dalamnya sehingga gel-gel yang tersisa di dalam sumuran dapat keluar. Setiap sumuran diisi dengan 10 µl campuran sampel protein dan sampel buffer yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Selain sampel digunakan juga marker protein sebagai penanda. Marker protein yang digunakan mempunyai berat molekul 25 sampai 225
kDa. Visualisasi berat molekul protein antigen dilakukan dengan perangkat elektroforesisi yang dihubungkan ke arus listrik pada tegangan 100 volt dengan arus
50 mA selama kurang lebih 3 jam sampai sampel buffer terlihat pada bagian bawah gel kurang lebih 1 cm di atas batas bawah gel. Elektroforesis dilakukan pada
kondisi suhu 4
o
C. Setelah elektroforesis berakhir, gel diangkat dari lempeng kaca dan direndam di dalam pewarnaan Commasie Brilliant Blue selama 30 menit pada suhu
ruang sambil diagitasi perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel pada larutan pemucat metanol dan asam asetat sehingga gel
berwarna bening atau pita-pita protein telah terlihat jelas. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein dari garis awal gel pemisah
dengan jarak migrasi pewarna, atau dibandingkan terhadap pewarna marker.
8. Uji Patogenitas dan Imunitas dengan Hewan Model Mencit
Hewan model yang digunakan adalah mencit betina jenis Balb-C, berumur 8 minggu dengan bobot badan kira-kira 50 gram. Sebanyak 12 ekor mencit dibagi
dalam 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok vaksin V diberi SGB Hn
+
iradiasi, kelompok vaksin dan tantang VT diberi vaksin SGB Hn
+
iradiasi lalu ditantang dengan SGB Hn
+
tanpa iradiasi; kelompok tantang T diinfeksi dengan SGB Hn
+
tanpa iradiasi, dan kelompok kontrol K tanpa vaksin dan tanpa tantang. Bakteri yang diberikan mempunyai kepadatan 10
8
cfu ml. Vaksin SGB Hn+ iradiasi diinjeksikan dengan route intraperitoneal dengan dosis 0,3
– 0,4 cc ekor. Vaksin booster
diberikan setelah hari ke 7 dan ke 14, dan tantangan pada hari ke 21 post partus
. Infeksi tantang SGB Hn
+
tanpa iradiasi diberikan melalui parenteral tetes pada 5 pasang putting sebanyak 50 µl mencit. Suspensi bakteri tantangan diteteskan
di atas orificium externa puting susu mencit secara bertahap satu tetes sebanyak 5
µl, kemudian ditunggu hingga terabsorbsi. Nekropsi dilakukan sehari setelah tantangan. Penilaian respon terhadap vaksin yang diberikan, dilakukan dengan
pemeriksaan Histopatologi jaringan kelenjar mamae yang difiksasi formalin dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin HE Kiernan, 1990. Titer antibodi Ig-G
diperiksa dengan teknik Enzyme Linked Immunosorbent Assay secara tak langsung indirect ELISA dari sampel serum darah yang dikoleksi tiap minggu Crowther
2010.
9. Aplikasi Kandidat Vaksin Iradiasi Terpilih pada Kambing Perah
Hewan percobaan yang digunakan sebanyak 6 ekor kambing perah peranakan etawah yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, yaitu 4 ekor untuk kelompok
vaksin V yang diberi SGB Hn+ iradiasi secara subkutan dengan dosis 10
8
cfuml sebanyak 2 ml kambing, dan 2 ekor untuk kelompok kontrol K yaitu hewan normal
yang tidak diberi vaksin SGB. Vaksin diberikan pada masa kering kandang dengan pemberian booster 3 kali prepartus. Pemeriksaan konsentrasi Ig-G dilakukan dengan
teknik ELISA dari serum sampel yang dikoleksi tiap minggu Crowther 2010. Produksi susu postpartus dicatat setiap hari.
10. Rancangan Penelitian
Informasi tentang efektifitas bahan vaksin ini akan dilakukan dengan cara membandingkan kondisi hewan percobaan antara yang hanya divaksin V yang
diberi vaksin dengan tantangan VT, yang diberi tantangan tanpa vaksin T; dan hewan kontrol tanpa vaksin maupun tantangan K. Signifikansi dari efektifitas bahan
vaksin akan ditelusuri dengan membandingkan kelompok perlakuan tersebut menggunakan rancangan acak lengkap RAL. Gambar histopatologi diambil dengan
kamera digital Electronic Eyepiece MD-130
®
menggunakan mikroskop cahaya. Gambar diolah menggunakan software NIH Image-J
®
. Data pengamatan dianalisis
pada analisis ragam ANOVA, post hoc Duncan test menggunakan software SPSS
®
versi 16 untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada p0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.Kejadian Mastitis Subklinis di Daerah Pengambilan Sampel Susu
Sampel susu yang digunakan berasal dari 3 wilayah pada 2 daerah yang berbeda yaitu daerah Bogor dengan wilayah Kawasan Usaha Peternakan Kunak
Cibungbulang dan Garut dengan wilayah Kecamatn Cisurupan dan Kecamatan Bayongbong. Sampel susu dari hewan penderita mastitis subklinis dapat diketahui
dengan CMT California Mastitis Test. Dengan uji ini didapatkan hasil dengan mengamati parameter derajat konsistensi kekentalan dari campuran susu dan reagen
uji yang membentuk materi gelatinous kental. Parameter ini diukur dengan melihat kekentalan yang terjadi untuk positif I akan terbentuk lendir tipis, positif II akan
terbentuk lendir yang lebih kental, dan positif III lendir yang terbentuk sangat kental seperti massa gelatin. CMT bekerja berdasarkan 3 prinsip yaitu jumlah leukosit akan
meningkat drastis saat jaringan mamae mengalami luka atau infeksi, leukosit terutama polymorphonuclear leukosit PMNs mempunyai inti sel yang besar DNA
bila dibandingkan dengan sel lain atau bakteri yang terdapat didalam susu, selain itu penyusun utama dinding sel leukosit adalah lipid lemak. Semakin tebal gel yang
terbentuk di dalam piring uji CMT, maka semakin banyak juga sel darah putih yang terdapat di dalam sampel susu. Peningkatan penebalan dari gel ini menandakan
terdapat peningkatan dalam hal infeksi. Reagen dari CMT merupakan suatu detergen dengan penambahan indikator pH yang menyebabkan terbentuknya warna ungu pada
pencampuran dengan sampel susu. Saat sampel susu dan reagen MT dicampur dengan jumlah yang setara, reagen CMT akan melarutkan dinding sel terluar dan
dinding sel nuklear dari leukosit yang penyusun utamanya adalah lemak, dimana detergen akan melarutkan lemak. Hal ini mengakibatkan DNA lepas dari inti yang
mengarah kepada pembentukan gel oleh sesama DNA ntuk membentuk suatu massa seperti serabut. Seiring dengan penambahan jumlah leukosit pada setiap quarter akan
berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pembentukan gel Ruegg 2005. Hasil dari uji ini pada ketiga wilayah dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Hasil CMT memperlihatkan kekentalan a yang terbentuk akibat pencampuran susu dengan reagen uji.
Berdasarkan hasil uji ini, kejadian mastitis subklinis tertinggi berada pada wilayah Kunak, disusul Cisurupan, dan Bayongbong Tabel 1.
Tabel 1 Kejadian mastitis subklinis pada wilayah Cisurupan, Bayongbong, dan Kunak
Asal sampel Jumlah sampel
Jumlah sampel
positif CMT
Kejadian mastitis
subklinis Cisurupan
97 92
94.84
Bayongbong 77
72 93.50
Kunak 66
66 100
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat kejadian terjadinya mastitis subklinis di ketiga wilayah peternakan ini sangatlah tinggi, dengan presentasi kejadian pada
daerah Cisurupan, Bayongbong dan Kunak, berturut-turut sebesar 94,84, 93,50, 100. Peluang terjadinya mastitis subklinis di peternakan wilayah Kunak adalah
sangat mungkin terjadi atau selalu terjadi. Data ini menggambarkan buruknya kondisi
a