Latar Belakang Streptococcus agalactiae irradiated vaccine candidate for subclinical mastitis prevention in ruminants

4. Streptococcus agalactiae

S. agalactiae merupakan jenis bakteri yang termasuk ke dalam famili Streptococcaceae dari ordo Lactobacillales. Bakteri ini berbentuk bulat coccus dan tersusun seperti rantai yang panjangnya bervariasi, diameter selnya sekitar 0,6-1,2 µm. Sifatnya Gram positif yang terlihat berwarna keunguan pada pewarnaan Gram, non motil, tidak membentuk spora, dan dapat membentuk kapsul. Sifat lainnya adalah katalase negatif, anaerob fakultatif, oksidase negatif, dapat memfermentasikan beberapa jenis karbohidrat namun tidak menghasilkan gas Carter 1984, Quinn et al. 2006. Tahun 1896 Lehman dan Naumann mengklasifikasikan bakteri ini berdasarkan taksonomi sebagai berikut Bruckner and Colonna 1997: Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Lactobacillales Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus Spesies : S. agalactiae Biakan S. agalactiae yang ditumbuhkan pada media agar darah terlihat membentuk koloni-koloni halus, basah, konveks, terang tembus, dan menghemolisis sel darah merah. Hemolisis yang ditimbulkan berupa -hemolisis, dan beberapa tidak menghemolisis Daignault 2003. Strain yang menghemolisis darah hanya mengasilkan zona hemolitik tidak lebih dari 1 mm pada agar darah, sedangkan yang tidak menghemolisis dapat menghasilkan pigmen bewarna kehijauan pada media agar darah. Secara umum Streptococcus sp memiliki antigen terstruktur pada permukaannya seperti kapsul, dinding sel, dan antigen protein. Keberadaan antigen polisakarida pada dinding sel dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian genus Streptococcus sp . kedalam grup-grup. Penentuan grup-grup tersebut berdasarkan serologis dari antigen polisakarida yang ditemukan oleh Lancefield pada 1933. Terdapat sekitar 20 grup Streptococcus sp sampai saat ini yang dinamai sesuai abjad mulai dari A-V; S. agalactiae dikelompokan kedalam grup B oleh Lancefield. Pengelompokan ini didasari oleh substansi C polisakarida spesifik yang terdapat pada diding sel Cowan 2003. Secara serologis Grup ini dikelompokan lagi kedalam serotipe-serotipe. Serotipe tersebut berdasarkan antigen polisakarida dan antigen protein yang dihasilkan. Beberapa serotipe tersebut terdiri dari 9 serotipe yang berbeda antara lain 1a, 1b, II, III, IV, V, VI, VII, VIII dari antigen polisakarida dan c, R dan X berdasarkan antigen proteinnya Henrichsen et al. 1984. Wibawan dan Lammler 1991 menyatakan isolat S. agalactiae dapat memiliki serotipe dengan antigen poliskarida dalam bentuk kombinasi atau hanya berdiri sendiri tanpa antigen protein, misalnya Iac, IIX. Ada juga isolat yang belum bisa diklasifikasikan kedalam serotipe yang ada disebut sebagai nontypeable NT. Antigen protein X dominan ditemukan pada S. agalactiae yang diisolasi dari sapi sedangkan antigen protein R lebih banyak ditemukan pada S. agalactiae yang berasal dari manusia. Kedua antigen ini erat hubungannya dengan patogenitas bakteri terhadap inangnya Wibawan 1990. Wahyuni et al. 2006 menyimpulkan dari beberapa tempat di pulau jawa S. agalactiae yang berasal dari mamae yang menderita masititis subklinis ditemukan sebanyak 52 didominasi oleh S. agalactiae serotipe NT dan protein antigen yang muncul paling banyak adalah antigen protein X. Keberhasilan bakteri melakukan infeksi terhadap sel inangnya ditentukan oleh adanya faktor virulensi. Bakteri akan berpenetrasi dengan menggunakan faktor virulrensi untuk mempengaruhi targetnya. Faktor virulensi yang penting bagi bakteri antara lain adalah kapsul. Kapsul bakteri tersusun oleh asam hyaluronat seperti yang ditemukan pada struktur dasar jaringan ikat pada mamalia. Kapsul polisakarida sebagai antigen permukaan dan asam hyluronat sebagai produk ektraseluler akan meningkatan kemampuan virulensi bakteri Hayati dan Karmil 2009. Terhambatnya kerja komplemen oleh kapsul S. agalactiae akan menghambat aktivitas fagositosis oleh makrofag sehingga tidak dapat menfagosit bakteri. Peranan kapsul juga sebagai antifagositik dan antigen yang tidak imunogenik. Virulensi dari Streptococcus sp dipengaruhi oleh pemukaan sel, sekresi protein yang dihasilkan dan strukturnya yang secara langsung atau tidak langsung dapat menghambat fagositosis, terlibat dalam proses adhesi dan mengakibatkan pelepasan sitokin proinflamasi Timoney and Kumar 2010. Streptococcus juga memiliki komponen nonstruktural seperti protein antigen. Protein tersebut dihasilkan selama masa perkembangbiakan dan membantu selama proses infeksi. Protein ini berupa enzim ekstraseluler hasil metabolisme seperti hemolisin, streptokinase, nuklease, protease, dan hyaluronidase. Hemaglutinin sebagai adhesin pada permukaan bakteri berperan mempengaruhi tingkat virulensi Wahyuni dkk. 2005. Adhesi adalah kemampuan menempelnya bakteri pada permukaan mukosa yang bersifat irreversibel dan stabil. Kemampuan bakteri untuk menempel adhesi pada sel inang diperantarai oleh komponen adesin bakteri yang membantu perlekatan bakteri pada reseptor spesifik dari sel inang. Sifat hidrofobitas permukaan bakteri berperan dalam mekanisme perlekatan dengan sel inang. Sifat ini dipengaruhi oleh jumlah protein permukaan. Semakin hidrofobik permukaan sel maka akan semakin tinggi kemampuan adhesi pada sel inang Lämmler et al. 1998. Derajat hidrofobitas permukaan S. agalactiae dapat ditentukan secara langsung dengan melihat pertumbuhan koloni pada media padat, cair dan agar lunak soft agar. Koloni yang tumbuh dengan permukaan yang kasar pada media agar dan kompak pada agar lunak merupakan bakteri yang bersifat hidrofob, sedangkan bakteri yang tumbuh difus pada media agar lunak dan permukaan mukoid pada media padat menunjukan sifat yang hidrofil Wibawan dan Lämmler 1992. Hasil kajian Wibawan et al. 1993 menyebutkan bahwa S. agalactiae yang memilki hemaglutinin mempunyai kamampuan adhesi yang lebih besar daripada yang tidak mempunyai hemaglutinin pada sel epitel mamae. Kemampuan menempel bakteri tampaknya lebih penting dari pada kemampuan invasi bakteri ke dalam jaringan dalam mekanisme infeksi, sehingga tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan mamae Wibawan et al. 1998. Keberadaan protein hemaglutinin dengan kemampuan adhesi sel bakteri MSK pada sel epitel mamae mencit memiliki keterkaitan, oleh karena itu ada peluang untuk pembuatan suatu produk pencegahan mastitis yang cukup besar Dian dkk. 2010. 5.Sistem Imun Manusia dan hewan multiseluler memiliki suatu sistem imun yang melindungi dirinya terhadap unsur-unsur patogen yang masuk ke dalam tubuh. Respon imun tubuh terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen, dan kemampuan dalam melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjar limfe, thymus, sistem saluran nafas, saluran cerna, peredaran darah dan organ-organ lain. Bila antigen masuk ke dalam tubuh, maka dapat terjadi dua macam reaksi imun yang berlainan, yaitu imun humoral dan imun seluler Baratawijaya dan Rengganis 2009. Dalam reaksi imun humoral terjadi sintesa dan masuknya antibodi berupa Imunoglobulin Ig ke dalam aliran darah dan cairan tubuh lainnya antibodi humoral. Antibodi ini akan mengikat dan menetralisir antigen, misalnya toksin kuman atau dapat membungkus kuman untuk persiapan fagositosis. Bila kita menyuntikkan antigen misalnya vaksin ke tubuh hewan percobaan, maka setelah beberapa hari sampai seminggu dapat ditemukan antibodi di dalam darah. Sel utama dalam hal ini adalah Sel-B yang diproduksi oleh sumsum tulang. Reaksi imun seluler ditengahi oleh sel-sel limfosit dan tidak tergantung pada antibodi. Seri reaksi yang terlibat dalam jenis imunitas ini dikaitkan dengan reaksi-reaksi sel sasaran efektor yang terlibat, terutama yang berkaitan dengan penolakan tumor. Pada masing-masing keadaan ini, antigen berada intraseluler atau karena tempatnya tidak dapat dicapai, sehingga reaksi antigen-antibodi tampak secara relatif tidak efisien. Sel utama yang berperan dalam hal ini adalah Sel-T yang dihasilkan oleh Thymus. Pada masa-masa akhir kebuntingan hewan, antibodi dari darah dapat dikeluarkan dan masuk ke dalam kelenjar mamae berupa kolostrum susu. Imunoglobulin yang