Komitmen Awal Amerika Serikat Dalam Traktat Anti Rudal Balistik

46 Pemerintah Amerika Serikat juga merilis secara spesifik jumlah rudal balistik kategori ICBM serta Submarine-Launched Ballistic Missile SLBM kedua negara; Tabel III.A.2. U.S. Strategic Offensive Force Loadings 1945-1972 Sumber: Norris dan Cochran, US-USSRRussian Strategic Offensive Nuclear Forces 1945-1996 , Natural Resources Defense Council, Inc, 1997 47 Tabel III.A.3. USSRRussia Strategic Offensive Force Loadings 1956-1972 Sumber: Norris dan Cochran, US-USSRRussian Strategic Offensive Nuclear Forces 1945-1996 , Natural Resources Defense Council, Inc, 1997 Tabel di atas menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan mengenai jumlah senjata nuklir dalam bentuk bom serta rudal balistik yang dimiliki kedua negara. Namun Departemen Pertahanan Amerika Serikat memastikan bahwa data yang dirilis mengenai jumlah senjata nuklir kedua negara lebih rendah dari data yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan peta kekuatan strategis dalam bentuk senjata nuklir merupakan rahasia kedua negara yang tidak akan pernah dirilis kepada publik secara umum. Departemen Pertahanan Amerika Serikat juga memastikan bahwa sumber dan metode pengumpulan informasi tentang Uni Soviet serta rencana perang nuklir Amerika Serikat merupakan rahasia negara yang tidak diperkenankan untuk diungkap kepada publik Norris dan Cochran, 1997: 6. 48 Jumlah senjata nuklir kedua negara berdasarkan tabel di atas menunjukkan adanya kekhawatiran akan terjadinya perang nuklir. Salah satu penyebabnya adalah disparitas ketidaksetaraan dalam kepemilikan senjata ofensif oleh kedua negara. Data tersebut dirilis berdasarkan inisiatif Presiden Amerika Serikat saat itu Lyndon B. Johnson yang pernah menyatakan tentang bahaya senjata nuklir dan menginisiasi Uni Soviet untuk terlibat dalam pembicaraan mengenai pembatasan senjata ofensif Salamah 2008: 229. Argumentasi di atas cukup menjelaskan mengenai alasan Amerika Serikat bergabung ke dalam ABM Treaty bersama Uni Soviet. Kerjasama kedua negara ini tentunya bertujuan untuk mengatur paritas kesetaraan kepemilikan senjata nuklir dari segi kualitas maupun kuantitas dalam bentuk rudal balistik Salamah 2008: 229. Bergabungnya kedua negara dalam ABM Treaty merupakan langkah strategis dalam mencegah terjadinya perang nuklir serta memulai kerjasama keamanan berikutnya. B. Aktivitas Amerika Serikat di dalam Traktat Anti Rudal Balistik Sejak disepakati pada tahun 1972, Traktat Anti Rudal Balistik secara tegas telah mengatur tentang larangan untuk menyebarkan sistem anti rudal balistik ke seluruh wilayah di Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Traktat tersebut memaksa kedua negara untuk menempatkan instalasi sistem anti rudal balistik hanya mencakup 2 dua lokasi yakni wilayah ibukota negara dan lokasi penempatan rudal balistik kategori ICBM Woolf 2006: 11. Seiring berkembangnya dinamika politik internasional terkait kondisi keamanan Amerika Serikat dan Uni Soviet, maka selang dua tahun berikutnya Amerika Serikat menginisiasi untuk mengamandemen Traktat Anti Rudal Balistik 49 pada tahun 1974 Ackerman 2002: 1. Poin penting yang terdapat di dalam amandemen tersebut adalah mengenai pembatasan lokasi penempatan sistem anti rudal balistik dari dua lokasi menjadi satu lokasi. Selain itu jumlah rudal balistik juga dibatasi tidak lebih dari 100 rudal balistik yang ditempatkan di masing- masing negara Hildreth 2007: 2. Pada paska amandemen tersebut, pada akhir 1974 Amerika Serikat melalui Presiden Gerald Ford mengadakan pertemuan dengan Presiden Uni Soviet Leonid Brezhnev di Vladivostok. Pertemuan ini menghasilkan persetujuan sementara Interim Agreement tentang rencana pembatasan senjata nuklir yang selanjutnya akan dibahas pada pertemuan SALT II Salamah 2008: 229. Secara teknis, amandemen Traktat Anti Rudal Balistik langsung diterapkan oleh kedua negara. Uni Soviet dalam hal ini memilih menempatkan sistem anti rudal balistik yang berjenis Galosh di wilayah ibukota Moskow. Sementara itu, Amerika Serikat menempatkan sistem anti rudal balistik Safeguard untuk melindungi instalasi rudal ICBM Minuteman di wilayah Grand Forks, North Dakota Smith 2000: 3-4. Dalam prakteknya, operasionalisasi Safeguard sebagai pelindung instalasi rudal balistik kategori ICBM dimulai pada 1 Oktober 1975. Namun pada 2 Oktober 1975 Kongres menghentikan program tersebut dan menutup instalasi Safeguard yang berada di Grand Forks, North Dakota Smith 2000: 4. Penghentian Safeguard sebagai fasilitas keamanan nasional Amerika Serikat dikarenakan tingginya biaya operasional dalam mengelola instalasi Safeguard. Selain itu, minimnya dana operasional tentunya berefek pada kemunduran teknologi rudal balistik Amerika Serikat dibandingkan dengan Uni Soviet. Hal ini 50 menjadikan Safeguard rentan terhadap serangan rudal balistik Uni Soviet yang memiliki teknologi canggih Boucom 2001: 14. Amerika Serikat dalam hal ini menyadari bahwa sistem radar yang terdapat pada Safeguard cukup rentan untuk dihancurkan oleh rudal Uni Soviet. Selain itu, ledakan nuklir yang ditimbulkan oleh Amerika Serikat dalam melindungi instalasi rudal balistik justru akan merusak sistem radar yang terdapat pada instalasi rudal balistik lainnya Boucom, 1995: 34. Paska dihentikannya Safeguard sebagai program pertahanan Amerika Serikat, maka Amerika Serikat kembali memulai pertemuan dengan Uni Soviet yang bertajuk Strategic Arms Limitation Talks II SALT II. SALT II secara resmi dimulai pada tahun 1975 dan disepakati pada tahun 1979 Salamah 2008: 229- 230. Pertemuan ini merupakan lanjutan dari pertemuan yang telah diselenggarakan tahun 1972 bernama The Interim Agreement on Offensive ArmsSALT I yang menghasilkan Persetujuan Sementara Interim Agreement antara kedua pihak tentang rencana pembatasan senjata nuklir. Dalam kesepakatan awal yang terdapat dalam SALT I, kedua pihak sepakat untuk menghentikan sementara produksi rudal balistik antar benua ICBM serta rudal balistik yang diluncurkan melalui kapal selam SLBM. Kedua pihak juga sepakat untuk tidak membangun peluncur rudal balistik ICBM Woolf, Kerr dan Nikitin 2013: 4. Pada saat yang sama, Amerika Serikat memiliki 1.054 perangkat dan Uni Soviet juga memiliki 1.618 perangkat peluncur rudal ICBM. Kedua negara juga menyetujui untuk menghentikan jumlah produksi rudal yang diluncurkan melalui kapal selam SLBM, meskipun kedua negara dapat menambah produksi rudal 51 SLBM ketika mereka menghentikan secara total produksi rudal balistik ICBM Woolf, Kerr, Nikitin 2013: 5. SALT I mengindikasikan bahwa Amerika Serikat mampu menempatkan lebih dari 710 perangkat peluncur rudal SLBM yang berada di 44 kapal selam. Sedangkan, Uni Soviet mampu menyebarkan lebih dari 950 peluncur rudal SLBM yang ditempatkan di 62 unit kapal selam. Adanya ketidaksetaraan dalam segi jumlah tentunya menjadi fokus utama Kongres serta para pembuat kebijakan di Washington. Oleh karena itu, ketika menyetujui kesepakatan SALT I, Kongres menggunakan ketentuan tentang pengendalian senjataarms control yang mengedepankan kesetaraan jumlah senjata nuklir Woolf, Kerr, Nikitin, 2013: 5- 6. Pada tahun 1975 sampai dengan tahun 1979, Amerika Serikat dan Uni Soviet kembali terlibat dalam pembahasan tentang pembatasan senjata nuklir melanjutkan SALT I yang dimulai pada tahun 1969 sampai dengan 1972. Selama berlangsungnya negosiasi, Amerika Serikat berusaha membatasi kuantitas persenjataannya serta mengubah kualitas persenjataannya disesuaikan dengan angkatan bersenjata Uni Soviet. Dalam proses perundingan ini, posisi Amerika Serikat merefleksikan keinginan Kongres untuk menyeimbangkan jumlah penyebaran senjata nuklir. Hasilnya, masing-masing negara berdasarkan kesepakatan SALT II dibatasi penyebarannya berjumlah 2.400 perangkat yang sudah termasuk peluncur ICBM, peluncur melalui kapal selam SLBM serta bom dengan daya ledak tinggi. Namun setelah dua tahun berselang yakni pada tahun 1981, komposisi senjata nuklir kedua negara berkurang menjadi 2.250 perangkat Woolf, Kerr, dan Nikitin, 2013: 6. 52 Perundingan SALT II dapat dikatakan sebagai perundingan yang panjang dan cukup kompleks yang dihadapi kedua negara. Hal ini dikarenakan banyaknya hambatan dalam hal penentuan kualitas senjata, klasifikasi jenis senjata, masalah operasionalisasinya serta pengawasannya. Pada prakteknya, terdapat dua macam senjata yang cukup menghambat proses perundingan kedua negara yaitu Backfire yang dimiliki Uni Soviet. Backfire adalah pesawat pembawa bom Uni Soviet yang dapat memiliki akurasi sasaran yang cukup tinggi. Sementara itu, Amerika Serikat memiliki Cruise Missile atau dikenal dengan rudal dengan hulu ledak nuklir. Kedua negara tidak mencapai kesepakatan untuk membahas dua macam senjata tersebut di meja perundingan. 3 Oleh karena itu SALT II dianggap sebagai perundingan yang masih menghasilkan ketidakstabilan iklim militer kedua negara Salamah 2008: 229-230. Meskipun secara formal kedua negara sepakat untuk membatasi program modernisasi rudal balistik dengan tujuan mereduksi kualitas senjata nuklir, akan tetapi proses perundingan ini dianggap deadlock. Persoalan ini dikarenakan kedua negara tetap berargumen bahwa senjata yang termasuk dalam kategori rendah hanya cukup dibatasi, dan senjata dengan teknologi terbaru justru dikurangi produksinya. Kondisi ini mengundang reaksi dari para ilmuwan persenjataan strategis bahwa traktat ini tidak akan mampu menghentikan laju perlombaan senjata nuklir kedua negara Woolf, Kerr, dan Nikitin, 2013: 6. Pada dasarnya, kedua negara, khususnya Amerika Serikat, optimis untuk melanjutkan perundingan ke tahap SALT III. Sikap optimis ini diperlihatkan oleh 3 Kedua negara saling mengklaim bahwa Backfire Uni Soviet dan Cruise Missile Amerika Serikat merupakan jenis senjata kelas menengah sehingga kedua negara menolak untuk membahasnya di meja perundingan. Hal ini dikarenakan kedua negara tidak ingin teknologi persenjataannya diketahui oleh publik yang terlibat dalam perundingan tersebut Salamah 2008: 229-230. 53 Amerika Serikat yang bersedia membersihkan senjata nuklir Amerika Serikat bernama Forward Basic System yang dipasang di wilayah Eropa untuk menjangkau Uni Soviet. Namun dalam hal ini, Uni Soviet tidak memberikan reaksi apapun selain terus mengembangkan senjata nuklir yang mengakibatkan defisit dalam neraca keuangan Uni Soviet Salamah 2008: 230. Paska berlangsungnya perundingan SALT II, maka Amerika Serikat dan Uni Soviet melanjutkan perundingan tentang pengurangan senjata strategis dengan format baru bernama Strategic Arms Reduction Treaty START. START I ditandatangani pada tahun 1991 yang kemudian dilanjutkan dengan perundingan START II pada 1993 serta START III yang disepakati pada tahun 1997 Kimball dan Collina 2010: 1. Semua kesepakatan mengenai pembatasan serta pengurangan senjata strategis merupakan langkah dinamis dalam mencegah terjadinya perang nuklir. Berbagai dinamika kebijakan pengendalian senjata yang disepakati oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet tentunya menjadi bagian penting bagi kedua negara. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan-penyempurnaan dari kebijakan yang satu ke kebijakan yang lain. Jika dalam salah satu kebijakan tidak terdapat komponen yang harus dilengkapi maka akan dilengkapi pada kebijakan berikutnya. Hal itu terkadang bisa bersifat penyempurnaan bisa juga memasuki wilayah baru dari persenjataan strategis itu sendiri. Wilayah baru dalam hal ini diartikan sebagai jenis senjata baru serta ancaman-ancaman baru yang belum dikelola secara baik Siswanto 2013. 54

D. Kebijakan Amerika Serikat Mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik

Sejak ditandatangani pada tahun 1972, Traktat Anti Rudal Balistik cukup berhasil sebagai langkah awal dalam mengendalikan perlombaan senjata nuklir dalam bentuk rudal balistik. Hal ini tentunya didukung oleh kerjasama-kerjasama pengendalian senjata lainnya yang mendukung keberadaan Traktat Anti Rudal Balistik seperti SALT II 1979, START I 1991, START II 1993 hingga START III 1997, Kimball, Collina 2010: 1-2. Namun sejak awal 2001 paradigma yang menyangkut keamanan global antara Amerika Serikat dan Rusia secara garis besar berubah ketika Presiden G.W. Bush berpidato di National Defense University; “We need new concepts of deterrence that rely on both offensive and defensive forces. Deterrence can no longer be based solely on the threat of nuclear retaliation. Defenses can strengthen deterrence by reducing the incentive for proliferation. We need a new framework that allows us to build missile defenses to counter the different threats of today’s world. To do so, we must move beyond the constraints of the 30-year-old ABM Treaty.”Bush dalam Rusten 2010: 1 Kita memerlukan sebuah konsep penangkalanpencegahan yang baru dengan mengandalkan strategi ofensif dan defensif. Konsep penangkalan dan pencegahan tidak lagi dapat didasarkan atas retaliasi serangan nuklir. Pertahanan dapat memperkuat penangkalan dengan mengurangi insentif, proliferasi bagi pihak lain. Kita memerlukan sebuah kerangka baru serta memungkinkan untuk mengembangkan rudal pertahanan yang melawan berbagai ancaman dari dunia saat ini. Untuk itu, maka kita harus bergerak melampaui batasan-batasan yang terdapat di dalam ABM Treaty yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun. Dalam pidato ini, Bush memberikan perhatian penting terhadap prioritas keamanan nasional Amerika Serikat. Prioritas ini dimaksudkan agar Amerika Serikat segera membangun, mengujicoba serta menyebarkan perangkat rudal balistik sebagai sistem pertahanan dengan teknologi yang canggih. Pernyataan 55 yang dirilis secara nasional ini mengindikasikan bahwa Amerika Serikat berencana untuk menarik diri dari Traktat Anti Rudal Balistik Rusten 2010: 1. Seiring dengan hal itu, di luar dugaan Presiden Bush Jr. mengeluarkan pernyataan yang mengkategorikan Iran, Korea Utara, dan Irak sebagai poros setan axis of evils, dan pernyataan ini turut memprovokasi dunia paska perang dingin berakhir. Tidak hanya itu, Amerika Serikat juga mengelompokkan ketiga negara tersebut sebagai Rogue States. Hal ini tentunya tidak mengherankan ketika dalam internal pemerintahan Amerika Serikat ketika Presiden berasal dari partai Republik maka isu-isu yang diangkat cenderung berhubungan dengan Security dan Power Siswanto 2013. Rogue states adalah terminologi global yang diciptakan Amerika Serikat paska runtuhnya Uni Soviet untuk menandai negara-negara yang telah mampu mengembangkan senjata nuklir serta mengancam keamanan Amerika Serikat dan sekutunya Smith 2000: 6. Munculnya rogue states sebagai negara yang mampu mengembangkan senjata nuklir secara intensif tentunya menjadi ancaman baru bagi Amerika Serikat dan sekutunya sekaligus mengganti keberadaan Uni Soviet yang pernah mendominasi senjata nuklir. Amerika Serikat melalui Presiden G.W. Bush menganggap bahwa dunia masih dalam keadaan berbahaya pada paska runtuhnya Uni Soviet. Sebagian besar negara telah memiliki senjata nuklir dan beberapa lainnya ingin memiliki senjata nuklir tersebut. Selain itu, beberapa negara yang menjadi ancaman bagi Amerika Serikat mulai mengembangkan teknologi rudal balistik. Tidak hanya itu, Amerika Serikat merasa bahwa sejak runtuhnya Uni Soviet maka penyebaran senjata nuklir 56 tidak lagi terfokus pada satu negara melainkan kepada banyak negara Rusten 2010: 2. Dalam pidato kenegaraannya yang menyangkut ancaman peredaran rudal balistik, Bush juga menyampaikan bahwa konsep nuclear detterence ketika Perang Dingin sudah tidak lagi relevan. Dalam petikan pidatonya Bush menyatakan sebagai berikut; “Cold War deterrence is no longer enough. To maintain peace, to protect our own citizens and our own allies and friends, we must seek security based on more than the grim premise that we can destroy those who seek to destroy us. This is an important opportunity for the world to re-think the unthinkable, and to find new ways to keep the peace… Deterrence can no longer be based solely on the threat of nuclear retaliation.” Bush dalam Payne 2005: 775. Sistem penangkalan seperti era Perang Dingin tidak lagi cukup untuk melindungi perdamaian dan untuk melindungi warga negara kita sendiri, sekutu serta teman-teman kita di seluruh dunia, kita perlu menerapkan sistem keamanan yang dibangun lebih dari asumsi bahwa kita mampu menghancurkan mereka yang berusaha menghancurkan kita. Ini merupakan kesempatan penting bagi dunia untuk berpikir ulang tentang hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan tentang usaha menemukan cara-cara baru untuk menjaga serta memelihara perdamaian. Penangkalanpencegahan tidak dapat lagi didasarkan hanya ancaman serangan nuklir. Konsep nuclear detterence yang cenderung mengedepankan kuantitas serta kualitas tidak lagi diperlukan paska runtuhnya Uni Soviet. Hal ini dikarenakan konsep nuclear detterence dianggap hanya mencegah suatu negara agar tidak menyerang negara lain. Sementara itu dalam pidatonya, Bush menegaskan diperlukannya sebuah senjata nuklir strategis yang memang berfungsi menghancurkan negara yang dianggap ancaman global untuk terciptanya perdamaian dari berbagai proliferasi senjata nuklir Payne, 2005: 775. 57 Bush juga menekankan dalam pidatonya bahwa bahwa ancaman ini tidak hanya ditujukan kepada Amerika Serikat melainkan juga kepada sekutu-sekutu Amerika Serikat di seluruh dunia. Oleh karena itu, Amerika Serikat mengajak seluruh negara yang menjadi sekutu dekat Amerika Serikat untuk bekerja sama menemukan konsep baru dalam mengantisipasi proliferasi senjata nuklir yang dimotori oleh rogue states. Hal ini juga ditegaskan melalui petikan pidato Bush yang menjadi dasar keinginan Amerika Serikat mengajak sekutu-sekutunya untuk bekerjasama menghentikan proliferasi senjata nuklir yang dilakukan oleh rogue states; We must work together with other like-minded nations to deny weapons of terror from those seeking to acquire them. We must work with allies and friends who wish to join with us to defend against the harm they can inflict. And together we must deter anyone who would contemplate their use. We need new concepts of deterrence that rely on both offensive and defensive forces. Bush dalam Payne 2005: 778. Kita harus bekerjasama dengan negara-negara yang memiliki pendapat sama untuk menentang segala senjata teror yang ditimbulkan mereka yang ingin menggunakannya. Kita harus bekerjasama dengan sekutu dan teman- teman kami di seluruh dunia untuk membela serta mencegah setiap kerusakan yang mereka timbulkan. Dan bersama-sama kita harus mencegah negara-negara atau pihak lain yang ingin menggunakannya. Kita memerlukan konsep penangkalanpencegahan baru yang berbasis baik pada senjata ofensif maupun defensif. Pidato ini cukup menegaskan tentang keinginan Bush dalam mengembangkan senjata ofensif dalam bentuk rudal balistik. Bush juga mencoba meyakinkan kepada para sekutu Amerika Serikat bahwa dunia sedang dalam keadaan tidak aman paska Perang Dingin, dikarenakan kehadiran Rogue States yang mengancam kepentingan Amerika Serikat secara global. Oleh Karena itu, salah satu cara dalam mengantisipasi hal tersebut maka Amerika Serikat harus mempertimbangkan untuk mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik.