BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Petugas TB Paru di Kota Binjai
Karakteristik petugas TB Paru dalam penelitian ini dilihat berdasarkan umur, pendidikan, jenis kelamin, masa kerja dan ada tidaknya pelatihan tentang pengelolaan
program TB Paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 69,44 petugas TB berusia antara 35 – 45 tahun. Kecenderungan usia petugas TB termasuk usia dewasa tua yaitu
lebih dari 35 tahun. Usia ini dapat dimaklumi karena umumnya petugas TB Paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai merupakan petugas kesehatan yang sudah
lama bekerja sebagai PNS di Kota Binjai, dan sejalan dengan pengalaman pekerjaannya di bidang penanggulangan penyakit menular, dan umumnya petugas TB
ada perempuan yaitu 91,67. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa komposisi petugas yang berdedikasi dan dipercayakan sebagai petugas TB adalah perempuan.
Sedangkan berdasarkan pendidikan 63,89 berpendidikan Diploma, dengan latar belakang akademi keperawatan dan analis kesehatan, sehingga secara keilmuan
dasar mempunyai kompetensi untuk penanganan penderita TB dan perawatan pasien TB. Selain itu dilihat dari masa kerja, diketahui 44,44 mempunyai 2-10 tahun,
artinya masa kerja di bagian program TB paru cenderung relatif lama dan memberikan pengalaman dalam penanggulangan TB paru, dan 36,11 petugas TB
paru telah mengikuti pelatihan tentang pelaksanaan program penanggulangan TB
84
Universitas Sumatera Utara
paru, sehingga dinilai mempunyai kompetensi dan ilmu tambahan dalam penanggulangan TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai.
5.2. Kinerja Petugas TB Paru di Kota Binjai
Kinerja dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari hasil kerja petugas TB paru yang dilihat dari aspek perencanaan, pelaksanaan pekerjaan dilapangan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya yang mengacu pada pedoman penanggulangan TB paru. Kinerja petugas TB didasarkan pada skala ordinal dari 16 pertanyaan dengan
komposisi pertanyaan berkaitan dengan pelaksanaan tugas sebagai petugas TB. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa 63,89 petugas TB di Kota Binjai
termasuk kurang. Kurangnya kinerja petugas TB ini dapat dilihat dari minimnya penyusunan perencanaan dan maping tersangka penderita TB Paru dan penderita TB
paru yang sedang menjalani proses pengobatan. Selain itu masih rendahnya kemauan petugas TB paru dalam melakukan penemuan kasus secara aktif, serta pendekatan
terhadap keluarga pasien. Kinerja petugas TB yang baik hanya 36,11. Hal ini dilihat secara umum dari keberhasilan petugas TB dalam pemeriksaan mikroskopis,
pengambilan sputum, dan pemeriksaan rotngen. Selain itu masih ditemukan petugas TB yaitu 52,8 tidak menegakkan diagnosa sesuai dengan alur program
penanggulangan TB Paru, dan masih ada 58,3 kadang-kadang saja melakukan supervisi dengan PMO dalam cakupan pengobatan TB Paru, demikian juga
koordinasi dengan pengelola program TB dari Dinas Kesehatan juga hanya dilakukan
Universitas Sumatera Utara
kadang-kadang saja, sehingga tidak terciptanya komunikasi yang baik dalam melakukan kegiatan-kegiatan penanggulangan TB Paru di wilayah kerjanya.
Seperti diketahui, bahwa hasil kerja petugas TB dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Mangkunegara 2005 terdapat dua kategori dasar yang dapat
memengaruhi kinerja yaitu bersifat internal atau disposisional dan yang bersifat eksternal atau situasional. Faktor internal disposisional yaitu faktor yang
dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, misalnya kinerja seseorang baik disebabkan karena kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan
seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak berusaha untuk memperbaiki
kemampuannya. Faktor eksternal situational yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap
dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Faktor internal dan faktor eksternal ini merupakan jenis-jenis atribusi yang
memengaruhi kinerja seseorang. Jenis-jenis atribusi yang dibuat para karyawan memiki sejumlah akibat psikologis dan berdasarkan kepada tindakan.
Dilihat dari karakteristik petugas TB paru, diketahui 69,44 petugas TB berusia antara 35-45 tahun. Keadaan ini menunjukkan bahwa petugas TB termasuk
dalam golongan usia dewasa muda, sehingga diasumsikan mempunyai dedikasi dan kemauan yang tinggi untuk bekerja sebagai petugas TB, selain itu 63,89 petugas
TB berpendidikan diploma, sehingga secara komposisi pengetahuan dinilai dapat memahami dengan mudah seluruh uraian tugas yang terdapat dalam pedoman
Universitas Sumatera Utara
penanggulangan TB paru, namun secara teknis perlu ada penambahan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan. Akan tetapi data menunjukkan 63,89 petugas
TB belum mengikuti pelatihan tentang pelaksanaan program TB paru sesuai dengan uraian tugasnya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Syamsuarsyah 2006 di Kabupaten Solok dan Solok Selatan menunjukkan bahwa umumnya kinerja petugas
TB termasuk rendah 69,5, dan hasil statistik menunjukkan bahwa komitmen kerja mempunyai pengaruh siginifikan terhadap kinerja, namun dari aspek karakteristik
seperti umur, pendidikan dan masa kerja tidak menunjukkan pengaruhnya terhadap kinerja petugas TB. Dalam penelitian ini karakteristik individu tidak dilakukan
pengujian secara statistik. Kinerja dalam penelitian ini dipengaruhi oleh sikap, koordinasi dan keterampilan petugas TB Paru.
Rendahnya kinerja petugas TB paru di Kota Binjai disebabkan variabel sikap, dimana umumnya petugas TB masih belum memiliki sikap yang baik terhadap
pelaksanaan seluruh uraian tugas-tugasnya sebagai petugas TB paru di Kota Binjai, sehingga berdampak terhadap hasil kerjanya. Lemahnya sikap tersebut terakumulasi
dari keadaan di lapangan yang cenderung belum terkoordinir dengan baik dalam pelaksanaan program penanggulangan TB paru secara teknis. Selain itu masih
rendahnya keterampilan petugas TB paru dalam melaksanakan pekerjaannya di bagian penanggulangan TB paru secara teknis seperti pendataan suspek dan petugas
TB paru.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Asti, dkk 2012 di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Wajo menjelaskan bahwa 52,2 petugas TB mempunyai kinerja kurang dalam melakukan
penemuan kasus TB paru. Kinerja yang kurang pada petugas di puskesmas ini disebabkan oleh berbagai kendala yang dihadapi oleh petugas di lapangan. Salah satu
kendala yang dihadapi adalah petugas P2TB tidak difasilitasi dengan motor dinas, sehingga petugas melakukan penjaringan suspek menggunakan motor sendiri.
Kendala lain yang dihadapi oleh petugas P2TB adalah sebagian masyarakat Kabupaten Wajo mereka merasa malu untuk memeriksakan diri ke puskesmas sebab
mengira penyakit TB paru adalah penyakit kutukan atau guna-guna. Selain itu, tidak semua puskesmas di Kabupaten Wajo yang mampu melakukan pemeriksaan dahak
mikroskopis, sehingga penegakan diagnosis penderita berlangsung lama. Penelitian Afrimelda dan Ekowati 2010 menyatakan bahwa kinerja petugas
P2TB menemukan penderita TB muncul karena petugas telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang penemuan penderita TB. Berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Awusi dkk 2009 yang menunjukkan bahwa pengetahuan tidak memiliki kontribusi dalam menentukan kinerja petugas P2TB.
5.3. Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Petugas TB Paru di Kota Binjai