Pemeriksaaan Mastitis Subklinis Secara Langsung
lingkungan, rendahnya tingkat sanitasi perkandangan, dan cara pemerahan mencerminkan higienitas personal yang buruk. Faktor manusia menjadi masalah
utama sehingga hal-hal buruk tersebut dapat terjadi. Tingginya presentasi kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di
ketiga daerah ini dapat dikaitkan dengan kondisi lingkungan dan pengelolaan peternakan diantaranya yaitu sanitasi kandang dan cara pemerahan susu Sori et al.
2005. Sanitasi kandang yang buruk, peralatan yang tidak bersih dan ditambah lagi dengan cara pemerahan susu yang juga tidak bersih kemungkinan besar merupakan
faktor utama penyebab terjadinya mastitis subklinis pada ketiga peternakan sapi perah tersebut.
Hasil pemeriksaan CMT positif yang lebih dari 50 pada penelitian ini menunjukkan masih tingginya kejadian mastitis subklinis. Penelitian intensif Balai
Penelitian Veteriner di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37 sampai 67, sedangkan
mastitis klinis antara 5 sampai 30 Supar 1997. Kasus mastitis terutama mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006, tercatat sekitar 75 - 83
Sudarwanto dkk. 2006. Sebagaimana Indonesia, di negara-negara lainpun kasus mastitis subklinis selalu lebih tinggi dibandingkan mastitis klinis. Kejadian mastitis
subklinis di Polandia sebesar 25,35 sedangkan mastitis klinis hanya 0,41 Hameed et al. 2007. Prevalensi mastitis klinis dan subklinis di Iran berturut-turut
2,2 dan 42,5 Hashemi et al. 2011. Mastitis subklinik adalah mastitis yang tidak menampakkan perubahan fisik pada mamae dan susu yang dihasilkan, tetapi dapat
menurunkan produksi susu, ditemukannya mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan komposisi susu Petrovski and Emanuel, 2006. Hal-hal tersebut di atas
dapat menyebabkan kerugian ekonomis yang cukup besar dalam usaha peternakan sapi perah. Kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh mastitis antara lain: Penurunan
produksi susu perkwartir per hari antara 9 – 45,5 Sudarwanto 1999; Penurunan
kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30 - 40 Sudarwanto dan Sudarnika 2008 dan penurunan kualitas hasil olahan susu Hamman 2005;