Dinamika Kebijakan Ballistic Missile Defense dan National Missile

78 Gambar IV.A.3.3. Airborne Laser Project Sumber: Gansler, Ballistic Missile Defense: Past and Future, Center for Technology and National Security Policy, 2010 Gambar IV.A.3.4. AEGISShipborne Aegis Air Defense System Sumber: Gansler, Ballistic Missile Defense: Past and Future, Center for Technology and National Security Policy, 2010 Keberhasilan BMDO dalam mengujicoba seluruh perangkat rudal balistik di masing-masing angkatan bersenjata tentunya cukup meyakinkan publik Amerika Serikat mengenai sistem pertahanan dan keamanan negaranya. Akan tetapi keberhasilan tersebut tidak cukup meyakinkan Kongres Amerika Serikat bahwa BMDO mampu mengantisipasi setiap serangan rudal balistik yang ditujukan ke Amerika Serikat. Setahun setelah ujicoba tersebut yakni pada tahun 1996, Kongres Amerika Serikat kini dikuasai oleh Partai Republik yang cukup 79 kritis jika berbicara mengenai kondisi pertahanan dan keamanan Amerika Serikat Smith 2000: 4-5. Isu yang berkembang pada saat Kongres didominasi oleh Partai Republik adalah mendesak pemerintahan Clinton agar tidak hanya mengembangkan Theater Missile Defense TMD. Akan tetapi Kongres juga menginginkan Presiden Clinton untuk segera mengembangkan serta menempatkan sistem pertahanan rudal nasional yang disebut National Missile Defense NMD di seluruh wilayah negara bagian Amerika Serikat Smith 2000: 4-5. Desakan ini muncul dikarenakan Kongres memprediksi bahwa rogue states memiliki keinginan yang kuat untuk menyerang Amerika Serikat yang disertai peningkatan teknologi rudal balistik bertenaga nuklir. Selain itu aksi terror yang dilakukan para teroris diprediksi akan memicu penggunaan rudal balistik secara ilegal. CIA merilis bahwa negara seperti Kuba, Syria, Korea Utara, Iran, Irak, dan Libya dengan sistem pemerintahan yang otoriter merupakan motif di balik ancaman yang ditujukan kepada Amerika Serikat dan para sekutunya Smith 2000: 5-6. Oleh karena itu Presiden Clinton memutuskan untuk memulai riset dalam mengembangkan proyek NMD pada tahun 1996 Woolf, Kerr, dan Nikitin, 2013: 13. Kondisi ini cukup menggambarkan bahwa kebijakan pertahanan Amerika Serikat dirumuskan berdasarkan intervensi Kongres kepada pemerintah Clinton yang berasal dari Demokrat. Struktur pemerintahan di Kongres dapat dikatakan cukup memiliki pengaruh untuk merombak seluruh kebijakan pertahanan Amerika Serikat yang dipimpin oleh Presiden Clinton, termasuk dalam mendesak pengembangan NMD. Desakan Kongres kepada Presiden Clinton untuk 80 mengembangkan NMD dapat dikatakan sebagai pintu masuk untuk mengubah ABM Treaty bahkan memulai wacana untuk mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik Kaplan 2008: 16. Hal ini dikarenakan proyek NMD akan menyebarkan sistem pertahanan rudal ke seluruh wilayah negara bagian Amerika Serikat termasuk Grand Forks, North Dakota yang menjadi bagian kesepakatan Traktat Anti Rudal Balistik tahun 1974. Jika hal tersebut dilakukan maka secara otomatis Amerika Serikat melanggar kesepakatan Traktat Anti Rudal Balistik dan mengharuskan pembicaraan lebih lanjut dengan Rusia Kimball dan Collina, 2003: 1. Paska keputusan Presiden Clinton untuk melakukan riset dalam mengembangkan NMD, Clinton juga melanjutkan program pengendalian senjata dengan Rusia guna memperkecil ancaman serangan rudal balistik ke wilayah Amerika Serikat. Pada tahun 1997 Presiden Clinton dan Presiden Boris Yeltsin sepakat untuk melanjutkan pembahasan mengenai Kerangka START III. Poin utama dari pembahasan kerangka tersebut adalah pengurangan senjata nuklir menjadi 2.500-2.000 unit bagi kedua negara. Tidak hanya itu, pembahasan krusial dari kerangka kerjasama tersebut adalah mengenai penghancuran senjata nuklir bagi kedua negara Kimball dan Collina, 2010: 1. Namun langkah yang dilakukan Presiden Clinton tampaknya tidak cukup meyakinkan Kongres bahkan semakin memicu kekhawatiran mengenai kondisi keamanan Amerika Serikat dari ancaman rudal balistik. Oleh karena itu pada bulan Juli 1998 Kongres memerintahkan Donald Rumsfeld yang juga mantan menteri pertahanan era Presiden Gerald Ford 1974-1977 untuk membentuk sebuah komisi keamanan bernama Rumsfeld Commission. Komisi ini juga 81 dinamakan dengan komisi ancaman rudal balistik terhadap Amerika Serikat yang juga diketuai oleh Donald Rumsfeld Smith 2000: 44. Komisi ini pada prinsipnya bertujuan untuk mengidentifikasi seberapa besar ancaman rudal balistik yang ditujukan ke wilayah Amerika Serikat dan sekutunya. Hasilnya menunjukkan bahwa Amerika Serikat menghadapi ancaman rudal balistik yang cukup nyata dan potensial khususnya dari negara-negara yang dikelompokkan ke dalam rogue states. Komisi Rumsfeld juga melaporkan bahwa serangan rudal balistik dapat dilakukan tanpa menunjukkan peringatan yang pasti. Artinya, serangan rudal tersebut tidak dapat diduga kapan dan dimana rudal tersebut akan mendarat di wilayah Amerika Serikat, bahkan diprediksi lebih cepat dari yang diperkirakan oleh system keamanan nasional Amerika Serikat Smith 2000: 44. Selain itu, serangan rudal balistik tersebut cukup menimbulkan kerusakan yang hebat pada wilayah Amerika Serikat dan sekutunya. Tim yang dipimpin oleh Donald Rumsfeld tersebut juga merilis bahwa rogue states dapat membangun rudal balistik dengan kapasitas ICBM dalam waktu sekitar 5 lima tahun ke depan Gansler 2010: 46-47. Hasil identifikasi tersebut cukup meyakinkan publik mengenai situasi darurat yang dihadapi Amerika Serikat terkait rudal balistik. Akan tetapi hasil yang dirilis komisi Rumsfeld mengenai ancaman rudal balistik yang bertujuan untuk menyebarkan NMD berbeda dengan hasil identifikasi yang dirilis oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Departemen Pertahanan menyimpulkan bahwa aksi militer dalam bentuk penyebaran NMD tidak sedang diperlukan bagi keamanan nasional Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan pihak intelijen tidak menemukan adanya peningkatan 82 rudal ICBM dari negara-negara adidaya lainnya seperti China, Rusia, Prancis, dan Britania RayaInggris selama 10-15 tahun ke depan Woolf, Kerr, dan Nikitin, 2013: 13-14. Perbedaan antara hasil yang dirilis oleh komisi Rumsfeld dengan Departemen Pertahanan tidak hanya menyangkut persoalan penting atau tidaknya kebutuhan NMD, tetapi juga negara-negara yang diprediksi menjadi ancaman Amerika Serikat juga menjadi perbedaan. Komisi Rumsfeld menyebutkan bahwa rogue states menjadi ancaman potensial bagi keamanan nasional Amerika Serikat. Sementara itu, Departemen Pertahanan menganggap negara-negara adidaya seperti China, Rusia, Prancis, dan Inggris justru yang menjadi perhatian penting dalam hal peningkatan rudal ICBM. Namun pada bulan Agustus 1998 argumentasi yang dikemukakan oleh komisi Rumsfeld terbukti dengan keberhasilan India dan Pakistan mengujicoba rudal balistik untuk pertama kalinya dalam sejarah kedua negara. Tidak hanya India dan Pakistan, Korea Utara juga melakukan ujicoba rudal balistik dengan kode Taepodong-1 yang mampu melintasi wilayah kepulauan Jepang. Setelah rudal Taepodong-1, Amerika Serikat memprediksi bahwa rudal Taepodong-2 sedang dalam tahap pembangunan. Rudal ini juga diprediksi mampu menjangkau wilayah kepulauan Hawai dan Alaska jika diluncurkan melalui wilayah perairan di Korea Utara Gansler 2010: 46. Paska percobaan rudal balistik yang dilakukan oleh India, Pakistan dan Korea Utara, Presiden Clinton langsung mempertimbangkan untuk merilis kebijakan NMD untuk melindungi seluruh wilayah negara bagian Amerika Serikat dan sekutunya. Puncaknya pada bulan Juli 1999 Kongres menyetujui kebijakan 83 pertahanan nasional bernama National Missile Defense Act dan ditandatangani oleh Presiden Clinton yang harus dilaksanakan sesegera mungkin dengan kemampun teknis yang memadai Smith 2000: 44. Presiden Clinton menekankan 4 empat prioritas utama dalam merilis kebijakan NMD, yaitu; 1 Operasionalisasi program NMD harus efektif dan tepat sasaran, yakni fokus kepada ancaman nyata dan potensial yang ditujukan ke Amerika Serikat, 2 Program NMD harus mengutamakan penghematan serta efektivitas anggaran pertahanan nasional 3 Kesiapan teknologi NMD yang harus dilengkapi dengan perangkat pencegat 4 NMD harus disesuaikan dengan klausul yang terdapat dalam Traktat Anti Rudal Balistik dan mengajukan proposal perubahan klausul Traktat Anti Rudal Balistik kepada Rusia Neuneck dan Shaaf 2000: 1. Pada bulan Oktober 1999 Amerika Serikat berhasil melakukan ujicoba atau dikenal dengan Integrated Flight Test IFT yang pertama untuk teknologi NMD. Akan tetapi setahun berikutnya yakni pada bulan Januari dan Juli tahun 2000, Amerika Serikat gagal dalam melakukan percobaan IFT yang kedua dan ketiga dalam teknologi NMD. Hal ini dikarenakan sensor inframerah mengalami kerusakan sehingga tidak mampu mendeteksi objek yang menyerang wilayah Amerika Serikat Smith 2000: 44-45. Paska kegagalan tersebut, pada September tahun 2000 Presiden Clinton memutuskan untuk menunda pembangunan serta penyebaran program NMD. Hal ini dikarenakan teknologi yang dimiliki NMD masih memiliki kelemahan serta belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi pertahanan nasional Amerika Serikat Gansler, 2010: 48. Oleh karena itu Presiden Clinton menyatakan akan 84 menyerahkan kewenangan pembangunan teknologi NMD kepada Presiden Amerika Serikat selanjutnya Kaplan 2008: 17. Selain kendala teknis, Amerika Serikat juga menghadapi kendala secara substansial terkait agenda pengendalian senjata bersama Rusia. Hal ini dibuktikan ketika Rusia menolak proposal yang berisi amandemen Traktat Anti Rudal Balistik yang diajukan Amerika Serikat untuk disesuaikan dengan program NMD. Penolakan tersebut dikarenakan Rusia menganggap bahwa jika sistem NMD diperluas maka sistem tersebut dikhawatirkan dapat mencegat seluruh aktivitas militer yang dilakukan oleh pasukan Rusia. Rusia juga menyebutkan bahwa Amerika Serikat terlalu berlebihan dalam menanggapi dinamika perkembangan rudal balistik yang dilakukan oleh rogue states Woolf, Kerr dan Nikitin 2013: 14. Pada dasarnya Rusia telah memahami bahwa usulan mengenai amandemen Traktat Anti Rudal Balistik merupakan indikasi yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat bahwasanya Amerika Serikat memiliki keinginan yang serius untuk mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik. Akan tetapi keinginan tersebut tidak mendapat respon positif dari Rusia. Bahkan Rusia mengancam jika Amerika Serikat mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik maka Rusia juga akan mundur dari perjanjian START II serta mundur dari seluruh perjanjian keamanan yang selama ini telah terjalin dengan baik antar kedua negara Woof, Kerr, dan Nikitin 2013: 14. Ancaman yang dikemukakan oleh Rusia tentunya semakin meyakinkan Rusia bahwa Amerika Serikat tidak akan mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik. 85 Hal ini dikarenakan apabila Amerika Serikat mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik dan Rusia juga mundur dari seluruh perjanjian keamanan yang dirintis oleh kedua negara maka hal tersebut merupakan kerugian yang signifikan bagi Amerika Serikat. Dampak yang ditimbulkan jika Rusia memutuskan untuk mundur adalah Amerika Serikat akan mengalami kesulitan dalam mengawasi peredaran senjata nuklir Rusia dikarenakan tidak ada lagi perjanjian yang mengatur kualitas serta kuantitas persenjataan kedua negara khususnya rudal balistik. Tidak hanya dengan Rusia, Amerika Serikat juga mengalami kendala dengan negara-negara sekutu yang menjadi objek penempatan rudal pertahanan terkait program NMD. Negara-negara sekutu Amerika Serikat menegaskan bahwa mereka tidak akan mengizinkan Amerika Serikat menempatkan instalasi rudal balistik di negara mereka sebelum adanya amandemen Traktat Anti Rudal Balistik Smith 2000: 4. Kompleksnya permasalahan terkait kebijakan NMD merupakan indikasi bahwa tidak mudah menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan perjanjian keamanan internasional antara Amerika Serikat dan Rusia. Oleh karena itu dengan berbagai permasalahan terkait program NMD maka Presiden Clinton pada tahun 2000 memutuskan untuk menyerahkan kewenangan terkait NMD kepada Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Penyerahan kewenangan serta tanggung jawab atas program NMD kepada Departemen Pertahanan dilakukan bersamaan dengan berakhirnya jabatan Clinton sebagai Presiden Amerika Serikat. Kondisi ini tentu berakibat negatif bagi publik Amerika Serikat khususnya partai Demokrat seiring kegagalan dialami oleh 86 pemerintahan Clinton. Kegagalan tersebut tentunya menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap partai Demokrat yang berimplikasi pada naiknya elektabilitas partai Republik di hadapan publik. Oleh karena itu pada tahun 2001 publik memercayakan kepemimpinan Amerika Serikat kepada partai Republik dengan menampilkan George Walker Bush sebagai Presiden Amerika Serikat menggantikan Clinton Kaplan 2008: 17. Pada awal pemerintahannya, Presiden Bush menyatakan komitmen yang kuat untuk membangun serta menyebarkan sistem pertahanan rudal dalam kurun waktu yang singkat dan sesegera mungkin Kaplan, 2008: 17. Terkendalanya NMD disebabkan penolakan Rusia atas usulan amandemen Traktat Anti Rudal Balistik, merupakan keputusan yang tidak tepat untuk saat ini. Presiden Bush menyatakan bahwa Traktat Anti Rudal Balistik merupakan peninggalan perang dingin yang tidak dapat dikontekskan dengan kondisi terkini yang menunjukkan semakin banyak negara yang berpotensi untuk menyalahgunakan perangkat rudal balistik. Oleh karena itu Amerika Serikat memerlukan suatu kebijakan yang melampaui Traktat Anti Rudal Balistik untuk menyebarkan sistem pertahanan rudal Woolf, Kerr, dan Nikitin 2013: 14. Amerika Serikat kembali berupaya meyakinkan Rusia bahwa sistem pertahanan rudal yang dibangun Amerika Serikat tidak mengancam Rusia sebagai sebuah negara. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah Traktat Anti Rudal Balistik itu sendiri yang menghambat kinerja Amerika Serikat dalam mengembangkan sistem pertahanan dan keamanan bagi negaranya serta sekutunya Woolf, Kerr dan Nikitin 2013: 14. 87 Pendekatan yang dilakukan Amerika Serikat untuk meyakinkan Rusia kembali mendapat penolakan dari Rusia. Rusia menyatakan bahwa Amerika Serikat perlu mengidentifikasi kembali mengenai klausul yang terkandung di dalam proposal usulan amandemen Traktat Anti Rudal Balistik. Secara tidak langsung, penjelasan tersebut menyatakan bahwa jika Amerika Serikat tidak bersedia mengidentifikasi klausul amandemen Traktat Anti Rudal Balistik, maka Rusia memiliki hak untuk menentukan isi dari klausul amandemen Traktat Anti Rudal Balistik agar sesuai dengan klausul yang terdapat di dalam Traktat Anti Rudal Balistik Woolf, Kerr dan Nikitin 2013: 13. Kondisi ini tentunya tidak dapat diterima oleh Presiden Bush apabila Rusia mencoba untuk mengintervensi kebijakan pertahanan Amerika Serikat. Maka pada saat yang bersamaan Presiden Bush menegaskan bahwa Amerika Serikat akan tetap membangun sistem pertahanan rudal yang komprehensif. Tidak hanya itu, Presiden Bush juga menekankan bahwa dinamika sistem pertahanan nasional Amerika Serikat tidak akan dibatasi oleh Traktat Anti Rudal Balistik yang telah berumur 30 tahun Baucom 2001: 18. Oleh karena itu, pada bulan Mei 2001 Presiden Bush menyampaikan keinginan Amerika Serikat untuk mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik kepada Rusia. Selang 7 tujuh bulan berikutnya yakni pada Desember 2001 Amerika Serikat melalui Presiden Bush memutuskan untuk mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik. Kondisi ini diperkuat dengan adanya serangan teroris ke Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang semakin meyakinkan Amerika Serikat untuk membangun system pertahanan untuk mengantisipasi serangan rogue states Woolf, Kerr dan Nikitin 2013: 14-15. 88 Keputusan Amerika Serikat untuk mundur dari ABM Treaty langsung mendapat respon dari Rusia yang menyatakan bahwa keputusan tersebut adalah sebuah kesalahan yang dilakukan Amerika Serikat. Sebagai tindakan balasan, maka Rusia juga menyatakan mundur atas perjanjian START II sebagai simbol protes kepada Amerika Serikat Woolf, Kerr dan Nikitin 2013: 15. Hal ini tentunya tidak berpengaruh bagi Amerika Serikat dan tetap akan mengembangkan program pertahanan rudal balistik.

B. Faktor Eksternal: 1. Munculnya Negara-Negara Produsen Rudal Balistik Paska Perang

Dingin Ketika Perang Dingin berakhir, tren yang berkembang dalam situasi keamanan global adalah mengenai semakin banyaknya negara-negara yang telah mampu mengembangkan rudal balistik. Amerika Serikat sebagai pemegang kendali dalam konstelasi keamanan internasional cukup khawatir mengenai kondisi tersebut, terlebih jika rudal balistik mampu dikembangkan dengan menggunakan tenaga nuklir. Jika pada perang dingin negara yang harus diwaspadai hanya terfokus pada Uni Soviet, maka paska perang dingin fokus Amerika Serikat mengarah pada banyak negara khususnya di wilayah Timur Tengah dan Asia. Pada bulan Juli 1998, Komisi Rumsfeld bertujuan mengidentifikasi seberapa besar ancaman rudal balistik terhadap Amerika Serikat. Laporannya mengungkap bahwa Korea Utara dan Iran merupakan 2 dua negara yang berpotensi mengancam keamanan nasional Amerika Serikat dan sekutunya serta termasuk ke dalam rogue states Krepps, 2002: 69. 89 “The extraordinary level of resources that North Korea and Iran are now devoting to developing their own ballistic missile capabilities poses a substantial and immediate danger to the U.S., its vital interests and its allies”Krepps 2002: 69. Korea Utara dan Iran telah mampu mengembangkan rudal balistik dengan kemampuan yang luar biasa dan secara langsung menimbulkan bahaya besar bagi kepentingan vital Amerika Serikat dan sekutunya dalam lima tahun ke depan. Amerika Serikat menganggap dalam 5 tahun ke depan, kedua negara mampu memproduksi rudal balistik dengan kategori ICBM yang memiliki jangkauan lebih dari 5000km. Selain itu, ancaman tidak hanya dari segi jangkauan tetapi juga diprediksi bahwa kedua negara akan menyertakan senjata kimia di dalam komponen rudal balistik tersebut Krepps 2002: 69. CIA merilis bahwa tidak hanya Korea Utara dan Iran saja yang menjadi ancaman bagi keamanan nasional Amerika Serikat dan sekutunya. Akan tetapi, ada 7 tujuh negara yang dianggap sebagai rogue states dalam kebijakan pertahanan Amerika Serikat; Korea Utara, Iran, dan Irak. Kemampuan negara- negara tersebut dalam mengembangkan rudal balistik diyakini bukan dilandasi atas keinginan untuk melakukan perang terbuka dan bukan juga dijadikan sebagai strategi penangkalan. Smith 2000: 8. Dengan adanya 3 tiga negara rogue states tersebut, maka terdapat 12 dua belas negara yang masing-masing telah mampu memproduksi serta memiliki fasilitas yang canggih dalam teknologi rudal balistik yaitu; Ukraina, India, Cina, Taiwan, Pakistan, Korea Selatan, Korea Utara, Iran, Irak, Israel, Mesir dan Syria Feickert 2004: 2-3. Secara garis besar, negara-negara yang telah mampu mengembangkan rudal balistik dibedakan atas kemampuan negara-negara tersebut berdasarkan jangkauan rudal balistik yang dimilikinya; 90 Tabel IV.B.1.1 Missiles by Categories of Range Sumber: Feickert, Missile Survey: Ballistic and Cruise Missiles of Foreign Affairs, The Library of Congress, 2004 Dalam laporan terbaru yang dirilis oleh CIA dengan dokumen bernama CIA Report of Terror Countries, ada 3 tiga negara rogue states yang mampu menciptakan rudal balistik dengan kategori MRBM Medium Range Ballistic Missile1.000-3.000km. Iran, Korea Utara, Irak. Selain itu, negara yang bukan tergolong rogue states namun mampu mengembangkan rudal balistik kategori MRBM yaitu; India, Pakistan, dan Syria, yang juga berpotensi mengembangkan rudal ICBM berdasarkan laporan CIA Report of Terror Countries CIA 2002: 1. Isu penyebaran senjata nuklir tentu tidak hanya terkait dengan jarak tempuh serta kemampuan dalam menghancurkan musuh, akan tetapi isu yang menjadi proritas utama adalah mengenai penggunaan senjata kimia. Selain itu, Amerika Serikat mengkhawatirkan bahwa negara-negara yang mampu mengembangkan rudal balistik khususnya rogue states juga membangun 91 kendaraan tempur untuk mengangkut perangkat rudal balistik beserta bahan kimia yang merupakan bagian dari Weapon of Mass Destruction WMD. Prediksi Amerika Serikat mengenai penggunaan senjata kimia atau WMD telah dibuktikan oleh Irak dalam invasi ke Kuwait atau dikenal dengan Perang Teluk tahun 1991. CIA melaporkan bahwa Irak menggunakan racun botulinum dan virus antraks dalam perangkat rudal balistiknya untuk menyerang Kuwait Feickert 2004: 3. Dalam konteks global, terdapat 2 dua pembagian spesifik mengenai eksistensi negara-negara yang mampu mengembangkan rudal balistik. Pertama, klasifikasi negara-negara produsen rudal balistik yang tidak termasuk dalam States of Moderate Proliferation Risk yakni India, Pakistan, dan Syria. Kedua, klasifikasi negara yang termasuk ke dalam Three Hard CasesRogue States, yakni Iran, Irak, dan Korea Utara. Krepps 2002: 79-80. Pembagian tersebut merupakan bagian pembahasan faktor eksternal dalam penelitian skripsi ini, yang membahasan mengenai 2 dua pembagian mengenai negara-negara yang telah mampu mengembangkan rudal balistik;

1. India

Berbicara mengenai India, tentunya tidak hanya terbatas pada kemampuan negara ini dalam menciptakan perangkat rudal balistik. Akan tetapi juga berbicara tentang kebijakan luar negeri India dalam perjanjian NPT tahun 1970. India merupakan satu dari tiga negara yang tidak pernah menandatangani NPT, termasuk Israel dan Pakistan Kerr et.al 2010: 1. India merupakan salah satu negara dengan kemampuan menciptakan perangkat rudal balistik yang cukup baik dan matang dari sisi teknologi. Konstruksi rudal balistik dengan kategori Short Range Ballistic Missile70-1.000 km SRBM menghasilkan rudal balistik dengan