TINJAUAN PUSTAKA Perdagangan Internasional
15
ES’
ES
ED S
B
D D
A
S
A
Pw Pw’
Pw’-t
P P
P
Q Q
t a
b f
d c
e 4
3 2
1
qc q’c q’p
Q’e Qe
Qp Q’p Q’c
Qc
Pajak Ekspor
Pemberlakukan pajak ekspor terhadap suatu produk akan meningkatkan biaya ekspor sehingga dapat mengurangi jumlah produk yang diekspor. Hal ini
juga akan menyebabkan harga yang diterima produsen domestik menjadi lebih rendah dari harga dunia sebesar pajak yang diberlakukan Grennes, 1984.
Pada Gambar 4, pemberlakukan pajak ekspor spesifik t akan menggeser secara paralel kurva penawaran ekspor ES ke atas dengan jarak sebesar pajak t
menjadi ES‘. Pada negara eksportir, slope permintaan impor yang dihadapi adalah negatif, maka penurunan jumlah penawaran ekspor pada harga tertentu akan
meningkatkan harga dunia Pw‘. Harga yang diterima produsen domestik pada negara A setelah adanya pajak ekspor adalah Pw‘- t dimana pada harga ini
konsumsi domestik naik menjadi qc‘ dan produksi domestik turun menjadi qp‘ sehingga kelebihan penawaran yang terjadi sekarang adalah qp‘ – qc‘.
Sebaliknya di negara importir, dengan harga dunia Pw‘, produksi meningkat menjadi Qp‘ dan konsumsi turun menjadi Qc‘ sehingga terjadi kelebihan
permintaan sebesar Qc‘ – Qp‘ yang besarnya sama qp‘ – qc‘ atau jumlah keseimbangan baru pada pasar dunia, yaitu qe‘.
Sumber: Tweeten 1992
Gambar 4. Dampak Pemberlakukan Pajak Ekspor Terhadap Suatu Produk Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberlakukan pajak ekspor
akan menyebabkan penurunan harga yang diterima produsen, penurunan produksi domestik, penurunan volume ekspor, peningkatan konsumsi domestik dan dapat
memberikan penerimaan bagi pemerintah di negara eksportir. Di lain pihak di negara importir, terjadi kenaikan harga sehingga merangsang kenaikan produksi
dan penurunan konsumsi yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan volume impor.
Penurunan pajak ekspor dari kondisi yang diuraikan di atas berarti memperkecil penurunan kesejahteraan masyarakat dunia. Produsen di negara
eksportir akan menerima penurunan harga yang lebih kecil sehingga dapat Q
qp
Negara Eksportir Pasar Dunia
Negara Importir
16
ES’
ES
ED S
B
D D
A
S
A
Pw Pw’
Pw’-t
P P
P
Q Q
t a
b d
c e
4 3
2 1
qc q’c q’p
Q’e Qe
Qp Q’p Q’c
Qc
D’
A
merangsang terjadinya peningkatan volume ekspor, sementara konsumen di negara importir akan membayar dengan yang harga yang lebih rendah.
Pengenaan pajak ekspor berdampak pada penurunan ekspor secara dramatis dan berpengaruh negarif terhadap daya saing industri minyak sawit CPO
Indonesia Susila, 2004. Disamping itu pajak ekspor berhubungan negatif dengan luas areal produktif, produksi CPO, ekspor dan harga domestik, namun
berhubungan positif dengan konsumsi domestik dan stok Obado, et al., 2009, dan Juoro, 2010.
Pajak ekspor berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan investasi, produksi, ekspor dan pendapatan usaha tani. Kebijakan pajak ekspor merupakan instrumen
yang efektif untuk mengendalikan CPO domestik dan harga minyak goreng. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan adanya transfer kesejahteraan dari
produsen ke konsumen dan pemerintah Susila, 2004, artinya pengenaan pajak ekspor menambah kesejahteraan bagi konsumen dan pemerintah.
Pembatasan Ekspor
Pembatasan ekspor terhadap suatu barang bertujuan untuk menjamin ketersediaan barang tersebut di dalam negeri. Disamping itu, pembatasan ekspor
dimaksudkan untuk mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga untuk mencapai stabilisasi harga. Dampak ekonomi dari pembatasan ekspor dalam
perdagangan diperlihatkan pada Gambar 5.
Sumber: Tweeten 1992
Gambar 5. Dampak Pembatasan Ekspor Dengan pembatasan ekspor oleh negara eksportir sebesar qe‘, maka kurva
penawaran ekspor negara eksportir menjadi kurva patah ES‘ dan berpotongan dengan kurva ED membentuk harga dunia Pw‘. Pada harga ini di negara eksportir
terjadi kelebihan penawaran. Kelebihan penawaran ini akan hilang pada tingkat Q
qp
Negara Eksportir Pasar Dunia
Negara Importir
17
ES ES’
ED S
B
D D
A
S
A
Pw P’w+s
Pw’
P P
P
Q Q
t a
b c
f h
e 4
3 1
qc q’c
q’p Q’e
Qe Q’p Qp
Q’c Qc
2 g
d
harga domestik P‘, yaitu pada perpotongan antara kurva penawaran SA dan kurva permintaan domestik plus kuota D’A, dimana kurva D’A sejajar dengan
kurva DA dengan jarak horizontal sebesar kuota yang ditetapkan. Hal ini memperlihatkan bahwa pembatasan ekspor akan menyebabkan penurunan harga
domestik di negara eksportir dan kenaikan harga dunia sehingga volume perdagangan menjadi berkurang.
Subsidi Ekspor
Subsidi ekspor biasanya digunakan oleh negara-negara maju untuk meningkatkan pendapatan produsen Tweeten, 1992. Pemberian subsidi ekspor
akan menyebabkan ekspor meningkat, harga dunia turun dan impor meningkat sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
Pemberian subsidi pada jumlah yang tetap flat untuk per unit ekspor menyebabkan kurva penawaran ekspor ES bergeser sejajar ke kanan bawah
dengan jarak sebesar subsidi yang diberikan menjadi ES‘. Di negara eksportir, karena produsen diberikan subsidi sebesar s, maka domestik naik menjadi Pw‘+s,
sehingga kelebihan penawaran yang dapat diekspor meningkat dari qp-qc menjadi qp‘-qc‘. Di negara importir, dengan turunnya harga dunia, maka permintaan impor
meningkat dari Qc-Qp menjadi Qc‘-Qp‘.
Sumber: Tweeten 1992
Gambar 6. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor
Tarif Impor
Dampak ekonomi dari pemberlakukan tarif impor oleh negara importir dapat dijelaskan secara grafis melalui Gambar 7. Pemberlakuan tarif impor
terhadap suatu produk akan menguntungkan produsen domestik karena harga produk impor menjadi lebih mahal dibandingkan dengan produk domestik sejenis
sehingga volume impor berkurang. Pada gambar 2.4b, pemberlakukan tarif impor spesifik menyebabkan biaya impor menjadi lebih tinggi, sehingga
menggeser kurva ED paralel ke bawah dengan jarak vertikal sebesar tarif menjadi Q
qp
Negara Eksportir Pasar Dunia
Negara Importir
18
ES
ED S
B
D
B
D
A
S
A
Pw Pw’+t
Pw’
P P
P
Q Q
t a
c 4
3 2
1
qc q’c q’p
Q’e Qe
Qp Q’p Q’c
Qc
ED-t
e d
b
ED-t. Akibatnya, harga dunia turun menjadi Pw‘, sedangkan harga yang diterima oleh konsumen di negara importir menjadi Pw‘+t, dimana pada harga ini jumlah
barang yang harus diimpor turun menjadi qc‘-qp‘. Sebaliknya di negara eksportir, dengan harga Pw‘, kelebihan penawaran turun menjadi Qp‘-Qc‘ yang besarnya
sama dengan qc‘-qp‘ atau jumlah keseimbangan baru pada pasar dunia adalah qe‘.
Dari uraian diatas jelas bahwa pemberlakuan tarif impor terhadap suatu produk menyebabkan kenaikan harga produk di negara importi, penurunan
konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor serta adanya penerimaan pemerintah yang berasal dari tarif. Sementara di negara eksportir
terjadi penurunan harga sehingga meyebabkan berkurangnya volume ekspor.
Sumber: Tweeten 1992
Gambar 7. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Terhadap Suatu Produk
Non Tariff Barrier NTB
Secara umum definisi hambatan non tarif atau NTB mengacu pada berbagai intervensi kebijakan selain tarif yang pada akhirnya mempengaruhi dan
mendistorsi perdagangan barang., jasa dan faktor-faktor produksi Beghin, 2006. Bentuk umum dari NTB dapat berupa aturan perdagangan spesifik di pasar
domestik dan kebiajakan khusus seperti kuota impor, sukarela pembatasan ekspor voluntary export rastraints, pembatasan intervensi negara trading, subsidi ekspor,
countervailing duty, hambatan teknis perdagangan, kebijakan sanitary dan phytosanitary SPS, aturan asal, dan skema kebutuhan konten domestik.
Klasifikasi atau taksonomi dari NTB, selain berasal dari jenis spesifik NTB juga termasuk kebijakan makro yang dapat mempengaruhi perdagangan.
Menurut Deardoff dan Stern 1998 mengusulkan taksonomi NTB terdiri dari lima jenis. Jenis pertama meliputi NTB yang sifatnya kuantitatif seperti impor kuota
dan hambatan administrasinya perizinan, pelelangan dan lainnya; batasan ekspor dan larangan impor; pembatasan ekspor sukarela, batas maksimal impor tetapi
Q
qp
Negara Importir a
Pasar Dunia b
Negara Eksportir c
19 dikelola oleh eksportir; kontrol devisa yang berdasrkan lisensi; embargo; konten
domestik dan persyaratan pencampuran konten yang memaksa penggunaan komponen lokal dalam produk akhir; diskriminasi perjanjian perdagangan dan
aturan asal dan countertrade.
Jenis kedua mencakup biaya selain tarif dan kebijakan terkait yang dapat mempengaruhi impor. Kategori ini meliputi pungutan yang dibebankan saat harga
mencapai batas ambang atau acuan tertentu; persyaratan deposito awal pada impor, anti dumping dan countervailing duty yang dikenakan pada barang masuk yang
diduga diekspor dibawah biaya atau dengan bantuan subsidi ekspor yang diberikan oleh pemerintah mitra.
Jenis ketiga cakupannya lebih luas, meliputi semua berbagi bentuk kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan makro ekonomi. Kategori misalnya
dalam bentuk partisipasi langsung pemerintah dalam perdagangan melalui institusinya dan dukungan negara pada bentuk aktivitas monopoli dan monopsoni;
kebijakan pemerintah untuk pengadaan barang dengan preferensi domestik, dan kebijakan yang pro perusahaan dalam negeri yang terkait subsidi dan bantuan.
Kebijakan lainnya yang masuk jenis ini adalah nilai tukar, kebijakan persaingan, kebijakan investasi asing langsung, kebijakan perpajakan nasional dan kebijakan
jaminan sosial nasional, kebijakan imigrasi.
Dua kategori terakhir terkait dengan prosedur kepabeanan dan administrasi, dan hambatan teksnis perdagangan atau technical barriers ti trade TBT, yang
menjadi isu sentral dalam taksonomi NTB. Jenis pertama meliputi metode penilaian kepabeanan yang berbeda dengan penilaian impor yang sebenarnya;
klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem klasifikasi internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan; dan prosedur custom clearance, seperti
pemeriksaan dan dokumentasi yang menciptakan biaya tambahan. Sedangkan hambatan teknis untuk perdagangan atau dikenal sebagai TBT berkaitan dengan
kesehatan, sanitasi, perlindungan hewan, dan peraturan lingkungan, standar mutu, keselamatan dan standar industri, kemasan dan peraturan pelabelan dan media
lainperaturan periklanan.
Perdagangan Internasional Minyak Sawit
Pada sistem ekonomi terbuka, perdagangan internasional akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang melakukannya. Dengan adanya
perdagangan internasional yang mengarah pada perdagangan bebas akan mendorong peningkatan permintaan, peningkatan produksi dan pemakaian
sumberdaya yang efisien. Dengan asumsi “the law of diminishing return“ dan persaingan sempurna, maka suatu negara akan mengekspor barang-barang yang
mempunyai keunggulan komparatif dan mengimpor barang yang mempunyai keunggulan komparatif rendah. Suatu negara mengimpor barang karena tidak
mampu menghasilkan barang yang lebih efisien dibandingkan negara lain.
Orientasi ekspor minyak sawit Indonesia cenderung semakin tinggi dengan laju 15,44 persen per tahun yang terlihat sejak era reformasi tahun 1998. Dimana
pada tahun 1979 sampai 1997 proporsi ekspor CPO domestik hanya sebesar 40 persen dari total produksi sedangkan setelah masa reformasi proporsi ekspor telah
mencapai 63 persen dari total penawaran CPO domestik. Pertumbuhan ekspor CPO Indonesia tersebut dipengaruhi oleh faktor permintaan CPO di pasar dunia,
20 perkembangan produksi dan pasar CPO domestik dan pengaruh daya saing
competetiveness CPO Indonesia Obado, Syaukat dan Siregar, 2009. Ini berarti minyak sawit Indonesia terkait erat dengan sub sistem hulu areal dan produksi
CPO, perdagangan dan ekspor hingga industri hilir.
Selain itu peningkatan ekspor CPO Indonesia tidak terlepas dari meningkatnya permintaan CPO di pasar internasional karena CPO memiliki peran
yang semakin besar di pasar internasional untuk memenuhi permintaan oil dan fat dunia Basiron, 2002. Pasquali 1993 memproyeksikan tingkat pertumbuhan
CPO lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Ini terbukti pada tahun 2010 proporsi konsumsi minyak sawit telah mengungguli minyak kedele di
pasar dunia dengan pangsa masing-masing 28,01 persen dan 23.77 persen Oil World, 2010. Laju konsumsi minyak sawit relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan minyak kedele dalam kurun waktu 1995 – 2002. Pada tahun 2020 diperkirakan konsumsi minyak sawit dunia diperkirakan akan mencapai 67 juta
ton dengan pangsa 45 persen dari total edible oil dunia Oil World, 2010. Disamping itu peningkatan jumlah penduduk dan permintaan negara-negara di
dunia yang mulai menggunakan komoditas minyak sawit untuk biodiesel ikut mempengaruhi tingginya permintaan CPO dunia sehingga akan mengakibatkan
peningkatan harga CPO yang tajam di pasar dunia.
Faktor ekonomi eksternal pada sistem ekonomi terbuka sangat mempengaruhi keuntungan produsen minyak sawit, sehingga ketidakstabilan
harga internasional mempunyai kontribusi yang paling besar terhadap ketidakstabilan penerimaan ekspor hasil pertanian dibandingkan dengan
ketidakstabilan permintaan dan penawaran ekspor hasil-hasil pertanian Simatupang, 1984.
Untuk mengatasi ketidakstabilan penerimaan ekspor non-migas maka kebijakan nilai tukar efektif sangat diperlukan. Nasution 1998; 1990, Pangestu
1988, dan Tambunan 1989 menyatakan bahwa strategi peningkatan ekspor ekspor non-migas memerlukan kebijakan moneter dan perdagangan dalam bentuk
nilai tukar efektif untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi. Perdagangan internasional Indonesia telah menimbulkan terms of trade yang merugikan bagi
kesejahteraan domestik, karena seluruh komoditas ekspor non migas dinyatakan dalam bentuk US Dollar. Hal ini akan merugikan pada saat nilai US Dolar
melemah terhadap nilai mata uang lainnya. Devaluasi akan meningkatkan ekspor sedangkan ekspansi moneter cenderung menurunkan ekspor.
Situasi pasar internasional minyak sawit ditandai dengan pertumbuhan produksi yang lebih cepat dibanding konsumsi dan juga pertumbuhan ekspor
lebih tinggi dibanding impor. Implikasinya adalah munculnya situasi yang semakin kompetitif antar negara-negara eksportir. Dalam situasi kompetitif
tersebut ternyata minyak sawit Indonesia memiliki peluang untuk berkembang. Hal ini didukung oleh adanya keunggulan komparatif Indonesia dan pasar yang
sedang tumbuh.
Di pasar internasional, saat ini pangsa minyak sawit Indonesia telah mampu mengungguli minyak sawit Malaysia dan sisa dunia di beberapa pasar impor.
Namun minyak sawit Malaysia menggungguli Indonesia di Amerika Serikat, Belanda, Jepang dan Pakistan. Sedangkan minyak sawit Indonesia unggul di pasar
Italia, India, Rusia dan Cina.
21 Dari sisi komoditas, minyak sawit menghadapi persaingan dengan minyak
kedele. Di Italia dan Jerman, minyak sawit Sisa dunia mempunyai potensi menguasai pasar, sedangkan minyak sawit Malaysia mempunyai potensi mengeser
posisi Indonesia di pasar Belanda. Walaupun demikian minyak sawit Indonesia mempunyai mempunyai potensi untuk berkembang, khususnya di Inggris dan
Prancis. Implikasi penting dari penelitian tersebut adalah perlunya strategi peningkatan daya saing minyak sawit Indonesia melalui peningkatan efisiensi
maupun kegiatan pemasaran serta pengaturan sistem distribusi minyak sawit domestik.
Tinjauan Studi Terdahulu
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai perdagangan internasional minyak kelapa sawit dan minyak nabati lainnya serta keterkaitannya
dengan kebijakan domestik. Nyberg 1970 dalam studinya mempelajari permintaan terhadap minyak laurat terdiri dari minyak kelapa dan minyak inti
sawit dengan proporsi minyak kelapa yang lebih banyak di pasar Amerika. Dengan menggunakan data tahun 1952 – 1967 dan metode estimasi Ordinary
Least Square
OLS dan Two Stage Least Square 2-SLS dimana bentuk fungsi yang digunakan adalah double log liniar, diperoleh kesimpulan bahwa elastisitas
permintaan terhadap minyak sawit meningkat sejalan dengan berjalannya waktu. Thiam 1973 mengestimasi elastisitas harga permintaan minyak sawit di
pasar Amerika Utara, MEE dan Jepang. Dengan menggunakan data tahun 1959 – 1969, kesimpulan yang diperoleh dari studi ini adalah elastisitas harga permintaan
minyak sawit untuk negara-negara tersebut sangat elastis dengan koefisien elastisitas -31.4 untuk Amerika, -1.7 untuk Perancis dan Jerman Barat, -14.9
untuk Inggris dan -16.7 untuk Jepang.
Labys 1977 melakukan studi dengan menggunakan data tahun 1955 – 1972 untuk mengestimasi elastisitas harga permintaan minyak sawit di pasar MEE.
Dengan menerapkan pendekatan sistem permintaan diperoleh koefisien elastisitas sebesar -0.80. Hasil studi ini ternyata tidak konsisten dengan kesimpulan yang
diperoleh Nyberg 1970 karena pada 1977 Labys menemukan elastisitas permintaan yang inelastis untuk MEE.
Menurut Griffith dan Meilke 1979 harga berbagai jenis minyak nabati dunia diduga berinteraksi satu sama lain karena adanya penggunaan yang saling
menggantikan substitusi diantara berbagai jenis minyak nabati. Hal yang sama juga diduga terjadi antara minyak nabati dengan minyak bumi, karena
kecenderungan pemanfaatan bahan bakar berbahan baku minyak nabati. Penelitian ekonometrika terhadap minyak nabati tidak mudah untuk dilakukan karena harus
melakukan agregasi terhadap banyak jenis komoditas. Solusi terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan agregasi pada beberapa komoditas yang
pergerakan harganya serupa.
Reed, Ghaffar dan Pagoulatos 1985 menggunakan model ekonometrika kuartalan untuk menerangkan gambaran pasar kedelai, minyak kedele dan minyak
sawit di Amerika Serikat. Hasil estimasi digunakan untuk menentukan dampak jangka pendek dan jangka panjang dari perubahan-perubahan harga minyak sawit
terhadap industri kedele dan minyak kedele. Hasil temuan mereka menyatakan bahwa perubahan minyak sawit memberikan dampak yang sangat kecil terhadap
harga dan permintaan minyak kedele di Amerika Serikat.
22 Menurut Suryana 1986 dalam penelitian mengenai Trade Prospects of
Indonesia Palm Oil In International Markets For Fats and Oils menyatakan
bahwa untuk pasar Amerika Serikat, ekspor mempunyai elastisitas harga yang elastis 1.46, minyak kelapa sawit bersifat komplementer dengan minyak kelapa
dan mimyak kedelai serta merupakan barang normal 4.2, untuk pasar MEE, harga bersifat inelastis dan terhadap minyak kelapa dan minyak kedelai bersifat
komplemen -0.25 dan –0.03 dan minyak kelapa sawit merupakan barang normal 0.96, untuk pasar jepang menunjukkan gejala yang sama yaitu bersifat inelastis
dan berkomplemen dengan minyak kelapa dan minyak kedelai dan untuk pasar Malaysia juga sama yaitu bersifat inelastis dan berkomplemen dengan minyak
kelapa begitu pula dengan Indonesia Jadi dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia bersifat komplemen dengan minyak kedelai
dan kelapa di Amerika Serikat, MEE, Jepang dan Malaysia, selain itu elastisitas harga bersifat inelastis dan merupakan barang normal.
Menurut Susilowati 1989 dalam penelitiannya tentang Pasar Minyak Kelapa Sawit Dunia dan kaitannya dengan Ekspor Minyak Kelapa Sawit
Indonesia menyatakan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mempunyai elastisitas harga yang elastis dan hubungan dengan minyak kelapa sawit Malaysia
saling bersubsitusi. Untuk penawaran ekspor Malaysia mempunyai elastisitas harga yang inelastis dan minyak kelapa sawit Malaysia dan Indonesia bersifat
komplemen. Untuk permintaan minyak kelapa sawit dalam negeri Indonesia memperlihatkan bahwa minyak kelapa sawit bersubsitusi dengan minyak kelapa
dan merupakan barang normal, untuk ekspor ke pasar Amerika, harga bersifat inelastis, barang normal, dan dengan minyak kelapa dan kedelai bersifat substitusi,
untuk ekspor ke Jepang, memiliki elastisitas harga yang inelastis bersubstitusi dengan minyak kedelai, dan barang normal, dan untuk pasar MEE, elastisitas
harga yang inelastis, barang normal, bersubstitusi dengan minyak kedelai dan komplemen dengan minyak rapeseed.
Manurung 1993, menyusun suatu model ekonometrika kelapa sawit Indonesia dan selanjutnya digunakan untuk mengetahui dampak dari suatu
kebijakan dengan cara simulasi. Dari model ekspor minyak sawit Indonesia diketahui bahwa ekspektasi ekspor minyak sawit Indonesia sangat responsif
terhadap perubahan kondisi perekonomian, teknologi dan peraturan kelembagaan. Devaluasi lebih efektif meningkatkan ekspor minyak sawit ke Eropa dibandingkan
perubahan harga ekspor. Oleh sebab itu kebijakan moneter khususnya perubahan nilai tukar valuta asing dan tingkat bunga sangat efektif mempengaruhi ekspor
minyak sawit ke wilayah Eropa.
Berdasarkan hasil simulasi, dapat diketahui bahwa kebijakan deregulasi perdagangan akan meningkatkan jumlah produksi dan ekspor minyak sawit
Indonesia. Apabila harga minyak sawit di Roterdam naik maka harga minyak sawit di dalam negeri juga akan naik. Disamping itu, kebijakan deregulasi juga
meningkatkan impor minyak sawit, karena kenaikan jumlah konsumsi dan ekspor tidak dapat diimbangi oleh peningkatan jumlah produksi. Kebijakan deregulasi
berdampak positif terhadap ekspor dan impor minyak sawit dunia atau meningkatkan volume perdagangan minyak sawit dunia.
Kebijakan pajak ekspor akan menurunkan produksi minyak sawit domestik dan juga menurunkan harga ekspor. Dengan menurunnya harga ekspor maka
jumlah ekspor minyak sawit Indonesia juga akan menurun. Tetapi laju penurunan
23 ekspor lebih tinggi dari laju penurunan produksi, sehingga impor minyak sawit
Indonesia akan naik. Berdasarkan simulasi yang dilakukan maka implikasinya terhadap kebijakan
perkelapasawitan nasional adalah 1 kebijakan penurunan tingkat suku bunga pasar uang sangat diperlukan untuk meningkatkan aktifitas produksi dan
perdagangan internasional; 2 kebijakan devaluasi nilai tukar asing tidak perlu dilakukan karena kebijakan tersebut akan menurunkan insentif produksi dan
konsumsi minyak sawit, dan kebijakan nilai tukar lebih baik diserahkan pada mekanisme pasar; 3 kebijakan deregulasi perdagangan minyak sawit harus
diikuti oleh kebijakan pembebasan impor, karena pembebasan impor akan meningkatkan jumlah penawaran domestik dan sekaligus meningkatkan produksi
minyak goreng; 4 kebijakan penurunan 5 persen pajak ekspor akan meningkatkan surplus devisa dan memperbaiki posisi neraca perdagangan dan
peningkatkan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia; 5 kebijakan penghapusan subsidi harga pupuk sudah relevan dilakukan, karena peningkatan
harga pupuk 60 persen akan meningkatkan efisiensi produksi dan konsumsi; 6 untuk mempengaruhi harga internasional minyak sawit, Indonesia dan Malaysia
perlu mengadakan kerjasama dalam bentuk manajemen industri pengolahan minyak sawit menjadi komoditi konsumsi akhir sehingga total ekspor minyak
sawit dunia berkurang.
Menurut penelitian Purwanto 1997 mengenai permintaan dan penawaran minyak kelapa sawit Indonesia, bahwa impor minyak kelapa sawit Indonesia
mempunyai elastisitas harga yang inelastis. Minyak kelapa sawit bersifat substitusi, ekspor minyak kelapa sawit dipengaruhi secara positif oleh harga
ekspor CPO dan mempunyai elastisitas harga yang inelastis terhadap pasar dalam negeri.
Pada
penelitian Susila,
et al., 1997 mengenai Model Domestik Ekonomi
minyak kelapa sawit mentah, memberikan beberapa kesimpulan yaitu harga CPO dunia dipengaruhi oleh stok CPO, harga CPO dengan lag satu dan lag lima tahun
sebelumnya, konsumsi tahun sebelumnya serta harga minyak nabati lainnya, untuk ekspor Malaysia dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar dan volume
sedangkan impor dipengaruhi oleh stok, jumlah penduduk, harga CPO dunia dan nilai tukar, untuk minyak kelapa sawit Indonesia disimpulkan bahwa ekspor
banyak dipengaruhi oleh stok sesuai dengan kebijakan pengamanan konsumsi dalam negeri, sedangkan impor minyak goreng juga banyak dipengaruhi oleh stok
dan waktu untuk pengamanan komsumsi dalam negeri. Untuk Masyarakat Ekonomi Eropa terlihat bahwa ekspor lebih sebagai penyangga dan impor banyak
ditentukan oleh harga CPO, nilai tukar, harga minyak kacang tanah dan jumlah penduduk. Impor China juga dipengaruhi oleh harga CPO, harga minyak nabati
lain dan dan konsumsi periode sebelumnya dan untuk Pakistan, konsumsi minyak nabati dipengaruhi oleh pendapatan dan jumlah penduduk sedangkan impor
dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan tingkat pendapat.
Menurut Zulkifli 2000 dalam penelitiannya mengenai Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan
Perdagangan Minyak Sawit Dunia menggunakan tiga jenis minyak nabati minyak kelapa sawit kasar CPO, minyak inti kelapa sawit dan minyak kedelai. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa ekspor CPO Indonesia dan Malaysia inelastis dan lamban merespon perubahan harga yang terjadi time lag dan hanya
24 dipengaruhi oleh tingkat produksi CPO. Ekspor CPO Papua New Guinea
dipengaruhi oleh tingkat produksi dan nilai tukar, meskipun tidak respon terhadap perubahan semua peubah penjelas, sedangkan ekspor CPO Ivory Coast memiliki
respon terhadap perubahan produksi dan harga eskpor CPO. Dari keempat negara tersebut, ekspor Indonesia relatif lebih responsif terhadap perubahan harga ekspor
yang mencerminkan bahwa dari aspek harga, Indonesia menpunyai daya saing yang lebih baik, dalam jangka pendek respon impor CPO terhadap perubahan
harga impor inelastis di semua negara importir. Amerika Serikat dan belanja relatif lebih responsif terhadap perubahan harga impor dibandingkan negara
importir lainnya, dalam jangka panjang respon impor Jepang dan Amerika Serikat elastis terhadap perubahan harga impor.
Dalam penelitian Purwanto 2002 mengenai Dampak kebijakan Domestik dan Faktor Eksternal terhadap perdagangan Dunia Minyak Nabati memasukkan
empat jenis minyak nabati minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak biji bunga matahari dan minyak kelapa menyatakan bahwa perilaku ekspor minyak
sawit Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan produksi dan pajak ekspor sedangkan perilaku ekspor minyak kelapa sawit Malaysia sangat dipengaruhi oleh
produksi dan stok minyak kelapa sawit. Perilaku impor minyak kelapa sawit di Cina, Pakistan dan Jepang menunjukkan respon yang elastis terhadap konsumsi
dan inelastis terhadap harga dunia minyak kelapa sawit, respon negatif terhadap kenaikan harga inpor dan positif terhadap kenaikan pendapatan. Perilaku harga
dunia minyak kelapa sawit menunjukkan respon negatif terhadap kenaikan ekspor dan positif terhadap impor. Hubungan minyak kelapa sawit dengan minyak
kedelai dan minyak minyak biji matahari bersifat substitusi dan minyak kelapa bersifat komplemen. Pengaruh harga dunia minyak kelapa sawit terhadap harga
ekspor, impor dan harga domestik masing-masing eksportir utama dan importir utama pada umumnya juga positif dan inelastis. Dampak kebijakan domestik
Indonesia menunjukkan bahwa ekspor, luas areal dan produktifitas minyak kelapa sawit lebih respon terhadap kebijakan pajak ekspor dan harga domestik. Dampak
faktor eksternal menunjukkan bahwa kenaikan produksi minyak kelapa sawit Malaysia dan kebijakan domestik Indonesia menyebabkan peningkatan tajam
ekspor minyak kelapa sawit dan menurunkan harga dunia minyak kelapa dan minyak biji matahari menyebabkan penurunan harga dunia, ekspor dan impor
yang tidak terlalu besar. Khamis
et al. 2003 mengenai Permodelan Harga Minyak Sayuran
Menggunakan Analisis Regresi Linier Berganda menyatakan bahwa harga minyak kelapa sawit dipengaruhi secara positif oleh minyak kedelai dan minyak minyak
inti kelapa sawit namun secara negatif oleh minyak kelapa, dalam permodelan masih dijumpai masalah multikolinearitas yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan imbal balik dalam pembentukan harga keempat minyak.
Drajat, Suprihatini, Herman dan Anwar 2005 dalam penelitiannya mengenai Dampak Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada Kinerja Komoditas
Perkebunan, memberikan informasi penting tentang posisi dan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional dikaitkan dengan situasi pasar domestik.
Analisis yang digunakan adalah pendekatan pangsa pasar market share approach, yakni dengan menerapkan Partial Adjusment Model atau Adaptive Model. Kedua
model tersebut digunakan untuk menganalisis 1 respon harga dan 2 tingkat akselerasi. Dari respon harga diperoleh parameter elastisitas harga minyak sawit
25 Indonesia sebagai akibat dari adanya perubahan rasio harga minyak sawit dari
negara lain atau terhadap perubahan harga minyak kedele di negara importir. Sedangkan analisis akselerasi dapat diketahui seberapa cepat penyesuaian yang
dapat dilakukan Indonesia dalam mengantisipasi perubahan harga minyak sawit di negara importir.
Yu
et al. 2006 dalam kajiannya mengenai keterkaitan antara harga
minyak nabati dengan minyak bumi dengan menggunakan data mingguan dari Januari 1999 sampai Maret 2006 menggunakan teknik kointegrasi multivariat
menyimpulkan bahwa kejutan harga minyak bumi tidak berpengaruh signifikan pada variasi dari harga minyak nabati. Sementara itu Hameed dan Arshad 2008
menggunakan metode Johansen Cointegration dan Granger Causality, menyimpulkan bahwa harga minyak bumi memberikan pengaruh terhadap harga
minyak nabati. Helbling
et al. 2008 menyatakan bahwa selain diakibatkan oleh faktor
spesifik dari setiap komoditas, yaitu resiko geopolitik, kondisi iklim dan cuaca serta kegagalan panen, peningkatan harga juga diakibatkan oleh faktor penawaran
dan permintaan yang saling mempengaruhi. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh pada peningkatan harga komoditas adalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi telah mendorong permintaan akan berbagai komoditas. Biofuel
telah mendorong permintaan akan berbagai tanaman pangan yang dapat dikonversi menjadi biofuel, respon penawaran yang lambat, keterkaitan diantara
berbagai komoditas dan tingkat suku bunga yang rendah dan apresiasi nilai US Dollar.
Dewi dan Fatimah 2009 melakukan penelitian mengenai dampak permintaan biodiesel dari kelapa sawit Malaysia dengan menggunakan
pendekatan ekonometrik. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa beberapa tahun terakhir dengan mempertimbangkan keamanan pasokan energi dan kepedulian
lingkungan telah meningkatkan minat untuk pemakaian sumber energi terbarukan. Elemen sistem yang dimasukkan ke dalam model adalah pasokan, permintaan
domestik, permintaan ekspor, harga dunia, harga domestik dan saham. Hasil penelitiaan menunjukkan model secara umum mampu memperlihatkan keterkaitan
antar variabel yang ada dalam sistem dan dapat digunakan untuk mempelajari efek perubahan dalam satu lebih peubah pada sistem model.
Efendi,
et al. 2010 dalam penelitiannya mengenai Analisis Harga
Minyak Sawit, Tinjauan Kointegrasi Harga Minyak Nabati dan Minyak Bumi menggunakan prosedur Vektor Error Correction Model VECM dengan data
yang digunakan merupakan data bulanan pada periode Januari 1980 sampai Desember 2008, yaitu data harga dari tiga jenis minyak nabati yang paling banyak
diproduksi di dunia meliputi minyak kelapa sawit, minyak kedelai dan minyak rapeseed. Selain itu dimasukkan ke dalam sistem yang diamati adalah harga
minyak bumi. Hal ini untuk mengkaji pengaruh harga minyak bumi pada minyak nabati dalam pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel. Untuk
mengetahui dinamika yang terjadi pada periode peningkatan harga komoditas, maka kajian dilakukan terhadap periode sebelum peningkatan harga komoditas
1980 – 2003 dan pada periode peningkatan harga komoditas 2004 – 2008. Hasil penelitian menunjukkan adanya kointegrasi jangka panjang di antara minyak
nabati dan minyak bumi, dan minyak bumi memberikan pengaruh kuat pada minyak nabati terutama pada periode peningkatan harga komoditas.
26 Purba dan Hartoyo 2010 dalam penelitiannya mengenai Dampak Kenaikan
Harga Minyak Bumi terhadap Permintaan CPO untuk Biodiesel dan Beberapa Aspek Industri Kelapa Sawit Indonesia, memberikan informasi bahwa terdapat
korelasi yang kuat antara kenaikan harga minyak bumi dengan harga CPO dunia. Kenaikan harga minyak bumi mempengaruhi kenaikan harga CPO dunia. CPO
merupakan salah satu bahan baku biodiesel, sehingga untuk meningkatkan produksi biodiesel, permintaan CPO meningkat. Akibatnya harga ekspor CPO dan
harga domestik CPO Indonesia juga meningkat. Kenaikan ekspor CPO mendorong kenaikan produksi CPO domestik. Tetapi, presentase kenaikan
produksi CPO lebih kecil dibandingkan dengan persentase kenaikan ekspor, sehingga ketersediaan CPO domestik menurun. Penurunan penawaran CPO yang
disertai dengan peningkatan harga CPO menyebabkan permintaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng menurun. Akibatnya produksi minyak goreng
menurun secara nyata.
Tung Chen,
et al. 2010 dalam penelitiannya The Relationship between
the Oil Price and Global Food Prices – Cointegration Approach menyimpulkan
bahwa 1 dengan menggunakan metode Engle-Granger Cointegration Test diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara minyak kelapa sawit dan
minyak bumi pada jangka panjang dan dengan menggunakan metode Error Correction Model
ECM diketahui bahwa antara harga minyak kelapa sawit dan harga minyak bumi memiliki korelasi postif.
Szulczyk dan McCarl 2010 melakukan penelitian tentang penetrasi pasar biodiesel. Penelitian ini menguji secara rinci teknologi dan ekonomi dari
penggantian minyak solar dengan biodiesel. Penelitian membahas tiga hal, yaitu 1 manfaat biodiesel dan teknis skala besar implementasi, 2 kemungkinan
produksi biodiesel dari minyak kedelai, minyak jagung, lemak hewani dan kuning lemak yang merupakan sumber bahan baku terbesar di Amerika Serikat.
Memeriksa secara rinci kemungkinan produksi untuk mengidentifikasi tingkat perubahan teknologi, biaya produksi, produk sampingan dan gas rumah kaca.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa harga solar berdampak ekspansif terhadap industri biodiesel. Semakin tinggi harga solar, biodiesel lebih dihasilkan.
Penetrasi pasar biodiesel adalah 9 persen pada tahun 2030 dengan harga solar USD 4 per galon dengan sumber bahan baku dominan dari jagung dan minyak
kedelai. Subsidi pemerintah Amerika Serikat pada biofuel berdampak ekspansif terhadap produksi biodiesel dengan penetrasi pasar minimal 3 persen.
Sulistyanto 2011 melakukan penelitian dengan judul Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Ekspor Minyak Sawit Mentah Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis yang mempengaruhi kinerja ekspor minyak sawit mentah. Alat analisis utama adalah regresi berganda dengan data 38 tahun. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak optimal dalam mendukung ekspor minyak sawit mentah, sementara pembiayaan ekspor
merupakan faktor yang penting dimana faktor lain adalah harga minyak sawit di pasar dunia. Harga minyak bunga matahari dan kedelai memiliki pengaruh positif
terhadap ekspor minyak sawit mentah. Peubah yang tidak memiliki pengaruh adalah harga minyak mentah dalam negeri, konsumsi, volume produksi minyak
mentah, nilai tukar, PDB perkapita dan kebijakan pemerintah.
Purba 2012, menyatakan bahwa ekspor CPO Indonesia tidak elastis terhadap perubahan produksi CPO Indonesia dalam jangka pendek namun elastis
27 dalam jangka panjang. Jika produksi CPO naik 10 persen, maka ekspor CPO naik
7.01 persen pada jangka pendek dan naik 12.44 persen pada jangka panjang. Pajak ekspor menurunkan ekspor CPO Indonesia. Nilai tukar Rupiah terhadap USD
berpengaruh positif terhadap ekspor CPO Indonesia
Drajat dan Andrianto 2013 melakukan penelitian dengan judul Menuju Kebijakan Bea Keluar CPO yang Lebih Proposional. Menurut penelitian ini
penerapan bea keluar BK memunculkan pro dan kontra bagi pelaku industri hulu kelapa sawit. BK dipercaya menguntungkan industri hilir tetapi merugikan
industri hulu yang memproduksi tandan buah segar TBS dan minyak sawit mentah CPO. Daya saing CPO Indonesia melemah dan marjin yang diterima
produsen juga turun. Dengan menggunakan metode analisis Revealed Comparative Advantage
RCA, BK progresif dianggap mempengaruhi daya saing CPO. Sedangkan dengan menggunakan analisis marjin perusahaan kelapa
sawit, BK progresif dapat dianggap menimbulkan distribusi marjin pendapatan negara, biaya dan profit perusahaan tidak proporsional. Untuk mencegah
penurunan daya saing dan ketimpangan marjin, BK diusulkan flat 5 persen. BK flat juga tidak mempengaruhi pasokan bahan baku industri hilir sawit dalam
negeri mengingat produksi CPO berlebih dengan kelebihan lebih dari dua kali kebutuhan sawit domestik serta memudahkan perencanaan.
Munandar, et al., 2013 melakukan penelitian dengan judul Analisis Daya Saing Minyak Sawit Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah Revealed
Comparative Advantage RCA, Revealed Symetric Comparative Advantage
RSCA dan Trade Specialization Ratio TSR. Berdasarkan hasil analisis RCA minyak sawit mentah Indonesia lebih berdaya saing dibandingkan minyak sawit
Malaysia di negara China, Pakistan dan India. Berdasarakan nilai RSCA produk minyak sawit Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia di negara Cina, Pakistan
dan India. Berdasarkan analisis TSR Indonesia menuju kekhususan dalam ekspor minyak sawit mentah dan produk olahannya. Gambaran ini mengindikasikan
bahwa produksi produk olahan sawit di Indonesia ada kemungkinan berkembang dan mendorong kinerja ekspor menuju negara eksportir produk olahan disamping
minyak sawit mentah. Yoyo,
et al . 2013 melakukan penelitian dengan judul Analisis
Kesenjangan Industri Asam Lemak dan Alkohol Lemak Berbasis Minyak Kelapa Sawit di Indonesia dan Proyeksi Produksi dan Konsumsinya. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis kesenjangan antara kondisi aktual dengan kondisi seharusnya ideal di masa depan industri asam lemak dan alkohol lemak berbasis
minyak sawit di Indonesia, menggunakan kerangka penilaian daya saing International Institute for Management Development
IMD dan World Economic Forum
WEF. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan model yang lebih baik dalam memproyeksikan jumlah produksi dan konsumsi asam lemak dan
alkohol lemak berbasis minyak sawit di Indonesia 2013 – 2022. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan paling besar berdasarkan
kerangka penilaian daya saing IMD adalah kelompok efisiensi pemerintahan dan berdasarkan kerangka penilaian daya saing WEF adalah kelompok persyaratan
dasar. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bahwa proyeksi produksi asam lemak di Indonesia lebih baik menggunakan model eksponensial, sedangkan
proyeksi produksi alkohol lemak di Indonesia sebaiknya menggunakan metode dekomposisi. Adapun proyeksi konsumsi asam lemak oleh industri-industri
28 penggunanya di Indonesia lebih baik menggunakan model eksponensial atau
dekomposisi, sedangkan proyeksi konsumsi alkohol lemak di Indonesia lebih baik menggunakan model eksponensial.
Penelitian ini memiliki persamaan dengan beberapa penelitian terdahulu yaitu meneliti komoditas minyak sawit dengan berbagai dampak kebijakan
ekonomi pajak, nilai tukar, ekspor, produksi dan lainya dengan menggunakan pendekatan ekonometrika. Namun perbedaannya adalah penelitiannya mencoba
menganalisis kebijakan ekonomi pada komoditas minyak sawit dan produk turunannya untuk peningkatan volume ekspor ke pasar Amerika Serikat sebagai
target pasar baru diversifikasi pasar
29