs Act 1967 yang telah direvisi dan berlaku efektif pada 1 Januari 2013. Menurut peraturan tersebut Malaysia menerapkan tariff pajak ekspor CPO sebesar 0 persen hargaton sampai RM 2250, 4.5 persen hargaton RM 2250 - 2400, 5 persen hargaton RM 2401 - 2550, 5.5 persen hargaton RM 2551 - 2700, 6 persen hargaton RM 2701 - 2850, 6.5 persen hargaton RM 2851 - 3000, 7 persen hargaton RM 3001 - 3150, 7.5 persen hargaton RM 3151 - 3300, 8 persen hargaton RM 3001 - 3450 dan 8.5 persen hargaton diatas RM 3450, sedangkan produk olahan minyak sawit dikenakan tariff 0 persen. Revisi aturan ini dikeluarkan Pemerintah Malaysia merupakan sebagai reaksi atas pemberlakuan pajak ekspor Indonesia yang baru dirubah pada Oktober 2011 agar produk CPO Malaysia bisa bersaing dengan CPO Indonesia. Pada periode tahun 1980 sampai tahun 2000 minyak sawit telah menjadi produk saingan utama bagi minyak dan lemak nabati lain seperti minyak kedele dari Asosiasi Minyak Kedele Amerika Serikat –ASA American Soybean Assosiation dan saingan juga bagi minyak bunga matahari. Karena merasa tersaingi, ASA melakukan kampanye negatif pada minyak sawit dari negara tropis sehingga permintaan impor minyak sawit dari Amerika Serikat menurun dan harga minyak sawit pun turun tajam dibandingkan dengan minyak kedele Kardiman, 2011. Sehubungan dengan kampanye negatif ASA tersebut, industri sawit Malaysia melakukan strategi menambah outlet minyak sawit di negara selain Amerika Serikat sambil membuat bantahan terhadap kampanye negatif 111 tersebut. Malaysia berupaya memulihkan pasar minyak sawit dengan investasi besar-besaran pada industry pengilangan minyak sawit di negara konsumen akhir termasuk di Amerika Serikat , China, Vietnam, Pakistan, Mesir, Inggris dan Mexico. Dari pendirinan pabrik pengilangan minyak sawit ini memungkinkan para eksportir minyak sawit Malaysia mengerti pola permintaan di masing-masing negara tujuan ekspor sekaligus menaikkan permintaan dan harga minyak sawit di pasar dunia. Outlet produk akhir minyak sawit semakin berkembang setelah dikembangkan produk baru yaitu oleokimia dan didirikannya pabrik tersebut di Malaysia dan di negara tujuan ekspor. Dengan strategi ini, kerugian akibat kampanye negatif ASA pulih kembali dan minyak sawit Malaysia mampu bersaing dengan minyak nabati lainnya. Perbandingan Strategi Peningkatan Ekspor Produk Sawit Ke Amerika Serikat Antara Malaysia dan Indonesia Strategi Peningkatan Produksi Minyak Sawit Pada tahun 1960-an Malaysia mulai mengembangkan industri kelapa sawit melalui strategi diversifikasi pertanian yang bertujuan untuk memberantas kemiskinan masyarakat di pedesaan. Produksi minyak sawit Malaysia pada 1960 hanya 91793 ton dan meningkat tajam menjadi 2.6 juta ton pada tahun 1980. Peningkatan produksi minyak sawit Malaysia ini merupakan hasil dari pengembangan strategi investasi sektor produksi kelapa sawit secara massal. Pengembang terbesar kebun kelapa sawit pada masa ini adalah badan usaha milik pemerintah Malaysia FELDA Federal Land Development Authority kemudian diikuti oleh Perusahaan Swasta MPOA, FELCRA dan perkebunan milik kerajaan sehingga perusahaan ini disebut sebagai pelopor dalam menjadikan Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia. Luas areal kebun kelapa sawit di Malaysia pada tahun 1988 hanya sekitar 1.80 juta ha. Luas areal perkebunan sawit ini meningkat pada tahun 2012 menjadi 5.08 juta ha. Produksi minyak sawit Malaysia pada tahun 1988 hanya mencapai 5.6 juta ton dan naik menjadi 19.3 juta ton pada tahun 2012. Untuk peningkatan produksi minyak sawitnya, Malaysia melakukan strategi penguasaan sumberdaya terutama dalam memenuhi target kuota ekspor dan kontinuitas produk. Industri kelapa sawit Malaysia melakukan strategi penguasaan sumberdaya lahan dengan ekspansi investasi ke negara lain seperti Indonesia, Vietnam, Thailand bahkan ke Amerika Latin. Selain itu, Malaysia melakukan program revitalisasi pertanian yang dijadikan sebagai mesin pertumbuhan perekonomian negara, menekankan penggunaan teknologi moderen untuk memproduksi spesies bibit unggul, meningkatkan hasil pertanian, meningkatkan akses pasar dan mempromosikan usaha tani yang baik dan menguntungkan. Malaysia juga melakukan penerapan teknologi yang berbasiskan informasi dan komunikasi untuk membagi informasi dan data, meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri sawit malaysia. Malaysia juga melakukan riset yang intensif terhadap kelapa sawit yang dilakukan badan riset yang baik dan 112 profesional seperti oleh Palm Oil Research Industry Malaysia PORIM, Edvanded Biotechnology Research -MPOB dan badan riset milik perusahaan swasta Malaysia. Seperti riset yang dilakukan untuk penemuan bibit unggul, harus menurut kebutuhan pasar yang dikoordinir secara sistemik dengan teknologi komunikasi dan informasi ICT nasional Malaysia. Kemudian dibuat perencanaan dan manajemen usaha tani yang baik, dikoordinir oleh pemerintah melalui MPOB atau badan yang telah disertifikasi oleh MPOB. Pada proses panen, industri sawit Malaysia dibantu teknologi pengindaraan satelit, memetakan wilayah buah tanaman sawit yang benar-benar layak dipanen, setelah pemanenan dilakukan proses pemilahan buah sawit berdasarkan kelas mutunya, dan diolah memakai mesin dengan teknologi moderen dan baik. Peningkatan produksi Minyak Sawit Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan luas areal kebun kelapa sawit. Pada tahun 1980-an Indonesia mulai meningkatkan perluasan kebun kelapa sawit untuk menyaingi Malaysia.. Luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1988 hanya sekitar 863 ribu ha. Luas areal perkebunan sawit ini meningkat pada tahun 2012 menjadi 9.07 ha. Namun beberapa areal perkebunan tersebut dimiliki oleh perusahaan Malaysia sekitar 1.5 – 2 juta ha.. Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ini dimiliki oleh perkebunan rakyat 43.7 persen, perkebunan negara 8.4 persen dan perkebunan swasta 47.8 persen. Produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 1988 hanya mencapai 1.71 juta ton dan naik menjadi 23.5 juta ton pada tahun 2012 sehingga pada mulai tahun 2012 Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia. Beberapa riset kelapa sawit telah dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan swasta, namun riset ini belum terkoordinasi dengan baik. Untuk peningkatan produksi minyak sawit di Indonesia sebagian besar masih digunakan secara konvensional tanpa menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Strategi Pengembangan Industri Hilir Minyak Sawit Dengan adanya peningkatan produksi CPO pada periode 1975-1980, Malaysia mulai membangun pabrik pengilangan minyak refinery untuk memproses kelebihan CPO menjadi produk setengah jadi maupun barang jadi. Pada tahun 1975, Malaysia menjual CPO sebanyak 957 ribu ton dan produk turunannya 215 ribu ton. Pada tahun 1980 terjadi kebalikannya dimana Malaysia menjual CPO turun menjadi 198 ribu ton dan produk olahan meningkat menjadi 2.07 juta ton. Untuk pengolahan kelapa sawit dan produk turunannya, Malaysia memiliki 434 Pabrik Penggilingan TBS, 45 Pabrik Palm Kernel Crusher, 55 Pabrik Refinery dan 17 Pabrik Oleokimia. Sedangkan kapasitas terpakai dari Pabrik Penggilingan TBS sebesar 91 persen, Palm Kernel Crusher sebesar 68 persen, Pabrik Refinery sebesar 69 persen dan Pabrik Oleokimia sebesar 77 persen. Produk turunan minyak sawit Malaysia yang unggul adalah minyak RBD dan RBD Olein dan bahan baku untuk industri farmasi dan tekstil dengan jumlah jenis produk turunan hasil penelitian sekitar 105 jenis. Pada tahun periode 1980-2000, minyak sawit telah menjadi produk saingan utama bagi minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai dan minyak matahari. Karena merasa tersaingi, American Soybean Association ASA 113 melakukan kampanye negatif pada minyak sawit dari negara tropis sehingga permintaan impor minyak sawit dari Amerika Serikat menurun dan harga minyak sawit pun menurun tajam disbanding minyak kedele. Untuk memulihkan pasar minyak sawit di Amerika Serikat, Malaysia melakukan investasi besar-besaran pada industri pengilangan atau produk turunan oleokimia minyak sawit di negara konsumen akhir, termasuk Amerika Serikat. Dengan pendirian pabrik minyak sawit ini, dimungkinkan para eksportir minyak sawit Malaysia mengerti pola permintaan konsumen di Amerika Serikat sehingga akan menaikkan permintaan dan harga minyak sawit di pasar dunia. Dengan investasi pada industri sawit di Amerika Serikat ini, industri sawit Malaysia mampu bersaing dengan minyak kedelai di Amerika Serikat. Selain itu, Malaysia aktif melakukan riset terhadap produk turunan sawit untuk menghadapi isu negatif terhadap produk sawit, seperti masalah gizi pada produk sawit dan masalah senyawa asam lemak trans yang dikandung minyak sawit yang dianggap membahayakan kesehatan manusia. Riset juga dilakukan untuk menciptakan produk turunan sawit yang sesuai dengan permintaan pasar di Amerika Serikat. Produksi minyak sawit Indonesia yang meningkat mencapai 23.5 juta ton pada tahun 2012 dihasilkan dari 608 pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas produksi total 34280 ton TBSjam. Pabrik pengolahan kelapa sawit ini tersebar di 22 propinsi dengan jumlah terbanyak 140 buah ada di propinsi Riau. Produksi minyak kelapa sawit ini sebesar 8.88 juta ton 37.08 persen dihasilkan oleh perkebunan rakyat, 2.73 juta ton 11.60 persen dihasilkan oleh perkebunan negara dan 12.06 juta ton 51.32 persen dihasilkan oleh perkebunan swasta. Sedangkan untuk untuk industri produk turunan sawit, Indonesia baru mengembangkan 47 jenis produk turunan dengan kapasitas terpakai pabrik rata- rata 90 persen. Agar Indonesia bisa mengalahkan Malaysia, maka kapasitas produksi pabrik harus ditingkatkan dengan memberikan kemudahan untuk berinvestasi pendirian pabrik dan investasi dalam riset dan pengembangan produk turunan sawit di Indonesia. Strategi Perdagangan Produk Sawit Strategi perdagangan produk sawit oleh Malaysia dilakukan dengan meningkatkan efisiensi pemasaran produk sawit sampai ke pembeli akhir di Amerika Serikat dengan mendirikan pabrik pengolahan minyak sawit di Amerika Serikat. Kemudian dilakukan strategi penguasaan pasar oleh produk sawit Malaysia dengan menekankan pada langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mempromosikan produk sawit yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi, mengembangkan jaringan penelitian yang komprehensif di sektor swasta maupun pemerintah serta melakukan negosiasi intensif dengan negara bilateral, regional maupun multilateral. 2. Pengembangan pangsa pasar serta pengembangan citra produk produk image sawit Malaysia, dengan cara: a. Membangun pusat penyuluhan dan teknik pengolahan produk sawit di Amerika Serikat. Pusat penyuluhan ini sekaligus sebagai tempat pengujian kualitas, penanganan dan penggunaan produk berbasis sawit, mengelola informasi dan teknik pemasaran agar citra produk minyak sawit Malaysia diterima pasar. 114 b. Membangun merek branding minyak berbasis sawit melalui kolaborasi pemerintah, industry dan lembaga penelitian secara komprehensif. Merek sebagai cerminan dari jaminan mutu, pembangunan berkelanjutan, pengelolaan perusahaan yang baik di seluruh rantai pemasaran dari kebun sampai ke konsumen akhir. c. Promosi minyak sawit sehat yang berlabel bebas lemak trans serta memenuhi selera konsumen negara maju Amerika Serikat. d. Promosi produk sawit sebagai hasil pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini pemerintah Malaysia berkolaborasi dengan lembaga ekonomi internasional, misalnya dengan organisasi negara-negara penghasil sawit duni dan dengan stakeholder lainnya agar mampu mengelola industry sawit dan produk sawit secara lestari. 3. Untuk mempertahankan daya saing, industri sawit Malaysia mengembangkan produktivitas tertinggi dengan tolak ukur: a. Menekankan mutu pelatihan dan profesionalitas b. Menjamin pangsa pasar yang lebih besar pada pasar global melalui upaya intensifikasi merek, promosi, akses pasar dan penerimaan pasar yang lebih besar c. Diversifikasi produk dan pengembangan nilai tambah produk yang lebih tinggi berbasiskan pengelolaan usaha yang berkelanjutan, ramah lingkungan serta pemakaian energy biomass dan biodiesel. d. Mempromosikan integrasi usaha dan komersialisai riset dan pengembangan industri dan lembaga penelitian dengan menerapkan strategi produk sawit tanpa limbah. 4. Diversifikasi produk. Beberapa produk turunan sawit yang dikembangkan Malaysia, seperti produk turunan oleokimia lemak amino, lemak amida, surfaktan, deterjen, produk komestik, produk perlindungan kesehatan dan produk kecantikan, produk kebersihan alfa sulfonat methyl ester, polyols dan pemakaiannya untuk polyurethane, coating dan bahan perekat, biodiesel, pembangkit listrik, biogas, bahan makanan, produk berfomula bebas lemak trans, bahan obat-obatan, komposit, kertas dan lain-lain. Dalam hal promosi ke Amerika Serikat, Indonesia masih kalah jauh dengan Malaysia. Selama ini pemerintah Indonesia dalam melakukan promosi masih terbatas pada pasar konvensional dan belum adanya badan perwakilan untuk mempromosikan produk sawit Indonesia di Amerika Serikat. Sedangkan Malaysia telah mendirikan perwakilannya MPOB di Washington DC, Amerika Serikat. Untuk itu Indonesia harus mulai berkoordinasi antara pemerintah dan pelaku industri sawit Indonesia untuk memperomosikan sawit Indonesia di Amerika Serikat seperti yang dilakukan oleh Malaysia. 115

8. MODEL EKONOMETRIKA EKSPOR MINYAK SAWIT DAN PRODUK TURUNANNYA KE AMERIKA SERIKAT

Analisis Umum Model Dugaan Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami beberapa kali modifikasi karena adanya ketidakkonsistenan hasil dugaan dengan teori serta karena sejumlah dugaan parameter tidak nyata. Dengan demikian model akhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagaimana dicerminkan oleh kesebelas dugaan persamaan struktural seperti terlihat pada Tabel 39. Tabel 39. Dugaan Persamaan Struktural Model Ekonomi Dampak ekspor minyak sawit Indonesia dan turunannya ke Pasar Amerika Serikat Nama Dugaan Persamaan Struktural R 2 F QCPO -1036241 + 1079.56DCPOR – 1696.81PTBSR + 0.896CCPO + 0.3313LQCPO – 4323.27HCPOM + 2499.77DCCPOM 0.98474 150.59 CCPO 1823009 + 5295.635PXPO – 577.651PMGRR + 12742.6QST – 1970.86DCCPOM – 3416.15HSOAS + 1392.406PTBSR 0.88528 18.01 DCPOR -778.532 + 2.173452PXPO+0.000244QCPO - 0.00046CCPO+1.909797PTBSR + 0.098005LDCPOR 0.97527 59.15 PXPO -298.35 – 1.1396WOIL + 1.009541XTAX – 0.00004XCPO + 0.2154DCCPOM + 0.849HSOAS + 0.2827LPXPO 0.95031 44.63 XCPO -1022948 + 286.0311PXPO – 422.989ER + 13728.04XTAX – 2208.57CPOM + 1288.417DCPOR + 2735.13XCPOM + 5096.046DCCPOM – 9091.11HSOAS 0.98886 133.11 AREA -1481138 – 52.5281LDCPOR+ 0.17449QCPO + 20548.19SB + 17.075ER – 277.438CPOM + 722.9703XCPOM – 903.742HCPOM 0.99021 187.83 QTBS 24501335 + 7040.067PTBSR + 10.052AREA + 0.973LQTBS + 3151.683CPOM – 9150.66XCPOM – 19106.7HCPOM 0.98264 132.06 PTBSR 448.710 + 0.164093DCPOR – 0.00005LCCPO+ 0.0769CPOM - 0.0116XCPOM – 25.1178EGRO + 0.6124HCPOM – 0.142LPTBSR 0.97433 70.50 PXPTI -70.1933 - 0.00005PXPO + 17.816EGRO+37.469EGROS + 2.549XTAX + 0.000653GDPA – 0.07941CPOM + 0.0715XCPOM + 0.841HCPOM 0.93803 22.70 XCPTI 886860.8 – 19.901PXPTI + 0.060MCPOA + 6.766DEML + 1880.245EGROS + 12.466CPOM 0.94350 38.96 MCPOA 863905.2 – 22111.3CCA – 24111.3EGROS + 0.015QCPO – 77.275CPOM + 97.495XCPOM + 394.93DCCPOM – 84.399DCSOAS 0.98458 118.59 Hasil pendugaan parameter atas model memberikan nilai koefisien determinasi R 2 pada masing-masing persamaan cukup besar, yaitu berkisar antara 0.885 hingga 0.989 sehingga semua persamaan memiliki nilai koefisien determinasinya R 2 di atas 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas di dalam model dapat menjelaskan fluktuasi setiap variabel endogen secara baik. Pada masing-masing persamaan, variabel penjelas secara bersama- sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, yang ditunjukkan oleh nilai statistik F berkisar antara 18.01 hingga 187.83 dan nilai probability-F kurang dari 0.01. Selain itu, variabel endogen di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata 116 oleh sebagian besar variabel-variabel penjelas secara individu pada taraf nyata α 0.05, 0.10 dan 0.15. Dari hasil nilai statistik Durbin Watson DW berkisar 1.933 hingga 2.624 yang menunjukkan bahwa pada level signifikansi 0.01 hipotesis nol diterima yang artinya tidak terdapat otokorelasi di antara peubah-peubah penjelas. Satu hal yang menjadi orientasi utama penelitian ini adalah tanda parameter dugaan dalam model sesuai dengan harapan, berdasarkan teori maupun logika ekonomi. Harapan tersebut dapat terpenuhi pada semua parameter hasil dugaan. Berdasarkan hal ini dan uraian pada alinea di atas, dapat disimpulkan bahwa model cukup baik dan dapat digunakan untuk melakukan analisis kebijakan ekonomi ekspor minyak sawit Indonesia dan turunannya ke pasar Amerika Serikat. Dugaan Parameter Persamaan Struktural Minyak Kelapa Sawit

a. Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia

Hasil pendugaan parameter persamaan produksi minyak kelapa sawit Indonesia memberikan nilai koefisien determinasi R 2 sebesar 98.47 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 98.47 persen fluktuasi variabel produksi minyak kelapa sawit Indonesia. Variabel endogen di dalam persamaan produksi minyak kelapa sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata α 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai 150.59. Tabel 40 menunjukkan hasil pendugaan persamaan produksi minyak kelapa sawit Indonesia. Total produksi CPO Indonesia dipengaruhi secara positif dan nyata p0.15 oleh harga riil domestik minyak kelapa sawit. Ini artinya bahwa kondisi harga minyak sawit domestik yang lebih baik akan mendorong produsen meningkatkan produksi CPO. Produksi CPO Indonesia kurang responsif terhadap perubahan harga domestik CPO Indonesia yang terlihat dari elastisitas jangka pendek dan jangka panjangnya yang di bawah 1. Peubah harga secara umum bersifat inelastis pada komoditas perkebunan Drajat et al., 2005. Jika harga domestik naik 10 persen, maka produksi CPO Indonesia akan meningkat 2.5 persen pada jangka pendek dan meningkat 3.8 persen pada jangka panjang. Ini disebabkan oleh konsumsi CPO oleh industri hilir sawit domestik masih terbatas. Permintaan minyak sawit domestik berpengaruh positif dan nyata terhadap Produksi CPO Indonesia. Ini artinya peningkatan permintaan minyak sawit industri hilir domestik akan mendorong peningkatan produksi minyak sawit Indonesia. Namun produksi CPO Indonesia kurang responsif terhadap perubahan permintaan minyak sawit domestik karena selama ini produk sawit Indonesia lebih banyak diekspor dalam bentuk CPO. Harga minyak sawit Malaysia berpengaruh negatif dan nyata terhadap produksi minyak sawit Indonesia. Namun produksi minyak sawit Indonesia tidak responsif terhadap perubahan harga minyak sawit Malaysia. Konsumsi domestik minyak sawit Malaysia berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi minyak sawit Indonesia. Ini artinya peningkatan permintaan minyak sawit oleh industri hilir Malaysia akan berdampak pada peningkatan produksi minyak sawit Indonesia. Dengan luas 117 lahan terbatas, Malaysia akan memperluas lahan sawitnya di Indonesia sehingga ini akan meningkatkan produksi minyak sawit Indonesia. Tabel 40. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1992 – 2012 VARIABEL Parameter Dugaan Pr |t| Elastisitas SR LR QCPO Produksi CPO Indonesia Intercept -1 036 241 0.3512 Harga Rill Domestik CPO DCPOR 1 079.559 0.0684 0.25 0.38 Harga Rill TBS PTBSR -1 696.81 0.3231 -0.09 -0.13 Permintaan Domestik CPO CCPO 0.896419 0.0061 0.32 0.48 Lag Produksi CPO LQCPO 0.331267 0.2397 Harga CPO Malaysia HCPOM -4 323.27 0.0897 -0.28 -0.41 Konsumsi Domestik CPO Malaysia DCCPOM 2 499.771 0.025 0.67 1.00 F-Hitung = 150.59 ; R 2 = 0.98474 ; Dw = 2.0607 SR short run = jangka pendek, LR long run = jangka panjang Produksi minyak sawit Indonesia responsif terhadap perubahan permintaan minyak sawit domestik Malaysia pada jangka panjang dengan nilai elastisitas 1. Sedangkan harga tandan buah segar dan produksi CPO tahun lalu mempengaruhi secara tidak nyata p0.15 terhadap produksi minyak sawit Indonesia. Produksi minyak sawit Indonesia tidak responsif terhadap perubahan harga tandan buah segar. Jika harga tandan buah segar naik 10 persen maka produksi minyak sawit Indonesia turun 0.9 persen pada jangka pendek dan 1.3 persen pada jangka panjang.

b. Permintaan Minyak Kelapa Sawit Domestik

Hasil pendugaan parameter persamaan permintaan minyak kelapa sawit domestik memberikan nilai koefisien determinasi R 2 sebesar 88.53 persen. Hal ini berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 88.53 persen fluktuasi variabel permintaan minyak kelapa sawit domestik.Variabel endogen di dalam persamaan permintaan minyak kelapa sawit domestik dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel penjelas secara bersama- sama pada taraf nyata α 0.01 yang ditunjukkan oleh statistik F dengan nilai 18.01. Tabel 41 menunjukkan hasil pendugaan persamaan permintaan minyak kelapa sawit domestik. Harga Ekspor CPO Indonesia, harga minyak goreng, produksi stearin, konsumsi domestik minyak sawit Malaysia, harga minyak kedelai Amerika Serikat dan harga tandan buah segar berpengaruh nyata p0.15 terhadap Permintaan Minyak Kelapa Sawit Domestik. Permintaan CPO domestik sangat responsif terhadap perubahan perubahan produksi stearin dan konsumsi domestik Malaysia dengan elastisitas di atas 1 dan di bawah -1. Peningkatan produksi stearin sebagai indikator pengembangan produk turunan minyak sawit sebesar 10 persen berdampak pada peningkatan permintaan CPO domestik sebesar 23.4 persen. Peningkatan konsumsi CPO domestik Malaysia sebesar 10 persen akan menurunkan permintaan domestik sebesar 14.8 persen. Ini berarti industri hilir domestik Malaysia akan meningkatkan impor CPO dari Indonesia sehingga pengusaha sawit Indonesia lebih memilih ekspor CPO karena margin keuntungan