Kebijakan Amerika Serikat dalam mendukung kemerdekaan Sudan Selatan Tahun 2011

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh

Shofia Nida

1110113000049

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

memberikan dukungannya terhadap kemerdekaan Sudan Selatan pada tahun 2011. Skripsi ini melihat latar belakang Amerika Serikat melalui faktor apa yang menjadi dasar bagi Amerika Serikat untuk mendukung kemerdekaan baik itu faktor internal maupun faktor eksternal. Sumber data penelitian ini diperoleh dari pengumpulan studi pustaka dan wawancara. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kebijakan yang dilakukan Amerika Serikat serta bagaimana Amerika Serikat akhirnya mendukung kemerdekaan Sudan Selatan setelah memberikan banyak dukungan. Skripsi ini menemukan bahwa kebijakan Amerika Serikat dalam mendukung kemerdekaan Sudan Selatan didasari atas faktor yang datang dari kepentingan Amerika Serikat seperti protes yang dilakukan oleh kelompok Kristen Evangelis yang melakukan protes atas apa yang terjadi pada masyarakat Sudan Selatan hingga adanya kepentingan minyak Amerika Serikat di Sudan. Untuk lebih memahami kebijakan Amerika Serikat di Sudan, penelitian ini menggunakan teori kebijakan luar negeri dengan menggunakan pandangan Rosenau, Alex Mintz, serta Holsti. Penelitian ini juga menggunakan konsep kepentingan nasional yang dapat menjelaskan latar belakang atas dukungan Amerika Serikat pada kemerdekaan Sudan Selatan.

Kata kunci: Sudan, Sudan Selatan, Amerika Serikat, CPA, dukungan, Kelompok Kristen Evangelis, Minyak, SPLM.


(6)

hidayahNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT DALAM MENDUKUNG

KEMERDEKAAN SUDAN SELATAN TAHUN 2011”.

Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana pada program studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Saya ingin menyampaikan beberapa ucapan terima kasih kepada beberapa pihak yang setia memberikan semangat serta dukungan bagi penulis hingga skripsi ini dapat selesai, diantaranya adalah:

1. Keluarga tercinta, terima kasih Ayahanda Abdul Karim, dan Ibunda Kholilah yang selalu memanjatkan do’a agar Saya mendapatkan kelancaran dalam menimba ilmu, serta dukungan materil kepada penulis selama ini hingga dapat menyelesaikan kuliah hingga sarjana.

2. Kepada Kakak Edy Dailami dan Adik tersayang Muthmainnah Farhana yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terima kasih ya.

3. Dosen pembimbing saya, Ibu Rahmi Fitriyanti. Terima kasih selalu memberikan waktunya untuk penulis serta dukungan dan motivasinya selama ini mengerjakan skrispsi ini.

4. Ketua Prodi Hubungan Internasional, Ibu Debbie Affianty Lubis, serta seluruh dosen FISIP UIN atas segala ilmu yang diberikan selama masa perkuliahan dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.


(7)

6. Kepada sahabat Saya, terima kasih Riska, Uni Ira, Diedie, Sentika, Nina, Ica, Alna, Wanda, Dinar, Fitriani, Syifa, dan Fauzi yang selalu memberikan dukungan lewat sharing yang bermanfaat kepada penulis. 7. Kepada teman-teman terbaik di kelas HI B, Asri Kusumastuty, Rahmi

Kamilah, Fahmy Ramdhani, Uum Khumairah, terima kasih atas pertemanan, kenangan serta dukungan selama masa perkuliahan dan penyususnan skripsi ini.

8. Kepada teman-teman seperjuangan HI B angakatan 2010 yang selalu solid, terima kasih atas segala kebersamaannya selama masa kuliah, serta kenangan yang tidak akan terlupakan.

9. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu persatu yang telah membantu penulisan skripsi ini. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah SWT.

Saya menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak kekurangan dan tidaklah sempurna, meskipun demikian mudah-mudahan skripsi ini dapat menambah wawasan bagi pihak yang membacanya dan bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Jakarta, 28 November 2014


(8)

KATA PENGANTAR………..……….……. v

DAFTAR ISI……….………. vii

DAFTAR TABEL ……….…………. ix

DAFTAR GAMBAR ………..…….…. x

DAFTAR SINGKATAN……… xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….……….. 1

B. Perumusan Masalah………. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 5

D. Tinjauan Pustaka………..……. 6

E. Kerangka Pemikiran ……… 10

1. Teori Kebijakan Luar Negeri……… 10

2. Teori Kepentingan Nasional………..………… 15

F. Hipotesa……… 17

G. Metode Penelitian………..…….. 17

H. Sistematika Penulisan ……….…...….. 19

BAB II SEJARAH KONFLIK SUDAN DAN SUDAN SELATAN A. Perang Sipil Pertama Tahun 1959-1980……… 23

B. Perang Sipil Kedua Tahun 1983-2005……….. 25

1. Perang Darfur Tahun 2003………. 27


(9)

2. Dukungan Ekonomi……… 47

3. Dukungan Militer ……… 49

BAB IV FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI AMERIKA SERIKAT

MENDUKUNG KEMERDEKAAN SUDAN SELATAN

A. Kepentingan Amerika Serikat di Sudan Selatan…….………… 52 B. Faktor yang Mempengaruhi Amerika Serikat Mendukung

Kemerdekaan Sudan Sudan……… 53

1. Faktor Interal………..……… 54

a. Opini Publik:

Dukungan Kelompok Kristen Evangelis …..………….… 54 b. Pembangunan Ekonomi:

Kebutuhan Energi Minyak Amerika Serikat ……… 57

2. Faktor Eksternal ………..……… 59

a. Great power Structure:

Balance of Power Tiongkok di Sudan……….……. 59

b. Terorisme:

Terosisme di Sudan………...……… 64

3. Faktor Penghambat

a. Sikap Tiongkok ……… 66

b. Sikap Pemerintah:

1. Sudan………..…… 67


(10)

(11)

Tabel IV. C.2.a. Peran Tiongkok dan Amerika Serikat di Sudan dan Sudan


(12)

(13)

Lamoiran 2 Statement Presiden Bush ……….………xxv Lampiran 3 Statement Presiden Hilary Clinton………xxviii


(14)

CPA : Comperhensive Peace Agreement

DK PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa DLF : Darfur Liberation Font

ICC : International Criminal Court

ICISS : International Commission on Intervention and State Sovereignty

JEM : Justice and Equality Movement

IGAD : Intergovernmental Authority on Development SPLA : South’s Sudan People’s Liberation Army SPLM : Sudan People’s Liberation Movement SLM/A : Sudan Liberation Movement/ Army PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudan Selatan merupakan negara yang baru saja meraih kemerdekaannya pada tahun 2011. Nama resmi Sudan Selatan adalah Republik Sudan Selatan, letak geografisnya di Afrika timur berdekatan dengan Kenya, Uganda, dan Republik Demokratik Kongo di sebelah selatan, Republik Afrika Tengah di sebelah barat, dan Sudan di sebelah utara. Hampir seluruh Sudan Selatan dikelilingi daratan. Kota terbesar Sudan Selatan adalah Juba, yang juga sebagai ibu kota negara.1

Sebelum merdeka, Sudan Selatan mengalami konflik yang disebabkan oleh banyak faktor. Konflik tersebut dimulai tahun 1955 setelah Inggris memberikan kemerdekaan kepada Sudan yang mempunyai latar belakang berbeda dengan wilayah Selatan.2 Perbedaan latar belakang ini menyebabkan konflik di Sudan karena perbedaan agama dan perbedaan suku ras diantara masyarakatnya. Bermula dari pemerintah Sudan yang masyarakatnya didominasi oleh pemeluk agama Islam dan Sudan Selatan yang mayoritas pemeluk agama Kristen, diduga termarginalkan oleh

1 South Sudan profile, tersedia di http://www.bbc.com/news/world-africa-14069082 diakses

pada 20 Mei 2014

2South Sudan Description, tersedia di


(16)

pemerintah. Kemudian, Sudan juga tidak mampu untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya, yang menimbulkan ketidakseimbangan bagi proses pembangunan serta pertumbuhan perekonomian yang tidak merata.3

Sebelum melakukan Referendum pada 2011, Sudan mengalami konflik Darfur pada tahun 2003 hingga 2005 yang disebabkan oleh pertikaian antara pemberontak dan tentara pemerintah yang saling menyerang. Selain itu, konflik semakin meningkat akibat perebutan perbatasan Darfur yang memiliki sumber minyak yang banyak. Hal ini diperparah dengan perbedaan pandangan referensi tapal batas yang dipercayai kedua negara ini. Sudan berpegang pada keputusan Arbitrase Den Haag, kemudian wilayah Selatan mengacu pada tapal batas bekas kolonial Inggris pada masa penjajahan dulu.4

Akibat dari konflik Darfur, sebanyak 300.000 jiwa warga Darfur tewas5 dan PBB mengatakan bahwa lebih dari 100.000 orang mengungsi akibat kekerasan yang dilakukan milisi pemerintah Sudan.6 Dengan keadaan seperti ini, Sudan Selatan mendesak untuk memisahkan diri dari Sudan.

3 Jimmy Carter, “Observing the 2011 Referendum on the Self-Determination of Southern

Sudan”, The carter center: final report, 2011,1

4 Pascal S bin Saju, “Konflik Yang Tiada Akhir”, Kompas, 2012, tersedia di

http://internasional.kompas.com/read/2012/04/22/01574530/Konflik.yang.Tiada.Berakhir diakses pada 20 Maret 2013.

5 “Korban Tewas Konflik Darfur Bisa Mencapai 300.000 Orang”, tersedia di

http://www.dw.de/korban-tewas-konflik-darfur-bisa-mencapai-300000-orang/a-3287551 diakses pada 16 Mei 2013.

6 Rebecca Hamilton, “U.S. Played Key Role in Southern Sudan's Long Journey to

Independence”, The Atlantic, 9 Juli 2011 [artikel on-line] tersedia di

http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/07/us-played-key-role-in-southern-sudans-long-journey-to-independence/241660/ diakses pada 25 maret 2013.


(17)

Dari beberapa aktor yang ada dalam mendukung Sudan Selatan, Amerika Serikat merupakan aktor yang paling terlibat dan menjadi aktor bilateral yang cukup berpengaruh.7 Amerika Serikat mendukung penuh upaya Sudan Selatan untuk mencapai kemerdekaannya. Amerika memberikan dukungan diplomatik dengan mendukung Comprehensive Peace Agreement (CPA) untuk mengadakan referendum bagi Sudan Selatan di kemudian hari.

Tujuan CPA adalah untuk mengakhiri Perang Sipil Kedua di Sudan, mengembangkan tata pemerintahan yang demokratis di Sudan, dan membagi pendapatan minyak secara adil serta melakukan kesepakatan untuk mencapai kemerdekaan dengan melakukan referendum pada tahun 2011.8 Dalam upaya mencapai perdamaian CPA, Amerika Serikat juga ikut berperan dengan memfasilitasi melalui upaya regional oleh pembangunan otoritas pemerintahan luar negeri (IGAD).9

Sebelum pada tahap final CPA, sejumlah persetujuan damai sudah dilewati, di antaranya adalah Protokol Machos (Chapter I) pada 20 Juli 2002, yang isinya adalah pemerintah dan kelompok pemberontak South’s Sudan People’s Liberation Army (SPLA) mencapai kesepakatan tentang kekuasaan negara dan agama, dan hak

7 Paul Romita, “The Sudan Referenda: What Role for Internatioanal Actors?”, New York:

International peace institute 2 (November 2010), 6.

8 Rebecca Hamilton, “U.S. Played Key Role in Southern Sudan's Long Journey to

Independence”, The Atlantic, 9 Juli 2011 [artikel on-line] tersedia di

http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/07/us-played-key-role-in-southern-sudans-long-journey-to-independence/241660/ diakses pada 25 maret 2013.

9 “Sudans Comperhensive Peace Agreement” Voa, tersedia di

http://www.voanews.com/content/sudans-comprehensive-peace-agreement-cpa-112719954/157128.html diakses pada 25 april 2014.


(18)

menentukan nasib sendiri bagi Sudan Selatan.10 Kemudian juga kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya, yaitu Power Sharing (Chapter II), Wealth Sharing(Chapter III), the Resolution of the Conflict in Abyei Area (Chapter IV), the Resolution of the Conflict in Southern Kordofan and Blue Nile States (Chapter V), Security Arrangements (Chapter VI), The Permanent Ceasefire and Security Arrangements Implementation Modalities and Appendices (or Annexure I), The Implementation

Modalities and Global Implementation Matrix and Appendices (or Annexure II).11

Selain Amerika Serikat, Tiongkok telah lama menjalin kerjasama dengan Sudan, dan mempunyai perusahan minyak di Sudan. Tiongkok sebagai mitra bagi Sudan, membantu sebagian mediasi dengan wilayah Selatan. Amerika Serikat hadir untuk mendukung wilayah Selatan dengan melakukan negosiasi perjanjian damai dengan Sudan serta mencabut sanksi embargo bagi Sudan sebagai imbalan jika menyetujui perdamaian yang dilakukan.12 Perubahan sikap Amerika Serikat ini menjadi tanda tanya dalam skripsi ini. Respon yang diberikan Amerika Serikat pada tahun 2000-an berubah lebih kontras karena kebijakannya untuk mendukung Referendum Sudan Selatan. Hal ini mengingat terdapat dukungan Tiongkok yang terlebih dahulu karena mempunyai perusahaan minyak besar di Sudan.

10Carter, “Observing the 2011 Referendum on the Self-Determination of Southern Sudan”,

The carter center: final report, 2011, 2.

11 “The Comprehensive Peace Agreement between The Government of The Republic of

Sudan and the Sudan People’s Liberation Movement/ Sudan Peoples’s Liberation Army”.

12 Daniel Large, “China's Sudan Engagement: Changing Northern and Southern Political

Trajectories in Peace and War”, The China Quarterly, 199:610-626, 2009, tersedia di

http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=6166272&fileId=S03057 41009990129 ; internet; diunduh pada 27 Maret 2014.


(19)

Fokus penulisan ini akan meneliti bagaimana dukungan yang dilakukan oleh Amerika Serikat atas upaya Sudan Selatan dalam melakukan referendum dan merdeka dari Sudan. Alasan mengapa mengambil penelitian ini karena Amerika Serikat banyak mengeluarkan respon serta kebijakan sejak Sudan Utara dan Selatan mengalami konflik hingga akhirnya Sudan Selatan melakukan referendum. Tahun 2011 dipilih karena menjadi tahun bagi Sudan Selatan melangsungkan referendum dan menjadi negara merdeka. Jadi penelitian skripisi ini akan berjudul “KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT DALAM MENDUKUNG KEMERDEKAAN SUDAN SELATAN TAHUN 2011”.

B. Pertanyaan penelitian

Mengapa Amerika Serikat mendukung upaya kemerdekaan Sudan Selatan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui latar belakang Amerika Serikat dalam berperan dalam proses referendum Sudan Selatan

2. Dapat menerapkan teori yang telah dipelajari selama kuliah.

3. Mengetahui kepentingan Amerika Serikat atas perannya dalam perannya pada proses referendum Sudan Selatan.


(20)

1. Diharapkan menjadi sarana referensi dan informasi bagi studi Hubungan Internasional, khususnya bagi yang ingin mengkaji lebih jauh peran Amerika Serikat dalam proses referendum Sudan

2. Diharapkan menjadi media informasi, media ilmu dan pemahaman serta wawasan bagi para pembaca untuk mengetahui peran Amerika Serikat dalam proses referendum Sudan

3. Menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan, dan referensi bagi para peneliti.

D. Tinjauan Pustaka

Ketika membahas konflik di Sudan seperti tidak ada habisnya. Konflik yang dimulai dari masalah konflik etnis ini berlangsung sudah sejak lama, yaitu sejak tahun 1955, seperti Perang Sipil Pertama dan perang sipil kedua pada tahun 2004. Banyak litetarur yang telah membahas konflik ini. Beberapa penulisan berikut merupakan tema tulisannya sama dengan penulis.

Tulisan yang pertama yaitu, dalam jurnal online yang ditulis oleh Astrid Ezhara Sinaga dalam eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3,

2013:667-678 dari Universitas Mulawarman (

http://fisip-unmul.ac.id/main/index.php/id) dengan judul “Keberadaan China dalam Penyelesaian Konflik Sudan-Sudan Selatan” yang membahas keterlibatan Tiongkok dalam menyelesaikan konflik di Sudan dengan melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi


(21)

Tiongkok berperan dalam penyelesaian konflik tersebut.13 Dalam analisanya, Astrid menyatakan bahwa Tiongkok merupakan negara yang berperan cukup signifikan.

Sebelum kedua negara ini berpisah, Tiongkok sudah menjalin hubungan yang baik dengan negara ini. Tiongkok juga menjalin hubungan yang baik dengan pemimpin Sudan, yaitu Omar Al-Bashir yang ketika konflik Darfur terjadi dituduh melakukan kejahatan genosida. Tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi hubungan Tiongkok dengan Sudan. Tiongkok juga menjalin hubungan yang baik dengan pemimpin Sudan Selatan, Salva Kiir.

Menurut Astrid, upaya penyelesaian Tiongkok dalam konflik Sudan ini tidak terlepas dari kepentingan Tiongkok di Sudan, yaitu Tiongkok merupakan mitra lama bagi Sudan dan menempati posisi pertama sebagai negara pengimport minyak dari Sudan hingga 66%. Tiongkok menjalin hubungan yang baik dengan Sudan karena adanya perusahaan Tiongkok yang berinventasi di Sudan, yaitu China National

Petroleum Corporation (CNPC) yang merupakan investor asing terbesar di Sudan.

Selanjutnya, dalam artikel jurnal kedua yang ditulis olehDaniel Large pada jurnal

The China Quarterly Volume 199 pada tahun 2009 dengan judul “China’s Sudan

Engagement: Changing Northern and Southern Political Trajectories in Peace and War”.14 Daniel Large pada tulisannya melihat bahwa Tiongkok telah mengembangkan perannya di Sudan selama perang kedua berlangsung, yaitu dua

13 Astrid Ezhara, “Keberadaan China dalam penyelesaian konflik Sudan- Sudan Selatan”,

Universitas Mulawarman 2013 tersedia di (http://fisip-unmul.ac.id/main/index.php/id) diakses pada Desember 2013.

14Large, “China's Sudan Engagement: Changing Northern and Southern Political Trajectories


(22)

dekade. Tiongkok yang memainkan sejumlah peran dalam upaya menstabilkan Sudan yang sedang mengalami konflik, telah mengantisipasi terjadinya konflik yang lebih luas karena akan berdampak pada perusahaan minyak yang dimiliki Tiongkok di Sudan. Selain Tiongkok merupakan mitra lama Sudan, Tiongkok juga mulai mengembangkan hubungan baru dengan pemerintah semi-otonomi Sudan Selatan untuk kepentingan politik masa depan. Daniel Large mengatakan bahwa pendekatan hubungan baru dengan calon negara baru tersebut merupakan langkah yang strategis untuk kepentingan Tiongkok untuk kepentingan ekonomi serta politik di masa yang akan datang.

Tulisan ketiga yaitu dari Fierda Milasari Rahmawati dalam skripsinya yang berjudul “Peacekeeping Operation PBB pada Konflik Darfur Tahun 2004-2008” untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial di Universitas Indonesia.15 Fierda mengatakan dalam tulisannya yaitu upaya yang dilakukan oleh PBB untuk meredakan konflik di Darfur yang dilakukan antara tahun 2004 hingga tahun 2008. Dalam analisisnya, bahwa PBB dalam operasi peacekeeping pada konflik Sudan, yaitu PBB sebagai pihak ketiga yang mengintervensi konflik dengan melakukan peacekeeping

operation serta bekerjasama dengan Uni Afrika.

Fierda juga menyinggung sedikit tentang upaya Uni Afrika dalam konflik Darfur, tetapi itu sebagai pelengkap tulisannya saja. Penelitian Fierda menyarankan bahwa PBB sebaiknya menyusun mandat peacekeeping operation secara menyeluruh

15 Fierda Milasari Rahmawati, “Peacekeeping Operation PBB pada Konflik Darfur Tahun


(23)

yang meliputi masa terjadinya konflik serta masa pasca-konflik dan melakukan perubahan-perubahan mendasar pada badan organisasi PBB sendiri.

Kemudian tulisan yang terakhir adalah tulisan Ihsan dengan judul skripsinya untuk mendapatkan gelar sarjana Sosial di Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah dengan judul “Peran Uni Afrika dalam Resolusi Konflik Darfur Tahun 2004-2007”. Dalam temuan Ihsan, misi perdamaian Uni Afrika untuk Sudan, The

African Union Mission in Sudan (AMIS), tidak berhasil melakukan tugasnya dalam

usaha mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perseteruan di Darfur, Sudan.16 Keterlibatan Uni Afrika merupakan keterlibatan pihak luar pertama di wilayah ini. Sebelumnya, Sudan selalu mencegah internasionalisasi konflik dalam negerinya.

Menurut analisa Ihsan, terdapat dua faktor yang melatarbelakangi Uni Afrika berperan dalam penyelesaian konflik di Sudan. Faktor tersebut adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari komitmen Uni Afrika Sendiri untuk terlibat dalam penyelesaian konflik pada negara-negara anggotanya melalui mekanisme penyelesaian konflik yang dimiliki oleh Uni Afrika. Sedangkan faktor eksternal berasal dari beberapa organsasi internasional yang terus mendorong Uni Afrika untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh bangsa Afrika dan untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Perbedaan antara penulisan ini dengan penulisan-penulisan di atas adalah, penulisan ini memfokuskan tulisannya dengan membahas Amerika Serikat dalam

16 Ihsan, “Peran Uni Afrika dalam resolusi konflik Darfur tahun 2004-2007”, Universitas


(24)

mendukung Sudan Selatan mencapai kemerdekaannya. Selain itu skripsi ini akan membahas keterlibatan serta apa saja yang dilakukan oleh Amerika Serikat serta faktor yang melatarbelakangi Amerika Serikat dalam mendukung Sudan Selatan merdeka. Periodisasi dalam penulisan ini yaitu ketika Amerika Seriakat terlibat dalam konflik yang terjadi antara Sudan dengan Sudan Selatan hingga pada akhirnya Sudan Selatan mencapai kemerdekaannya pada tahun 2011.

E. Kerangka Pemikiran

Kerangka penelitian dalam penelitian ini menggunakan teori kebijakan luar negeri, serta konsep kepentingan nasional dan konsep intervensi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman atas latar belakang Amerika Serikat berperan dalam proses referendum Sudan Selatan.

1. Teori Kebijakan Luar Negeri

Kebijakan luar negeri merupakan tindakan atau gagasan, yang dirancang oleh pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah atau mempromosikan suatu perubahan dalam lingkungan, yaitu dalam kebijakan, sikap, atau tindakan negara lain.17 Dalam perannya, sejumlah pemerintah kontemporer memandang diri mereka sendiri mampu atau bertanggung jawab, untuk memenuhi atau menjalankan tugas mediasi khusus untuk mendamaikan negara lain atau kelompok negara.

Negara menunjukan suatu tugas atau kewajiban khusus untuk membantu negara-negara yang sedang berkembang. Keputusan yang dibuat dalam proses

17 K. J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisis. Edisi Terjemahan (Jakarta:


(25)

pembuatan kebijakan luar negeri didasari atas kepentingan nasional yang tidak lepas dari alasan untuk mempertahankan dan melindungi kekuasaan dan keamanan. Menurut Rosenau, dalam mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka akan meliputi kehidupan internal dan kebutuhan ekternal di dalamnya seperti aspirasi, atribut nasional, kebudayaan, konflik, kapabilitas, institusi, dan aktivitas rutin yang ditujukan untuk mencapai dan memelihara identitas sosial, hukum, geografi suatu negara sebagai negara bangsa.18

Kebijakan luar negeri sebagai pilihan dari individu, kelompok, atau koalisi yang akan memengaruhi tindakan negaranya dalam lingkup Internasional.19 Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu. Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya itu, negara-negara maupun aktor dari negara tersebut melakukan berbagai macam kerjasama, di antaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional, dan multilateral.20

Rosenau mengatakan bahwa kebijakan luar negeri adalah upaya suatu negara untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya. Kebijakan ditunjukkan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup

18 J. N. Rosenau dan K.W. Thompson, World Politics; An Introduction, (New York: The Free

Press, 1976), 27.

19 Alex Mintz dan Karl DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making,

(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 3.

20 Mochtar Mas’oed. Imlu Hubungan Internasioanl: Disiplin dan Metodelogi, (Jakarta:


(26)

suatu negara.21 Menurut Holsti, lingkup kebijakan luar negeri meliputi semua tindakan serta aktivitas negara terhadap lingkungan eksternalnya dalam upaya memperoleh keuntungan dari lingkungan tersebut, serta hirau akan berbagai kondisi internal yang menopang formulasi tindakan tersebut.22

Kebijakan luar negeri merupakan sebuah bentuk interaksi yang terjadi karena di dalamnya terdapat sebuah tindakan dan juga respon dari tindakan sebuah negara. Oleh karena itu, penting untuk memahami kebijakan luar negeri dari level negara. Level negara ini mencakup faktor internal yang memengaruhi kebijakan yang akan dibuat. Faktor-faktor internal dapat dilihat dari kerangka institusi, seperti melihat interaksi antara badan legislatif dan eksekutif serta kondisi negara seperti dalam hal ekonomi, sejarah, dan kebudayaan suatu negara.23

Selain dalam level negara, kebijakan luar negeri juga dapat dilihat dari level internasional. Level ini memfokuskan interaksi yang terjadi antarnegara. Sebab, sistem internasional merupakan sekumpulan negara yang saling berinteraksi yang dipengaruhi oleh kapabilitas mereka, yakni kekuasaan dan kekayaan, dan hal tersebut memungkinkan mereka untuk bertindak di lingkungan global. Kemampuan yang dimiliki suatu negara dapat berubah, yakni apakah kemampuan ekonomi dan militer mereka bertambah atau berkurang.24

22 K.J Holsti Politik Internasional: Sudatu Kerangka Analisis. Bandung: Bina Cipta, 1992),

21.

23 Marijke Breuning, Foreign policy analisys a comaparative introduction, Palgrave

Macmillan, 1957, 12-13.


(27)

Dalam membahas kebijakan luar negeri dalam skripsi ini, akan dibahas faktor determinan dari faktor internal dan faktor eksternal. Dalam menjelaskan kasus ini, akan digunakan faktor internal yaitu:

a. Pembangunan Ekonomi

Dalam melakukan pembangunan ekonomi, pembuat kebijakan akan melihat industri sebagai acuan untuk membuat suatu kebijakan. Menurut pandangan Rosenau, suatu negara indusrti memiliki kebutuhan yang berbeda, mereka perlu mengimpor berbagai jenis komoditas untuk mempertahankan hubungan moneternya dengan mitra dagang mereka.25

b. Opini Publik

Opini publik merupakan salah satu faktor penentu dalam perumusan kebijakan luar negeri menurut Rosenau. Faktor opini publik sebagai bentuk tuntutan masyarakat, hanya dapat memengaruhi rencana pemerintah untuk membuat kebijakan luar negeri di dalam sebuah negara dengan sistem politik yang terbuka.26 Dalam sistem politik yang terbuka, biasanya rencana yang dibentuk para pembuat kebijakan luar negeri didasari oleh tuntutan spesifik dari masyarakatnya.27

25 Rosenau dan Thompson, World Politics, 20. 26 Rosenau dan Thompson. World Politics, 24-25. 27 Rosenau dan Thompson. World Politics, 25.


(28)

Kemudian dari faktor eksternal akan menggunakan:

a. Great power structure: Balance of power

Power suatu negara berbeda dengan negara lain, hal ini ditentukan

oleh bagaimana peran yang dimiliki oleh negara tersebut. Kapabilitas tersebut dapat diperlihatkan oleh kekayaan alam yang dimiliki, besar wilayah, atau pendapatan negara tersebut.28 Balance of power atau perimbangan kekuasaan merupakan pola hubungan suatu negara dengan negara lain atas dasar perimbangan kapabilitas, kekuatan serta distribusi kemampuan serta bagaimana negara itu berperan dengan pola yang dihasilkan setara dengan negara tersebut.29

b. Terorisme

Terorisme yaitu menciptakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mengejar perubahan politik melalui perubahan yang dilakukan oleh kekerasan tersebut.30 Kemudian Martha Crenshaw melihat teroris dari organisasi non-negara bertindak atas dasar perhitungan manfaat atau nilai yang akan diperoleh dari suatu tindakan.31 Terorisme banyak didefinisikan dalam empat karakteristik: (1) ancaman atau penggunaan kekerasan; (2) tujuan politik; keinginan untuk mengubah status quo; (3) niat untuk menyebarkan ketakutan

28 Breuning, Foreign Policy Analysis, 142. 29 Rosenau dan Thompson. World Politics, 22.

30 Bruce Hoffman, Inside Terrorism, Columbia University Press, 2006, 40.

31 Martha Crenshaw, Theories of Terrorism: Instrumental and Organization Approaches

dalam David C. Rapoport, Inside Terroris Organization, Colombia university Press: New York, 1988, 14.


(29)

dengan melakukan tindakan publik yang spektakuler; (4) sasaran sengaja warga sipil.32

2. Konsep Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional digunakan untuk menggambarkan dan mendukung kebijakan-kebijakan tertentu. Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh negara dirangkum dalam sebuah kebijakan yang di dalamnya terdapat kepentingan nasional. Terkait dengan eksistensi negara dan bagaimana negara dapat melangsungkan kehidupannya agar mencakup general-welfare. Kepentingan nasional dibuat untuk kebaikan negara. Suatu sikap atau kebijakan yang dianggap bisa menguntungkan suatu negara dalam hubungan dengan negara lain bisa dikatakan sebagai national interest.33

Karena itu, kekuasaan dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk bertahan hidup (survival) dalam politik internasional. Menurut Hans J. Morgentahau, kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan budaya dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik.34

32 Amy Zalman, Types of Terrorism: A Guide to Different Types of Terrorism. New York

Times: About.com. tersedia di http://terrorism.about.com/od/whatisterroris1/tp/DefiningTerrorism.htm

diakses pada 10 november 2014.

33 John Baylis and Steve Smith, The Globalizationof World Politics: An Introduction to

International Relations. Amazon.co.uk: Books, 2001), 210.

34 Morgenthau, 1960 dalam Hyndman, National Interest and the New Look, International


(30)

Kepentingan nasional sebagai dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara. Konsep kepentingan nasional sering dipakai sebagai pengukur keberhasilan suatu politik luar negeri. Kepentingan nasional (national interest) merupakan pilar utama bagi teori tentang politik luar negeri dan politik internasional yang realis.35 Kepentingan nasional sebagai dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara. Konsep kepentingan nasional sering dipakai sebagai pengukur keberhasilan suatu politik luar negeri.36

Menurut Waltz kepentingan para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan; kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur; kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-kebijakan yang kan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara; keberhasilan adalah ujian terakhir kebijakan itu, dan keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara dan memperkuat negara. Hambatan-hambatan struktural menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping perbedaan-perbedaan dalam diri manusia dan negara-negara yang menggunakannya.37

Jadi, kepentingan nasional adalah sebuah rangkaian konsep aktor internasional yang berkaitan dengan tujuan suatu negara. Kebijakan tersebut dibuat berdasarkan

35Mas’oed. Ilmu Hubungan Internasional, 139. 36Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional, 139.

37 Robert Jackson and George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,


(31)

faktor determinan dari lingkungan domestik maupun lingkungan eksternal suatu negara.

F. Hipotesa

Dalam melihat dukungan Amerika Serikat dalam mendukung kemerdekaan Sudan Selatan, skripsi ini memiliki asumsi sementara bahwa:

1. Amerika Serikat mempunyai kepentingan di Sudan Selatan dalam hal kebutuhan energi khususnya minyak dan gas.

2. Amerika Serikat mencoba membendung pengaruh teroris yang akan meluas di Sudan.

3. Keterlibatan dan dukungan Amerika Serikat di Sudan Selatan merupakan kepentingan strategis untuk merubah rezim Islam di Sudan.

G. Metode Penelitian

Dalam mengkaji penelitian ini menggunakan tipe metode penelitian studi pustaka (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan data melalui studi literatur. Metode ini bertujuan memperoleh pemahaman, mengembangkan teori, dan menggambarkan realistas yang kompleks.38 Penelitian ini juga menggunakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, yaitu menjelaskan mengenai kasus yang akan dibahas dalam penelitian dan bertujuan mendapatkan deskripsi

38 H. Abdurrahman dan Soejono, Metode penelitian; Suatu Pemikiran dan Penerapan (Rineka


(32)

terhadap variable-variabel dalam pokomasalah melalui interprestasi yang tepat, yaitu interpretasi berdasarkan konsep dan teori.39

Kemudian sumber kajian pustaka tersebut berupa buku-buku seperti South

Sudan; from Revolution to Independence (2012) dan Darfur’s Sorrow (2008),

jurnal-jurnal pada Issue Brief The Sudan Referenda: What Role For International Actors?,

dan U.S. Played Key Role in Southern Sudan's Long Journey to Independence. Surat

kabar harian Kompas, dan situs internet pada http://www.theatlantic.com/ ataupun laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang berhubungan dengan permasalahan dan kemudian menganalisanya. Sumber dan literature ini diperoleh dari beberapa perpustakaan, seperti, Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Perpustakaan FISIP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Universitas Nasional, Perpustakaan Freedom Institute Jakarta, dan Pusat Informasi Kompas Jakarta.

Jenis data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan hasil olahan yang diperoleh dari berbagai sumber. Kemudian, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif. Permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, kemudian ditarik kesimpulan. Metode penulisan yang digunakan adalah metode deduktif, di mana terlebih dahulu menggambarkan permasalahan secara umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.


(33)

Selanjutnya, tahap penelitian ini dilakukan dengan mencermati atau mengenali tingkat analisa yang digunakan dalam menggambarkan, menjelaskan, atau memprediksikan suatu fenomena. Tingkat analisa adalah unit atau obyek yang akan diteliti dalam kaitannya dengan variabel lain. Dalam disiplin Hubungan Internasional, tingkat analisa diperlukan untuk menyederhanakan objek dan masalah penelitian.40 Setelah data terkumpul, data tersebut akan dianalisa dan dilihat dalam penelitian dan hasilnya akan menjadi sebuah skripsi.

H. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka

E. Kerangka Teoritis F. Hipotesa

G. Metode Penelitian H. Sistematika Penulisan

BAB II SEJARAH KONFLIK SUDAN DAN SUDAN SELATAN

A. Perang Sipil Pertama tahun 1959-1980 B. Perang Sipil Kedua tahun 1983-2005

1. Perang Darfur Tahun 2003 C. Sikap Amerika Serikat

BAB III DUKUNGAN AMERIKA SERIKAT DALAM PROSES KEMERDEKAAN SUDAN SELATAN

40 Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional; Metodelogi dan Disiplin, (LP3ES,


(34)

A. Hubungan Amerika Serikat dengan Wilayah Sudan Selatan 1. Dukungan Diplomatik

2. Dukungan Militer 3. Dukungan Ekonomi

BAB IV FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI AMERIKA

SERIKAT MENDUKUNG KEMERDEKAAN SUDAN

SELATAN

A. Kepentingan Amerika Serikat di Sudan Selatan

B. Faktor yang Mempengaruhi Amerika Serikat Mendukung Kemerdekaan Sudan Sudan:

1. Faktor Interal a. Opini Publik:

Dukungan kelompok Kristen Evangelis b. Pembangunan Ekonomi:

Kebutuhan Energi Minyak Amerika Serikat 2. Faktor Eksternal

a. Great power Structure:

Balance of Power Tiongkok di Sudan

b. Terorisme:

Terosisme di Sudan 3. Faktor Penghambat

a. Sikap Tiongkok b. Sikap Pemerintah:

1. Sudan

2. Sudan Selatan

BAB V KESIMPULAN


(35)

BAB II

SEJARAH KONFLIK SUDAN DAN SUDAN SELATAN

Sudan merupakan negara terbesar di kawasan Afrika41 dengan luas wilayah 2,505,813 km persegi dan populasi mencapai 39,154,490 jiwa. Negara ini merdeka pada tahun 1956 dari kekuasaan Anglo Mesir. Ibu kota negara berada di Khartoum. Namun, dalam perjalanan kemerdekaannya keutuhan negara ini tidak berlangsung lama,42 pemerintahan Sudan terbelah menjadi dua kubu menjadi Sudan bagian Utara dan Sudan bagian Selatan.

Sudan jatuh pada konflik yang panjang dan memakan banyak korban jiwa akibat konflik tersebut. Dalam menjelaskan konflik yang terjadi di Sudan, diperlukan penjelasan yang panjang untuk memahami akar masalahnya. Dalam memahami konflik ini, diperlukan penjelasan komperhensif dengan pendekatan yang sistematis hingga diperlukan penjelasan yang panjang mengenai sejarah mengingat konflik ini terjadi disebabkan oleh multifaktor.

41Amanda Briney, Geography of Sudan, tersedia di

http://geography.about.com/od/sudanmaps/a/sudan-geography.htm diakses pada 29 Maret 2011.

42 Leben Nelson Moro, “Governance of Oil Resources and the Referendum in Southern


(36)

Gambar II.1 Peta Sudan dan Sudan Selatan

Sumber: http://www.enoughproject.org/conflicts/sudans diakses pada 29 Maret 2014

Dalam bab ini akan dibahas awal penyebab konflik di Sudan hingga konflik kedua yang terjadi di Darfur melalui sudut pandang sosial, politik, serta budaya. Bab ini akan mencoba menjelaskan serta memahami latar belakang penyebab konflik di Sudan 1955-2005.


(37)

A. Perang Sipil Pertama (1955 -1972)

Pada tahun 1947, Inggris yang ketika itu merupakan kolonial di Sudan memutuskan bahwa Sudan bagian Utara harus bersatu menjadi suatu negara dengan Sudan bagian Selatan. Keputusan Inggris saat itu merupakan suatu kesalahan, karena kedua bagian Sudan ini sangatlah berbeda latar belakang terutama dalam hal agama dan ras serta suku. Sudan bagian Utara yang dihuni oleh orang-orang ras Arab yang mempraktikkan ajaran Islam, sedangkan bagian Selatan yang mempunyai beragam etnis dan budaya Afrika merupakan penganut agama Kristen.43

Sudan merupakan negara yang merdeka pada tahun 1956 atas kekuasaan Anglo Mesir. Sejak kemerdekaannya, Sudan tidak lepas dari konflik kecil yang yang selalu muncul. Hal ini disebabkan oleh pemerintah pusat di Khartoum (Utara) lebih mendominasi pemerintahan karena dahulu sebagian besar kolonial menetap di Utara. Dengan posisi pemerintahan yang berada di wilayah Utara membuat masyarakat Selatan menjadi khawatir dengan ketidakadilan pemerintah karena dalam pemerintahan yang berisi 800 kursi, hanya enam yang diisi oleh Sudan bagian Selatan. Dengan posisi pemerintahan yang didominasi oleh Sudan mengakibatkan kesenjangan pembangunan di kedua wilayah.44

Akibat pemerintahan yang didominasi oleh Utara, sebagian besar politik Sudan juga sering mengeluarkan kebijakan yang memaksa wilayah Selatan agar sesuai dengan pemerintah pusat yang berada di Khartoum, walaupun mereka berbeda

43Nelson Moro, “Governance of Oil Resources and the Referendum in Southern Sudan”. 44Lauren Ploch Blanchard, “Sudan and South Sudan: Current Issues for Congress and U.S


(38)

pendapat. Perbedaan ini diperparah oleh perbedaan ras, budaya, dan agama di Sudan. Pemerintah Khartoum yang didominasi ras Arab, mencoba mengIslamkan pedesaan yang berbeda agama serta kelompok etnis yang merasa terpinggirkan oleh pemerintah pusat.45 Sudan diperintah oleh Front Nasional Islam (NIF), sebuah rezim Islam di bawah Presiden Omar Al-Bashir yang memiliki powerbase terutama di wilayah Utara yang beretnis Arab dan beragama Islam. Wilayah Pusat dan Selatan dihuni oleh kelompok yang berbeda, dengan campuran bahasa Afrika, yang berasal dari kelompok beragama Kristen dan Animisme.46

Ketidakpuasan wilayah Selatan atas diskriminasi pemerintah Khartoum memicu pemberontakan untuk melawan pemerintah Khartoum. Telah berulang kali penduduk Selatan berusaha untuk mendapatkan otonomi yang signifikan atau kemerdekaan dari Khartoum, namun mereka yang tidak mendapatkan haknya dan terpaksa berjuang dengan menggunakan senjata untuk mencapainya.47 Kelompok dari wilayah lain yang tidak hanya dari Selatan, juga memulai aksinya terhadap pemerintah dengan mengikuti alasan yang sama dengan Selatan. Sebagian besar kelompok-kelompok lain akhirnya bergabung dengan pemberontak Selatan.48

45Lauren Ploch Blanchard, “Sudan and South Sudan,” 6.

46 Tim Youngs, “Sudan: conflict in Darfur”, research paper 04/51, House of Commons

Library, 23 Juni 2004, 7.

47Tim Youngs, “Sudan: conflict in Darfur”, 7.


(39)

Konflik ini menjadi perang Saudara pertama di Sudan yang terjadi atas keinginan masyarakat Sudan Selatan yang ingin terbebas dari pemerintahan Utara.49 Dalam upaya mengakhiri perseteruan yang terjadi sejak 1955-1972, diadakan perjanjian Adis Ababa pada tahun 1972. Perjanjian ini mengakhiri pemberontakan Sudan bagian Utara dan Selatan dengan beberapa point penting yaitu, pembentukan pemerintah otonom tunggal yang mengontrol seluruh Sudan Selatan, pendirian Konsul Eksekutif Tinggi untuk mengurus masalah tata daerah Sudan Selatan, dan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di Sudan Selatan.50

Perdamaian atas perjanjian Adis Ababa tidak berlangsung lama. Pada tahun 1980, Presiden Jaafar Nimeiry, yaitu pemimpin militer sekaligus presiden terpilih Sudan 1969-1985, membuat kebijakan baru yang membawa Sudan pada Perang Sipil Kedua.

B. Perang Sipil Kedua (1983-2005)

Kebijakan yang dibuat Presiden Nimery membuat Sudan memulai kembali konflik saudaranya pada 1983. Presiden Nimery melakukan banyak pendekatan diktator kepada pemerintah seperti pembubaran DPRD Sudan Selatan dan parlemen nasional hingga pemenjaraan bagi orang yang menentang pemerintahannya.51 Kebijakan lain Presiden Nimery adalah mengubah hukum pemerintahan Sudan

49Greg Larson, “A brief history of modern Sudan South Sudan”, The Valentino Achak Deng

Foundation, and Water for South Sudan, Inc. tersedia di http://www.waterforsouthsudan.org/brief-history-of-south-sudan/ diakses pada 10 Juni 2014.

50Christopher R. Mitchell ,”Conflict Resolution and Civil War: Reflections on the Sudanese

Settlement of 1972”, Center for Conflict Analysis and Resolution 1989 , 9.

51 Robert O. Collins, Sudanese independence and civil war, tersedia di

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1779607/South-Sudan/300722/Sudanese-independence-and-civil-war diakses pada 12 Juni 2014.


(40)

menjadi hukum Islam. Hal ini menimbulkan keresahan dan ketakutan bagi penduduk Sudan karena tidak semua penduduk Sudan beragama Islam, terutama di wilayah Selatan.52

Kebijakan yang ingin diterapkan oleh Presiden Nimeiry membuat Sudan diberikan sanksi oleh PBB yang didukung oleh Amerika Serikat. Embargo ekonomi ini mengakibatkan Sudan harus bersikap mandiri karena tidak ada bantuan international. Dalam keadaan diembargo, Sudan terus berusaha bertahan dengan kemandiriannya dalam sektor pertanian dan pengembangan teknologi negaranya.53 Keterpurukan Sudan dari embargo diperparah oleh musim kemarau panjang yang melanda Sudan hingga masyarakat Sudan mengalami kekeringan serta kelaparan.

Akibat kebijakan Presiden Nimery tersebut membuat masyarakat Sudan bagian Selatan geram hingga Sudan kembali terjatuh dalam penyebab konflik dengan pola yang sama. Perang Kedua pecah pada tahun 1983 ketika pemerintah Sudan mencabut otonomi Selatan dan berusaha untuk menerapkan Hukum Syariah Islam di seluruh negeri.54 Tidak lama berlangsung, kekuasaan Presiden Nimeiry digulingkan hingga wilayah Utara mengalami ketidakstabilan. Konflik semakin menjadi dengan adanya kudeta tahun 1993 oleh pemerintahan sipil di bawah aliansi kekuasaan Omar Al- Bashir sebagai pemimpin militer dan kelompok Islam ekstrimis.55

52 Marina ottaway and Mai El-Sadany, “Sudan: From Conflict To Conflict”, May 2012, 5. 53 Wawancara pada tanggal 7 September, terdapat pada lampiran 1.

54“The United States and South Sudan: A Relationship Under Pressure”. 55“The United States and South Sudan: A Relationship Under Pressure”.


(41)

Selain karena kebijakan baru mengenai hukum Islam yang ingin diterapkan di seluruh Sudan, penyebab perang kali ini lebih kompleks. Hal itu dikarenakan meningkatnya kompetisi untuk mengontrol sumber minyak di pusat negara yang baru ditemukan serta adanya perubahan kerjasama pada perusahaan minyak milik barat yang menolak kebijakan Sudan, sehingga Sudan beralih menjalin kerjasama dengan pada Tiongkok, Malaysia, serta India.56

Perang sipil pertama di Sudan dapat mereda karena besarnya tekanan dari pemerintah. Hal ini juga dikarenakan adanya perjanjian yang mengikat pihak Selatan untuk tidak menyerang pemerintahan kembali di kemudian hari. Namun pada Perang Sipil Kedua di Sudan, terdapat banyak faktor hingga konflik ini sulit untuk diatasi. Kondisi ini terus berlangsung hingga ke wilayah Darfur, yaitu bagian barat Sudan. Penjelasan perang di Darfur akan dibahas pada subbab berikut ini:

1. Perang Darfur Tahun 2003

Darfur merupakan daerah di Sudan tepatnya di sebelah barat dekat dengan perbatasan Afrika Tengah dan Chad. Di Darfur, masyarakatnya sangat beragam dengan lebih dari 30 kelompok etnis yang berkebangsaan Afrika dan Arab. Suku asli di Darfur adalah Fur, Masalit, Daju, Zaghwa, dan Berti. Penduduk di Darfur didominasi oleh populasi muslim dari berbagai macam etnis.57 Banyak penduduk Darfur yang beragama Islam dan beretnis Arab mendiami wilayah Utara Darfur, sedangkan Selatan dihuni oleh petani Afrika.

56 Ottaway and Sadany, Sudan, 6.


(42)

Masyarakat Darfur banyak didiami orang Muslim Arab yang menikah dengan pribumi Darfur berbangsa Afrika, akibatnya orang Darfur didominasi orang berkulit hitam Arab-Afrika. Sejak bangsa Arab datang ke Darfur pada abad ke-18, hubungan mereka dengan suku pribumi terjalin tanpa perselisihan. Jika terjadi perselisihan pun akan langsung diselesaikan melalui mediasi dengan pemimpin lokal. Di Darfur sejak dulu hidup banyak dinasti yang menjadikan Darfur semakin makmur dengan tanah yang subur karena letaknya dekat dengan Gunung Jabal Marra. Darfur memulai konflik internal ketika abad ke-19 karena tidak adanya penegak hukum, sedangkan Darfur menjadi tempat perdagangan yang besar saat itu.58

Salah satu konflik yang tidak dapat dihindari oleh Darfur adalah sejak Inggris meyerahkan seluruh jajahannya kepada pemerintah yang berpusat di Utara dan hanya mengembangkan tanah subur di Utara serta mengabaikan daerah selatan dan Darfur yang berada di Barat. Akibat adanya ketimpangan oleh pemerintahan, mengharuskan mereka harus berkonflik menuntut hak atas kejengahan yang mereka alami. Hal ini diperparah ketika Sudan menemukan lahan minyak baru yang pengolahannya dimonopoli serta adanya pemaksaan hukum Islam yang ingin diterapkan di Sudan.59

Hal lain diperparah dengan adanya pangkalan militer Libya di Darfur untuk Perang Islam di Chad dalam perang Arab-Fur yang terjadi pada tahun 1987-1989. Dari perang tersebut, membuat Darfur dibanjiri oleh senjata. Akibatnya, ribuan

58 Gerard Prunier, Darfur: the Ambiguous Genocide (London: C. Hurst&Co, 2005), 8. 59 Prunier, Darfur, 42-47.


(43)

orang tewas dan banyak rumah warga Darfur terbakar. Kesengsaraan Darfur diperparah oleh kekeringan serta kelaparan yang melanda negara ini pada akhir tahun 1980, dan tidak ada perhatian dari pemerintah pusat.60

Kebencian karena diksriminasi pemerintah Sudan serta kemampuan untuk memegang senjata dengan adanya perang Arab-Fur, membuat suku Afrika Darfur melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah juga membentuk milisi yang dipersenjatai untuk melawan suku Afrika Darfur. Milisi ini merupakan asal mula milisi Janjaweed, (yang artinya adalah

pasukan penunggang kuda). Omar Al Bashir juga membuat kebijakan dengan

memberikan sokongan yang mengatur milisi ini untuk meminggirkan etnis Afrika. 61 Pemerintah Sudan secara resmi memberikan kekebalan hukum bagi milisi Janjaweed untuk menyerang kelompok-kelompok pemberontak Darfur.62 Selain itu, pemerintahan Omar Al Bashir juga membantu Osama Bin Laden tahun 1996 dan melakukan percobaan pembunuhan Hosni Mubarak pada tahun 1998. Amerika Serikat berupaya memerangi terorisme di Sudan dengan sanksi dan pengecaman bagi Sudan sebagai negara teroris. Sejak saat itu, Sudan semakin agresif untuk melakukan aksinya.63

Untuk menandingi milisi Janjaweed, etnis Afrika Darfur membentuk milisi bersenjata dari etnis non-arab hasil persatuan dari dua milisi besar yaitu South’s

60 Prunier, Darfur, 42-47.

61Michael Ray, Janjaweed, tersedia di

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1003597/Janjaweed diakses pada 23 Juli 2014.

62 Flint and De wall, Darfur: A New History of a Long War [ebook] (Africa Arguments,

2005), 129.


(44)

Sudan People’s Liberation Army (SPLA) dan Darfur Liberation Font (DLF). Dari sinilah terbentuk milisi Sudan People’s Liberation Movement (SPLM) pada Maret 2003.64 Janjaweed mulai menjadi jauh lebih agresif pada tahun 2003, setelah dua kelompok pemberontak non-Arab mengangkat senjata melawan pemerintah Sudan dan menuduh penganiayaan yang dilakukan oleh rezim Arab di Khartoum. Menanggapi aksi pemberontak Selatan, Milisi Janjaweed mulai menjarah kota-kota dan desa-desa yang dihuni oleh suku-suku Afrika yang menjadi anggota tentara pemberontak yang berasal dari suku Zaghawa, Masalit, dan Fur.65

Krisis di Darfur melibatkan pemerintahan Khartoum serta Omar Al-Bashir sebagai Presiden yang membuat kebijakan untuk menyerang etnis afrika Darfur melalui Milisi Janjaweed. Kelompok pemberontak Darfur, seperti Sudanese Liberation Movement/Army (SLM/A), Formerly Darfur Liberation Front (DLF), serta Justice and Equality Movement (JEM) banyak menjadi korban akibat serangan yang dilakukan oleh pemerintah Khartotoum. Korban jiwa di Darfur mencapai 300.000 orang tewas dan dua juta orang mengungsi.66

Pada tahun 2005, setelah negosiasi panjang, kesepakatan damai ditandatangani antara pemerintah di Khartoum dan para pemberontak di Selatan.

64Robert O Collins, “Disaster in Darfur”, The Gregg Centre vol 26, No 2, [Jurnal on-line],

2006, tersedia di http://journals.hil.unb.ca/index.php/JCS/article/view/4511 diakses pada 24 Juli 2014, h, 39

65 Brendan Koerner, “Who Are the Janjaweed? “, 19 Juli 2005, tersedia di

http://www.slate.com/articles/news_and_politics/explainer/2004/07/who_are_the_janjaweed.html diakses pada 10 Agustus 2014.

66 “The United States and South Sudan: A Relationship Under Pressure”, Council of

American Ambassadors [artikel on-line] tersedia di

http://www.americanambassadors.org/publications/ambassadors-review/fall-2013/the-united-states-and-south-sudan-a-relationship-under-pressure; Internet; diakses pada 15 Agustus 2014.


(45)

Hasilnya adalah pihak Sudan Selatan akan memiliki otonomi sendiri selama enam bulan dan akan memisahkan diri dengan dilakukannya referendum untuk voting apakah Sudan Selatan masih tetap bagian dari Sudan atau akan memisahkan diri. Kekayaan alam berupa minyak di perbatasan akan dibagi dua (50:50) untuk kedua Sudan setelah referendum.

C. Sikap Amerika Serikat

Pada konflik dan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah Sudan khususnya di Darfur, sikap marah Amerika Serikat kepada pemerintah Sudan semakin besar. Menteri Pertahanan Amerika Serikat serta Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mendakwa presiden Sudan, Omar Al Bashir, atas dugaan sebagai penjahat perang karena telah bertanggung jawab atas dukungan dengan mempersenjatai milisi Janjaweed untuk membakar desa-desa, memperkosa wanita, dan membunuh orang-orang dari suku Afrika Darfur.67

Hal ini berbeda dengan yang dikatakan oleh Prof. Amani Lubis selaku pengamat Kawasan Timur Tengah dan Afrika, Beliau mengatakan bahwa milisi Janjaweed sudah menaati hukum perang dengan tidak menyerang anak dan wanita. Banyak pemberitaan barat memberikan informasi yang mengandung unsur propaganda untuk memojokkan Sudan. Hal ini dilakukan oleh Amerika Serikat karena terdapat kepentingan yang besar pada konflik ini.68

67“The UnitedStates and South Sudan”. 68 Wawancara, terdapat pada lampiran 1.


(46)

Krisis di Darfur membawa dampak yang sangat besar bagi hubungan Amerika Serikat dan Sudan. Hubungan Sudan dan Amerika Serikat yang merenggang ketika pemerintah Sudan secara tegas membantu memberikan tempat bagi Osama bin Laden pada 1990 di Sudan serta membantu kelompok teroris untuk membunuh Hosni Mubarak. Sanksi yang diberikan Amerika Serikat ketika itu adalah pemutusan hubungan kerjasama karena Sudan dinyatakan sebagai negara sponsor terorisme. Dengan hal itu, Sudan dapat menjalin kerjasama kembali dengan Amerika Serikat meskipun kongres tetap melanjutkan pemberian sanksi terhadap pemerintah Sudan.69

Amerika Serikat tidak akan membiarkan Sudan akan jatuh kepada genosida lebih dalam seperti yang terjadi di Rwanda. Genosida membawa Amerika Serikat memberikan respon yang mendalam, khususnya pada masyarakat Amerika Serikat mengingat kenangan atas holocaust dan kegagalan dalam bertindak di Rwanda.70 Amerika Serikat berupaya mendukung kebijakan yang membuat konflik Sudan mereda agar Sudan Selatan dapat mencapai kemerdekaannya.

Dengan jumlah korban jiwa mencapai 300.000 jiwa, berbagai kecaman datang dari berbagai negara. Amerika Serikat lewat pernyataan Presiden Bush dalam pidatonya untuk mengecam sikap Sudan. Kemudian juga Amerika Serikat merespon konflik ini dengan memberikan sejumlah bantuan kemanusiaan untuk masyarakat di

69Lyman, “Negotiating Peace in Sudan”. 70Lyman, “Negotiating Peace in Sudan”.


(47)

Sudan Selatan yang harus mengungsi karena rumah mereka terkena dampak langsung dari konflik tersebut.71

Upaya perdamaian Amerika Serikat untuk melaksanakan perdamaian dengan lancar dilakukan dengan menjanjikan kebijakan normalisasi hubungan Amerika Serikat dengan Sudan serta mencabut Sudan sebagai negara sponsor terorisme. Hal itu dimaksudkan untuk mengantisipasi keburukan yang akan terjadi dikemudian hari. Dalam proses ini, kongres juga memberikan kebijakan yang akan menciptakan perdamaian pada proses perdamaian yang akan dilakukan pada 2011.72

Urusan wilayah minyak menjadi salah satu penyebab konflik di Sudan. Kilang minyak yang dikuasai oleh Sudan ketika pertama kali ditemukan dahulu, dimonopoli oleh pemerintah Sudan sehingga menjadi sengketa ketika dua negara ini berpisah. Sudan mulai mengekspor minyak mentah pada tahun 1990, aliran minyak Sudan melewati wilayah Selatan, sehingga Selatan mengklaim keberadaan minyak tersebut adalah miliknya.73

Tingkat produksi minyak Sudan mencapai 490.000 per barel setiap harinya. Ini merupakan sumber terbesar pendapatan untuk Sudan. Ketergantungan Sudan pada pendapatannya yang berasal dari minyak menjadikan persoalan sengketa

71Kevin Peraino, “Is Massive U.S. Aid Helping South Sudan?”, September 2010, tersedia di

http://www.newsweek.com/massive-us-aid-helping-south-sudan-72101 diakses pada 13 Juli 2014.

72“The United States and South Sudan”. 73Lyman, “Negotiating Peace in Sudan”.


(48)

minyak ini menjadi hambatan yang serius.74 Dari hal ini, Amerika Serikat juga memberikan usulan-usulan mengenai minyak pada kedua Sudan.

Sikap Amerika Serikat terhadap konflik di Sudan menjadi serangakaian kebijakan yang mengarah pada kecaman atas apa yang terjadi di Sudan. Selain itu Amerika Serikat juga berusaha menjadi mediator bagi sengketa minyak yang terjadi di Sudan. Kebijakan Amerika Serikat diupayakan untuk mendukung bagaimana masyarakat Sudan Selatan dapat segera berpisah dari Sudan.

Kebijakan Amerika Serikat di Sudan Selatan banyak dilakukan untuk mendukung wilayah Selatan mendapatkan kemerdekaannya. Amerika Serikat banyak mengeluarkan kebijakan luar negeri sebagai bantuan substansial bagi calon negara baru tersebut. Untuk melihat apa saja dukungan Amerika Serikat di Sudan Selatan, akan dijelaskan secara rinci pada bab III.


(49)

BAB III

DUKUNGAN AMERIKA SERIKAT DALAM PROSES

KEMERDEKAAN SUDAN SELATAN

A. Hubungan Amerika Serikat dengan Wilayah Sudan Selatan

Amerika Serikat merupakan negara adidaya yang selalu dapat hadir dalam sebuah peristiwa internasional. Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik merupakan sebuah intervensi yang dimaksudkan untuk menjadi fasilitator, mediator, atau pencetus perdamaian. Pada peristiwa konflik Sudan yang telah terjadi selama puluhan tahun,75 banyak aktor internasional mencoba memberikan upaya serta solusi perdamaian antara kubu Utara dan Selatan.

Awal mula hubungan Amerika Serikat dengan Sudan Selatan dalam upaya perdamaian konflik adalah ketika selama Perang Teluk. Amerika Serikat berseteru dengan Sudan, hingga mendorong Amerika Serikat yang saat itu dipimpin oleh Presiden Bill Clinton memberikan bantuannya pada pihak pemberontak di Selatan.76 Kemudian, hubungan ini berlanjut pada Presiden George W. Bush serta Presiden Barack Obama. Koalisi bipartisan pada pemerintah Amerika Serikat yang dikenal sebagai “Sudan Caucus” yang mendorong ketiga presiden ini untuk menjadikan

75 Matthew LeRiche and Matthew Arnold, South Sudan: From Revolution to Independence

(United Kingdom: Hurst&Co, 2012), 1.

76 Jonathan Jacobs, “South Sudan and the US National Interest”, Think Africa Press 2012,

tersedia di http://thinkafricapress.com/south-sudan/oil-us-south-sudan-secession diakses pada 10 Juli 2014.


(50)

Sudan sebagai agenda prioritas pada kebijakan luar negeri demi menghentikan konflik yang telah lama berlangsung.77

Amerika Serikat menjadi penggerak atas perjanjian damai antara Sudan dengan Sudan Selatan dari tahun 2001.78 Dalam perannya, Amerika Serikat memainkan peran kunci dalam membantu membuat protokol yang mengantarkan konflik dua Sudan ini pada Perjanjian Perdamaian Komprehensif (CPA). CPA tersebut dilaksanakan pada tahun 2005 sebagai peletak dasar Referendum tentang penentuan nasib sendiri pada tahun 2011. Hasilnya adalah orang-orang Sudan Selatan sangat banyak memilih untuk memisahkan diri.79 Dalam menjelaskan dukungan Amerika Serikat dalam kemerdekaan di Sudan Selatan, akan dibagi pada tiga dukungan, di antaranya adalah;

1. Dukungan Diplomatik

Luasnya keterlibatan internasional tercermin dari jumlah ditandatanganinya saksi Comperhensive Peace Agreement (CPA) yaitu Kenya, Amerika Serikat, Inggris, Italia, Norwegia, Belanda, Uganda, Mesir, Intergovernmental Authority on

Development (IGAD), Liga Arab, PBB, Uni Eropa, dan Uni Afrika (AU). Terdapat

banyak asosiasi internasional formal maupun informal yang telah terlibat di Sudan,

77 Rebecca Hamilton, “U.S. Played Key Role in Southern Sudan's Long Journey to

Independence”.

78Morgan L. Roach and Ray Walser, “The Role of the United States in Southern Sudan’s

Referendum”, Heritage Foundation, Maret 2011.

79 U.S. Relations With South Sudan (U.S Depertment of State, 2014) [database on-line];


(51)

seperti Sudan Troika80 yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, dan Norwegia, serta lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang secara berkala menangani masalah di Sudan.81

Dukungan diplomatik Amerika Serikat di Sudan Selatan mulai gencar dilakukan pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush tahun 2001. Kebijakan yang dibuat Amerika Serikat pada masa itu merupakan kebijakan war on terrorism yang dipelopori oleh Presiden George W. Bush ke seluruh dunia. Amerika Serikat menuju ke Sudan karena Bill Clinton, pada tahun 1993, menambahkan Sudan pada daftar “negara sponsor terorisme”.82

Mengantisipasi apa yang dahulu terjadi pada saat konflik Rwanda, Presiden Bil Clinton saat itu juga mengatakan penyesalan mendalamnya sebagai seorang presiden Amerika Serikat yang gagal mencegah pembantaian 800.000 orang dalam konflik Rwanda. Hal ini membuat Presiden George W. Bush mendorong upaya perdamaian di Sudan yang telah menelan hampir 300.000 korban jiwa.83 Hal ini juga didukung oleh adanya ikatan kelomok Kristen Evangelis Amerika Serikat dan

80 Sudan Troika adalah anggota dari tiga dari donor yang menonjol, Amerika Serikat, Inggris

dan Norwegia, kelompok yang mendukung proses negosiasi CPA. Pemerintah Sudan Troika telah kolektif memberikan bantuan 49,5% dari ODA antara tahun 2000 dan 2009.

Tersedia di http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2011/12/178314.htm diakses pada 23 Juli 2014.

81Princeton N. Lyman, “Negotiating Peace in Sudan”.

82Jonathan Jacobs, “Sudan Selatan dan US National Interest”, Think Africa Press, 13 Maret

2012, Africa [datebase on line]; tersedia di http://thinkafricapress.com/south-sudan/oil-us-south-sudan-secession; diakses pada 11 Juli 2014.

83Andrew Quinn, “Sudan vote tests Obama's Africa diplomacy”, Reuters Africa, 5 Januari

2011, tersedia di http://af.reuters.com/article/topNews/idAFJOE70401C20110105?sp=true diakses pada 25 Juli 2014.


(52)

pendiri otoritas Sudan Selatan yang mengkampanyekan pemisahan Sudan Selatan pada Presiden George W. Bush. 84

Kampanye yang dilakukan kelompok Kristen Evangelis merupakan bentuk protes atas apa yang terjadi pada konflik Sudan. Hal itu disebabkan karena kelompok agama dan kelompok politis di Amerika Serikat turut memperhatikan konflik di sana. Kelompok ini menjadi salah satu alasan Amerika Serikat mendukung proses kemerdekaan Sudan Selatan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Sudan Selatan sejak abad ke-19.85

Pada awal pemerintahan Presiden George W. Bush kelompok Kristen Evangelis di Amerika Serikat mendesak presiden untuk mengambil tindakan menghentikan serangan yang dilakukan oleh Sudan di wilayah Selatan. Kelompok Kristen Evangelis yang bergabung dengan Black Caucus merasa geram atas laporan dari wilayah Sudan di Utara karena telah memperbudak orang Selatan dan menyampaikan hal tersebut kepada Kongres.86

Kemarahan kelompok Kristen Evangelis di Amerika Serikat semakin menjadi atas laporan penindasan yang dilakukan oleh orang Sudan di Utara terhadap orang Kristen di Selatan. Kelompok Kristen Evangelis menekan Presiden George W. Bush

84Jeffrey Gettleman, “After Years of Struggle, South Sudan Becomes a New Nation”, New

York Times, 9 juli 2011, New York Times Online [artikel on-line], tersedia di

http://www.nytimes.com/2011/07/10/world/africa/10sudan.html?_r=0; diakses 23 Juli 2014.

85Jeffrey Gettleman, “After Years of Struggle”.


(53)

agar mengambil alih perang yang terjadi di Sudan.87 Usaha mereka terbayar pada tahun 2000 ketika Presiden George W. Bush terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.88

Hal ini merupakan awal terlibatnya Presiden George W. Bush di Sudan, yaitu pada tahun 2001 setelah dilatik menjadi presiden. Presiden George W. Bush menunjuk Senator John Danforth sebagai utusan proses perdamaian di Sudan yang bekerjasama dengan Intergovernmental Authority on Development (IGAD) yang terbukti menjadi negosiator efektif bagi perdamaian di Sudan.89

Hal yang sama juga dilakukan oleh Sudan Selatan untuk mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat yaitu, usaha kepala pemerintah otonom Sudan Selatan, yaitu Salva Kiir yang kini menjadi presiden Sudan Selatan. Selama bertahun-tahun, terutama masa Presiden George W. Bush, Kiir bersama kelompok Kristen bernaung di kalangan Ideologi Ekstrimis Washington untuk berusaha membentuk kembali keseimbangan kekuasaan di Sudan.90 Rezim Kiir telah lama menjadi rezim kesayangan Amerika Serikat sebagai negara donor Barat sehingga Amerika Serikat mendukung Salva Kiir untuk mendapatkan kemerdekaan dari Sudan.

87 Princeton N. Lyman, “Negotiating Peace in Sudan”, Journal of the School of Global

Affairs and Public Policy (GAPP) at American University in Cairo, Nov. 9, 2010 [jurnal on-line]; tersedia di http://www.aucegypt.edu/gapp/cairoreview/pages/articleDetails.aspx?aid=21; Internet; diunduh pada 15 Juli 2014.

88Jeffrey Gettleman, “After Years of Struggle”. 89Princeton N. Lyman, “Negotiating Peace in Sudan”.

90Kevin Peraino, “Is Massive U.S. Aid Helping South Sudan?”, News Week, 2010, [artikel

on-line] tersedia di http://www.newsweek.com/massive-us-aid-helping-south-sudan-72101 diakses pada 13 Juli 2014.


(54)

Konflik yang terus berlangsung di Sudan, khususnya di Darfur terus menimbulkan banyak korban jiwa. Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Colin Powell, setelah berkunjung ke Darfur menyatakan pada Senat Amerika Serikat bahwa di Darfur sedang terjadi genosida. Pada tahun 2004, kongres Amerika Serikat juga menyebut terjadinya genosida di Darfur dan menyerukan pada administrasi Presiden George W. Bush untuk memelopori upaya internasional demi menghentikan konflik tersebut.91

Selain itu, Presiden George W. Bush mengangkat Sudan pada bagian agenda kebijakan luar negerinya. Dukungan diplomatik Amerika Serikat ditunjukan ketika Uni Afrika dan PBB mengusahakan proses perdamaian Darfur (Protokol Abuja) di Abuja, Nigeria pada tahun 2004.92 Pihak pemberontak tidak bersedia meneken perjanjian damai Protokol Abuja. Untuk menyelamatkan proses perdamaian yang dilakukan Uni Afrika, Amerika Serikat melakukan upaya dengan mengirimkan Wakil Menlu Amerika Serikat, Robert Zoellick, untuk mendatangi Abuja.93

91 Abdul Hadi Adnan, “Penyelesaian Masalah Sudan Selatan dan Krisis di Darfur”, UNPAS

Journal: 7, 6 Mei 2006, [artikel jurnal on-line]; tersedia di

http://fisip.unpas.ac.id/index.php/home/downloadjournal/Crisis%20in%20DARFUR.pdf; Internet; diunduh pada 21 Desember 2013.

92Draft Framework Protocol for the Resolution of the Conflict in Darfur. “our commitment

to our previous agreements, namely the Humanitarian Ceasefire Agreement singed in N’djamena, Chad, on 8 April 2004 (hereinafter the N’djamena Agreement), the Agreement on the Modalities for the Establishment of the Ceasefire Commission and the Deployment of Observers signed in Addis Ababa, Ethiopia, on 28 May 2004 (hereinafter the Addis Ababa Agreement), as well as the protocols on the Improvement of the Humanitarian Situation in Darfur and on the Enhancement of the security situation in Darfur, signed in Abuja, Nigeria, on 9 November 2004, (hereinafter the Abuja Protocols)”


(55)

Presiden George W. Bush menelpon Presiden Omar Al Bashir agar mengirimkan kembali perwakilannya yang sebelumnya meninggalkan Abuja. Hal tersebut dilakukan karena pihak pemberontak tidak bersedia meneken persetujuan damai. Setelah Amerika Serikat mengupayakan hal tersebut, akhirnya SLM/A

(Sudan Liberation Movement/ Army) dan JEM (Justice and Equality Movement)

bersedia menandatangani perjanjian ini atas tekanan dari Amerika Serikat.94

Presiden George. W Bush secara konsisten melakukan upaya dari satu protokol hingga ke protokol lainnya hingga Amerika Serikat ikut berperan dengan memfasilitasi perdamaian.95 Dukungan tersebut dilakukan untuk mendorong pemberontak Selatan dan pemerintah pusat dalam perang yang panjang agar menandatangani Perjanjian Perdamaian Komprehensif (CPA).96 Dukungan Amerika Serikat terhadap Sudan selatan mendapatkan momentum di bawah pimpinan George W. Bush yang fokus terhadap perundingan perdamaian, yang akhirnya berbuah pada CPA tahun 2005.97

Perundingan perdamaian komperhensif (CPA) yang telah lama diagendakan tersebut diadakan di Naivasha, Kenya, yang dihadiri antara pemerintah Sudan dan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM).98 CPA merupakan dasar dari

94 Hadi Adnan, “Penyelesaian Masalah Sudan Selatan”, 7.

95“Sudans Comperhensive Peace Agreement”, Voice of America, 9 Juli 2011 [database

on-line], tersedia di http://www.voanews.com/content/sudans-comprehensive-peace-agreement-cpa-112719954/157128.html; diakses pada 25 April 2014.

96Jeffrey Gettleman, “After Years of Struggle”.

97Rebecca Hamilton, “U.S. Played Key Role in Southern Sudan's”.

98“Sudans Comperhensive Peace Agreement”, Voice of America, 9 Juli 2011 [database

on-line], tersedia di http://www.voanews.com/content/sudans-comprehensive-peace-agreement-cpa-112719954/157128.html; diakses pada 25 April 2014.


(56)

perundingan perdamaian antara kedua Sudan yang berkonflik untuk selanjutnya merencanakan pemisahan kedua wilayah Sudan melalui jalan referendum untuk menjamin hak penduduk wilayah selatan.99

Selain membantu Sudan Selatan melakukan referendum, Amerika Serikat juga memiliki tanggung jawab untuk menemukan solusi di Abyei sebagai wilayah perbatasan yang banyak mengandung minyak dan menjadi perebutan bagi kedua Sudan. Wilayah Abyei juga memiliki dukungan aktif dari pemberontak SPLM untuk melawan tentara sipil. Nasib Abyei ditentukan setelah referendum dilakukan, untuk membahas pembagian asset dan hasil minyak. Namun, negosiator Amerika Serikat memainkan perang penting pada Proklamator Abyei dalam CPA yang hasilnya adalah telah disepakati bahwa penduduk Abyei diizinkan untuk memilih pada referendum 9 Januari 2011.100

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dibuat oleh kongres, kebijakan ini juga disesuaikan oleh bantuan berlanjut untuk Aliansi Nasional Demokrat, yaitu sebuah koalisi pasukan oposisi bersenjata maupun pasukan yang tidak bersenjata dari Sudan Selatan (termasuk SPLM), untuk memperkuat kemampuannya melindungi warga sipil dari serangan. Pada saat yang sama, kongres

99Jeffrey Gettleman, “After Years of Struggle”. 100Princeton N. Lyman, “Negotiating Peace in Sudan”.


(57)

menyatakan mendukung upaya Presiden George W. Bush untuk mencari penyelesaian yang dinegosiasikan pada perang saudara Sudan.101

Estafet kebijakan di Sudan Selatan berpindah kepada Presiden Obama pada tahun 2009. Sebelumnya, Presiden Barack Obama kurang tertarik untuk melanjutkan perdamaian yang sebelumnya telah dijalankan presiden George. W Bush. Tetapi akhirnya pada tahun 2010 Presiden Barack Obama mendukung proses referendum yang telah direncanakan pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush dengan mendesak PBB untuk melaksanakan referendum secepatnya. Pemerintahan Presiden Barack Obama telah meningkatkan keterlibatannya pada Sudan Utara dan Sudan Selatan dan berjanji untuk melakukan kerjasama di masa yang akan datang.102

Saat itu Senator Amerika Serikat, John Kerry menggelar pertemuan membahas mengenai perdamaian di Sudan Selatan. Dalam pembicaraannya pada pertemuan di Juba dengan pemimpin dari Sudan wilayah utara dan Selatan, John Kerry menyatakan pembicaraan ini bertujuan mendorong terciptanya perdamaian yang lancar serta damai pada proses referendum nanti.103

Adapun tujuan Amerika Serikat dalam memberikan bantuan kepada Sudan Selatan telah disusun dalam kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat. Hillary

101Lauren Ploch Blanchard, “Sudan and South Sudan: Current Issues for Congress and U.S.

Policy”, Congressional Research Service:4, 5 Oktober 2012 [database]; tersedia di

http://fas.org/sgp/crs/row/R42774.pdf; Internet; diunduh pada 14 Juli 2014.

102Morgan L. Roach and Ray Walser, “The Role of the United States in Southern Sudan’s

Referendum”, The Heritage Foundation No. 3191, 16 Maret 2011 [database]; tersedia di

http://www.heritage.org/research/reports/2011/03/the-role-of-the-united-states-in-southern-sudans-referendum; diakses pada 10 Juli 2014.

103 “Referendum Sudan Selatan dimulai”, BBC, 9 Juli 2011, tersedia di

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/01/110109_souhsudanpool.shtml diakses pada 15 Juli 2014.


(1)

LAMPIRAN 2

Statement Presiden G. Walker Bush di Darfur

May 29, 200710:46 AM ET

Following is a statement given by president Bush at 8:01 a.m. ET on May 29, 2007:

Good morning. For too long, the people of Darfur have suffered at the hands of a government that is complicit in the bombing, murder, and rape of innocent civilians. My administration has called these actions by their rightful name: genocide. The world has a responsibility to help put an end to it.

Last month I announced that the United States was prepared to take new steps if the government of Sudan did not allow the full deployment of a U.N. peacekeeping force; if the government did not begin living up to its many commitments,that the United States would act. I made clear that the time for promises was over, and that President Bashir had to do something to end the suffering.

I held off implementing these steps because the United Nations believed that President Bashir could meet his obligations to stop the killing, and would meet his obligations to stop the killing. Unfortunately, he hasn't met those obligations. President Bashir's actions over the past few weeks follow a long pattern of promising cooperation while finding new methods for obstruction.

One day after I spoke, the military bombed a meeting of rebel commanders designed to discuss a possible peace deal with the government. In following weeks, he used his army and government-sponsored militias to attack rebels and civilians in South Darfur. He's taken no steps to disarm these militias in the year since the Darfur peace agreement was signed. Senior officials continue to oppose the deployment of the U.N. peacekeeping force.

The result is that the dire security situation on the ground in Darfur has not changed. And so today, at my instruction, the United States has taken the steps I announced in April. First, the Department of Treasury is


(2)

xxvi

tightening U.S. economic sanctions on Sudan. With this new effort, the United States will more aggressively enforce existing sanctions against Sudan's government.

As part of this effort, the Treasury Department will add 30 companies owned or controlled by the government of Sudan to its list of Specially Designated Nationals. We're also adding an additional company to the list, a company that has been transporting weapons to the Sudanese government and militia forces in Darfur. All these companies are now barred from the U.S. financial system. It is a crime for American companies and individuals to knowingly do business with them.

Second, we're targeting sanctions against individuals responsible for violence. These sanctions will isolate these persons by cutting them off from the U.S. financial system, barring them from doing business with any American citizen or company, and calling the world's attention to their crimes.

Third, I'm directing the Secretary of State to consult with the United Kingdom and other allies on a new United Nations Security Council resolution. This resolution will apply new sanctions against the government of Sudan, against individuals found to be violating human rights or obstructing the peace process. It will impose an expanded embargo on arms sales to the government of Sudan. It will prohibit the Sudanese government from conducting any offensive military flights over Darfur. It will strengthen our ability to monitor and report any violations.

At the same time, we will continue to push for U.N. support, including funding for the African Union peacekeepers who remain the only force in Darfur that is protecting the people. We will continue to work for the deployment of a larger hybrid force of AU and U.N. peacekeeping troops. We will continue to support the diplomacy of U.N. Secretary General Ban Ki-Moon. We will continue to insist on the full implementation of the Darfur peace agreement. We will continue to promote a broadly supported and inclusive political settlement that is the only long-term solution to the crisis in Darfur.

America's commitment is clear. Since this conflict began we have provided more than $1.7 billion in humanitarian and peacekeeping assistance for Darfur. We are the world's largest single donor to the people of Darfur. We're working for the day when the families of this


(3)

troubled region are allowed to return safely to their homes and rebuild their lives in peace.

The people of Darfur are crying out for help, and they deserve it. I urge the United Nations Security Council, the African Union, and all members of the international community to reject any efforts to obstruct implementation of the agreements that would bring peace to Darfur and Sudan.

I call on President Bashir to stop his obstruction, and to allow the peacekeepers in, and to end the campaign of violence that continues to target innocent men, women and children. And I promise this to the people of Darfur: The United States will not avert our eyes from a crisis that challenges the conscience of the world.

Thank you very much.

Sumber: Statement by the President on Darfur tersedia di


(4)

xxviii LAMPIRAN 3

STATEMENT BY SECRETARY CLINTON

Congratulating Sudan on the Results of the Southern Sudan Referendum The United States congratulates the Government of Sudan on the announcement of the Southern Sudan referendum results. We congratulate northern and southern leaders for facilitating a peaceful and orderly vote, and now that the people of Southern Sudan have made this compelling statement, we commend the Government of Sudan for accepting its outcome.

We look forward to working with southern leaders as they undertake the tremendous amount of work to prepare for independence in July and ensure the creation of two viable states living alongside each other in peace. The Government of Southern Sudan must launch a process of inclusive governance and take steps to improve good governance and service delivery, as well as to adopt long-term security and economic arrangements with the North.

In line with the bilateral discussions held between the United States and the Government of Sudan, and in recognition of the success of the Southern Sudan referendum as a critical milestone of the implementation of the Comprehensive Peace Agreement, the United States is initiating the process of withdrawing Sudan’s State Sponsor of Terrorism designation, the first step of which is initiating a review of that designation. Removal of the State Sponsor of Terrorism designation will take place if and when Sudan meets all criteria spelled out in U.S. law, including not supporting international terrorism for the preceding six months and providing assurance it will not support such acts in the future, and fully implements the 2005 Comprehensive Peace Agreement, including reaching a political solution on Abyei and key post-referendum arrangements.


(5)

We urge both northern and southern leaders to continue to work together toward full implementation of the CPA, and urge them to work expediently to reach agreement on the post referendum arrangements that will define their future and lead to a mutually beneficial relationship.

February 7, 2011 2011/170


(6)

xxx LAMPIRAN 4

Statement by the President on the Intent to Recognize Southern Sudan

On behalf of the people of the United States, I congratulate the people of Southern Sudan for a successful and inspiring referendum in which an overwhelmingly majority of voters chose independence. I am therefore pleased to announce the intention of the United States to formally recognize Southern Sudan as a sovereign, independent state in July 2011.

After decades of conflict, the images of millions of southern Sudanese voters deciding their own future was an inspiration to the world and another step forward in Africa’s long journey toward justice and democracy. Now, all parties have a responsibility to ensure that this historic moment of promise becomes a moment of lasting progress. The Comprehensive Peace Agreement must be fully implemented and outstanding disputes must be resolved peacefully. At the same time, there must be an end to attacks on civilians in Darfur and a definitive end to that conflict.

As I pledged in September when addressing Sudanese leaders, the United States will continue to support the aspirations of all Sudanese—north and south, east and west. We will work with the governments of Sudan and Southern Sudan to ensure a smooth and peaceful transition to independence. For those who meet all of their obligations, there is a path to greater prosperity and normal relations with the United States, including examining Sudan’s designation as a State Sponsor of Terrorism. And while the road ahead will be difficult, those who seek a future of dignity and peace can be assured that they will have a steady partner and friend in the United States.