Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Keterkaitannya dengan Luas Ruang Terbuka Hijau ( Studi Kasus Kota Bogor )

(1)

PERUBAHAN PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN LUAS RUANG TERBUKA HIJAU

( STUDI KASUS KOTA BOGOR )

CHAIDA CHAIRUNNISA A14080034

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

CHAIDA CHAIRUNNISA. Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Keterkaitannya dengan Luas Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus Kota Bogor).

Di bawah bimbingan KOMARSA GANDASASMITA dan KHURSATUL MUNIBAH.

Kehadiran sebuah kota mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan penduduk agar dapat bertahan dan melanjutkan hidup serta meningkatkan kualitas hidup. Namun seiring perkembangan suatu kota, terdapat beberapa masalah perkotaan yang cukup pelik untuk diatasi. Peningkatan penduduk yang sangat cepat disertai peningkatan pendapatan per kapita masyarakat telah mengakibatkan adanya kebutuhan akan lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Perkembangan perkotaan membawa kepada konsekuensi negatif terhadap lingkungan.

Lingkungan kota cenderung berkembang secara ekonomis dan menurun secara ekologis dimana kota cenderung mengarah kepada pembangunan fisik seperti pembangunan sarana dan prasarana. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perubahan penggunaan/penutupan lahan Kota Bogor periode Tahun 2000-2011 serta kaitannya dengan perubahan luas RTH, menganalisis tingkat konsisten/inkonsistensi perkembangan RTH berdasarkan peruntukan RTRW Kota Bogor, dan menganalisis tingkat perkembangan Kota Bogor berdasarkan dengan ketersediaan RTH.

Penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor pada tahun 2000 dan 2011 terbagi menjadi penggunaan/penutupan lahan yang tergolong RTH dan non RTH. Penggunaan/Penutupan lahan yang tergolong RTH adalah sawah, ladang, kebun raya, lapangan olah raga, tempat pemakaman umum, pepohonan, dan semak sedangkan yang tergolong non RTH adalah tanah terbuka, badan air (situ, kolam, dan sungai), serta areal terbangun yang terdiri dari bangunan permukiman dan bangunan non permukiman (industri, istana negara, kesehatan, pendidikan, perhubungan, perdagangan, perkantoran, rel kereta api, serta jalan). Sebaran penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor baik pada tahun 2000 maupun 2011, didominasi oleh permukiman, sawah, dan pepohonan. Luasan permukiman mengalami peningkatan dari 4.469,9 Ha menjadi 5.289,8 Ha, luas sawah menurun dari 2.904 Ha menjadi 2.452 Ha, dan luas pepohonan menurun dari 2.431,2 Ha


(3)

menjadi 2.108,1 Ha. Permukiman mengalami peningkatan terbesar akibat adanya alih fungsi lahan sawah sebesar 360,3 Ha.

Kriteria kesesuaian berdasarkan RTRW terbagi menjadi konsisten, konsisten belum terbangun, dan tidak konsisten. Luas penggunaan/penutupan lahan yang konsisten terhadap peruntukan RTRW sebesar 6.352,2 Ha, konsisten belum terbangun sebesar 5.300 Ha, sedangkan luas yang tidak konsisten sebesar 41,6 Ha. Inkonsistensi terbesar terjadi pada daerah yang seharusnya diperuntukkan sebagai kawasan pertanian namun telah terbangun menjadi permukiman sebesar 11,3 Ha.

Kota Bogor memiliki 7 kelurahan yang tergolong hirarki I, 22 kelurahan tergolong hirarki II, dan 39 kelurahan tergolong hirarki III. Tingkatan hirarki berbanding lurus dengan indeks/tingkat perkembangan desa, namun berbanding terbalik dengan keberadaan RTH. Berdasarkan hasil perhitungan data, persentase luas RTH Kota Bogor sebesar 46,6 % dimana daerah dengan hirarki 1 memiliki RTH sebesar 3,4 %, hirarki II sebesar 11,4 %, dan hirarki III sebesar 31,8 %. Jika dihubungkan dengan tingkat inkonsistensi, pada wilayah hirarki I, terdapat inkonsistensi luas penggunaan/penutupan lahan sebesar 0,2 %, hirarki II 0,3 %, dan hirarki III sebesar 0,4%.


(4)

SUMMARY

CHAIDA CHAIRUNNISA. Changes of Land Use/Land Cover and its Association with the Area Green Open Space ( A Case Study of Bogor City). Under supervised by KOMARSA GANDASASMITA and KHURSATUL MUNIBAH.

The presence of a city has a goal to meet the needs of the population in order to survive and continue living and improve quality of life. However, with the development of a city, there are some fairly complicated urban problems to overcome. Rapid increase in population accompanied by an increase in income per capita has resulted in the need for land to meet the needs of food, clothing, and shelter. Urban developments lead to negative consequences for the environment.

Urban environment tends to develop economically and decline ecologically where the city tends to lead to physical development such as infrastructure development. This research was conducted to analyze the change of land use/land cover of Bogor City period 2000-2011, analyzed the level consistent/inconsistent RTH development based on RTRW Bogor City allotment, and analyzed the level of development of Bogor City based on the RTH condition. Land use/land cover in Bogor City in 2000 and 2011 divided into land use/land cover of land classified as RTH and Non-RTH. Land use/land cover which is classified as RTH such as paddy, upland fields, botanical garden, sport fields, public cemeteries, trees, and bushes. While land use/land cover which is classified as non RTH such as bare soil, pools, situ, rivers, settlement, build non settlement (industry, state palace, health area, educations area, station and terminal, commerce area, offices roads, railway stations, and road). Distribution of land use/land cover in the City of Bogor both in 2000 and 2011, dominated by settlements, paddy, and trees. The size of settlements hectares increased from 4.469,9 Ha to 5.289,8 Ha, the large of paddy decreased from 2.904 Ha to 2.452 Ha, and the area of trees decreased from 2.341,2 Ha to 2.108,1 Ha. Settlements experiencing the largest increase due to 360,3 Ha consequence paddy conversion.

Appropriateness criteria based RTRW divided into consistent, undeveloped consistent, and inconsistent. The large of land use/land cover which is consistent with the designation is 6.352,2 Ha, undeveloped consistent is in the amount of 5.300 Ha, while the inconsistent is in the amount of 41,6 Ha. The


(5)

greatest inconsistency occurred in the area should be designated as an agricultural area, but has been 11,3 Ha settlement.

Bogor City has 7 villages which belong to the hierarchy I, 22 villages belonging to the hierarchy II, and 39 villages belonging to the hierarchy III. Based on the calculations of data, the large percentage of Bogor City green open space is 46,6% where the area with the hierarchy I has the RTH by 3,4%, 11.4% hierarchy II, and 31,8% hierarchy III. While connected to the level of inconsistency, the region of hierarchy I, there are inconsistencies in large of land use/land cover of 0,2%, 0,3% hierarchy II, and hierarchy III by 0,4%.


(6)

PERUBAHAN PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN LUAS RUANG TERBUKA HIJAU

(STUDI KASUS KOTA BOGOR)

CHAIDA CHAIRUNNISA A14080034

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(7)

Judul Penelitian : Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Keterkaitannya dengan Luas Ruang Terbuka Hijau ( Studi Kasus Kota Bogor )

Nama Mahasiswa : Chaida Chairunnisa

NIM : A14080034

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I

NIP. 19550111 197603 1 001 Dr. Ir. Komarsa Gandasamita. M.Sc

Dosen Pembimbing II

NIP. 19620515 199003 2 001 Dr. Khursatul Munibah. M.Sc

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

NIP. 19621113 198703 1 003 Dr. Ir. Syaiful Anwar. M.Sc


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Chaida Chairunnisa, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Agustus 1990. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Chaidir, S.E dan Jubaedah.

Penulis mengawali pendidikan formal di T.K.I.T dan S.D.I.T AL-MANAR, yang diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 03 Kota Bekasi dan selesai pada tahun 2005. Penulis meneruskan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas di MA Negri 01 Kota Bekasi dan meyelesaikannya pada tahun 2008.

Pada tahun 2008, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam setiap kegiatan Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan. Dalam kegiatan akademik, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Agrogeologi pada tahun 2009-2010, asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial pada tahun 2010-2011 dan 2011-2012, asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap pada tahun 2011-2012, serta asisten praktikum mata kuliah Sistem Informasi Geografis pada tahun 2011-2012. Penulis juga pernah tergabung dalam kepanitian Seminar Nasional Soil Disaster and Remote Sensing.


(9)

KATA PENGANTAR Assalammu’alaikum. Wr. Wb

Bismillahirrahmanirrahiim. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian ini berjudul “Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Keterkaitannya dengan Luas Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus Kota Bogor)”.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian dalam rangka sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan bagi para pembacanya .

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku Pembimbing Akademik serta Pembimbing Skripsi Utama yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, perhatian, saran, nasihat serta motivasi kepada penulis.

2. Dr. Khursatul Munibah, M.Sc selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan dukungan, perhatian dan masukan bagi penulis dalam kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Dyah Retno Panuju, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Keluarga tercinta, mama, papa, yang selalu berada di samping penulis, senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, perhatian, motivasi dan mendo’akan penulis setiap waktu, serta terima kasih adik-adik ku tersayang “Rizaldy Anhar, Muhammad Ahsan, dan Muhammad Irham syah”, kalian merupakan motivasi terbesar penulis.

5. Sahabat Selamanya “SHASENYA” (latifah, nia, ros, rudi, dan febri), terima kasih atas persaudaraan kita selama ini, atas dukungan dan canda


(10)

tawa, terima kasih telah menjadi pendengar bagi semua keluh kesah serta curahan hati penulis, bangga memiliki kalian.

6. Mega Yeni Purba dan Taufan Saleh yang selalu ada di samping penulis, membuat hidup penulis menjadi lebih berwarna, terima kasih atas kebersamaan dan semua cerita yang kita lalui selama empat tahun ini. Sangat beruntung mengenal dan menghabiskan waktu bersama kalian. 7. Kak Hanna Aditya Januarisky, yang telah sabar, dan rela meluangkan

waktunya kepada penulis untuk membantu segala hal yang penulis perlukan.

8. Ghera Lozy Elio Hakim dan Faqihna Pidin yang telah rela membantu dan meluangkan waktu untuk menemani penulis dalam melakukan cek lapang. 9. Merina Jayantika, yang selalu direpotkan dan menjadi teman diskusi

penulis, terima kasih atas bantuannya selama ini.

10.Tutuk Lufitayanti, yang selalu ada ketika penulis meminta bantuan. Terima kasih atas waktu yang telah disediakan untuk membantu penulis. 11.Teman-teman seperjuangan di bagian penginderaan jauh dan informasi

spasial : novia, memey, barry, ardly, siti, lintang, dan dicky.

12.Teman-teman SOIL’45, terima kasih atas kebersamaannya selama ini, senang bisa menjadi bagian dari kalian.

13.BAPPEDA dan BPS Kota Bogor yang telah banyak membantu memberikan data-data yang diperlukan penulis untuk penelitian.

14.Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bogor, Maret 2013


(11)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Lahan, Penggunaan Lahan, dan Penutupan Lahan ... 4

2.2. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya 5 2.4. Ruang Terbuka Hijau ... 8

2.4.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau ... 8

2.5. Pengelompokkan dan Bentuk-Bentuk Ruang Terbuka Hijau ... 9

2.6. Fungsi Ruang Terbuka Hijau………... 12

2.7. Peraturan Terkait Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan 13

2.7.1. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah……… 13

2.7.2. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk…………. 14

2.7.3. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu.. 14

2.7.4. Penyediaan RTH Berdasarkan Sebaran atau Distribusi RTH 14 2.8. Penginderaan Jauh………... ... .. 14

2.9. Interpretasi Citra……….. 16

2.10. Citra Ikonos dan Citra WorldView……….. 18

2.11. Sistem Informasi Geografis……….. 20

BAB III METODOLOGI ... 22

3.1. Lokasi dan waktu penelitian ... 22

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 22

3.3. Metode penelitian ... 24

3.3.1. Tahap Persiapan ... 24

3.3.2. Tahap Pengumpulan Data ... 24


(12)

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 28

4.1. Kondisi Geografis ... 28

4.2. Topografis dan Geologis... 29

4.3. Klimatologi ... 30

4.4. Gambaran Arah Perkembangan Fisik Kota Bogor ... 30

4.5. Demografi Wilayah dan Jumlah Penduduk Tahun 2010………… 31

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1. Interpretasi Penutupan Lahan melalui Citra WorldView ... 32

5.2. Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Periode Tahun 2000-201142 5.2.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Periode Tahun 2000-2011… 42 5.2.2. Perubahan RTH dan Non-RTH Periode Tahun 2000-2011… 42 5.2.3. Sebaran RTH dan Non-RTH Periode Tahun 2000-2011…… 47

5.3 Analisis Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Berdasarkan Peruntukan RTRW Periode Tahun 2011-2031……….. 51

5.4. Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah……….. 53

5.5 Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan RTH serta Kaitannya dengan Tingkat Perkembangan Wilayah……….. 53

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN……… 58

6.1. Simpulan ... . 58

6.2. Saran ... . 58


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Karakteristik Dasar Satelit Ikonos…... 18

2. Karakteristik Dasar Satelit WorldView………... 19

3. Bahan Penelitian……… .22

4. Alat Penelitian……….………22

5. Variabel Fasilitas yang digunakan dalam Analisis Skalogram……….. 26

6. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Tahun 2010………. 31

7. Matrik Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Periode Tahun 2000-2011……….. 44

8. Alih Fungsi Lahan RTH dan Non-RTH ……… 45

9. Luas Penggunaan/Penutupan Lahan yang Berubah menjadi Permukiman Menurut Kecamatan………... 47

10.Luas Sebaran RTH dan Non-RTH periode Tahun 2000-2011 Menurut Kecamatan……….. 47


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Diagram Alir Penelitian………. 23

2. Peta Administrasi Kota Bogor………. ...28

3. Peta Penggunaan/Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2000 dan 2011 ...43

4. Peta Sebaran RTH dan Non-RTH Tahun 2000 dan 2011……….. 50

5. Luas Areal Berdasarkan Kriteria Konsistensi……….51

6. Luas Areal Inkonsistensi……… ....52

7. Peta Ketidaksesuaian Penggunaan/Penutupan Lahan dengan RTRW…….. .52

8. Peta Hirarki Kota Bogor………. ....54

9. Persentase Luas RTH pada Masing-masing Hirarki……… ...56


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1. Luas Area Non-RTH dan RTH per Kecamatan Tahun 2000 ... 61

2. Luas Area Non-RTH dan RTH per Kecamatan Tahun 2011... 62

3. Tingkatan Hirarki Wilayah Kota Bogor... 63

4. Luas RTH berdasarkan Tingkatan Hirarki... 66

5. Hubungan Kriteria Konsisitensi dengan Tingkatan Hirarki... 68


(16)

1.1 Latar Belakang

Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas dimana dalam kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Adakalanya kota didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada kenyataannya, kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak dimensi. Kota merupakan sebuah sistem yaitu sistem terbuka, baik secara fisik maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis dan dinamis atau bersifat sementara (Irwan, 2005). Namun seiring perkembangan suatu kota, terdapat beberapa masalah perkotaan yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa kepada konsekuensi negatif terhadap beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Lingkungan kota cenderung berkembang secara ekonomis dan menurun secara ekologis dimana kota cenderung mengarah kepada pembangunan fisik seperti pembangunan sarana dan prasarana.

Peningkatan penduduk yang sangat cepat disertai peningkatan pendapatan per kapita masyarakat telah mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Tingginya kebutuhan lahan di perkotaan menyebabkan penguasaan lahan yang tidak jarang kegiatan ini dapat mengganggu wilayah atau kawasan yang memiliki fungsi strategis tertentu sehingga akan terjadi perubahan-perubahan penggunaan lahan. Pada tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka. Namun seiring meningkatnya taraf hidup, kemampuan, dan kebutuhan hidup manusia, maka ruang-ruang terbuka tersebut, khususnya ruang terbuka hijau banyak dialihfungsikan menjadi kawasan atau ruang terbangun seperti permukiman, bandar udara, industri, jaringan jalan, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya.

Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan, Ruang Terbuka Hijau merupakan ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, pada dasarnya tanpa bangunan. RTH sendiri secara normatif diharapkan memiliki multi fungsi bagi kehidupan kota, yaitu fungsi bio-ekologis, fungsi sosial-ekonomi-budaya, dan fungsi estetis.


(17)

Fungsi bio-ekologis dari RTH dapat sebagai sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, produsen oksigen, penyediaan habitat satwa, penyerap polutan dari media udara, air dan tanah, serta penahan angin. Fungsi sosial-ekonomi-budaya, menggambarkan RTH sebagai media interaksi sosial, tempat rekreasi, tempat pendidikan dan penelitian. Fungsi estetis adalah untuk meningkatkan kenyamanan dan memperindah lingkungan kota. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang, mengharuskan setiap wilayah memiliki proporsi RTH paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota dimana 10 % diperuntukkan untuk RTH privat dan 20 % untuk RTH publik.

Kota Bogor merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami pengembangan pembangunan kota yang cukup pesat. Kota Bogor memiliki luas wilayah sebesar 118,5 Km2 dengan jumlah penduduk sebesar 950.334 jiwa (BPS, 2010). Kedudukan Bogor yang berada dekat dengan Jakarta dan menjadi salah satu pilihan tempat tinggal bagi sebagian pekerja yang bekerja di Jakarta, menuntut pembangunan di wilayah ini beradaptasi dengan Jakarta. Tingginya pertumbuhan di Kota Bogor mengakibatkan kebutuhan akan lahan terbangun menjadi meningkat, terutama lahan-lahan yang diperuntukkan untuk aktivitas sosial dan ekonomi berupa lahan-lahan untuk sarana permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum, fasilitas perdagangan dan jasa, fasilitas industri dan sebagainya. Peningkatan lahan terbangun di Kota Bogor akan mengakibatkan lahan-lahan terbuka yang ada khususnya ruang terbuka hijau di Kota Bogor menjadi semakin berkurang.

Hal lain yang menyebabkan semakin berkurangnya RTH adalah adanya anggapan bahwa RTH hanya merupakan lahan cadangan untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan kota yang mendesak dan penyediaan RTH dianggap tidak akan mendatangkan keuntungan finansial, kecuali keuntungan ekologi yang bersifat jangka panjang dan tidak tampak. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keadaan RTH Kota Bogor sehingga diharapkan keberadaannya dapat dipertahankan serta ditingkatkan.


(18)

1.2 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis perubahan penggunaan/penutupan lahan Kota Bogor Tahun 2000 dan 2011 serta kaitannya dengan perubahan luas RTH.

2. Menganalisis konsisten/inkonsistensi perkembangan RTH berdasarkan peruntukan RTRW.

3. Menganalisis tingkat perkembangan Kota Bogor berdasarkan dengan ketersediaan RTH.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan, dan Penutupan lahan

Lahan merupakan dataran bumi yang ciri-cirinya mencakup segala tanda pengenal, baik yang bersifat cukup mantap maupun yang dapat diramalkan bersifat mendaur, dari biosfer, atmosfer, tanah, geologi, hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia pada masa lampau dan masa kini, sejauh tanda-tanda pengenal tersebut memberikan pengaruh atas penggunaan lahan oleh manusia pada masa kini dan masa mendatang ( FAO, 1997). Penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1997).

Berbeda dengan penutupan lahan, menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan dan berkembang dengan kegiatan manusia pada bidang-bidang lahan tersebut. R.P. Sitorus (1992) menyatakan bahwa penggunaan lahan adalah penggunaan utama atau penggunaan kedua (apabila merupakan penggunaan berganda) dari sebidang lahan seperti lahan pertanian, lahan hutan, padang rumput, dan sebagainya, jadi lebih merupakan tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai bentuk intervensi terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Arsyad, 1989).

Secara garis besar, penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian merupakan penggunaan semua sumber-sumber alam yang bertujuan untuk memperoleh hasil produksi pertanian bagi kehidupan manusia dan dibedakan atas tegalan, sawah, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, padang alang-alang dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan non pertanian dibedakan menjadi penggunaan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad, 2000).


(20)

2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya Barlowe (1986) menyatakan bahwa penggunaan lahan dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu faktor fisik lahan, faktor ekonomi, serta faktor kelembagaan. Faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor-faktor yang terkait dengan kesesuaian lahannya, meliputi faktor-faktor lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan budidaya tanaman, kemudahan teknik budidaya ataupun pengelolaan lahan dan kelestarian lingkungan. Faktor fisik ini meliputi iklim, sumberdaya air dan kemungkinan perairan, bentuk lahan dan topografi (elevasi dan lereng), serta karakteristik tanah yang secara bersamaan akan membatasi apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan pada sebidang lahan (Sys et al, 1991 dalam Gandasamita, 2001).

Faktor fisik berupa topografi merupakan perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk didalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Peranan topografi terhadap penggunaan lahan berdasarkan unsur-unsurnya adalah elevasi dan kemiringan lereng. Peranan lereng terkait dengan kemudahan pengelolaan dan kelestarian lingkungan. Pengaruh relief akan menghasilkan jenis-jenis tanah yang berbeda pula. Daerah yang berlereng curam mengalami erosi yang terus menerus sehingga tanah-tanah di daerah ini bersolum dangkal, kandungan bahan organik rendah dan perkembangan horizon lambat dibandingkan dengan tanah di daerah datar. Perbedaan lereng juga menyebabkan perbedaan air tersedia bagi tumbuhan sehingga mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut yang seterusnya juga mempengaruhi proses pembentukan tanah (Hardjowigeno, 1993).

Faktor fisik berupa tanah merupakan salah satu faktor penentu yang mempengaruhi penyebaran penggunaan lahan. Tanah diartikan sebagai kumpulan benda alam di permukaan bumi, mengandung gejala-gejala kehidupan, dan mampu menopang pertumbuhan tanaman. Sehubungan dengan fungsinya sebagai sumber hara, tanah merupakan faktor fisik lahan yang sering dimodifikasi agar penggunaan lahan yang diterapkan mendapatkan hasil yang maksimal. Tanah meliputi horizon-horison tanah yang terletak diatas bahan batuan dan terbentuk sebagai hasil interaksi sepanjang waktu dari iklim, organisme hidup, bahan induk,


(21)

dan relief. Bahan-bahan di bawah tanah atau bahan induk tanah bukanlah selalu berasal dari batuan yang keras, tetapi juga dapat berasal dari bahan-bahan lunak seperti alluvium, abu volkan, dan sebagainya (Hardjowigeno, 1993).

Faktor fisik berupa Iklim merupakan faktor fisik yang sulit dimodifikasi dan paling menentukan keragaman penggunaan dan penutupan lahan. Unsur-unsur dari iklim seperti hujan, penyinaran matahari, angin, kelembapan, dan evaporasi akan menentukan ketersediaan air dan energi sehingga secara langsung akan mempengaruhi ketersedian hara bagi tanaman. Penyebaran dari unsur-unsur iklim bervariasi menurut ruang dan waktu sehingga penggunaan lahan juga beragam sesuai dengan penyebaran iklimnya (Mather, 1986 dalam Arsyad, 1989). Sumberdaya air dan kemungkinan perairan, secara umum juga akan mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan yang akan mengubah karakteristik aliran sungai, total aliran permukaan, kualitas air, dan sifat hidrologi daerah yang bersangkutan.

Faktor kelayakan ekonomi adalah seluruh persyaratan yang diperlukan untuk pengelolaan suatu penggunaan lahan. Pengelola lahan tidak akan memanfaatkan lahannya kecuali bila penggunaan tersebut termasuk dalam hal ini teknologi yang diterapkan, telah diperhitungkan akan memberikan suatu keuntungan atau hasil yang lebih besar dari biaya modalnya (Barlowe, 1986). Kelayakan ekonomi ini bersifat dinamis, tergantung dari harga dan permintaan terhadap penggunaan lahan tersebut atau hasilnya. Penerapan teknologi baru ataupun meningkatnya permintaan mungkin menyebabkan suatu penggunaan lahan yang awalnya tidak memiliki nilai ekonomis berubah menjadi layak secara ekonomi.

Faktor-faktor kelembagaan yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah faktor-faktor yang terkait dengan sosial budaya dan aturan-aturan dari masyarakat, termasuk dalam hal ini aturan atau perundangan dari pemerintah setempat (Barlowe 1986). Penggunaan lahan yang dijumpai di suatu wilayah adalah penggunaan lahan yang tidak bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah, sosial budaya, kebiasaan, tradisi, ataupun kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat.


(22)

Faktor manusia juga turut mempengaruhi penggunaan lahan, seperti kualitas dan kuantitas. Kualitas berkaitan dengan umur, kepribadian, pendidikan, dan segala sesuatu yang menentukan kualitas dari manusia tersebut dalam menentukan keputusan, sedangkan kuantitas berkaitan dengan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi berdampak pada tekanan populasi yang semakin besar dan merupakan pendorong utama terhadap perubahan lahan pertanian di negara berkembang.

Pertambahan jumlah penduduk berdampak pada peningkatan kebutuhan, baik sandang, pangan maupun papan. Keadaan demikian cenderung menyebabkan persaingan dan konflik diantara penggunaan lahan. Adanya persaingan tidak jarang akan menimbulkan pelanggaran batas-batas penggunaan lahan sehingga akan terjadi perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan pada dasarnya adalah peralihan fungsi lahan yang semula untuk peruntukan tertentu berubah menjadi peruntukan tertentu pula (yang lain). Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun industri ( Kazaz dan Charles dalam Munibah, 2008 ).

Sementara menurut Muiz (2009), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible ( tidak dapat balik), karena untuk mengembalikannya dibutuhkan modal yang sangat besar.

Penyebab perubahan penggunaan lahan menurut Nasoetion (1991), diantaranya :

1) Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di pedesaan.


(23)

2) Meningkatnya jumlah penduduk berpendapatan menengah hingga atas di wilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan terhadap permukiman.

3) Terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian yang pada gilirannya akan mendepak kegiatan pertanian atau lahan hijau khususnya di perkotaan.

4) Terjadinya fragmentasi pemilikan lahan menjadi satuan-satuan usaha dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien.

Perubahan pengguanaan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data-data spasial dari peta penggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat membantu dalam pengamatan perubahan penutupan atau penggunaan lahan.

2.4 Ruang Terbuka Hijau

2.4.1 Pengertian Ruang Terbuka Hijau

Pada Pasal 1 butir 31 UUPR, menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang disengaja ditanam.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) juga dapat diartikan sebagai suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu). Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun yang didalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya) sebagai tumbuhan pelengkap serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Purnomohadi, 1995).

Menurut Instuksi Menteri Dalam Negeri No 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah Perkotaan, yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas,


(24)

baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.

Departemen Pekerjaan Umum (2008) menjelaskan bahwa ruang terbuka hijau kota adalah adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Ruang Terbuka Hijau kota juga merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung.

2.5 Pengelompokkan dan Bentuk-Bentuk Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau dapat dikelompokkan berdasarkan bobot kealamiannya, sifat dan karakter ekologis, penggunaan atau kawasan fungsionalnya, serta berdasarkan status kepemilikannya. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman); berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya, diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor); berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, olah raga, alamiah.

Berdasarkan status kepemilikan, RTH diklasifikasikan menjadi RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik pribadi (Dep. Pekerjaan Umum, 2008).


(25)

Purnomohadi (1995) menyatakan bahwa penamaan bentuk-bentuk RTH disesuaikan dengan peruntukan dalam zona pemanfaatan lahan yang tertera dalam Rencana Induk Kota/Rencana Tata Ruang Kota yang telah disepakati antar pihak terkait dan kemudian disahkan sebagai peraturan daerah. Beberapa nama RTH tersebut adalah taman lingkungan perumahan, taman kota, taman rekreasi, serta RTH pendukung sarana/prasarana kota.

Berdasarkan Undang-Undang Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan pada Pasal 6, jenis RTHKP diantaranya meliputi taman kota, taman wisata alam, taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan permukiman, taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota, hutan lindung, bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah, cagar alam, kebun raya, kebun binatang, pemakaman umum, lapangan olah raga, lapangan upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa, serta jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian.

Menurut Perda DKI Jakarta Nomor 6 Tahun1999 kawasan hijau adalah RTH yang terdiri dari:

1. Kawasan hutan lindung yaitu bagian dari kawasan hijau yang memiliki karakteristik alamiah yang perlu dilestarikan untuk tujuan perlindungan habitat setempat maupun untuk perlindungan wilayah yang lebih luas. kawasan ini termasuk diantaranya:

a. Cagar alam yaitu kawasan suaka alam, yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan/atau satwa, termasuk ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi, baik di daratan maupun perairan yang perkembangannya berlangsung secara alami.

b. Hutan lindung, adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna pengatur tata air, pencegah banjir, erosi, abrasi, dan intrusi serta perlindungan bagi kesuburan tanah.

c. Hutan wisata adalah kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai pusat rekreasi kegiatan wisata alam.


(26)

2. Kawasan hutan binaan yaitu bagian dari kawasan hijau diluar kawasan hutan lindung untuk tujuan penghijauan yang dibina melalui penanaman, pengembangan pemeliharaan yang diperlukan dan didukung fasilitas yang diperlukan baik untuk sarana ekologis maupun sarana sosial kota. Kawasan hijau binaan meliputi beberapa bentuk RTH, yaitu:

a. RTH fasilitas umum berupa sesuatu hamparan lahan penghijauan yang berupa tanaman dan atau pepohonan, berperan untuk memenuhi kepentingan umum, dapat berupa hasil pembangunan hutan kota, taman kota, taman lingkungan/tempat bermain, lapangan olahraga, dan pemakaman.

b. Jalur hijau kota, bagian dan ruang terbuka hijau yang berdiri sendiri atau terletak diantara badan jalan atau bangunan/prasarana kota lain, dengan bentuk teratur/tidak teratur yang didalamnya ditanami atau dibiarkan tumbuh berbagai jenis vegetasi.

c. Taman hutan, bagian dari RTH yang berdiri sendiri atau terletak diantara batas-batas bangunan/prasarana kota lain dengan bentuk teratur/tidak teratur yang ditata secara estetis dengan menggunakan unsur-unsur buatan dan alami, khususnya dengan penanaman berbagai jenis pohon dengan kerapatan yang tinggi. Ciri spesifik taman hutan dalam kaitannya dengan fasilitas umum, adalah bahwa hamparan lantai tapaknya dilengkapi dengan fasilitas (sarana umum) yang secara langsung dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

d. Tepian air, bagian dari RTH yang ditentukan sebagai daerah pengaman dan terdapat disepanjang batas badan air ke arah darat seperti pantai, sungai, waduk, kanal dan danau yang ditata dengan aspek arsitektur lanskap melalui penanaman berbagai jenis vegetasi dan sarana kelengkapan pertamanan.

e. RTH fungsi pengaman, suatu daerah penyangga alami, dengan bentuk jalur penghijauan, yang dapat berupa taman dominan rumput, dan atau pepohonan besar yang diarahkan untuk pengamanan dan penyangga situ-situ, bantaran sungai, tepian jalur rel kereta api, sumber-sumber


(27)

mata air, pengaman jalan tol, pengaman bandara, dan pengaman tegangan tinggi.

2.6 Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) ruang terbuka hijau merupakan bagian atau salah satu subsistem dari sistem kota secara keseluruhan. Ruang terbuka hijau sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi :

a. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin.

b. Fungsi sosial, ekonomi (produktif), dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan dan penelitian. c. Ekosistem perkotaan, sebagai produsen oksigen tanaman berbunga,

berbuah dan berdaun indah serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan dan lain-lain.

d. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman

Menurut Hasni (2009), RTH memiliki berbagai fungsi seperti edaphis, orologis, hidrologis, klimatologis, higienis, edukatif, estetis, dan sosial ekonomis. Fungsi tersebut dapat dipenuhi oleh semua jenis RTH yang ada di perkotaan, dengan pengertian sebagai berikut:

a. Fungsi edaphis yaitu sebagai tempat hidup satwa dan jasad renik lainnya, dapat dipenuhi dengan penanaman pohon yang sesuai.

b. Fungsi hidro-orologis adalah perlindungan terhadap kelestarian tanah dan air.

c. Fungsi klimatologis adalah terciptanya iklim mikro sebagai efek dari proses fotosintesis dan respirasi tanaman.


(28)

d. Fungsi protektif adalah melindungi dari gangguan angin, bunyi, dan terik matahari melalui kerapatan dan kerindangan pohon perdu dan semak. e. Fungsi higienis adalah kemampuan RTH untuk mereduksi polutan baik di

udara maupun di air.

f. Fungsi edukatif adalah RTH bisa menjadi sumber pengetahuan masyarakat tentang berbagai hal, misalnya macam dan jenis vegetasi, asal muasalnya, nama ilmiahnya, manfaat serta khasiatnya.

g. Fungsi estetis adalah kemampuan RTH untuk menyumbangkan keindahan pada lingkungan sekitarnya, baik melalui keindahan warna, bentuk, kombinasi tekstur, bau-bauan ataupun bunyi dari satwa liar yang menghuninya.

h. Fungsi sosial ekonomis adalah RTH sebagai tempat berbagai kegiatan sosial dan tidak menutup kemungkinan memiliki nilai ekonomi seperti pedagang tanaman hias atau pedagang musiman seperti di lapangan Gasibu di Bandung pada hari Minggu pagi.

2.7. Peraturan Terkait Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan 2.7.1 Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah

Standar luasan RTH kota di Indonesia menurut Inmendagri No. 14 Tahun 1988, dihitung berdasarkan persentase luas total wilayah kota yaitu 40 % dari total wilayah harus dihijaukan. Menurut peraturan menteri pekerjaan umum No. 05/PRT/M/2008, penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan terbagi sebagai berikut (1) ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH publik dan RTH privat dengan proporsi keseluruhan sebesar 30 % dimana 20 % untuk RTH publik dan 10 % untuk RTH privat ; (2) apabila luas RTH publik dan RTH privat yang ada memiliki total luas RTH lebih besar dari yang telah ditentukan, maka proporsi tersebut harus dipertahankan keberadaannya.

Menurut peraturan yang telah ditetapkan, proporsi 30 % merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan mikroklimat maupun sistem ekologis yang lain yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan nilai estetika kota.


(29)

2.7.2 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 menjelaskan cara menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, yakni dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sebesar 2,53 m2/orang.

2.7.3 Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu

Fungsi RTH dalam hal ini dijelaskan dalam pedoman peyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan dalam peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 adalah fungsi perlindungan atau pengamanan sarana prasarana, misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak terganggu. RTH dalam kategori ini meliputi jalur hijau sempadan kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan Perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengaman sumber air baku atau mata air.

2.7.4 Penyediaan RTH Berdasarkan Sebaran atau Distribusi RTH

Menurut UU No. 26 tahun 2007 Pasal 30, sebaran atau distribusi RTH disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hirarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang. Sedangkan Menurut PP 26 tahun 2008, RTH kota ditetapkan dengan krtiteria sebagi berikut (1) Lahan dengan luas paling sedikit 2.500 m2; (2) Berbentuk satu hamparan, berbentuk jalur, atau kombinasi dari bentuk hamparan dan bentuk jalur; (3) didominasi komunitas tumbuhan.

2.8 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1997). Karakteristik objek dapat ditentukan berdasarkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh


(30)

objek tersebut dan terekam oleh sensor. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing objek mempunyai karakteristik pantulan atau pancaran elektromagnetik yang unik dan berbeda pada lingkungan yang berbeda (Murai, 1996).

Berdasarkan sumber tenaganya, terbagi menjadi sistem penginderaan jauh aktif dan sistem penginderaan jauh pasif. Sistem penginderaan jauh aktif merupakan peginderaan jauh yang menggunakan tenaga buatan dalam perekamannya. Hal ini didasarkan bahwa perekaman objek pada malam hari memerlukan tenaga. Sistem penginderaan jauh pasif (foto udara dan citra aster), yaitu sistem penginderaan jauh yang energinya berasal dari matahari. Panjang gelombang yang digunakan oleh sistem pasif, tidak memiliki kemampuan menembus atmosfer yang dilaluinya, sehingga atmosfer ini dapat menyerap (absorb) dan menghamburkan (scatter) energi pantulan (reflektan) objek yang akan diterima oleh sensor ( Lillesand dan Kiefer, 1997).

Prinsip perekaman oleh sensor dalam pengambilan data melalui metode penginderaan jauh dilakukan berdasarkan perbedaan daya reflektansi energi elektromagnetik masing-masing objek di permukaan bumi. Data penginderaan jauh dapat berupa data analog (contohnya foto udara cetak atau data video) dan data digital (citra satelit). Data penginderaan jauh mempunyai karakteristik khusus yang dikenal dengan istilah resolusi. Resolusi adalah ukuran kemampuan sistem optik untuk membedakan sinyal-sinyal yang dekat secara spasial atau secara spektral. Terdapat tiga resolusi yang umum digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik citra, yaitu resolusi spektral, resolusi spasial, resolusi temporal dan resolusi radiometrik (Jansen, 1996).

Resolusi spektral berhubungan dengan nomor dan ukuran interval panjang gelombang spesifik pada spektrum elektromagnetik yang peka diindera. Resolusi spasial adalah ukuran agular terkecil atau pemisah linier antara dua objek yang dapat dipisahkan oleh sensor atau dengan kata lain ukuran keruangan yang direkam sensor ke dalam satu piksel. Resolusi temporal menunjukkan frekuensi sensor merekam citra pada daerah tertentu dimana resolusi temporal ini sangat berguna untuk mendeteksi perubahan di permukaan bumi. Resolusi radiometrik adalah ukuran sensitivitas sensor untuk membedakan aliran radiasi (radian flux) yang dipantulkan atau diemisikan dari suatu objek permukaan bumi (Jansen,


(31)

1996). Teknologi penginderaan jauh berkembang pesat seiring peranannya yang semakin diperlukan dalam proses pengambilan dan pengumpulan informasi mengenai objek yang diamati. Murai (1996) mengklasifikasikan tipe-tipe informasi yang bisa diekstrak melalui data penginderaan jauh, seperti tipe klasifikasi ( land cover, vegetasi), deteksi perubahan (perubahan land cover), ekstraksi kualitas fisik (temperatur, komponen atmosfer, elevasi), ekstraksi indeks (index vegetasi, indeks kekeruhan), dan tipe identifikasi feature spesifik (identifikasi bencana alam seperti kebakaran hutan atau banjir, ekstraksi of linearment, deteksi feature arkeologi).

Beberapa contoh manfaat dalam aplikasi penginderaan jauh adalah mampu mengidentifikasi penutupan lahan (land cover), mengidentifikasi dan monitoring pola perubahan lahan, mampu melakukan manajemen dan perencanaan wilayah, mampu melakukan manajemen sumber daya hutan, dan eksplorasi mineral.

2.9 Interpretasi Citra

Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar pada citra dan menilai arti penting obyek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Rangkaian kegiatan yang diperlukan di dalam pengenalan objek yang tergambar pada citra, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi merupakan pengamatan atas ada atau tidaknya suatu objek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk mencirikan objek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup, yaitu mengggunakan unsur interpretasi citra. Pada tahap analisis merupakan tahap dikumpulkannya keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986).

Terdapat sembilan unsur interpretasi citra yang dikemukakan oleh Sutanto (1986), yaitu :

1) Rona, menunjukkan adanya tingkat keabuan yang teramati pada foto udara hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas cara logaritmik antara hitam dan putih, dengan berpedoman pada skala keabuan.

2) Warna, dapat dipresentasikan terhadap tiga unsur (hue,value,chroma) dan mengelompokkannya dalam berbagai kelas. Perbedaan warna pada kertas


(32)

cetakan atau trasparansi lebih mudah dikenali daripada perbedaan rona pada foto udara hitam putih.

3) Ukuran, memiliki dua aspek dan biasanya memerlukan stereoskop untuk pengamatan tiga dimensional. Ukuran objek bermanfaat dalam pengenalan objek tertentu seperti pohon tua, dewasa, muda, pohon anakan, dan semak. 4) Bentuk, bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk merujuk

pada konfigurasi umum suatu objek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh.

5) Tekstur, perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara dengan resolusi citra spasial yang semakin baik. Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra foto udara.

6) Bayangan, berasosiasi dengan bentuk dan tinggi objek.

7) Pola, merupakan sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk mendeskripsikan tata ruang pada citra, termasuk didalamya pengulangan kenampakan-kenampakan alami. Sering berasosiasi dengan geologi, topografi, tanah, iklim, dan komunitas tanaman.

8) Situs, menjelaskan tentang posisi muka bumi dan citra yang diamati dalam kaitannya dengan kenampakan disekitarnya atau berkonotasi terhadap gabungan-gabungan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi karakteristik makro objek.

9) Asosiasi, menunjuk suatu komunitas objek yang memiliki keseragaman tertentu atau beberapa objek yang berdekatan secara erat dimana masing-masing membentuk keberadaan yang lainnya.

Interpretasi citra selain didasarkan pada pemahaman tentang objek melalui unsur-unsur interpretasi, pengenalan objek juga sangat tergantung pada data citra pengideraan jauh yang tersedia, baik foto udara maupun citra satelit. Citra foto udara berskala besar atau citra satelit beresolusi tinggi akan sangat membantu dalam pengenalan objek karena memperlihatkan unsur-unsur interpretasi secara jelas. Unsur-unsur interpretasi citra tidak harus digunakan seluruhnya untuk mengenali suatu objek, meskipun hanya beberapa unsur saja yang digunakan dan objek sudah dapat dikenali maka unsur lain dapat diabaikan. Namun, jika objek belum diketahui dengan semua unsur tersebut, maka harus dilakukan cek lapang.


(33)

Menurut Murai dalam Timbunan 2006, pengecekan lapang atau ground truth didefinisikan sebagai observasi, pengukuran, dan pengumpulan informasi tentang kondisi aktual di lapangan dalam rangka menentukan hubungan antara data penginderaan jauh dan objek yang diobservasi. Pengambilan data lapang ini juga dilakukan untuk memperoleh informasi dan kondisi secara nyata. Dengan demikian, jika terdapat data penginderaan jauh yang tidak dimengerti, dapat dilakukan verifikasi dengan kondisi sebenarnya di lapang.

2.10 Citra Ikonos dan Citra World View

Sistem satelit Ikonos dibuat oleh Lockheed Martin Commercial Space Systems. Raytheon membuat elemen-elemen komunikasi image processing dan costumer service, sedangkan Eastman Kodak membuat dalam hal menyajikan kameranya. Ikonos berasal dari bahasa Yunani “Eye-KOH-NOS” yang berarti citra atau image. Ikonos menyajikan data satelit dengan resolusi tinggi, sangat cocok digunakan untuk pemetaan, monitoring pertanian, pengelolaan sumberdaya dan perencanaan permukiman. Satelit ikonos dioperasikan oleh Space Imaging Inc. Denver Colorado, Amerika Serikat dan diluncurkan pada 24 September 1999 dan menyediakan data untuk tujuan komersial pada awal 2000. Ikonos adalah satelit dengan resolusi spasial tinggi yang merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m (citra berwarna) dan sebuah kanal pankromatik dengan resolusi 1 m (hitam-putih). Ikonos merupakan satelit komersial pertama yang dapat membuat image beresolusi tinggi. Karakteristik satelit Ikonos dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Dasar Satelit Ikonos

Sistem Ikonos

Tanggal Peluncuran 24 September 1999 di Pangkalan Angkatan Udara Vandenberg, California, USA Masa operasional orbit Lebih dari 7 tahun

Kecepatan dalam orbit 7,5 kilometer per detik Kecepatan di atas permukaan tanah 6.8 kilometer per detik Revolusi mengelilingi bumi 14.7, setiap 24 jam

Altitude 681 kilometers

Resolusi pada titik Nadir 0.82 meter panchromatic; 3.2 meters multispectral

Resolusi Spasial 1.0 meter panchromatic; 4.0 meters multispectral


(34)

Band 1 (0,45-0,53 μm) Band 2 (0,52-0,61 μm) Band 3 (0,64-0,72 μm) Band 4 (0,77-0,88 μm) Resolusi Temporal 3 hari

Resolusi Radiometrik 8 bit

Luas sapuan (Image Swath) 11.3 kilometer pada titik nadir;

Waktu melintasi ekuator Nominal pada 10:30 AM waktu matahari/siang hari

Waktu pengulangan pelintasan Setiap sekitar 3 hari pada latitude 40° Kisaran dinamis 11-bits per pixel

Band citra Panchromatic, blue, green, red, near IR

Sumber : Satellite Imaging Corporation (2008)

WorldView-1 merupakan salah satu satelit sumberdaya alam yang mempunyai resolusi spasial yang sangat tinggi. WorldView-1 dikembangkan oleh Digital Globe. WorldView-1 menawarkan citra pankromatik dengan resolusi 50 cm.

Tabel 2. Karakteristik Dasar Satelit WorldView-1

Sistem WorldView-1

Tanggal Peluncuran 18 Semptember 2008, di Pangkalan Angkatan Udara Vandenberg, California, USA

Orbit ketinggian 496 Km, sun-synchronous, 94,6 menit

Resolusi spasial Resolusi Spektral

Resolusi Temporal

0,5 meter pada nadir, 0,55 meter pada 200 dari nadir

400-900 nanometer Rata-rata 5 hari Resolusi Radiometrik 11 bit

Lebar Sapuan 17,6 pada nadir

Kisaran dinamis 11 bit per pixel

Cakupan area monoskopik single-pass 1 area sebesar 60x110 Km Cakupan area stereoskopik single-pass 1 area sebesar 30x110 Km

Waktu melintasi ekuator Nominal pada 10:30 AM waktu matahari/siang hari

Sumber : Satellite Imaging Corporation (2008)

Kegunaan Citra WorldView diantaranya memudahkan melakukan pemetaan topografis, penentuan kawasan ruang terbuka hijau, kawasan pendidikan, kawasa lindung, kawasan permukiman, kawasan pemerintahan, serta dapat menentukan pemetaan pada kawasan perencanaan kota sehingga dapat mengurangi waktu dan biaya.


(35)

2.11 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi, yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis serta keluaran (Aronoff, 1989). Tujuan pokok dari pemanfaatan sistem informasi geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek.

Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta sedangkan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial.

Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (polygon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari sepasang koordinat x,y yang menunjukkan lokasi suatu obyek berupa ketinggian, lokasi kota, lokasi pengambilan sample dan lain-lain. Garis merupakan sekumpulan titik-titik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontur dan lain-lain. Sedangkan area adalah kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis yang membentuk suatu ruang homogen, misalnya batas daerah, batas penggunaan lahan, pulau dan lain sebagainya.

Struktur data spasial dibagi dua yaitu model data raster dan model data vektor. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat (grid)/sel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur. Data vektor adalah data yang direkam dalam bentuk koordinat titik yang menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik, garis atau area (polygon) (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Menurut Prahasta (2002), sistem informasi geografis dapat diuraikan menjadi beberapa subsitem berikut :

a) Data Input, subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber.


(36)

Subsistem ini pula yang bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG.

b) Data Output, subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basisdata baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti tabel, grafik, peta, dan lain-lain.

c) Data Management, subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di-edit.

d) Data Manipulation dan Analysis, subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

Beberapa alasan yang menyebabkan konsep-konsep SIG beserta aplikasinya-aplikasinya menjadi menarik untuk digunakan diberbagai disiplin ilmu, diantaranya :

a) SIG dapat digunakan sebagai alat bantu (baik sebagai tools maupun bahan tutorials) utama yang efektif, menarik, dan menantang di dalam usaha-usaha untuk meningkatkan pemahaman, pengertian, pembelajaran, dan pendidikan mengenai ide-ide atau konsep-konsep lokasi, ruang (spasial), kependudukan dan unsur-unsur geografis yang terdapat di permukaan bumi beserta data-data atribut yang menyertainya.

b) SIG menggunakan data, baik data spasial maupun data atribut secara terintegrasi sehingga sistemnya dapat menjawab pertanyaan baik pertanyaan spasial maupun non-spasial.

c) SIG memiliki kemampuan-kemampuan yang sangat baik dalam memvisualkan data spasial beserta atributnya. Modifikasi warna, bentuk, dan ukuran simbol yang diperlukan untum merepresentasikan unsur-unsur permukaan bumi dapat dilakukan dengan mudah (Prahasta, 2002).


(37)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Administrasi Kota Bogor yang terdiri dari enam Kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Selatan, dan Kecamatan Tanah Sareal. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai September 2012. Pengolahan dan Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Tabel 3 dan alat penelitian yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 3. Bahan Penelitian

No Bahan Sumber Keterangan

1 Citra Ikonos Kota

Bogor tahun 2000 BAPPEDA Kota Bogor

Untuk membuat Peta

Penggunaan/Penutupan Lahan aktual tahun 2000

2 Citra WorldView Kota

Bogor tahun 2011 BAPPEDA Kota Bogor

Untuk membuat Peta

Penggunaan/Penutupan Lahan aktual tahun 2011

3. Peta Administrasi Kota

Bogor BAPPEDA Kota Bogor

Untuk mengetahui batas wilayah administrasi Kota Bogor (Desa) 4. Data Potensi Desa Kota

Bogor Tahun 2006 BPS Kota Bogor

Untuk mengetahui hirarki wilayah Kota Bogor

5.

Peta RTRW Kota Bogor Periode 2011-2031

BAPPEDA Kota Bogor

Untuk mengetahui Penggunaan Lahan menurut perencanaan tata ruang

Tabel 4. Alat Penelitian

No Alat Keterangan

1. ArcGis 9.3 Interpretasi penggunaan/penutupan lahan dan

pengolahan data 2. Microsoft Office Excel 2007 Tabulasi data

3. Kamera digital Mendokumentasikan saat cek lapang


(38)

Gambar 1. Diagram alir penelitian Hubungan Hirarki dengan Kondisi RTH Data Potensi Desa Analisis Skalogram Hirarki Wilayah Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan

Lahan dengan Hirarki

Overlay

Peta Penggunaan /Penutupan Lahan

Tahun 2011

Analisis Akhir

1. Menganalisis Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Kota Bogor Periode Tahun 2000-2011 serta kaitannya dengan Perubahan Luas RTH

2. Mengananalisis Konsisten/Inkonsistensi Perkembagan RTH berdasarkan Peruntukan RTRW 3. Menganalisis tingkat perkembangan Kota Bogor berdasarkan dengan ketersediaan RTH Perubahan

Luas RTH

Citra Ikonos/WorldView (Th. 2000 & 2011)

Peta RTRW terkoreksi Interpretasi Citra Cek Lapang

Koreksi Geometrik dengan Batas Kota Bogor Terkoreksi Perubahan Penggunaan Lahan Peta RTRW Th. 2011-2031 Overlay Overlay Th. 2000 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan Th. 2011 Konsisten/ Inkonsisten RTH & Non

-RTH Th. 2011

RTH dan Non -RTH Th. 2011


(39)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, serta tahap analisis data. Tahapan penelitian ini digambarkan secara diagramatis pada Gambar 1.

3.3.1 Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan pemilihan topik penelitian, studi literatur, pembuatan proposal dan pencarian data yang diperlukan serta metode yang digunakan untuk analisis data. Studi literatur dilakukan dengan mencari tulisan ilmiah yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan, ruang terbuka hijau, dan hirarki wilayah.

3.3.2 Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data, berupa data spasial serta data statistik. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data sekunder seperti Citra Ikonos tahun 2000, Citra WorldView tahun 2011, Peta RTRW periode tahun 2011-2031, Peta Administrasi Kota Bogor, serta data Potensi Desa tahun 2006 dan data primer yang diperoleh dari hasil cek lapang. Pada saat cek lapang dilakukan pengambilan titik kordinat dan mendokumentasikan kegiatan dalam bentuk foto. 3.3.3 Tahap Analisis Data

Tahap pengolahan dan analisis data terdiri dari analisis data spasial, analisis perubahan penggunaan/penutupan lahan periode tahun 2000-2011, analisis ketidaksesuian penggunaan/penutupan lahan tahun 2011 terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah, serta analisis tingkat perkembangan wilayah dan kaitannya dengan kondisi RTH dan tingkat inkonsistensi.

Analisis Data Spasial

Analisis data spasial merupakan pengolahan citra yang digunakan untuk mendapatkan peta penggunaan lahan. Tahapan pengolahan citra ini terdiri koreksi geometrik dan interpretasi citra. Koreksi geometrik dilakukan untuk memperbaiki distorsi geometrik agar citra memiliki referensi geografis yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Pada penelitian ini menggunakan proyeksi UTM WGS 84 zona 48 South.


(40)

Analisis Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan RTH Periode Tahun 2000-2011

Pada tahap ini, dilakukan overlay pada peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2000 dengan peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2011 untuk mengetahui perubahan penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor pada periode tahun 2000 sampai 2011. Kemudian, dilakukan pengelompokkan penggunaan/penutupan lahan menjadi RTH dan Non-RTH sehingga dapat diketahui perubahan luas RTH dan Non-RTH di Kota Bogor.

Analisis Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2011 terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah

Peta RTRW Kota Bogor ini kemudian di- overlay dengan peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2011 untuk melihat penggunaan/penutupan lahan yang konsisten/inkonsisten terhadap peruntukan RTRW. Kriteria konsistensi terbagi menjadi konsisten, konsisten belum terbangun, dan tidak konsisten.

Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah dan Kaitannya dengan Kondisi RTH dan Tingkat Inkonsistensi

Tingkat perkembangan wilayah didapatkan dari hasil analisis menggunakan Metode Skalogram. Metode Skalogram digunakan untuk mengetahui hirarki yang ada di suatu wilayah. Penetapan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan didasarkan pada penetapan jumlah dan jenis unit sarana-prasarana serta fasilitas sosial ekonomi yang tersedia.

Metode ini menghasilkan hirarki atau peringkat yang lebih tinggi pada pusat pertumbuhan yang memiliki jumlah dan jenis fasilitas yang lebih banyak. Penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga, yaitu

a) Hirarki I, jika indeks perkembangan ≥ ( rata-rata + simpang baku ) b) Hirarki II, jika rata-rata < indeks perkembangan < ( rata-rata +

simpang baku )


(41)

Data hirarki ini kemudian dihubungkan dengan kondisi RTH agar diketahui keterkaitan kondisi RTH dengan tingkat perkembangan wilayah serta menghubungkan tingkat inkonsistensi agar diketahui seberapa besar terjadinya inkonsistensi pada masing-masing hirarki. Berikut merupakan variabel yang digunakan dalam menentukan hirarki suatu wilayah.

Tabel 5. Variabel Fasilitas yang digunakan dalam Analisis Skalogram

Kelompok Indeks Variabel yang digunakan

Fasilitas

Pendidikan Jumlah TK Negeri, Swasta, dan yang sederajat Jumlah SD Negeri, Swasta, dan yang sederajat Jumlah SLTP Negeri, Swasta, dan yang sederajat Jumlah SMU Negeri, Swasta, dan yang sederajat Jumlah Akademi Negeri dan Swasta

Jumlah SLB Negeri dan Swasta

Jumlah Pondok Pesantren/Madrasah Diniyah Swasta

Fasilitas Sosial Tempat Peribadatan Fasilitas Kesehatan Jumlah Rumah Sakit

Jumlah Rumah Sakit Bersalin Jumlah Poliklinik/balai pengobatan Jumlah Puskesmas

Jumlah Puskesmas Pembantu Jumlah Tempat Praktek Dokter Jumlah Tempat Praktek Bidan Jumlah Posyandu

Jumlah Apotik

Fasilitas Ekonomi Jumlah Wartel/Kiospon/Warpostel/Warparpostel Jumlah Warung internet (Warnet)

Jumlah Super market/ pasar swalayan/toserba/mini market Jumlah Restoran/rumah makan

Jumlah Warung/kedai makanan minuman Jumlah Toko/Warung kelontong

Jumlah Hotel

Jumlah Penginapan(hostel/motel/losmen/wisma) Jumlah Koperasi

Jumlah KUD

Jumlah industri besar (≥ 100 Pekerja) Jumlah industri sedang (20-99 pekerja)

Jumlah Kerajinan dari kulit yang merupakan Industri Kecil (5 – 19 pekerja)/Kerajinan Rumah Tangga (1 - 4 pekerja)

Jumlah Kerajinan dari logam/logam mulia yang merupakan Industri Kecil (5 – 19 pekerja) /Kerajinan Rumah Tangga (1 - 4 pekerja) Jumlah Kerajinan dari kayu yang merupakan Industri Kecil (5 – 19 pekerja) /Kerajinan Rumah Tangga (1 - 4 pekerja)

Jumlah Kerajinan Anyaman yang merupakan Industri Kecil (5 – 19 pekerja)/Kerajinan Rumah Tangga (1 - 4 pekerja)

Jumlah Kerajinan dari kain/tenun yang merupakan Industri Kecil (5 – 19 pekerja) /Kerajinan Rumah Tangga (1 - 4 pekerja)

Jumlah Industri Makanan yang merupakan Industri Kecil (5 – 19 pekerja) /Kerajinan Rumah Tangga (1 - 4 pekerja)

Jumlah Industri/Kerajinan Lainnya yang merupakan Industri Kecil (5 – 19 pekerja) /Kerajinan Rumah Tangga (1 - 4 pekerja)


(42)

Jumlah Kios sarana produksi pertanian milik Non KUD Jumlah Bank Umum (Kantor Pusat/Cabang/Capem)

Jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR Baru/PT. Bank Pasar/PT. Bank Desa/dsj)

Jumlah Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan Rakyat Jumlah Koperasi Simpan Pinjam

Jumlah Koperasi Non KUD lainnya

Jumlah Bengkel/reparasi kendaraan bermotor (mobil/motor) Jumlah Bengkel/reparasi alat-alat elektronik

Jumlah Usaha foto kopi (photo copy)

Jumlah Biro/Agen perjalanan wisata (Tour and Travel) Jumlah Tempat pangkas rambut (barber shop)

Jumlah Salon kecantikan/tata rias wajah/pengantin Jumlah Bengkel las (membuat pagar besi, tralis dll) Jumlah Persewaan alat-alat pesta

Aksesibilitas (Km) Jarak Dari desa ke Ibu Kota Kabupaten

Jarak Dari desa ke Ibu Kota Kabupaten/Kota lain terdekat Jarak Dari desa ke Ibu Kota Kecamatan

Jika Kelompok pertokoan Tidak Ada, maka Jarak ke kelompok pertokoan terdekat

Jarak terdekat ke Pos Polisi

Jika Jumlah TK Negeri dan Swasta tidak ada, maka jarak ke sekolah terdekat

Jika Jumlah SLTP dan yang sederajat Negeri dan Swasta tidak ada, maka jarak ke sekolah terdekat

Jika Jumlah SMU dan yang sederajat Negeri dan Swasta tidak ada, maka jarak ke sekolah terdekat


(43)

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis

Kota bogor merupakan salah satu kota yang terletak di Propinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah sekitar 118,5 Km2. Secara administrasi Kota Bogor melingkupi enam wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Tanah Sareal serta mempunyai 68 kelurahan. Kota Bogor Terletak diantara 106°43’30’’ BT - 106°51’00’’ dan 3’30’’LS - 6°41’00’’LS serta memiliki ketinggian rata-rata antara 190 - 350 m dpl dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 kilometer.


(44)

Batas-batas Kota Bogor :

Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.

Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.

Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede, dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor.

Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

4.2 Topografis dan Geologi

Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0 – 15 % dan hanya sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15 – 30 %. Jenis tanah hampir di seluruh wilayah adalah latosol cokelat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Kedudukan topografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara, merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya yang di dalamnya terdapat Istana Bogor merupakan tujuan wisata yang menarik. Kedudukan Bogor diantara jalur tujuan Puncak / Cianjur juga merupakan potensi strategis bagi pertumbuhan ekonomi.

Secara umum Kota Bogor ditutupi oleh batuan Vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpbb) dan Gunung Salak (berupa alluvium/kal dan kipas alluvium/kpal). Lapisan batuan ini agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan endapan, hal ini baik untuk vegetasi. Jenis tanah yang hampir terdapat di seluruh wilayah adalah Latosol cokelat kemerahan dan sebagian besar mengandung tanah liat (clay) serta bahan-bahan yang berasal dari letusan gunung berapi, sehingga keadaan tanahnya mengandung tanah liat, batu-batuan dan pasir.


(45)

4.3 Klimatologi

Kota Bogor mempunyai ketinggian dari permukaan laut minimal 190 meter dan maksimal 350 meter. Kota ini identik dengan sebutan Kota Hujan, hal ini disebabkan keadaan cuaca dan udara yang sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26 derajat celcius dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu terendah di Bogor adalah 21,8 derajat celcius, paling sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Arah mata angin waktu-waktu ini dipengaruhi oleh angin muson. Bulan Mei sampai Maret dipengaruhi angin Muson Barat dengan arah mata angin 6% terhadap arah Barat.

4.4 Gambaran Arah Perkembangan Fisik Kota Bogor

Berikut merupakan arah dan perkembangan fisik di masing-masing wilayah bagian di Kota Bogor :

a) Bagian Selatan, berpotensi sebagai daerah permukiman dengan KDB Rendah dan Ruang Terbuka Hijau.

b) Bagian Utara, berpotensi sebagai daerah polusi non-polutan dan sebagai penunjangnya adalah permukiman beserta perdagangan dan jasa.

c) Bagian Tanah Sareal cenderung berpotensi sebagai permukiman, perdagangan dan jasa, serta fasilitas pelayanan kota.

d) Bagian Barat, berpotensi sebagai daerah permukiman yang ditunjang oleh obyek wisata.

e) Bagian Timur, berpotensi sebagai daerah permukiman.

f) Bagian Tengah, berpotensi sebagai pusat perdagangan dan jasa yang ditunjang oleh perkantoran dan wisata ilmiah.

4.5 Demografi Wilayah dan Jumlah Penduduk Tahun 2010

Hasil pendataan penduduk akhir tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor sebanyak 950.334 jiwa dengan luas sebesar 118.50 Km² dan kepadatan penduduk sebesar 8.020 jiwa/Km². Berikut merupakan luas wilayah dan jumlah penduduk per kecamatan di Kota Bogor tahun 2010 yang ditunjukkan pada Tabel 6.


(46)

Tabel 6. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Tahun 2010

Kecamatan Luas Penduduk Kepadatan Penduduk

Km % Jumlah % orang/Km²

Bogor Selatan 30,81 26,00 181.392 19,09 5. 887

Bogor Timur 10,15 8,57 95.098 10,01 9.369

Bogor Utara 17,72 14,95 170.443 17, 94 9.619

Bogor Tengah 8,13 6, 86 101.398 10, 67 12.472

Bogor Barat 32,85 27,72 211.084 22,21 6.426

Tanah Sareal 18,84 15, 90 190. 919 20,09 10.134

Jumlah 118,50 100,00 950.334 100,00 8.020

Sumber : Kota Bogor dalam Angka 2011

Kecamatan yang memiliki kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Bogor Tengah sebesar 12.427 orang/Km² dan kecamatan yang memiliki kepadatan terendah adalah Kecamatan Bogor Selatan sebesar 5.887 orang/Km². hal ini disebabkan Kecamatan Bogor Tengah berperan sebagai pusat kota.


(47)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Interpretasi Penutupan Lahan melalui Citra WorldView

Penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor pada tahun 2000 dan 2011 terbagi menjadi 21 kelas penggunaan/penutupan lahan, yang digolongkan ke dalam penggunaan/penutupan lahan yang tergolong RTH dan non RTH. Penggunaan/penutupan lahan yang tergolong RTH dibedakan menjadi RTH privat, yaitu sawah, ladang dan RTH publik, yaitu kebun raya, lapangan olah raga, tempat pemakaman umum, pepohonan, dan semak sedangkan yang tergolong non- RTH adalah tanah terbuka, badan air (situ, kolam, dan sungai), serta areal terbangun yang terdiri dari bangunan permukiman dan bangunan non permukiman (industri, istana negara, kesehatan, pendidikan, perhubungan, perdagangan, perkantoran, rel kereta api, serta jalan). Berikut ini merupakan karateristik dan definisi dari masing-masing kelas penggunaan/penutupan lahan :

A. Non-Ruang Terbuka Hijau 1) Bangunan Permukiman

Memiliki Rona agak terang, tekstur agak kasar dengan pola yang teratur (kawasan real estate, 1b) sampai tidak teratur (permukiman tradisional,1a). Untuk kawasan real estate memiliki ukuran dan jarak antar bangunan (rumah) yang relatif seragam sedangkan untuk permukiman tradisional memiliki ukuran dan jarak antar bangunan (rumah) yang tidak seragam. Berdasarkan keadaan di lapang, berada dekat dengan jalan, kondisinya sangat padat bahkan terdapat di sepanjang tepian sungai, dan beratapkan genteng. Kawasan ini didefinisikan sebagai area yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan.


(48)

2) Bangunan Non-Permukiman a) Kawasan Industri

Memiliki rona yang cerah atau putih, pola teratur, teksturnya halus dengan bentuk persegi panjang, ukuran agak besar serta berada dekat dengan jalan. Berdasarkan keadaan dilapang, atap dari bangunan ini terbuat dari seng sehingga menimbulkan warna putih pada citra . Kawasan ini didefinisikan sebagai areal yang digunakan untuk bangunan pabrik atau industri yang berupa kawasan industri atau perusahaan.

b) Istana Negara

Memiliki rona cokelat terang, pola yang teratur dengan ukuran agak besar. Berdasarkan kondisi lapang, terletak di pusat kota, berada di dalam kawasan kebun raya Bogor, serta terlihat beberapa orang menjaga tempat ini lengkap dengan seragam dan persenjataan. Kawasan ini didefinisikan sebagai bangunan yang sering digunakan sebagai tempat kegiatan kenegaraan.

c) Kawasan Kesehatan

Memiliki pola yang teratur, rona terang kecokelatan, dengan bentuk bangunan seragam berbentuk persegi panjang. Berdasarkan kondisi lapang, berada dekat dengan permukiman, jalan, bentuk gedung memanjang dan bertingkat serta berada pada lokasi yang mudah dijangkau. Kawasan ini didefinisikan sebagai


(49)

suatu alat atau tempat yang digunakan untuk upaya pelayanan kesehatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat pemerintah daerah

d) Kawasan Pendidikan

Memiliki pola yang teratur, dengan rona agak kecokelatan, dan biasanya berbentuk siku, berbentuk seperti huruf L, U, I, dan memanjang, apabila berada di kawasan permukiman, ukurannya lebih besar dari bangunan di sekitarnya Berdasarkan kondisi dilapang, Berada dekat dengan permukiman dan jalan, berada di tempat strategis yang didukung dengan adanya kemudahan sarana transportasi. Kawasan ini didefinisikan sebagai segala sesuatu atau bangunan yang memfasilitasi dalam proses kegiatan pendidikan atau belajar-mengajar

e) Stasiun dan Terminal

Memiliki rona yang cerah, pola yang teratur, biasanya berbentuk persegi panjang. Berdasarkan kondisi lapang, merupakan tempat atau sarana transportasi umum. Untuk stasiun, berasosiasi dengan jalan kreta api dan terdapat gerbong-gerbong yang diparkir karena belum atau tidak beroperasi. Untuk terminal, dekat


(50)

dengan jalan, berbentuk memanjang dan terlihat adaya lahan parkir yang dipenuhi beberapa bus sebagai sarana transportasinya. Kawasan ini didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bertalian dengan lalu lintas dan trasportasi.

f) Kawasan Perdagangan

Memiliki ukuran mulai dari kecil hingga besar, rona yang agak cerah, pola tidak teratur dan umumnya berbentuk memanjang menyerupai persegi panjang, berada dekat dengan jalan. Berdasarkan kondisi dilapang, keberadaan kawasan ini menyebar, seperti terdapat di pusat kota, berada dekat dengan kebun raya, maupun disepanjang pinggiran jalan. Kawasan ini didefinisikan sebagai kawasan yang di dalamnya terdapat kegiatan perdagangan atau kegiatan jual beli.

g) Kawasan Perantoran

Memiliki rona cokelat-orange, pola teratur dengan bentuk persegi panjang, berada dekat dengan jalan. Berdasarkan kondisi lapang, biasanya berada pada tempat-tempat strategis dan banyak berada pada pusat kota serta disekitarnya terdapat kawasan perdagangan. Kawasan ini didefinisikan sebagai Balai (gedung, rumah, ruang) tempat mengurus suatu pekerjaan atau juga disebut tempat bekerja.


(51)

h) Rel Kereta Api

Memiliki rona agak cerah, berbentuk memanjang, lurus, dan bercabang dengan pola yang teratur serta berasosiasi dengan stasiun. Didefinisikan sebagai besi batang untuk landasan jalan kereta api.

i) Jalan

Memilki rona abu-abu cerah, berbentuk lurus memanjang dengan pola yang teratur. Merupakan jaringan prasarana transportasi yang diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan.


(52)

B. Ruang Terbuka Hijau 1) Sawah

Memiliki pola yang teratur, bentuk yang berpetak-petak, teksturnya halus, dan biasanya berada dekat dengan jalan, sungai, atau permukiman. Berdasarkan kondisi dilapang, tanamannya di tanam secara teratur, dengan jarak tanam yang relatif rapat, dan memiliki pematang yang tidak lebar, biasanya kurang dari setengah meter. Didefinisikan sebagai areal pertanian lahan basah atau lahan yang sering digenangi serta secara periodik atau terus menerus ditanami padi.

2) Ladang

Memiliki pola yang teratur, dengan tekstur yang agak kasar, berada dekat dengan jalan, sawah, dan permukiman. Berdasarkan kondisi lapang, merupakan lahan yang tidak diberi air/kering dan jenis tanaman yang ditanam adalah singkong, jagung. Didefinisikan sebagai area yang digunakan untuk kegiatan pertanian dengan jenis tanaman semusim di lahan yang kering


(53)

3) Kebun Raya

Memiliki tekstur yang kasar, rona yang agak gelap, dengan ukuran yang relative besar. Berdasarkan kondisi lapang, terdapat di pusat kota, dan dijadikan sebagai tempat wisata. Didefinisikan sebagai suatu kebun yang sangat luas tempat memelihara berbagai tumbuhan, baik untuk penelitian maupun sebagai tempat rekreasi.

4) Lapangan Olah Raga

Memiliki rona agak terang, tekstur halus, beberapa memiliki pola yang teratur dan beberapa lainnya memiliki pola yang tidak teratur, umumnya berbentuk persegi panjang, ditumbuhi rumput, dan biasanya terdapat lintasan untuk atletik (lintasan lari). Didefinisikan sebagai tempat yang luas yang digunakan untuk kegiatan olah raga.

(Lapangan Golf) (Lapangan Sepak Bola) 5) Tempat Pemakaman Umum

Memiliki rona yang cerah dengan pola dan bentuk yang tidak teratur, testur agak kasar serta ukuran yang kecil dengan jumlah yang banyak. Berdasarkan kondisi lapang, memiliki sebagian lahan untuk ruang terbangun dan sisanya


(54)

ditanami berbagai jenis tumbuhan. Kawasan ini didefinisikan sebagai salah satu fasilitas sosial yang berfungsi sebagai tempat pemakaman bagi masyarakat yang meninggal dunia.

6) Pepohonan

Memiliki tekstur yang kasar dengan rona yang gelap, pola yang tidak teratur. Berdasarkan kondisi lapang, terdapat disekitar permukiman atau di sepanjang jalan. Didefinisikan sebagai tumbuhan yang berbatang keras dan besar

7) Semak

Memilki rona yang agak gelap, pola yang tidak teratur, dengan tekstur yang agak kasar. Berdasarkan pengamatan lapang, biasanya berada di pinggiran sungai atau di dekat tanah terbuka, dengan ketinggian vegetasi yang rendah. Didefinisikan sebagai lahan kering yang ditumbuhi berbagai vegetasi alamiah homogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat dan didominasi vegetasi rendah (alamiah).


(55)

C. Tanah Terbuka

Memiliki rona yang terang atau berwarna cokelat dengan pola yang tidak teratur, dan tekstur yang halus. Berdasarkan kondisi di lapang, Tanah terbuka ini merupakan tanah pada kondisi bera sehabis panen atau biasanya hasil dari konversi lahan non terbangun yang akan digunakan untuk permukiman, perdagangan dan jasa, serta industri. Oleh karena itu biasanya juga terdapat jaringan jalan. Didefinisikan sebagai lahan kosong yang tidak ditanami oleh vegetasi apapun dan tidak ada aktivitas yang dilakukan pada areal tersebut.

D. Badan air 1) Sungai

Memiliki pola yang tidak teratur (berkelok-kelok), berbentuk memanjang dengan rona yang cerah dan tekstur yang halus. Berdasarkan kondisi lapang, terdapat semak-semak serta permukiman di sepanjang tepian sungai. Didefinisikan sebagai alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.


(56)

2) Situ

Memilki rona yang gelap, ukuran yang agak besar, tekstur halus dengan pola yang tidak teratur. Berdasarkan kondisi lapang berada dekat dengan “CIFOR”. Didefinisikan sebagai wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan, sumber airnya berasal dari mata air, air hujan, dan/atau limpasan air permukaan.

3) Kolam

Memiliki rona yang gelap dengan pola yang biasanya teratur , dan memiliki tekstur yang halus, berda dekat dengan pemukiman. Berdasarkan pengamatan lapang banyak berupa kolam pemancingan. Didefinisikan sebagai ceruk di tanah yang agak luas dan dalam berisi air (untuk memelihara ikan dan sebagainya) atau merupakan suatu perairan buatan yang luasnya terbatas dan sengaja dibuat manusia agar mudah dikelola dalam hal pengaturan air, jenis hewan budidaya, dan target produksinya.


(57)

5.2 Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Periode 2000-2011 5.2.1 Penggunaan/Penutupan Lahan Periode Tahun 2000-2011

Pada tahun 2000 dan 2011, sebaran penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor yang tergolong RTH didominasi oleh sawah dan pepohonan sedangkan untuk Non-RTH didominasi oleh permukiman. Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa untuk tahun 2000, luasan permukiman sebesar 4.469,9 Ha sedangkan pada tahun 2011 meningkat menjadi 5.289,8 Ha. Luasan sawah pada tahun 2000 sebesar 2.904 Ha lalu menurun pada tahun 2011 menjadi 2.452 Ha. Luasan pepohonan juga mengalami penurunan dari 2.341,2 Ha pada tahun 2000 menjadi 2.108,1 Ha pada tahun 2011. Penggunaan/penutupan lahan yang luasannya tidak mengalami perubahan diantaranya TPU, kebun raya, sungai, situ, lapangan olah raga, dan bangunan non-permukiman (perhubungan, istana negara, perdagangan dan kesehatan

Pada periode tahun 2000-2011, penggunaan/penutupan lahan pada masing-masing kecamatan di Kota Bogor juga di dominasi oleh permukiman, sawah, dan pepohonan, kecuali di Kecamatan Bogor Tengah dimana penggunaan/penutupan lahan yang dominan adalah permukiman, kebun raya, dan pepohonan. Penggunaan lahan permukiman tertinggi berada pada Kecamatan Bogor Barat (1.289,6 ha). Hal ini disebabkan Kecamatan Bogor Barat merupakan kecamatan terluas di Kota Bogor dan memiliki jumlah penduduk paling tinggi diantara kecamatan lainnya.

Kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Bogor Tengah walaupun luas permukiman pada kecamatan ini paling kecil diantara kecamatan lainnya. Hal ini disebabkan karena Bogor Tengah merupakan kecamatan dengan luasan terkecil namun berlokasi di pusat kota yang merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, perkantoran, dan permukiman.

Untuk penggunaan lahan sawah dan pepohonan, walaupun luasannya mengalami penurunan, namun pada Kecamatan Bogor Barat luas sawah dan pepohonan tetap paling dominan diantara wilayah lainnya.


(1)

Lampiran 5 (Lanjutan) Kriteria

Konsistensi Perbedaan Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 Grand Total Konsisten Belum

Terbangun Tanah Terbuka--->Fasilitas Kesehatan 0.3 0.3

Tanah Terbuka--->Fasilitas OR dan Rekreasi 2.3 2.3

Tanah Terbuka--->Fasilitas Pendidikan 2.3 0.3 2.5

Tanah Terbuka--->Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) 0.5 0.5

Tanah Terbuka--->Kawasan Militer 0.9 0.9

Tanah Terbuka--->Kawasan Pemerintahan 0.4 0.4

Tanah Terbuka--->Kawasan Perdagangan 0.2 1.9 7.8 9.8

Tanah Terbuka--->Kawasan Perumahan Kepadatan Rendah 6.2 168.4 174.6

Tanah Terbuka--->Kawasan Perumahan Kepadatan Sedang 0.2 30.0 36.4 66.5

Tanah Terbuka--->Kawasan Perumahan Kepadatan Tinggi 6.1 6.6 12.6

Tanah Terbuka--->Lokasi Industri 0.3 0.7 1.0

Tanah Terbuka--->Water Treatment Plant (WTP) 0.4 0.4

KBT Total 283.1 1314.7 3702.3 5300

Tidak Konsisten Industri--->RTH 0.1 0.1

Ladang--->Kawasan Perumahan Kepadatan Sedang 0.8 0.8

Permukiman--->Fasilitas OR dan Rekreasi 1.6 1.6

Permukiman--->Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah 1.6 1.6

Permukiman--->Kawasan Pertanian 2.2 9.1 11.3

Permukiman--->RTH 0.5 5.2 0.4 6.1


(2)

Lampiran 5 (Lanjutan) Kriteria

Konsistensi Perbedaan Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 Grand Total

Tidak Konsisten Permukiman--->TPU 9.7 9.7

Permukiman--->Water Treatment Plant (WTP) 1.1 1.1

Pendidikan--->RTH 0.9 0.9

Perkantoran--->Kawasan Pertanian 1.0 1.0

TPU--->Kawasan Perumahan Kepadatan Sedang 1.1 1.1

TK Total 1.5 8.9 31.2 41.6


(3)

Lampiran 6. Tabel Titik Cek Lapang

Penggunaan/

Penutupan

Lahan

Koordinat

Elevasi

(m)

Gambar

x

y

Sawah

692223

9275524

207

Situ

693037

9275459

207

Pepohonan

693367

9275519

211


(4)

Permukiman

697046

9275729

210

Kolam

697231

9275669

193

Industri

700582

9274168

210

Perdagangan

698566

9269537

290


(5)

Lapangan

olah raga

696996

9271639

244

Kebun Raya

698450

9270164

272

Perkantoran

698332

9270574

286

Perhubungan

699733

9269603

293


(6)

Semak

694917

9271416

225

Tanah

Terbuka

694894

9274256

212

Ladang

697606

9272905

246

Inkonsistensi

Koordinat

Elevasi

x

y

Permukiman ---> RTH

267

Permukiman ---> TPU

700390 9264666

235

Permukiman ---> Sempadan infrastruktur

703822 9265779

180