Latar belakang mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik (anti ballistic missile treaty) tahun 2001

(1)

LATAR BELAKANG MUNDURNYA AMERIKA SERIKAT

DARI TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC

MISSILE TREATY) TAHUN 2001

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

MHD. HABIB AKBAR

107083000274

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

iv ABSTRAK

Skripsi ini menganalisa faktor-faktor yang melatarbelakangi mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) tahun 2001. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik (Anti Ballistic Missile Treaty). Penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah kebijakan luar negeri dan pengendalian senjata/Arms Control. Dari hasil analisis dengan menggunakan teori dan konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada Perang Dingin, produk kebijakan mengenai pengendalian senjata mengalami resistensi seiring kemampuan negara-negara lain di luar Traktat Anti Rudal Balistik dalam menciptakan rudal balistik. Negara-negara di luar Traktat Anti Rudal Balistik ini dikategorikan sebagai sebagai Rogue States dikarenakan mengembangkan rudal balistik secara massive untuk kepentingan ofensif. Keinginan Rogue States tersebut dalam mengembangkan rudal balistik dengan skala besar tentu berdasarkan keberadaan negara-negara tersebut yang tidak terikat dengan Traktat Anti Rudal Balistik. Kemampuan Rogue States dalam mengembangkan rudal balistik dianggap sebagai ancaman baru paska Perang Dingin oleh Amerika Serikat. Adanya ancaman tersebut tentunya direspon oleh Amerika Serikat dengan terus melakukan pembaharuan terhadap kebijakan pertahanan nasional negaranya. Berbagai kebijakan pertahanan nasional yang dirilis oleh Amerika Serikat, secara langsung memunculkan keinginan Amerika Serikat untuk mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik guna menerapkan kebijakan pertahanan nasional yang komprehensif. Hal ini tentunya bertujuan untuk mengamankan kepentingan Amerika Serikat secara nasional maupun internasional khususnya kepentingan para sekutunya.

Kata Kunci: Rudal Balistik, Rogue States, Amerika Serikat, Kebijakan Luar Negeri, dan Pengendalian Senjata.


(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan ridha sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Latar Belakang Mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) Tahun 2001” sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Strata 1 (S1) Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari dorongan serta dukungan moril dari berbagai pihak dalam upaya meraih gelar S1. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak M. Adian Firnas, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan fikiran serta mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si, selaku sekretaris program studi hubungan internasional FISIP UIN Jakarta.

4. Ibu Dina Afrianty, Ph.D., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan kontribusi kepada penulis dalam memulai penulisan skripsi ini.


(7)

vi

5. Ibu Mutiara Pertiwi, MA., selaku dosen teori hubungan internasional yang menginspirasi penulis dalam penulisan skripsi ini serta memberikan banyak arahan baik di dalam maupun di luar perkuliahan. 6. Bapak dan Ibu dosen program studi hubungan internasional FISIP UIN

Jakarta di antaranya Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., Bapak Armein Daulay, M.Si., Bapak Drs. Aiyub Mohsin, MA, MM., Alm. Bapak Dr. Abdul Hadi Adnan, Bapak Amiruddin Noer, MA., Bapak Arisman, M.Si., Bapak Badrus Sholeh, MA., Bapak Kiky Rizky, M.Si., Ibu Friane Aurora, M.Si, dan juga seluruh staf administrasi program studi hubungan internasional FISIP UIN Jakarta. Terima kasih atas ilmu serta bantuannya dalam mengarahkan penulis dalam bidang keilmuan hubungan internasional.

7. Bapak Dr. Siswanto, M.Si selaku peneliti LIPI yang telah berkenan meluangkan waktu kepada penulis untuk melakukan wawancara. 8. M. Yakub Amin dan Nurleli selaku orang tua penulis yang selalu

memberikan motivasi, semangat serta doa yang tulus dan ikhlas kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Nidya Saraswati dan Femmi Tsanita selaku rekan kerja penulis ketika masih memulai pengalaman karir di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Terima kasih atas nasehat, motivasi, arahan serta pengalaman yang berharga di sela-sela penulisan skripsi ini.

10.Rekan-rekan hubungan internasional angkatan 2007 kelas B selaku teman dalam berdiskusi dan berdebat yang selalu memberikan inspirasi kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(8)

vii

11.Seluruh rekan-rekan program studi hubungan internasional khususnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, 2009/2010 yang telah memberikan ilmu serta pengalaman kepada penulis dalam proses pembelajaran berorganisasi.

12.Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah berjasa dan terlibat dalam proses penyelesaian skripsi ini baik langsung maupun tidak langsung.

Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan serta ketulusan seluruh pihak yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini dengan memberikan karunia dan ridhaNya. Semoga karya ilmiah berupa skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menjadi referensi bagi banyak orang bahwa perangkat militer merupakan bagian penting dalam eksistensi sebuah negara.

Jakarta, Desember 2013


(9)

viii DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Kerangka Pemikiran ... 7

1. Kebijakan Luar Negeri ... 8

2. Pengendalian Senjata/Arms Control... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan... 15

BAB II TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC MISSILE TREATY) A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin ... 18

B. Latar Belakang dan Prinsip Traktat Anti Rudal Balistik ... 33

C. Sejarah Singkat Komitmen Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Traktat Anti Rudal Balistik... 39

BAB III MELEMAHNYA KOMITMEN AMERIKA SERIKAT DALAM TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ABM TREATY) A. Komitmen Awal Amerika Serikat Bergabung dalam Traktat Anti Rudal Balistik ... 43

B. Aktivitas Amerika Serikat di dalam Traktat Anti Rudal Balistik ... 48

C. Kebijakan Amerika Serikat Mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik ... 54


(10)

ix

BAB IV LATAR BELAKANG MUNDURNYA AMERIKA SERIKAT

DARI TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ABM TREATY)

A. Faktor Internal ... 59

1. Penguatan Kebijakan Strategic Defense Initiative (SDI) ... 59

2. Perkembangan Kebijakan Global Protection Against Limited Strikes (GPALS) Paska Berakhirnya Perang Dingin ... 69

3. Dinamika Kebijakan Ballistic Missile Defense (BMD) dan National Missile Defense (NMD) dalam Sistem Pertahanan Nasional Amerika Serikat ... 75

B. Faktor Eksternal ... 88

1. Munculnya Negara-Negara Produsen Rudal Balistik Paska Perang Dingin ... 88

a. India ... 91

b. Syria ... 92

c. Pakistan ... 93

2. Ancaman Rogue States terhadap Amerika Serikat ... 94

a. Iran ... 94

b. Korea Utara ... 97

c. Irak ... 98

BAB V PENUTUP Kesimpulan... 105

DAFTAR PUSTAKA ... xv


(11)

x

DAFTAR TABEL

Tabel II.A.1 USSR/Russian ICBM Forces, 1960-1996 ... 24

Tabel III.A.1 US-Soviet Strategic Force Warheads... 45

Tabel III.A.2 US Strategic Offensive Force Loadings 1945-1972 ... 46

Tabel III.A.3 USSR/Russia Strategic Offensive Force Loadings

1956-1972... 47 Tabel IV.B.1.1 Missiles by Categories of Range ... 90


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.A.1 U.S. NIKE Anti Ballistic Missile Program... 20

Gambar II.A.2 U.S. NIKE-ZEUS Anti Ballistic Missile Program ... 22

Gambar II.A.3 U.S. Strategic Air Command (SAC) & U.S. Nike I-Hercules-Talos ... 25

Gambar II.A.4 Sentinel Program ... 30

Gambar IV.A.1.1 Strategic Defense System (SDS) Phase I Architecture Phase I Architecture ... 66

Gambar IV.A.1.2 Brilliant Pebbles (BP) ... 67

Gambar IV. A.3.1 PATRIOT Advanced Capability/PAC-3 ... 77

Gambar IV.A.3.2 Theater High Altitude Area Defense/THAAD ... 77

Gambar IV.A.3.3 Airborne Laser Project ... 78

Gambar IV.A.3.4 AEGIS/Shipborne Aegis Air Defense System... 78

Gambar IV.B.2.a.1 Iranian Shahab-3 Variant MRBM (1.300-2.000 km) ... 94

Gambar IV.B.2.a.2 Iranian Space Launch Vehicle (SLV) ... 95

Gambar IV.B.2.a.3 Iranian Growing Ballistic Missile Threats... 96

Gambar IV.B.2.a.4 Ranges of Iran’s Missiles ... 96

Gambar IV.B.2.b.1 Potential North Korean Long Range Missile Capabilities ... 98

Gambar IV.B.2.c.1 Iraq’s Ballistic Missile Program ... 101

Gambar IV.B.2.c.2 Iraq’s Biological Warheads ... 102

Gambar IV.B.2.c.3 Iraq’s Nuclear Facilities ... 102


(13)

xii

DAFTAR SINGKATAN

ABM Anti Ballistic Missile

ABMIS Airborne Ballistic Missile Intercept System

ANZUS Australia, New Zealand, United States Treaty Organization ARPA Advance Research Projects Agency

BMD Ballistic Missile Defense CIA Central Intelligence Agency COMINFORM Communist Information Bureau DAB Defense Acquisition Board DTS Defense Technology Study

GPALS Global Protection Against Limited Strikes ICBM Intercontinental Ballistic Missile

IRBM Intermediate Range Ballistic Missile MAD Mutual Assured Destruction

MRBM Medium Range Ballistic Missile

NASA National Aeronautics and Space Administration NATO North Atlantic Treaty Organization

NAZI National Sozialistische NIE National Intelligence Estimate NMD National Missile Defense SAC Strategic Air Command

SALT Strategic Arms Limitation Talks SAM Surface to Air Missile

SDI Strategic Defense Initiative


(14)

xiii SDS Strategic Defense System

SEATO South East Asia Treaty Organization SLBM Submarine Launched Ballistic Missiles SRBM Short Range Ballistic Missile

START Strategic Arms Reduction Treaty USSR Union of Soviet Socialist Republics WMD Weapons of Mass Destruction WTO Warsawa Treaty Organization


(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Transkrip Wawancara oleh Peneliti LIPI ... xxii

Lampiran 2 Butir-butir Perjanjian Anti Rudal Balistik antara Amerika Serikat


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai pertahanan dan keamanan sebuah negara, tentunya tidak lepas dari perangkat senjata yang dimiliki oleh negara tersebut. Perlombaan senjata telah diperlihatkan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang bersaing dalam Perang Dingin (Cold War) pada periode 1947-1991 (Bailey 1998: 1).1

Salah satu perangkat senjata bertenaga nuklir yang digunakan Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin adalah rudal balistik. Rudal balistik merupakan perangkat senjata berbentuk peluru kendali yang kekuatannya disuplai oleh tenaga roket sebagai peluncur yang melintas menuju target utama (Doll, Wise, dan Masterson 2012). Rudal balistik diklasifikasikan dari jarak tempuh minimum hingga maksimum, yang fungsinya mengukur seberapa jauh jangkauan rudal dan seberapa besar kekuatan hulu ledak yang dibawanya. Klasifikasi rudal balistik berdasarkan jarak tempuh dapat dikategorikan sebagai berikut; Short-Range Ballistic Missile (70-1.000 km), Medium-Range Ballistic Missile (1.000-3.000 km), Intermediate-Range Ballistic Missile (3.000-5.500 km), Intercontinental Ballistic Missile (5.500 km+) (Feickert 2004: 2).

Pada tahun 1958, Amerika Serikat mulai mengembangkan teknologi rudal balistik dan berhasil di uji coba pada tahun 1962 yang termasuk dalam kategori Intercontinental Ballistic Missile (ICBM). Keberhasilan ini secara resmi dijadikan sebagai kebijakan pertahanan dan keamanan nasional Amerika Serikat pada masa

1

Perang Dingin didefinisikan sebagai suatu kondisi dunia yang hidup dalam bayang-bayang perang nuklir, suatu kondisi dimana dunia diwarnai hubungan antara “damai tetapi tidak damai” dikarenakan pemicu perang nuklir yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet siap meledak (Kort dalam Salamah 2008: 226).


(17)

2

Perang Dingin. Namun pada tahun 1965, Uni Soviet juga berhasil mengembangkan teknologi rudal balistik yang juga termasuk kategori Intercontinental Ballistic Missile (Missile Defense Agency 2013). Kontestasi rudal balistik oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet telah dibuktikan dengan saling mengungguli dari segi kualitas serta kuantitas. Dalam skala jumlah, Amerika Serikat telah mampu memproduksi rudal balistik dengan jumlah 1.640 perangkat. Sementara itu, Uni Soviet memiliki rudal balistik berjumlah 2.380 perangkat (Norris dan Cochran 1997: 13).

Rivalitas produksi rudal balistik dalam hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi aspek pertahanan dan keamanan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, pada tahun 1969, Amerika Serikat berinisiatif mengundang Uni Soviet untuk berdiskusi tentang pengurangan serta pengendalian senjata nuklir dalam bentuk rudal balistik. Pertemuan tersebut bertajuk Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Missile Defense Agency, 2013). Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan Anti Ballistic Missile Treaty yang ditandatangani oleh kedua negara pada tahun 1972 (Kimball dan Collina 2010: 1).

Traktat Anti Rudal Balistik merupakan kesepakatan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mengatur kedua negara agar tidak menyebarkan sistem anti rudal balistik di luar wilayah negara masing-masing. Traktat ini juga mengatur secara ketat penggunaan peluncur serta radar yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan sistem anti rudal balistik oleh kedua negara (Ackerman 2002: 2-3).


(18)

3

Dalam kesepakatan ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet tetap diperbolehkan untuk memasang secara terbatas, yaitu tidak lebih dari 100 rudal penangkal. Hal ini ditolerir untuk kepentingan pertahanan kedua negara tersebut dari kemungkinan serangan negara lain, serta melindungi instalasi rudal balistik yang berada di wilayah Amerika Serikat dan Uni Soviet (Kimball dan Boese 2003: 1).

Meskipun diperbolehkan memiliki 100 perangkat rudal penangkal, Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak diperbolehkan untuk melakukan uji coba rudal balistik baik rudal balistik yang dioperasikan dari darat, laut, maupun udara secara massive (Kimball dan Boese 2003: 1-2). Selain itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet juga dilarang untuk menggunakan sistem radar yang bertujuan mengoperasikan rudal balistik khususnya Intercontinenal Ballistic Missile atau rudal balistik antar benua (Feickert 2004: 2).

Ketentuan lain yang terdapat dalam butir-butir kesepakatan traktat anti rudal balistik yaitu, Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya dibolehkan melakukan uji coba rudal balistik dengan jumlah 15 unit. Butir lainnya yang diatur di dalam traktat yaitu kedua negara dilarang untuk menyebarkan teknologi rudal balistik kepada negara-negara sekutu baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Kesepakatan ini juga mengatur bahwa Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya boleh memproduksi rudal balistik yang termasuk ke dalam kategori Short-Range Ballistic Missile (70-1.000 km), Medium-Range Ballistic Missile (1.000-3.000 km) (Kimball dan Boese 2003: 2).


(19)

4

Pada paska perang dingin, Amerika Serikat menganggap Traktat Anti Rudal balistik semakin tidak efektif dalam konteks pertahanan dan keamanan. Hal ini dikarenakan, ada tiga belas negara yang memproduksi serta mengembangkan teknologi rudal balistik; China, Korea Utara, Korea Selatan, India, Pakistan, Taiwan, Mesir, Iran, Irak, Israel, Ukraina, Libya, dan Syiria. Namun ada enam negara yaitu Iran, Korea Utara, Irak, India, Pakistan, dan Syria yang dianggap sebagai ancaman potensial bagi keamanan nasional Amerika Serikat serta masuk ke dalam kategori Rogue States (Feickert 2004: 2).

Munculnya tiga belas negara tersebut memicu Amerika Serikat untuk merilis kebijakan pertahanan dan keamanan nasional bernama The Strategic Defense Initiative Organization (SDIO) pada tahun 1984. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan program pengembangan rudal balistik yang berbasis luar angkasa. Selain itu, SDIO juga turut mengoptimalkan program rudal balistik kepada seluruh elemen pemerintahan yang ada di Amerika Serikat (Dabrowski 2013: 12).

Pada tahun 1991, yang merupakan akhir dari Perang Dingin, kebijakan pertahanan dan keamanan Amerika Serikat diperkuat dengan menerbitkan program Global Protection Against Limited Strikes (GPALS) (Dabrowski 2013: 14). Program ini difokuskan pada perlindungan wilayah Amerika Serikat dan sekutunya dari serangan rudal balistik kategori Short-Range Ballistic Missile (70-1.000 km) (Feickert, 2004: 2). Dalam kebijakan ini, fokus Amerika Serikat hanya terbatas pada ancaman negara-negara yang telah mampu memproduksi rudal balistik, bukan lagi kepada Uni Soviet/Rusia (Strategic Defense Initiative Organization 1992: 2).


(20)

5

Kebijakan tersebut merupakan awal langkah Amerika Serikat untuk menarik diri dari Traktat Anti Rudal Balistik yang dibentuk tahun 1972. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat menganggap bahwa Traktat Anti Rudal Balistik semakin tidak relevan paska Perang Dingin. Selain itu, Amerika Serikat juga memerlukan sebuah konsep baru terkait pertahanan dan keamanan yang sesuai dengan tantangan-tantangan baru yang berkembang. Oleh karena itu pada tahun 2001 Amerika Serikat menyatakan mundur dari traktat anti rudal balistik sebagai bentuk kebijakan strategis terkait pertahanan dan keamanan (Rusten 2010:1-2).

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini akan mengajukan pertanyaan sebagai berikut;

Apa latar belakang mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan serta menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk melatih analisis dalam aplikasi konsep kebijakan luar negeri dan pengendalian senjata/Arms Control yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan hubungan internasional seperti James N. Rosenau, K.J. Holsti, Richard Dean Burns, dan Jeffrey A. Larsen. Penelitian ini juga mengungkap kondisi persenjataan strategis dalam bentuk rudal balistik, baik yang tergolong ofensif maupun yang defensive yang dimiliki Amerika Serikat dan Uni Soviet/Rusia.


(21)

6 D. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian telah dilakukan seputar masalah mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Lynn F. Rusten yang berjudul “U.S. Withdrawal from Anti Ballistic Missile Treaty” (Rusten 2010: 10). Rusten mengangkat masalah mengenai motivasi mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik yang selama ini terjalin dengan Uni Soviet/Rusia sejak tahun 1972. Dalam penelitiannya, disebutkan bahwa mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik dikarenakan beberapa faktor terkait perubahan strategi serta konsep baru dalam sistem keamanan nasional yang ingin dibangun oleh Amerika Serikat.

Rusten menjelaskan bahwa bentuk keamanan nasional yang diinginkan oleh Amerika Serikat adalah dengan mengaktifkan kembali rudal-rudal yang selama Traktat Anti Rudal Balistik berlangsung justru dibatasi dari segi kuantitas maupun kualitas. Rusten juga menempatkan prioritas keamanan nasional Amerika Serikat yang ditekankan pada pengaturan tentang pembangunan, percobaan dan penyebaran rudal-rudal balistik Amerika Serikat secara luas.

Penelitian lain dalam bentuk skripsi mengenai mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik juga telah dilakukan oleh Seira Wallentina dengan judul “Penarikan Diri Amerika Serikat dari Traktat Anti Ballistic Missile (ABM) tahun 2001” (Wallentina 2003). Skripsi ini menjelaskan bahwa mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik merupakan salah satu strategi keamanan nasional Amerika Serikat untuk menangkal segala potensi ancaman yang tidak hanya datang dari aktor negara tetapi juga dari aktor non negara, salah satunya teroris.


(22)

7

Karya ilmiah lainnya dalam bentuk skripsi yang berhubungan dengan mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik serta kebijakan pertahanan nasionalnya juga ditulis oleh Satrio Adhi Nugroho dengan judul “Pertimbangan Strategis Amerika Serikat dalam Merencanakan Pengadopsian Kebijakan National Missile Defense pada tahun 2001” (Nugroho 2002). Penelitian ini secara umum menjelaskan bahwa kebijakan National Missile Defense yang dirilis Amerika Serikat merupakan alasan utama untuk mundur dari ABM Treaty.

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka isu yang membedakan skripsi ini dengan penelitian sebelumnya yang dijelaskan di atas adalah, skripsi ini berusaha menjelaskan kronologis sejarah perkembangan rudal balistik yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selain itu, skripsi ini juga akan berusaha menjelaskan mengenai berbagai produk kebijakan pertahanan nasional yang dirilis oleh Amerika Serikat pada masa Perang Dingin berlangsung yang dianggap belum memberikan penjelasan secara lengkap. Oleh karena itu skripsi ini berusaha melengkapi berbagai isu menyangkut Traktat Anti Rudal Balistik khususnya yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan nasional yang diterapkan oleh Amerika Serikat secara komprehensif.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, skripsi ini akan menggunakan teori Kebijakan Luar Negeri serta konsep Pengendalian Senjata/Arms Control.


(23)

8 1. Kebijakan Luar Negeri

Menurut James N. Rosenau (1976: 27-32), kebijakan luar negeri merupakan keseluruhan sikap dan aktivitas suatu negara dalam upayanya mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Definisi ini juga dikembangkan oleh Ikrar Nusa Bhakti (2001: 22) yang menjelaskan bahwa tujuan tersebut meliputi baik tujuan politik, ekonomi, dan keamanan, sesuai dengan kepentingan nasionalnya yang telah ditentukan oleh penentu kebijakan luar negeri sebagai hasil dari proses politik.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Malhotra (2004: 185-186), kebijakan luar negeri memiliki beberapa unsur yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi yaitu, ekonomi, pertahanan, dan diplomasi. Ia juga menjelaskan bahwa, kebijakan luar negeri dibuat atas nama negara. Kebijakan luar negeri dirumuskan serta dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah tersebut merupakan perpaduan dari berbagai organisasi dan individu yang memiliki berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Kebijakan luar negeri juga selalu dikondisikan dengan lingkungannya baik domestik maupun eksternal/internasional.

Menurut K.J. Holsti (1992: 269), kebijakan luar negeri merupakan semua tindakan atau aktifitas suatu negara yang memiliki tujuan untuk mempertahankan atau mengubah suatu tujuan, kondisi, atau praktek-praktek dalam lingkungan eksternal suatu negara. Selain itu, kebijakan luar negeri juga dibentuk untuk mempromosikan atau mencapai tujuan yang bersifat domestik seperti keamanan, kesejahteraan, serta prestise.


(24)

9

Pokok permasalahan dalam penentuan kebijakan luar negeri pada umumnya dititikberatkan pada usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan, baik yang berkaitan dengan masalah domestik maupun masalah eksternal/internasional suatu negara serta mempromosikan sebuah perubahan. Lebih lanjut lagi, Holsti (1992: 272) menambahkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri yang dibuat suatu negara, yaitu faktor internal (domestik) dan eksternal (internasional).

Faktor internal dalam hal ini meliputi kondisi sosio ekonomi, karakteristik geografis dan demografi, struktrur pemerintahan, birokrasi, serta atribut nasional. Sementara itu faktor eksternal terdiri dari struktur sistem, karakteristik ekonomi dunia, tujuan dan tindakan aktor-aktor lain, masalah regional dan global, hukum internasional serta opini dunia.

Holsti juga menekankan bahwa di antara berbagai faktor tersebut, kepentingan nasional merupakan bagian faktor internal yang paling berpengaruh dalam kebijakan luar negeri. Sebab, kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh suatu negara didasari atas pertimbangan kepentingan nasional. Joseph Frankel (1988: 93) juga berpendapat lewat bukunya yang berjudul International Relations in a Changing World, mengatakan bahwa kepentingan nasional merupakan kunci utama dari perumusan kebijakan luar negeri yang menjadi pokok utama dari total keseluruhan nilai-nilai nasionalitas suatu bangsa. Frankel juga menambahkan bahwa kepentingan nasional dapat dideskripsikan sebagai suatu gambaran aspirasi rakyat yang dapat diwujudkan dalam suatu gerakan operasional yang menghasilkan suatu aplikasi yang berbentuk kebijakan dan program yang dikeluarkan pemerintah.


(25)

10

Salah satu program pemerintah yang merupakan sebuah rumusan kebijakan luar negeri suatu negara adalah dengan peningkatan kekuatan militer. Peningkatan kekuatan militer tentunya tidak terlepas dari kebijakan suatu negara dalam menyikapi isu keamanan internasional yang mengancam negaranya. Tentunya negara yang mengambil kebijakan untuk meningkatkan kalkulasi kekuatan militernya telah siap untuk menghadapi musuh nyata maupun musuh potensial yang mengancam keamanan nasional suatu negara maupun keamanan sekutunya.

Secara substansi, ada tiga prioritas utama dan merupakan komponen-komponen yang diperlukan oleh AS dan sekutunya dalam perumusan kebijakan luar negeri paska perang dingin berakhir; (1) kepentingan nasional AS difokuskan untuk mempertahankan AS, warga AS di dalam maupun luar negeri, serta sekutunya dari segala bentuk serangan langsung, (2) mencegah agresi yang dapat mengganggu perdamaian internasional, dan (3) mencegah timbulnya proliferasi nuklir (Notosusanto dalam Sudharsono 1996: 117).

2. Arms Control/Pengendalian Senjata

Aktivitas Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet berdampak pada perlombaan senjata dalam skala besar, bahkan konflik kedua negara dikarenakan saling curiga juga diperkuat oleh ketiadaan sistem pengendalian senjata/Arms Control dan perlucutan senjata/Disarmament yang berlaku secara internasional (McNamara dalam Salamah 2008: 225). Akan tetapi, terminologi pengendalian senjata dan perlucutan senjata justru mulai diperkenalkan pada awal tahun 1950, yang dijelaskan oleh Richard Dean Burns (2002: 79) dalam buku yang berjudul Encyclopedia of American Foreign Policy.


(26)

11

Dalam bukunya, Burns mengutip pernyataan mantan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev mengenai Arms Control dan Disarmament. Gorbachev menekankan bahwa aturan mengenai Arms Control dan Disarmament merupakan hal yang mendesak untuk dilaksanakan, seiring menguatnya krisis keamanan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet ketika Perang Dingin berlangsung. Pengaturan tentang pengendalian serta perlucutan senjata dapat direalisasikan dalam bentuk kerjasama bilateral dan multilateral. Kerjasama ini dimaksudkan agar terciptanya netralitas dari ketidakamanan yang disebabkan oleh sistem persenjataan yang dibangun oleh kedua negara (2002: 79).

Pengaturan pengendalian senjata dan perlucutan senjata pada dasarnya difokuskan kepada 2 (dua) tujuan utama yaitu, untuk menstabilkan iklim militer serta mengurangi aktivitas militer suatu negara jika terindikasi terjadinya peperangan. Lebih lanjut lagi, Burns menegaskan bahwa, mekanisme tentang pengendalian dan perlucutan senjata seperti mengurangi, membatasi serta mengatur jenis persenjataan secara normatif tentu dapat menciptakan lingkungan internasional yang stabil. Namun aturan-aturan tersebut tidak dapat menyelesaikan perdebatan mengenai ancaman-ancaman yang berpotensi datang. Burns berasumsi bahwa mekanisme pengaturan senjata harus diperkuat dengan jalur diplomasi antar masing-masing negara, sehingga untuk sementara kekhawatiran yang disebabkan oleh tidak adanya aturan mengenai persenjataan dapat dihilangkan (2002: 80).

Asumsi yang dikemukakan Burns selanjutnya adalah mengenai adanya kebingungan dalam memahami penggunaan istilah pengendalian senjata dan perlucutan senjata. Istilah perlucutan senjata mulai berkembang pada abad ke-19


(27)

12

(sembilan belas) untuk menggambarkan semua upaya-upaya yang berhubungan dengan membatasi, mengurangi serta mengendalikan peperangan. Sementara itu, sebagian masyarakat internasional mengartikan istilah perlucutan senjata sebagai penghapusan senjata secara keseluruhan (2002: 81).

Namun tidak demikian halnya dengan pandangan yang dimiliki oleh sebagian besar diplomat dan kalangan masyarakat internasional lainnya. Para diplomat serta para pemimpin badan-badan internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa menggunakan perlucutan senjata hanya sebagai istilah umum. Hal ini meliputi langkah-langkah yang bertujuan untuk meredakan ketegangan atau membangun kepercayaan diri melalui pengaturan persenjataan, pengendalian senjata hingga nantinya berujung pada perlucutan senjata secara umum dan menyeluruh (Burns 2002: 81).

Seiring perdebatan mengenai penggunaan istilah pengendalian dan perlucutan senjata semakin kompleks, maka pada awal tahun 1950 para akademisi yang fokus mengenai teknologi nuklir dan senjata ofensif mulai menggunakan istilah Pengendalian Senjata. Bagi para akademisi, istilah perlucutan senjata tidak hanya memiliki kelemahan dari segi arti, tetapi juga terkesan berharap dengan kondisi yang tidak mungkin terjadi. Namun berbeda halnya dengan Pengendalian Senjata yang justru mengutamakan kerjasama internasional yang berstatus sebagai musuh potensial. Kerjasama ini dirancang untuk mengurangi kemungkinan konflik atau bahkan konflik yang akan terjadi (Burns 2002: 81-82).

Asumsi lain mengenai konsep Pengendalian Senjata juga dikemukakan oleh Jeffrey A. Larsen. Larsen (2002: 1) menjelaskan bahwa pengendalian senjata dapat didefinisikan sebagai bentuk perjanjian antar negara untuk mengatur


(28)

13

beberapa aspek terkait potensi serta kemampuan militer masing-masing negara. Perjanjian tersebut tentunya berlaku untuk lokasi, jumlah, kesiapan serta jenis kekuatan militer yang meliputi senjata dan fasilitas pendukung lainnya. Apapun tujuan serta cakupannya, setiap perencanaan terkait pengendalian senjata memiliki satu faktor penting yang harus disepakati bersama oleh masing-masing negara; setiap negara mensyaratkan format kerjasama yang disesuaikan dengan program militer mereka (2002: 1-2).

Larsen juga menyatakan bahwa pengendalian senjata merupakan sarana untuk meningkatkan keamanan nasional suatu negara. Adanya pengendalian senjata memicu setiap negara untuk meningkatkan kemampuan persenjataannya, yang secara tidak langsung akan menciptakan stabilitas keamanan serta mengurangi kemungkinan terjadinya perang. Konsep pengendalian senjata dalam penelitian ini difokuskan untuk menjelaskan traktat anti rudal balistik terkait latar belakang, prinsip, tujuan serta fungsinya bagi kerjasama AS dan Uni Soviet (2002: 2).

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (Moleong 2007: 4). Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini tentunya bersifat deskriptif analitis. Artinya penelitian ini melihat permasalahan yang ada dan akan dikaitkan dengan teori, konsep serta pendekatan yang ada di dalam ilmu hubungan internasional (Mas’oed 1990: 223).


(29)

14

Penelitian kualitatif cenderung memberikan ruang analisis yang cukup luas dalam berbagai format berupa wawancara, riset sumber dokumen dan riset media. Metode kualitatif juga terfokus pada usaha mengeksplorasi secara detail peristiwa yang dipandang menarik untuk diteliti. Tujuannya adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam, bukan meluas. (Harrison 2007: 86). Definisi penelitian kualitatif sendiri adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur statistik atau cara-cara lain berupa pengukuran. Pengumpulan data dalam metode kualitatif terdiri dari empat tipe, yaitu observasi, dokumen, interview serta gambar visual yang masing-masing memiliki fungsi dan keterbatasan (Creswell dalam Nasution 2003: 23).

Secara umum, langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: pertama, melakukan pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library research) berupa buku, artikel, jurnal, dokumen resmi serta informasi melalui media internet. Studi kepustakaan juga dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian (Hasyim, 1995: 147).

Kedua, setelah data diperoleh maka dilakukan analisis terhadap data tersebut. Instrumen lain yang bertujuan memperkuat hasil penelitian ini adalah proses wawancara dengan melibatkan ahli terkait pengkajian strategis khususnya mengenai kebijakan serta perjanjian keamanan yang dilakukan Amerika Serikat.


(30)

15 G. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Tujuan Penelitian D. Tinjauan Pustaka E. Kerangka Pemikiran F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan

BAB II Traktat Anti Rudal Balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang

Dingin

B. Latar Belakang dan Prinsip Traktat Anti Rudal Balistik

C. Sejarah Singkat Komitmen Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Traktat Anti Rudal Balistik

BAB III Melemahnya Komitmen Amerika Serikat dalam Traktat Anti Rudal Balistik (ABM Treaty)

A. Komitmen Awal Amerika Serikat Bergabung dalam Traktat Anti Rudal Balistik

B. Aktivitas Amerika Serikat di dalam Traktat Anti Rudal Balistik C. Kebijakan Amerika Serikat mundur dari ABM Treaty


(31)

16

BAB IV Latar Belakang Mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik (ABM Treaty)

A. Faktor Internal:

1. Penguatan Kebijakan Strategic Defense Initiative (SDI) 2. Perkembangan Kebijakan Global Protection Against

Limited Strikes (GPALS) Paska Berakhirnya Perang Dingin 3. Dinamika Kebijakan Ballistic Missile Defense dan National Missile Defense dalam Sistem Pertahanan Nasional Amerika Serikat

B. Faktor Eksternal:

1. Munculnya Negara-Negara Produsen Rudal Balisitk Paska Perang Dingin

a. India b. Syria c. Pakistan

2. Eksistensi Rogue States sebagai Prioritas Utama Kebijakan Pertahanan Amerika Serikat

a. Iran

b. Korea Utara c. Irak

BAB V Penutup


(32)

17 BAB II

TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC MISSILE

TREATY)

Kesepakatan Traktat Anti Rudal Balistik yang melibatkan Amerika Serikat dan Uni Soviet merupakan langkah strategis dalam upaya pengendalian rudal ofensif oleh kedua negara. Salah satu tujuan dari dibentuknya kesepakatan tersebut secara teoretis memiliki 2 (dua) poin utama yaitu, untuk menstabilkan iklim militer serta mengurangi aktivitas militer jika terindikasi akan terjadinya peperangan antar kedua negara (Burns 2002: 80).

Pada dasarnya langkah yang diambil Amerika Serikat melalui Presiden Nixon dan Uni Soviet oleh Presiden Leonid Brezhnev terkait pembatasan senjata ofensif telah dimulai pada tahun 1969 di Helsinki, Finlandia yang dinamakan Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Smith 2000: 6). Pertemuan serta perundingan ini pertama kali diinisiasi oleh Amerika Serikat sebagai bentuk implementasi dari 2 (dua) poin penting yang ditetapkan Senat ketika menyetujui program Safeguard oleh pemerintah. Salah satu poin tersebut adalah mengharuskan pemerintah Amerika Serikat untuk segera mengadakan pertemuan dengan Uni Soviet dan membicarakan perihal pembatasan senjata ofensif (Smith 2000: 6).

Perundingan tersebut pada akhirnya berjalan dengan lancar yang secara resmi ditandatangani pada bulan November tahun 1969 dan kedua negara khususnya Uni Soviet berkomitmen untuk melanjutkan perundingan ke tahapan berikutnya (Kaplan, 2008: 11). Salah satu alasan Uni Soviet untuk berkomitmen dalam hal pembatasan senjata adalah dikarenakan Amerika Serikat mampu


(33)

18

menciptakan “Bargaining Chip” dengan Uni Soviet melalui teknologi Safeguard (Kaplan 2008: 12). Hal ini sebelumnya pernah ditekankan oleh Presiden Lyndon B. Johnson ketika mengajukan Safeguard sebagai bentuk posisi tawar kepada Uni Soviet untuk berunding terkait pembatasan senjata ofensif. Tidak hanya itu, Presiden Johnson dianggap oleh Uni Soviet sebagai tokoh yang mampu meyakinkan Soviet tentang bahaya senjata yang dilengkapi dengan hulu ledak nuklir (Salamah, 2008: 229).

A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin Argumentasi yang dikemukakan oleh Rosenau (1976: 27-32) tentang konsep kebijakan luar negeri suatu negara khususnya Amerika Serikat menjelaskan bahwa, negara akan mampu berperang dalam segi finansial untuk memenuhi kebutuhan negaranya terkait pertahanan nasionalnya. Hal ini secara langsung dibuktikan oleh Amerika Serikat dengan mengeluarkan dana sekitar 70 juta dolar dalam kurun waktu 3 (tiga) dekade, yakni dimulai pada awal tahun 1960 sampai 1990 untuk pemenuhan kebutuhan keamanan nasionalnya (Payne 2000: 171).

Urgensi yang ditekankan Amerika Serikat dengan dana jutaan dolar tersebut adalah untuk penelitian serta pengembangan program pertahanan nasional Amerika Serikat bernama Ballistic Missile Defense (BMD) System (Payne 2000: 171). Payne (2000: 171) dalam tulisannya juga menjelaskan bahwa BMD merupakan sistem pertahanan negara yang terdiri dari perangkat rudal pencegat yang dilengkapi dengan sensor yang mampu menjangkau serta melindungi 50 (lima puluh) negara bagian di Amerika Serikat.


(34)

19

Sistem rudal pencegat ini juga turut serta melindungi wilayah perairan dan salju Amerika Serikat yakni Hawai dan Alaska (Neuneck dan Schaaf 2000: 3). Rudal pencegat yang dimiliki oleh Amerika Serikat tersebut difokuskan untuk menangkal setiap serangan rudal dengan kategori Intermediate Range Ballistic Missile (IRBM) yang berjarak 3.000-5.500km (Feickert 2004: 2-3).

Dalam perkembangannya, teknologi yang terafiliasi dalam sistem BMD meliputi kemampuan dalam mengidentifikasi setiap serangan yang datang, kemampuan dalam manajemen peperangan serta sistem utama yakni sistem navigasi rudal pencegat (Neuneck dan Schaaf 2000: 3-4). Secara historis, penerapan sistem pertahanan strategis Amerika Serikat yang dikenal dengan NMD telah dimulai pada tahun 1952, bersamaan dengan berlangsungnya babak baru perang dingin (Cold War). Pada saat itu, Amerika Serikat berhasil membangun pangkalan rudal di Fort Meade negara bagian Maryland untuk melindungi kota-kota utama Amerika Serikat serta wilayah industri dari serangan udara Uni Soviet (Baucom 2001: 15).

Proyek NMD Amerika Serikat selanjutnya dikembangkan pada tahun 1955 oleh The Army Commisioned Bell Telephone Laboratories yang merupakan lembaga penelitian yang membidangi keamanan udara Amerika Serikat (Baucom 1995: 33). Lembaga ini bekerjasama dengan The Western Electric Company untuk mempertimbangkan pembangunan Anti Ballistic Missile System (ABM). Perusahaan ini berhasil meneliti serta mengembangkan generasi pertama rudal non-nuklir berjenis NIKE I-Ajax Antiaircraft Surface to Air Missile (SAM) (Kaplan 2009: 2-3).


(35)

20

Pada tahun yang sama perusahaan ini juga berhasil mengembangkan rudal anti balistik generasi kedua yang kali ini terafiliasi dengan tenaga nuklir bernama NIKE I-Hercules dan difungsikan sebagai pencegat atas serangan rudal oleh Uni Soviet. Secara umum, generasi rudal pencegat yang dikembangkan oleh Amerika Serikat merupakan sistem pertahanan nasional terpadu. Sistem ini telah memiliki teknologi radar untuk melacak dan mengelola pertempuran yang disertai perangkat komunikasi yang bertujuan melindungi seluruh negara bagian dan kota-kota utama di Amerika Serikat (Kaplan 2009: 4).

Proyek rudal Amerika Serikat ini bukan satu-satunya yang berkembang pada Perang Dingin. Pada September 1955, Uni Soviet juga telah berhasil meluncurkan rudal balistik dengan kode SS-1B Scud A yang dioperasikan melalui perangkat kapal selam (Submarine) (Polmar 1994: 1). Rudal ini merupakan teknologi rudal balistik pertama yang dikembangkan oleh Uni Soviet dengan menggunakan perangkat nuklir sebagai zona pertahanan dan keamanan Uni Soviet sejak memulai konfrontasi dengan Amerika Serikat (Gansler 2010: 37).

Gambar II.A.1. U.S. NIKE Anti Ballistic Missile Program

Sumber: Kaplan, The U.S. Army’s First Anti Ballistic Missile, Missile Defense Agency, 2009


(36)

21

Secara praktis, rudal ini mampu mencegat rudal yang dikirim oleh Uni Soviet ke wilayah Amerika Serikat. Namun muncul perdebatan mengenai kinerja rudal tersebut dari para ilmuwan yang membidangi persenjataan strategis. Beberapa ilmuwan yang fokus terhadap perkembangan rudal Amerika Serikat menyatakan bahwa rudal berjenis NIKE (Ajax & Hercules) tidak mampu mencegat rudal lainnya yang menyerang teritorial Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan kecepatan rudal pencegat diprediksi tidak akan mampu menjangkau rudal balistik yang menyerang wilayah Amerika Serikat. Akan tetapi, Bell Telephone Laboratories telah melakukan percobaan pada tahun 1956 dengan menempatkan sebanyak 50.000 rudal pencegat melalui percobaan komputer analog dengan rudal balistik sebagai targetnya (Boucom 1995: 33). Hasilnya, rudal ini mampu mencegat rudal yang menyerang wilayah Amerika Serikat dengan target ketinggian dan kecepatan rata-rata di udara 24.000 kaki per detik (Kaplan 2009: 4).

Fokus utama dalam memfungsikan rudal tersebut telah ditekankan oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu yakni Charles E. Wilson kepada angkatan darat dan angkatan udara. Wilson menegaskan pada bulan November 1956, bahwa angkatan darat fokus terhadap pengamanan wilayah geografis, kota-kota utama serta instalasi vital yang berhubungan dengan keamanan dan pertahanan Amerika Serikat. Sementara itu, angkatan udara fokus terhadap pengamanan wilayah kompleks industri dan pusat-pusat konsentrasi populasi penduduk Amerika Serikat (Kaplan 2009: 4-5).


(37)

22

Konsentrasi Amerika Serikat terhadap aspek pertahanan dan keamanan nasionalnya dilanjutkan pada tahun 1957 dengan mengembangkan rudal pencegat generasi ketiga. Proyek rudal generasi ketiga ini dikenal dengan model NIKE-II atau NIKE-ZEUS/A-B Model, setelah sebelumnya Amerika Serikat merilis NIKE-I/Ajax dan Hercules. Ditinjau dari segi teknologi, sistem rudal ini menggunakan hulu ledak nuklir sebagai pencegat yang kemampuannya melebihi teknologi rudal sebelumnya (Kaplan 2009: 5). Hal ini dikarenakan teknologi yang digunakan dalam rangkaian rudal ini mampu menjangkau atmosfir bumi (Zeus Exoatmospheric) untuk mencegat serangan rudal ke Amerika Serikat (Kaplan, 2009: 5).

Gambar II.A.2. U.S. NIKE-ZEUS Anti Ballistic Missile Program

Sumber: Kaplan, Missile Defense: The First Sixty Years, Missile Defense Agency, 2008

Namun tidak lama setelah Amerika Serikat merilis rangkaian rudal pencegat, Uni Soviet meluncurkan satelit Sputnik yang merupakan satelit ruang angkasa pertama di dunia (Kaplan 2009: 6). Peluncuran satelit Sputnik oleh Uni Soviet menandakan dimulainya era persenjataan rudal ofensif berjenis


(38)

23

Intercontinental Ballistic Missile (ICBM) (Boucom 2001: 14). Penerapan satelit Sputnik oleh Uni Soviet dibuktikan secara langsung dengan melakukan uji coba rudal balistik pertama yang menggunakan kategori ICBM yang memiliki jangkauan 5.500km+. Paska uji coba tersebut, Amerika Serikat memprediksi bahwa Uni Soviet akan memiliki lebih dari 500 perangkat rudal balistik dengan kategori ICBM dalam beberapa tahun kemudian (Gansler 2010: 37).

Paska uji coba rudal balistik dengan kode SS-1B Scud A yang berbasis kapal selam, serta peluncuran satelit Sputnik, Uni Soviet terus mengembangkan rudal balistik dengan kapasitas ICBM. Hal ini dibuktikan kembali oleh Uni Soviet dengan meluncurkan dua rudal ICBM dengan kode SS-9 dan SS-10 (Steury 1996: 191).

Adanya persaingan senjata nuklir dalam bentuk rudal balistik yang dihadapi kedua negara dipicu oleh konsep Nuclear Detterence yang diterapkan oleh Amerika Serikat, namun hal ini tidak berlaku bagi politik luar negeri Uni Soviet secara umum. Konsep Nuclear Detterence merupakan konsep yang digunakan Amerika Serikat dengan argumentasi bahwa musuh dapat dicegah untuk menggunakan senjata nuklir dengan cara mengembangkan senjata nuklir lainnya (Salamah 2008: 229).

Peniadaan konsep Nuclear Detterence dalam rencana kebijakan luar negeri Uni Soviet berdampak pada kelanjutan pengembangan rudal balistik yang tidak hanya terbatas pada segi kualitas, namun juga menyangkut kuantitas. Berikut ini tabel yang merilis jumlah rudal balistik kategori ICBM yang dimiliki Uni Soviet (Norris, Cochran 1997: 28);


(39)

24

Tabel II.A.1. USSR/Russian ICBM Forces, 1960-1996

Sumber: Norris dan Cochran, US-USSR/Russian Strategic Offensive Nuclear Forces 1945-1996, Natural Resources Defense Council, Inc, 1997 Perkembangan senjata ofensif Uni Soviet dengan melakukan uji coba rudal balistik berjenis ICBM tentunya menjadi ancaman serius bagi keamanan wilayah Amerika Serikat. Hal ini diperkuat dengan laporan yang dirilis oleh The Ford Foundation selaku badan konsultan keamanan nasional Amerika Serikat. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa prioritas utama yang diperlukan Amerika Serikat saat ini adalah perlindungan terhadap keamanan nasional khususnya warga negara Amerika Serikat dari serangan Uni Soviet (Kaplan 2009: 7).


(40)

25

Oleh karena itu, badan ini merekomendasikan penangkal utama atas serangan Uni Soviet adalah penggunaan pesawat pembom atau Strategic Air Command (SAC) yang terafiliasi dengan rudal balistik berjenis Nike I-Hercules dan Nike I-Talos. Pesawat ini tentunya juga telah dilengkapi dengan sistem peringatan dini atas serangan rudal yang ditujukan ke Amerika Serikat (Kaplan 2009: 7).

Gambar II.A.3. U.S. Strategic Air Command (SAC) & U.S. Nike I-Hercules-Talos

Sumber: Kaplan, The U.S. Army’s First Anti Ballistic Missile, Missile Defense Agency, 2009

Perangkat pertahanan udara ini akan ditempatkan di wilayah-wilayah strategis yang menjadi pusat populasi penduduk dan pemerintahan di Amerika Serikat.

Respon Amerika Serikat terhadap peluncuran satelit Sputnik serta uji coba rangkaian rudal berjenis ICBM oleh Uni Soviet dilanjutkan dengan membentuk The Advance Research Projects Agency (ARPA) pada tahun 1958 (Gansler 2010: 37-38). Badan ini merupakan bagian dari misi strategis program pertahanan rudal yang diinisiasi pembentukannya oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu Neil H. McElroy serta menjadi tanggung jawab Angkatan Darat Amerika Serikat dalam pengoperasiannya (Kaplan 2009: 8).


(41)

26

ARPA secara umum bertugas meneliti serta mengembangkan sistem pertahanan rudal untuk menangkal ancaman rudal balistik yang dimiliki Uni Soviet. Secara spesifik ARPA bernaung pada Project Defender Program yang secara langsung mengeksplorasi serta mengujicoba teknologi rudal terbaru berjenis ICBM yang menghabiskan dana sebesar 200 juta dolar (Gansler 2010: 38).

ARPA berhasil mengembangkan teknologi rudal yang lebih maju dibandingkan produk-produk rudal sebelumnya yang dimiliki Amerika Serikat. Teknologi rudal balistik berjenis ICBM yang dimiliki Amerika Serikat mulai dilengkapi dengan sinar laser untuk mendeteksi serangan rudal musuh. Selain itu teknologi rudal terbaru yang dikembangkan ARPA adalah dengan merilis Ballistic Missile Boost Intercept (BAMBI). Teknologi ini merupakan perangkat rudal pencegat yang diluncurkan melalui satelit ruang angkasa atau dikenal dengan Space-Based Boost Intercept System. Tidak hanya itu, ARPA juga berhasil menguji serta mengembangkan sistem deteksi dan pelacakan melalui satelit yang ditempatkan pada rudal pencegat yang berbasis di darat/Ground-Based Interceptors (Gansler 2010: 38-39).

Ekspansi teknologi yang dilakukan Amerika Serikat melalui ARPA terkait inovasi rudal balistik tentunya telah berbasis hulu ledak nuklir. Selain itu, peningkatan sistem partikel cahaya dan sinar laser sebagai pendeteksi serangan musuh menjadi inovasi penting dalam teknologi rudal balistik Amerika Serikat untuk mengimbangi teknologi yang dimiliki Uni Soviet (Gansler 2010: 39).

ARPA berhasil merampungkan seluruh rangkaian teknologi yang terdapat pada rudal balistik pada tahun 1960. Keberhasilan ini diperkuat dengan rangkaian


(42)

27

uji coba untuk mengetahui kemampuan sistem elektronik melalui navigasi komputer yang berfungsi pada radar. Paska uji coba sistem komputer yang telah terafiliasi pada rudal balistik, maka pada tahun 1962 Amerika Serikat mulai mengujicoba secara keseluruhan kemampuan mencegat dari serangan rudal balistik berjenis ICBM yang bernama Minuteman I kepada publik (Gansler 2010: 39).

Percobaan ini dilakukan dengan menempatkan rudal pencegat Nike-Zeus yang diluncurkan dari wilayah Kwajalein, daerah di dekat Kepulauan Marshall (Marshall Island) yang merupakan wilayah Pasifik Selatan. Sementara itu, Minuteman I diluncurkan dari lokasi penempatan rudal di perairan Pasifik untuk selanjutnya dicegat oleh rudal Nike-Zeus, dan percobaan ini berhasil dicapai (Boucom 1995: 34).

Namun rangkaian uji coba tersebut tidak diiringi dengan proses penyebaran perangkat rudal pencegat berjenis ICBM di wilayah Amerika Serikat dan sekutunya. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat mempertimbangkan atas 2 (dua) hal, yaitu menyangkut kekhawatiran mengenai efek dari ledakan yang disebabkan oleh hulu ledak nuklir, dan persoalan mengenai biaya produksi rudal yang cukup tinggi dalam neraca anggaran pemerintah Amerika Serikat (Gansler 2010: 40).

Kedua faktor yang dikemukakan di atas tidak menjadi halangan bagi Amerika Serikat untuk terus mengembangkan serta meningkatkan kualitas teknologi rudal balistik. Setahun berikutnya yakni pada 1963 di era pemerintahan Presiden John F. Kennedy, Amerika Serikat mulai mengembangkan rangkaian Anti Ballistic Missile (ABM) berikutnya bernama NIKE-X sebagai upaya


(43)

28

antisipasi serangan rudal balistik milik Uni Soviet (Smith, 2000: 3). Rangkaian rudal balistik ini memiliki 2 (dua) perangkat utama berhulu ledak nuklir yang bernama Spartan dan Sprint, Spartan merupakan rudal balistik ditujukan untuk mencegat serangan rudal balistik lain melalui jalur luar angkasa. Sementara Sprint ditujukan untuk mencegat serangan rudal yang diluncurkan melalui jalur udara (Gansler 2010: 40-41).

Setahun kemudian yakni pada tahun 1964, Uni Soviet secara langsung merespon pembangunan instalasi rudal balistik NIKE-X milik Amerika Serikat dengan menciptakan sistem anti rudal balistik bernama Galosh (Gansler 2010: 41). Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Menteri Pertahanan saat itu Robert S. McNamara, bahwasanya Uni Soviet telah menempatkan perangkat anti rudal balistik tersebut di seluruh wilayah Moskow dan pernyataan ini juga secara langsung disampaikan dihadapan publik Amerika Serikat (Boucom 1995: 35).

Kondisi tersebut menginisiasi Amerika Serikat untuk menempatkan instalasi NIKE-X di 12 (dua belas) lokasi strategis pada tahun 1965. Hal ini tentunya bertujuan untuk mengantisipasi setiap ancaman serangan rudal dari Uni Soviet. Akan tetapi pada tahun yang sama, McNamara menghentikan program penyebaran instalasi rudal balistik tersebut dikarenakan hanya akan membuat Uni Soviet menciptakan lebih banyak rudal untuk disebarluaskan (Gansler 2010: 42).

Prediksi yang dikemukakan oleh McNamara tidak lantas membuat Uni Soviet mengurangi intensitas penyebaran sistem anti rudal balistik di negaranya. Pada tahun 1966 berdasarkan informasi yang dirilis dari pihak intelijen Amerika Serikat bahwa Uni Soviet telah menempatkan sistem anti rudal balistik Galosh ke seluruh kota yang ada di Uni Soviet (Boucom 1995: 35). Kebijakan yang


(44)

29

diterapkan oleh Uni Soviet tersebut tentunya memicu ketegangan yang berkelanjutan antar kedua negara. Amerika Serikat melalui Menteri Pertahanan McNamara (Gansler 2010: 43) menyatakan bahwa;

The U.S. reaction to the Soviet deployment of a ballistic missile defense system would not be the deployment of more U.S. defensive systems; instead, it would be the deployment of more and better offensive systems” Pernyataan McNamara tersebut menekankan bahwa Amerika Serikat tidak akan menyebarkan sistem anti rudal balistik yang bersifat defensif, melainkan sebagai sistem terpadu yang bersifat ofensif, yang kapan saja dapat menyerang Uni Soviet (Gansler 2010: 43).

Dalam hal ini, Amerika Serikat secara realistis menyadari bahwa semakin sulit untuk menghentikan intensitas penyebaran rudal balistik yang dimiliki Uni Soviet. Kesulitan ini tentunya dapat dilihat dari gagalnya Presiden Amerika Serikat saat itu Lyndon Baines Johnson dalam membentuk sebuah kesepakatan berupa perjanjian internasional yang berhubungan dengan pengendalian senjata ofensif dengan Uni Soviet (Kaplan 2008: 10). Oleh karena itu pada tahun 1967 Amerika Serikat melanjutkan program pengembangan sistem anti rudal balistik terbaru bernama Sentinel yang bertujuan untuk mengantisipasi serangan rudal ICBM yang dimiliki Uni Soviet (Smith 2000: 3-4).

Secara resmi, pembangunan instalasi serta penyebaran sistem anti rudal balistik Sentinel diumumkan oleh McNamara dengan menekankan pada 2 (dua) poin utama. Pertama, upaya pembangunan sistem anti rudal balistik jenis terbaru yakni Sentinel hanya akan meningkatkan rivalitas serta volume kepemilikan rudal ofensif antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua, pada dasarnya yang diperlukan dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional cukup bertumpu pada teknologi rudal yang telah ada tanpa harus membangun sebuah sistem anti rudal balistik yang baru (Smith 2000: 4).


(45)

30

Sentinel merupakan perangkat anti rudal balistik yang masih mengandalkan teknologi Sprint dan Spartan yang terdapat di dalam rudal NIKE-X. Teknologi ini terafiliasi dengan model baru dalam sistem kapal selam yang bernama Sea-Based Anti Ballistic Missile Intercept System (SABMIS) yang disebar di wilayah perairan pasifik barat dan atlantik utara (Kaplan 2008: 11). Perangkat Sentinel juga diterapkan pada pesawat tempur bernama Airborne Ballistic Missile Intercept System (ABMIS) yang bertujuan untuk menghadang lintasan rudal balistik Uni Soviet yang diluncurkan melalui kapal selam (Kaplan 2008: 11-12).

Gambar II.A.4. Sentinel Progam

Sumber: Kaplan, Kaplan, Missile Defense: The First Sixty Years, Missile Defense Agency, 2008

Namun pada awal tahun 1968 muncul perdebatan yang dikemukakan oleh Presiden Johnson tentang rencana pembangunan instalasi ICBM dari yang sebelumnya berbasis kapal selam juga akan dikembangkan ke basis darat/ Land-Based ICBM (Kaplan 2008: 12). Hal ini dikarenakan Presiden Lyndon B. Johnson memprediksi bahwa Uni Soviet akan mendominasi serta meningkatkan teknologi rudal dalam skala besar melalui jalur udara, darat serta laut.


(46)

31

Presiden Johnson juga menegaskan bahwa pembangunan instalasi ICBM dengan skala besar bertujuan untuk melindungi wilayah Amerika Serikat serta menjadi “Bargaining Chip” atau posisi tawar untuk menjalin kerjasama pengendalian senjata dengan Uni Soviet (Kaplan 2008: 13). Akan tetapi isu perdebatan mengenai rencana peningkatan teknologi pada rudal balistik pada akhirnya diselesaikan pada tahun 1969 ketika Presiden Lyndon B. Johnson digantikan oleh Presiden Richard M. Nixon. Hal ini berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan Melvin Laird yang menghentikan penyebaran Sentinel secara luas untuk ditinjau oleh pemerintahan baru Amerika Serikat yang dipegang oleh Presiden Nixon (Boucom 1995: 35-36).

Hasil tinjauan atas kebijakan strategis Amerika Serikat terkait pertahanan dan keamanan secara langsung diumumkan oleh Presiden Nixon pada pertengahan tahun 1969. Presiden Nixon memutuskan untuk membentuk program pertahanan dan keamanan baru bagi Amerika Serikat bernama “Safeguard Program” (Kaplan 2008: 14). Safeguard merupakan bentuk reorientasi dari kebijakan pertahanan Amerika Serikat yang lebih memfokuskan perlindungan terhadap instalasi rudal ICBM Minuteman ketimbang perlindungan terhadap kota-kota strategis di Amerika Serikat (Gansler 2010: 43-44).

Apabila ditinjau dari segi teknologi, Safeguard masih mengandalkan kemampuan rudal Sentinel yang dibangun pada era Presiden Lyndon B. Johnson. Letak perbedaannya telah dijelaskan hanya pada wilayah perlindungan yang lebih cenderung fokus pada pengamanan instalasi rudal ICBM Minuteman (Boucom 1995: 36). Selain itu, Safeguard bertujuan untuk melindungi Pusat Komando Strategis Angkatan Udara (Strategic Air Command), serta perlindungan


(47)

32

menyeluruh terhadap Otoritas Komando Nasional (National Command Authority) yang berbasis di Washington, DC (Smith 2000: 4).

Dirilisnya Safeguard sebagai program pertahanan dan keamanan Amerika Serikat tentunya tidak lepas dari perdebatan-perdebatan yang mengemuka di publik Amerika Serikat. Beragam reaksi terjadi dalam menanggapi isu penyebaran Safeguard, diantaranya para ilmuwan melakukan aksi mogok, mengadakan pertemuan dengan berbagai elemen masyakarat serta aksi demonstrasi di pusat kota Washington sebagai bentuk protes atas keputusan pemerintah yang ingin membangun serta menyebarkan Safeguard (Gansler 2010: 44)

Bentuk protes juga berlangsung di Kongres Amerika Serikat pada saat melakukan voting untuk menyetujui kebijakan pemerintah dalam menyebarkan Safeguard. Kondisi ini mengakibatkan Kongres terpecah dikarenakan masalah tersebut. Hal ini terbukti dari hasil voting yang menunjukkan persentase 50/50. Akan tetapi jajak pendapat yang dilaksanakan oleh pemerintah menunjukkan hasil positif dengan mendapatkan dukungan masyarakat sebesar 84% yang sebelumnya hanya mendapat dukungan 47%, meskipun banyak di antara publik Amerika Serikat yang tidak peduli dengan persoalan ini (Gansler 2010: 45).

Sikap protes yang ditunjukkan oleh para pemangku kepentingan dalam kebijakan pertahanan Amerika Serikat cenderung dikarenakan kekhawatiran yang disebabkan kemajuan senjata nuklir yang dimiliki Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kemajuan ini tentunya berdampak pada ancaman perang nuklir antar kedua negara yang pada akhirnya disimpulkan tidak ada satu pun yang akan menang selain kemungkinan untuk saling menghancurkan satu sama lain (Gansler 2010: 46).


(48)

33

Kontroversi serta berbagai perdebatan yang terjadi di Amerika Serikat pada akhirnya terselesaikan pada Agustus 1969 ketika Senat menyetujui program pemerintah untuk menyebarkan instalasi Safeguard (Smith 2004: 4-5). Keputusan Senat yang menyetujui program pemerintah tersebut tentunya tidak lepas dari kritik yang menekankan pada 2 (dua) poin utama; pertama, Amerika Serikat harus menyetujui untuk memulai pembicaraan dengan Uni Soviet terkait pengendalian serta pembatasan senjata ofensif. Kedua, Amerika Serikat harus tetap konsisten dengan sistem pertahanannya meskipun Uni Soviet telah mengurangi intensitas pembangunan senjata ofensif di negaranya (Smith 2000: 5-6).

Secara resmi pada tahun 1970, Amerika Serikat mulai menempatkan Safeguard di wilayah instalasi rudal ICBM Minuteman yang berlokasi di Grand Forks, North Dakota. Penyebaran ini tentunya sebagai “Bargaining Chip” Amerika Serikat terhadap Uni Soviet agar bersedia berunding mengenai rencana pengurangan senjata ofensif (Smith 2000: 6). Hal ini secara langsung direspon positif oleh kedua negara dengan mengadakan pertemuan bertajuk Strategic Arms Limitation Talks yang menghasilkan perjanjian Anti Ballistic Missile Treaty pada tahun 1972 sebagai langkah strategis dalam upaya pengendalian rudal ofensif (Gansler 2010: 46-47). Traktat ini mengatur secara ketat bagi kedua negara untuk menyebarkan perangkat anti rudal balistik yang terbatas pada 2 (dua) lokasi yaitu wilayah ibukota negara dan di area instalasi ICBM Amerika Serikat dan Uni Soviet (Hildreth 2007: 2-3).

B. Latar Belakang dan Prinsip Traktat Anti Rudal Balistik

Pada tahun 1969, Amerika Serikat secara formal mengundang Uni Soviet untuk berdiskusi soal pengurangan dan pengendalian senjata nuklir. Pertemuan


(49)

34

tersebut dinamakan dengan Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Missile Defense Agency, 2013). Dalam pertemuan tersebut, kedua negara sepakat untuk menandatangani kerjasama dalam bidang pertahanan dan keamanan yang dinamakan Anti Ballistic Missile Treaty pada bulan Mei tahun 1972 (Kimball dan Collina 2010: 1).

Traktat Anti Rudal Balistik secara formal ditandatangani di Moskow yang kemudian pada bulan agustus Senat Amerika Serikat memberi masukan dan menyetujui traktat tersebut. Sebulan berikutnya Presiden Amerika Serikat Richard Nixon meratifikasi traktat tersebut dan mulai diberlakukan pada bulan Oktober 1972 (Ackerman 2002: 1).

Traktat Anti Rudal Balistik merupakan kerjasama bilateral antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang secara umum difokuskan pada pembatasan dan penyebaran jumlah serta kualitas dari sistem anti rudal balistik yang dimiliki oleh kedua negara (Hildreth 2007: 1-2). Traktat Anti Rudal Balistik juga menitikberatkan pada pembatasan produksi serta kepemilikan sistem anti rudal balistik oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam kesepakatan tersebut, kedua pihak menegaskan bahwa pembatasan perangkat anti rudal balistik akan menjadi faktor substansial dan utama dalam mengendalikan perlombaan senjata ofensif yang dimiliki oleh kedua negara (Kimball dan Boese 2003: 1). Selain itu Traktat Anti Rudal Balistik difokuskan untuk menjaga keseimbangan senjata nuklir dengan mengurangi risiko perlombaan senjata dalam bentuk sistem anti rudal balistik (The Parliamentary Office of Science and Technology 2000).

Kesepakatan tersebut mengatur tiap-tiap negara hanya boleh menyebarkan dua instalasi rudal anti balistik. Traktat ini memastikan bahwa masing-masing


(50)

35

negara tidak dapat menempatkan sistem pertahanan anti rudal untuk melindungi seluruh wilayah negaranya, apalagi membangun instalasi tersebut secara berkelanjutan (U.S. Department of State 2013). Pada awal berlangsungnya kesepakatan, Amerika Serikat mengusulkan agar traktat tersebut membatasi penyebaran instalasi anti rudal balistik Rusia berjumlah satu lokasi di sekitar Moskow. Selain itu, Amerika Serikat menginginkan agar dapat menyebarkan perangkat anti rudal balistik sebanyak empat lokasi di sekitar instalasi ICBM (Hildreth 2007: 2).

Namun, usulan ini ditolak oleh Rusia dan mendesak agar Amerika Serikat membentuk kesepakatan yang seimbang dan proporsional untuk diterapkan kepada kedua negara. Rusia juga memberikan reaksi yang sama ketika Amerika Serikat mengusulkan agar traktat tersebut mengizinkan salah satu negara untuk menyebarkan satu instalasi untuk melindungi ibukota negara dan dua instalasi sebagai pelindung perangkat ICBM (Hildreth 2007: 2).

Adanya perdebatan tersebut, pada akhirnya memutuskan pemerintahan Amerika Serikat melalui Presiden Richard Nixon untuk menyetujui kesepakatan yang proporsional dalam penyebaran anti rudal balistik. Kesepakatan yang dibuat pada tahun 1972 tersebut membolehkan kedua negara untuk menyebarkan sistem anti rudal di dua lokasi yakni; pertama di lokasi untuk melindungi ibukota negara, dan kedua di wilayah tempat pengoperasion rudal antar benua (ICBM) (Woolf, 2006: 11).

Format yang diatur dalam kesepakatan yang ditetapkan pada tahun 1972 menetapkan masing-masing negara menyebarkan dua instalasi dengan komposisi satu instalasi untuk melindungi ibukota dan satu instalasi ditempatkan di lokasi


(51)

36

ICBM (Hildreth, 2007: 2). Namun pada tahun 1974, kedua negara mengadakan konferensi tingkat tinggi untuk membahas lebih lanjut mengenai kerjasama anti rudal yang dirilis oleh kedua negara. Hasil pertemuan tersebut memutuskan bahwa kedua negara sepakat untuk mengamandemen traktat yang ditandatangani pada tahun 1972. Traktat yang dirilis sebelumnya menyatakan bahwa kedua negara dibolehkan untuk menempatkan sistem anti rudal di wilayah ibukota negara dan di pangkalan rudal ICBM. Namun pada tahun 1974, Amandemen Traktat tersebut hanya membolehkan kedua negara untuk menempatkan sistem anti rudal balistik di salah satu lokasi. Oleh karena itu dalam penerapannya, Amerika Serikat memilih untuk menempatkan 100 (seratus) rudal pencegat dan peluncur di wilayah instalasi rudal ICBM, di dekat Grand Forks, North Dakota (Woolf 2006: 11-12).

Sementara itu, Rusia menempatkan sistem anti rudal balistik dengan jumlah yang sama yakni 100 (seratus) perangkat di ibukota Moskow (Woolf 2006: 12). Amandemen dalam traktat ini juga memberikan fleksibilitas bagi kedua negara untuk menyesuaikan penempatan instalasi rudal balistik. Sebagai contoh, jika Amerika Serikat ingin menempatkan anti rudal balistik di Washington maka Amerika Serikat harus mencopot instalasi ICBM yang berada di North Dakota (www.state.gov).

Pada dasarnya, prinsip yang terdapat dalam ABM Treaty didasarkan pada isi traktat itu sendiri yang mengatur tentang pembatasan penyebaran sistem anti rudal balistik yang mengikat kedua negara, dan terdapat di dalam butir-butir antara lain sebagai berikut (Ackerman 2002: 2-3):


(52)

37

! “not to deploy ABM systems for a defense of the territory of its country ... [or] for defense of an individual region except as provided in Article III” (Article I);

Dilarang untuk menyebarkan sistem rudal penangkal dengan tujuan mempertahankan wilayah suatu negara atau untuk mempertahankan keamanan negara lain kecuali jika hal tersebut dimungkinkan melalui Pasal III yang terdapat dalam traktat. (Pasal I).

! “not to develop, test, or deploy ABM systems or components which are sea-based, air-based, space-based, or mobile land-based” (Article V); Dilarang mengujicoba serta menyebarkan sistem rudal penangkal atau perangkat lainnya yang berbasis di darat, laut, udara hingga ruang angkasa. (Pasal V).

!“not to give missiles, launchers, or radars, other than ABM interceptor missiles, ABM launchers, or ABM radars, capabilities to counter strategic ballistic missiles or their elements in flight trajectory, and not to test them in an ABM mode” (Article VI);

Dilarang menempatkan rudal, peluncur atau radar selain yang terdapat pada rudal penangkal, peluncur rudal penangkal dan radar yang digunakan untuk rudal penangkal dalam mengantisipasi serangan rudal balistik. (Pasal VI)

! “not to deploy in the future radars for early warning of strategic ballistic missile attack except at locations along the periphery of its national territory and oriented outward” (Article VI); and

Dilarang untuk menyebarkan teknologi radar terbaru sebagai sistem peringatan dini dari serangan rudal balistik kecuali pada lokasi perbatasan suatu negara. (Pasal VI).

! “not to transfer to other States, and not to deploy outside its national territory, ABM systems or their components limited by this Treaty” (Article IX).

Dilarang mengirim teknologi rudal penangkal kepada negara lain dan dilarang untuk disebarkan di luar wilayah nasional suatu negara. (Pasal VI).

Butir-butir artikel yang terdapat di dalam traktat anti rudal balistik di atas secara umum melarang bagi kedua negara untuk menyebarkan sistem anti rudal balistik di luar wilayah negara masing-masing. Selain itu traktat ini juga mengatur secara ketat penggunaan peluncur serta radar yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan sistem anti rudal balistik oleh kedua negara. Radar hanya boleh digunakan di wilayah territorial negaranya sendiri atau dengan kata lain, radar


(53)

38

hanya boleh digunakan disekeliling kawasan yang menjadi wilayah keamanan nasional dari kedua negara.

Selama kedua negara berada dalam posisi terikat oleh Traktat Anti Rudal Balistik, maka tidak dibenarkan bagi kedua negara untuk membangun penangkal rudal balistik berteknologi tinggi dan menyebarkannya di luar wilayah yang menjadi fokus keamanan nasional masing-masing negara. Selain itu, tidak dibenarkan bagi kedua negara untuk melakukan percobaan sistem anti rudal balistik di wilayah kedua negara yang memicu tensi tinggi dari kedua negara dari segi keamanan.

Akan tetapi, traktat ini juga memiliki butir-butir yang memberikan kebebasan bagi salah satu negara untuk mundur dari traktat, dan traktat ini juga memiliki durasi waktu yang tidak terbatas. Aturan ini tentunya memberikan kebebasan bagi negara untuk keluar dari traktat tanpa ada pihak-pihak yang menghalanginya. Butir-butir yang menyatakan traktat ini memiliki durasi waktu yang tidak terbatas dan memberikan hak kepada masing-masing negara untuk mundur adalah sebagai berikut:

“Party shall, in exercising its national sovereignty, have the right to withdraw from this Each Treaty if it decides that extraordinary events related to the subject matter ofthis Treaty have jeopardized its supreme interests. It shall give notice of its decision to the other Party six months prior to withdrawal from the Treaty. Such notice shall include a statement of the extraordinary events the notifying Party regards as having jeopardized its supreme interests.” (Ackerman, 2002: 3-4).

Dalam upaya mempertahankan kedaulatan nasional negaranya, maka masing-masing negara yang bergabung ke dalam Traktat Anti Rudal Balistik memiliki hak untuk menarik diri dari traktat tersebut jika dikemudian hari ditemukan ancaman terhadap salah satu negara yang membahayakan kepentingan nasional suatu negara. Oleh karena itu jika rencana itu ingin dilakukan maka salah satu negara harus memberitahukan rencana tersebut enam bulan sebelum pernyataan mundur secara resmi disampaikan. Pernyataan tersebut harus disertai penjelasan mengenai


(54)

39

alasan strategis serta bentuk ancaman seperti apa yang mengharuskan salah satu negara mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik.

Traktat ini menyatakan bahwa setiap negara memiliki hak untuk keluar atau mundur dari traktat apabila keamanan nasional suatu negara berada dalam posisi terancam. Selain itu disebutkan juga bahwa syarat untuk keluar dari traktat adalah setelah traktat ini berlaku dalam jangka waktu di atas enam bulan. Secara formal, jika ada salah satu pihak dalam hal ini negara harus menyertakan pemberitahuan resmi dalam bentuk kesepakatan baik bilateral maupun multilateral yang menegaskan sikap pengunduran diri tersebut (Ackerman, 2002: 3).

C. Sejarah Singkat Komitmen Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam ABM Treaty

Hubungan strategis antara Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet) telah terjalin sejak bergulirnya Perang Dunia II (World War II) pada tahun 1941. Pada saat itu Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet menjadi sekutu untuk melawan kekuatan National Sozialistische (NAZI) Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler (Overy 2011). Dominasi disertai kemenangan pasukan sekutu (Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet) menandai berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, dan menyisakan dua kekuatan adidaya yakni, barat (Amerika Serikat) dan timur (Uni Soviet).

Pada saat yang bersamaan, terjadi perdebatan mengenai dua pola pikir tentang bagaimana hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan negara lain serta bagaimana hubungan antarnegara. Perdebatan ini muncul melalui gagasan Winston Churchill (Perdana Menteri Inggris) yang menekankan perlunya pembagian wilayah pengaruh antara Amerika Serikat dan Soviet secara jelas,


(55)

40

khususnya di Eropa. Sementara Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika Serikat) menghendaki suatu kerjasama dan hubungan yang komplementer bagi tiap negara dengan mendudukkan negara-negara besar sebagai penjaga-penjamin perdamaian dunia. (MacNamara dalam Salamah 2008: 225).

Namun pada praktiknya, Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak memiliki hubungan yang ideal paska berakhirnya Perang Dunia II. Kedua negara ini saling curiga dan tidak merasa aman satu dengan yang lainnya (MacNamara dalam Salamah 2008: 225). Ketegangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menjadikan kedua negara terlibat dalam arena perang tertutup yang dinamakan Perang Dingin (Cold War). Perang Dingin merupakan babak baru dalam peta konstelasi politik internasional yang berlangsung pada tahun 1947 sampai pertengahan tahun 1991 (Baty 2008: 2).

Dalam perkembangannya, Perang Dingin makin menajam seriring perlombaan senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua negara saling mengungguli dari segi kualitas maupun kuantitas. Salah satu manifestasi persaingan keduanya dalam perang dingin adalah mengenai kepemilikan rudal balistik (ballistic missile). Rudal balistik merupakan perangkat senjata berbentuk peluru kendali yang kekuatannya disuplai oleh tenaga roket sebagai peluncur yang melintas menuju target utama. Rudal balistik diklasifikasikan dari jarak tempuh minimum hingga maksimum, yang fungsinya mengukur seberapa jauh jangkauan rudal dan seberapa besar kekuatan hulu ledak yang dibawanya (Doll, Wise, dan Masterson 2012).


(56)

41

Kepemilikan Amerika Serikat dan Uni Soviet atas rudal balistik terdiri dari Intercontinental Ballistic Missiles (ICBM) dan Submarine Launched Ballistic Missiles (SLBM) yang keduanya memiliki jangkuan lebih dari 5.500 km serta memiliki hulu ledak nuklir (nuclear warheads) (Feickert 2004: 6). Dalam skala jumlah, Uni Soviet memproduksi 2.380 perangkat rudal balistik yang sudah termasuk dalam kategori ICBM dan SLBM. Sementara itu, Amerika Serikat memiliki rudal balistik dengan kategori yang sama sebanyak 1.640 perangkat (Norris dan Cochran 1997: 13).

Akan tetapi, kepemilikan rudal balistik oleh kedua negara justru berpotensi menimbulkan masalah berskala nasional, regional, bahkan internasional bagi kedua negara. Faktor utama yang menimbulkan masalah nasional bagi kedua negara adalah dikarenakan Amerika Serikat dan Uni Soviet memiliki rudal balistik berhulu ledak nuklir dan diprediksi dapat menyerang satu sama lain dengan menggunakan perangkat ICBM (Feickert 2004: 1).

Potensi kedua negara untuk saling menghancurkan satu sama lain membawa pada perdebatan mengenai doktrin Mutual Assured Destruction (MAD). MAD secara konsep mampu meyakinkan kedua negara mengenai kemungkinan saling menghancurkan jika kedua negara berinisiatif melakukan perang nuklir secara terbuka. MAD juga dianggap sebagai dokrin yang dihasilkan melalui aktivitas Detterence, yang pada akhirnya menjaga kedua negara untuk tidak saling menyerang dengan menggunakan senjata nuklir (Pifer et al.2010).

Selain itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet juga menghadapi potensi masalah dalam skala internasional atas kepemilikan rudal balistik oleh negara-negara di luar Traktat Anti Rudal Balistik seperti Iran, Korea Utara, Irak, India,


(57)

42

Pakistan, dan Israel. Beberapa negara dalam daftar tersebut bahkan menyembunyikan instalasi program rudal balistiknya. Mereka cenderung menyamarkan pembuatan rudal balistik dengan pabrik pesawat ruang angkasa maupun pesawat komersil. Hal ini cukup menyulitkan para agen intelijen untuk melacak keberadaan instalasi program rudal balistik yang sedang dikembangkan (Feickert 2004: 2-3). Kalkulasi keamanan demi kepentingan Amerika Serikat dan Uni Soviet pun semakin sulit dilakukan dengan adanya kondisi tersebut.

Masalah lainnya yang berskala internasional yang dihadapi Amerika Serikat dan Rusia adalah mengenai penyebaran agen-agen intelijen oleh negara-negara yang telah berhasil mengembangkan rudal balistik (Feickert 2004: 3). Berbagai ancaman tersebut pada akhirnya membuat kedua negara sepakat untuk mengembangkan kerjasama arms control (Pengendalian Senjata), untuk jenis senjata ICBM yang dinamakan dengan Strategic Arms Limitation Talks (SALT) pada tahun 1969 (Kimball dan Collina 2010: 1-2). Kerjasama SALT merupakan langkah awal dalam upaya mengendalikan perlombaan senjata nuklir.

Paska SALT terbentuk, maka kedua negara sepakat untuk melanjutkan kerjasama pengendalian senjata yang lebih komprehensif dengan menyepakati Traktat Anti Rudal Balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) pada tahun 1972. Kerjasama yang disepakati oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet tersebut merupakan langkah strategis kedua negara dalam meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur (Siswanto 2013).


(58)

43 BAB III

MELEMAHNYA KOMITMEN AMERIKA SERIKAT DALAM TRAKTAT

ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC MISSILE TREATY)

Pada Bab III ini, penulis membahas tentang skema kebijakan dalam dan luar negeri Amerika Serikat ketika menginisiasi pembentukan Traktat Anti Rudal Balistik. Kebijakan ini tentunya mencakup berbagai alasan-alasan strategis yang dimiliki Amerika Serikat dalam membentuk traktat anti rudal balistik. Selain itu, faktor kontribusi yang diberikan Amerika Serikat dalam usaha membatasi kepemilikan senjata ofensif juga termasuk sebagai pembahasan penting dalam Bab ini. Penulis akan mengembangkan Bab ini dengan menggunakan konsep kebijakan luar negeri serta konsep Arms Control/Pengendalian Senjata yang menjadi dasar analisis dalam penelitian ini.

A. Komitmen Awal Amerika Serikat Dalam Traktat Anti Rudal Balistik Dimulainya kesepakatan pengendalian senjata antara kedua negara tentunya harus dilihat secara komprehensif. Pada era Presiden Nixon, kesepakatan mengenai pengendalian senjata strategis memang merupakan masa-masa peredaan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur. Era Presiden Nixon dapat dikatakan sebagai antiklimaks dari era Presiden-Presiden Amerika Serikat lainnya yang secara kontinu tetap memilih untuk berkonfrontasi dengan Uni Soviet secara militer.2 Kerjasama pengendalian senjata tersebut tentunya menjadi proses yang positif bagi kedua negara baik secara politik maupun ekonomi. Amerika Serikat

2

Konfrontasi militer dalam konteks ini diartikan sebagai perlombaan senjata yang terus dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet tanpa ada inisiatif dari salah satu negara untuk meredakan tensi militer dengan mengadakan kerjasama pengendalian senjata (Siswanto, 25 November 2013).


(59)

44

dalam hal ini menyadari bahwa membangun perangkat militer dalam bentuk rudal balistik cukup menyita anggaran pemerintah. Oleh karena itu Amerika Serikat memutuskan untuk memulai kerjasama pengendalian senjata strategis dengan Uni Soviet yang salah satunya untuk menstabilkan sistem ekonomi dengan tetap mengedepankan perimbangan kekuatan (Siswanto, 25 November 2013).

Secara formal, Traktat Anti Rudal Balistik merupakan salah satu bentuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam usaha menyetabilkan kondisi keamanan internasional. Amerika Serikat tentunya telah memiliki pertimbangan serta alasan strategis dalam memulai kerjasama pengendalian senjata ofensif khususnya rudal balistik. Pertimbangan ini tentunya menyangkut potensi kekuatan militer, kuantitas serta kesiapan teknis material militer disertai fasilitas pendukungnya (Larsen 2001: 1).

Selain itu, bergabungnya Amerika Serikat ke dalam Traktat Anti Rudal Balistik memiliki alasan yang signifikan terkait fokus utama dalam menjaga situasi keamanan nasional Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1950 s/d 1960-an Amerika Serikat sudah terlibat dalam perlombaan senjata nuklir melalui inovasi rudal balistik dengan Uni Soviet. Kontestasi ini difokuskan pada 2 (dua) sektor penting yaitu pertama, fokus kepada peningkatan kualitas dan kuantitas persenjataan ofensif dengan tenaga nuklir, serta pengutamaan pada ketahanan dan kemampuan sistem persenjataan yang dimiliki oleh kedua negara. Sektor kedua mengarah pada inovasi pembangunan instalasi rudal defensif yang didesain untuk menghadang setiap ancaman serta serangan rudal balistik (Axton 2001: 126).


(60)

45

Kontinuitas perlombaan senjata nuklir dalam bentuk rudal balistik yang melibatkan kedua negara dalam segi kualitas serta kuantitas telah dirilis oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat (U.S. Department of Defense) dalam Laporan Tahunan (Annual Report) kepada Kongres tahun 1967. Laporan tahunan ini berisi perbandingan jumlah senjata nuklir yang dimiliki Amerika Serikat dan Uni Soviet. Laporan ini dirilis berdasarkan data yang dihimpun dari Unit Intelijen Militer, Badan Keamanan Nasional, CIA (Central Intelligence Agency), serta Departemen Energi (Department of Energy) (Norris dan Cochran 1997: 4).

Estimasi jumlah senjata nuklir yang dimiliki Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mencakup kendaraan pengebom serta rudal balistik dapat dilihati di bawah ini;

Tabel III.A.1. US-Soviet Strategic Force Warheads

Sumber: Norris dan Cochran, US-USSR/Russian Strategic Offensive Nuclear Forces 1945-1996, Natural Resources Defense Council, Inc, 1997


(61)

46

Pemerintah Amerika Serikat juga merilis secara spesifik jumlah rudal balistik kategori ICBM serta Submarine-Launched Ballistic Missile (SLBM) kedua negara;

Tabel III.A.2. U.S. Strategic Offensive Force Loadings 1945-1972

Sumber: Norris dan Cochran, US-USSR/Russian Strategic Offensive Nuclear Forces 1945-1996, Natural Resources Defense Council, Inc, 1997


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)