murni. Simplisia hewani ialah simplisia yang berupa bahan utuh bagian hewan atau zat-zat yang berguna, yang dihasilkan oleh hewan atau zat-zat berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan mineral ialah simplisia yang berupa bahan pelikan mineral yang belum diolah atau telah
diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995 c.
Simplisia nabati atau simplisia hewani harus dihindarkan dari serangga atau cemaran atau mikroba dengan pemberian bahan atau penggunaan cara yang sesuai,
sehingga tidak meninggalkan sisa yang membahayakan kesehatan Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995 c.
D. Infusa
Salah satu metode penyarian adalah infusa. Bahan yang digunakan dalam infusa berasal dari bahan yang lunak simplisia daun dan bunga Suranto, 2004.
Pembuatan sediaan dalam bentuk infusa merupakan cara yang sederhana dan mudah dilakukan serta untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air. Infusa adalah
sediaan yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90
C selama 15 menit Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1986 a.
Pembuatan infusa dilakukan dengan cara simplisia yang telah dihaluskan sesuai derajat kehalusan yang telah ditetapkan dimasukkan dalam air secukupnya.
Kemudian dipanaskan di atas penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu
mencapai 90 C sambil berkali-kali diaduk, diserkai selagi panas melalui kain flanel,
menambahkan air panas secukupnya melalui ampas sehingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki. Jika infusa simplisia yang mengandung minyak atsiri harus
diserkai setelah dingin Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1986 a. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar
oleh kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1986 a.
E. Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ bersimpai yang terletak di area retroperitoneum McPhee and Ganong, 2010. Secara lebih rinci, struktur anatomi
dan fungsi fisiologi dari ginjal dijelaskan sebagai berikut:
1. Struktur anatomi ginjal
Ginjal berbentuk menyerupai kacang. Ginjal kanan dikelilingi oleh hati, kolon, dan duodenum sehingga letaknya lebih rendah dari yang kiri. Sedangkan
ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejenum, dan kolon. Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut kapsula ginjal dan
di luar terdapat jaringan lemak perirenal Setiadi, 2007. Ginjal manusia dewasa memiliki berat sekitar 150 g. Secara histologis ginjal
terdiri dari unsur utama yaitu glomerulus, tubulus dan interstitium, dan pembuluh darah Kumar, Abbas, and Fausto, 2010.
Gambar 1. Struktur ginjal Huether and McCance, 2008
Secara anatomis gambar 1, ginjal terdiri dari korteks dan medula. Di dalam korteks terdapat berjuta nefron sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktus
ginjal Setiadi, 2007. Medula terdiri dari banyak piramid ginjal yang apeksnya disebut papillae, dan masing-masing berhubungan dengan sebuah calyx. Korteks
memiliki ketebalan 1,2 sampai 1,5 cm. Jaringan korteks meluas ke ruang di antara piramid yang berdekatan sebagai kolumna renalis bertin Kumar, et al., 2010.
Satuan anatomis fungsi ginjal adalah nefron, suatu struktur yang terdiri atas berkas kapiler yang dinamai glomerulus tempat darah yang disaring dan tubulus
ginjal tempat air dan garam dalam filtrat diserap kembali McPhee and Ganong, 2010. Nefron merupakan satuan fungsional ginjal, dimana ginjal mengandung
kira-kira 1,3 juta nefron dan tiap nefron dapat membentuk urin sendiri. Selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah Setiadi, 2007.
Gambar 2. Struktur nefron McPhee, Lingappa, Ganong, dan Lange, 1995
Setiap nefron terdiri dari B owman’s capsule, yang mengitari rumbai kapiler
glomerulus, proximal tubule, loop of Henle, dan distal tubule, yang kemudian mengosongkan diri ke collecting duct gambar 2 Price and Wilson, 1985.
Bagian dari nefron tersebut, akan dijelaskan masing-masing yaitu sebagai berikut: a.
Korpuskular ginjal. Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai kapiler glomerulus Price and Wilson, 1985. Glomerulus adalah masa kapiler
yang berbentuk bola yang terdapat sepanjang arteriol. Fungsinya untuk filtrasi air dan zat terlarut dalam darah Lesson, 1996. Sedangkan kapsula bowman
merupakan suatu pelebaran nefron yang dibatasi oleh epitel yang menyelubungi glomerulus untuk mengumpulkan zat terlarut yang difiltrasi oleh glomerulus
Lesson, 1996; Sherwood, 2006.
Gambar 3. Struktur glomerulus dan kapiler glomerular Huether and McCance, 2008
Glomerulus terdiri atas arteriol aferen dan eferen serta dibungkus oleh suatu epitel yang membentuk suatu lapisan yang berhubungan dengan lapisan
yang membentuk simpai Bowman dan tubulus ginjal McPhee and Ganong, 2010. Aparatus jukstaglomerulus terletak dekat glomerulus di tempat
masuknya arteriol aferen. Aparatus jukstaglomerulus merupakan tempat utama produksi renin di ginjal Kumar, et al., 2010.
Terdapat dua lapisan epitel yang membungkus glomerulus yaitu sel lapisan epitel parietal dan viseral McPhee and Ganong, 2010. Epitel viseral
podocytes bergabung ke dalam dan menjadi bagian intrinsik dinding kapiler, yang dipisahkan dari dinding endotel oleh sebuah membran basal basement
membrane , dan secara struktural merupakan kompleks sel yang memiliki
tonjolan-tonjolan menyerupai jari kaki foot processes Kumar, et al., 2010. Membran basal ini terletak di antara sel epitel dan kapiler. Sedangkan epitel
parietal terletak pada kapsul Bowman, bentuknya gepeng, dan membentuk bagian terluar dari kapsula Price and Wilson, 1985.
Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Sel-sel endotel, membran basal, dan sel epitel viseral merupakan tiga lapisan yang
membentuk membran filtrasi glomerulus. Fungsi dari membran filtrasi glomerulus adalah ultrafiltrasi darah Price and Wilson, 1985.
Sel-sel mesangial adalah sel-sel endotel yang membentuk suatu jalinan kontinu antara lengkung-lengkung kapiler glomerulus dan berfungsi sebagai
jalinan penyokong Price and Wilson, 1985. Ruang antara kapiler-kapiler di glomerulus disebut mesangium McPhee and Ganong, 2010.
Dinding kapiler glomerulus adalah membran penyaring dan terdiri dari struktur-struktur yang secara mikroskopik dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Korpuskular ginjal secara mikroskopik SIU School of Medicine, 2005
Gambar 5. Mikrograf elektron pembesaran lemah glomerulus ginjal. CL, lumen kapiler; MES, mesangium; END, endotel; EP, sel epitel viseral dengan
foot processes tonjolan kaki
Kumar, et al., 2010
b. Tubulus kontortus proksimal. Cairan yang difiltrasi akan mengalir ke tubulus
kontortus proksimal. Letak tubulus ini di dalam korteks ginjal, panjangnya 14 mm dengan diameter 50-60 nm gambar 6. Bentuknya berkelok-kelok dan
berakhir sebagai saluran yang lurus yang berjalan kearah medula, yaitu ansa henle Lesson, 1996.
c. Ansa henle. Ansa henle merupakan nefron pendek yang memiliki segmen yang
tipis yang membentuk lengkung tajam berbentuk huruf U. Bagian pars desendens
dari ansa henle terbentang dari korteks ke bagian medula, sedangkan pars asendens
berjalan kembali dari medula ke arah korteks ginjal Lesson, 1996.
d. Tubulus distal. Setelah melewati ansa henle, maka akan berlanjut ke bagian
nefron tubulus distal. Pada gambar 6, tubulus kontortus distal lebih pendek dari
tubulus proksimal. Bagian tubulus distal ini berkelok-kelok di bagian korteks dan berakhir di duktus koligens Lesson, 1996; Sherwood, 2006.
Gambar 6. Tubulus kontortus proksimal p dan tubulus kontortus distal d secara mikroskopik
SIU School of Medicine, 2005
e. Duktus koligens. Duktus koligens merupakan saluran pengumpul yang akan
menerima cairan dan zat terlarut dari tubulus distal gambar 7. Duktus koligens berjalan dari dalam berkas medula menuju ke medula. Setiap duktus pengumpul
yang berjalan ke arah medula akan mengosongkan urin yang telah terbentuk ke dalam pelvis ginjal Sherwood, 2006.
Gambar 7. Duktus koligens cd secara mikroskopik SIU School of Medicine, 2005
Di korteks normal, rongga interstisium tersusun rapat, ditempati oleh kapiler peritubulus berpori dan sejumlah kecil sel mirip fibroblas Kumar, et al., 2010.
Ginjal kaya akan pembuluh darah, dan meskipun kedua ginjal hanya membentuk 0,5 dari berat tubuh total, tetapi keduanya menerima sekitar 25
curah jantung. Korteks adalah bagian ginjal yang paling kaya pembuluh darah, menerima 90 dari total aliran darah ginjal. Arteri renalis bercabang menjadi
bagian anterior dan posterior di hilum Kumar, et al., 2010. Pembuluh darah utama pada ginjal adalah sebagai berikut:
a. Renal arteries. Terletak sebagai cabang kelima dari aorta abdominal, membagi
menjadi cabang-cabang anterior dan posterior pada hilus ginjal, dan kemudian membagi lagi menjadi arteri lobus.
b. Interlobar arteries. Pembuluh ini mengalirkan darah ke ginjal dari arteri aferen
glomerular. c.
Arcuate arteries. Cabang arteri interlobar yang terletak di cortical medullary junctions
. d.
Glomerular capillaries. Berfungsi membawa darah menuju peritubular capillaries
. e.
Peritubular capillaries. Berfungsi untuk mengelilingi atau membelit tubulus proksimal, tubulus distal, dan lengkung Henle.
f. Vasa recta. Jaringan kapiler yang membentuk loop dan mengikuti lengkung
Henle, dan berfungsi menyuplai darah menuju medula. g.
Renal veins. Mengikuti jalan arteri dan memiliki nama yang sama dengan arteri, dan akhirnya membuang darah ke inferior vena cava Huether and McCance,
2008.
2. Fisiologi ginjal
Ginjal melakukan fungsi vital sebagai tempat ekskresi zat yang tidak terpakai serta pengatur komposisi dan volume kimia darah dengan
mensekskresikan solut dan air secara selektif yang dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus Price and Wilson, 1985. Kemampuan
ginjal untuk mengatur komposisi cairan ekstraseluler merupakan fungsi per satuan waktu yang diatur oleh epitel tubulus Silbernagyl and Lang, 2007.
Gambar 8. Fungsi utama pada bagian-bagian nefron Huether and McCance, 2008
Untuk zat yang tidak disekresi oleh tubulus, pengaturan volumenya berhubungan dengan laju filtrasi glomerulus LFG. Seluruh zat yang larut dalam
filtrasi glomerulus dapat direabsorpsi atau disekresi oleh tubulus Silbernagyl and Lang, 2007.
Pada gambar 8 menjelaskan fungsi-fungsi utama pada setiap bagian nefron secara sistematis, untuk penjelasan secara rinci mengenai fungsi fisiologi ginjal
adalah sebagai berikut: a.
Filtrasi glomerulus. Cairan yang difiltrasikan melalui glomerulus ke dalam kapsula Bowman disebut filtrat glomerulus. Sel-sel endotel, membran basal,
dan lapisan epitel viseral merupakan tiga lapisan yang membentuk membran filtrasi glomerulus. Pada filtrat harus melewati membran tersebut sehingga baru
dapat dialirkan ke kapsula Bowman Setiadi, 2007. Komposisi cairan filtrat glomerulus mempunyai komposisi yang hampir
sama dengan cairan yang terserap masuk dari ujung arteri kedalam cairan interstisium. Tidak mengandung eritrosit dan hanya mengandung 0,03 protein
di dalam plasma. Elektrolit dan komposisi solut lain dari filtrat glomerulus juga ditemukan pada cairan interstisium Setiadi, 2007.
Jumlah filtrat glomerulus yang dibentuk setiap menit dalam semua nefron kedua ginjal disebut laju filtrasi glomerulus GFR = Glomerular Filtration
Rate . GFR ditentukan oleh tiga faktor yaitu keseimbangan tekanan-tekanan
yang bekerja pada dinding kapiler tekanan hidrostatik kapiler glomeruli dan tekanan onkotik kapsul Bowman mendorong terjadinya filtrasi sedangkan
tekanan onkotik kapiler glomeruli dan tekanan hidrostatik kapsul Bowman menghambatnya, kecepatan aliran darah ke ginjal renal blood flow = RBF
atau kecepatan aliran plasma melalui glomeruli glomerular plasma flow =
GPF dan permeabilitas serta luas permukaan kapiler yang berfungsi Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010.
Penentuan nilai GFR dapat dihitung dengan menggunakan rumus. Rumus Cockcroft dan Gault merupakan rumus umum yang biasa digunakan dengan
mempertimbangkan umur, berat badan, dan nilai kreatinin plasma P
cr
Huether and McCance, 2008. GFR mLmin =
140− �
� � � 72
x 0,85 wanita Selain itu, The National Kidney Foundation merekomendasikan
perhitungan GFR dengan rumus Modification of Diet in Renal Disease MDRD yaitu:
GFR mLmin = 186 x P
cr -1,154
x umur
-0,203
x 0,742 pada wanita; 1,210 pada pria Huether and McCance, 2008.
Pada keadaan normal, banyaknya GFR sekitar 120 mLmenit. Urin dalam bentuk awal tersebut merupakan ultrafiltrat plasma kecuali sejumlah kecil
protein yang dapat diabaikan dan yang kemudian akan direabsorpsi di tubuli Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010.
b. Transport tubular. Di tubuli proksimal terjadi reabsorpsi 23 dari ultrafiltrat
glomeruli secara isoosmotik. Akibat susunan anatomik nefron yang amat khusus maka di glomeruli tekanan hidrostatik lebih besar daripada tekanan
onkotik sedangkan pada kapiler peritubular di tubulus proksimal sebaliknya
yaitu tekanan hidrostatik lebih kecil daripada tekanan onkotik Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010.
Selain air dan Na
+
, direabsorpsi juga sebagian besar HCO
3 -
bikarbonat, asam amino dan glukosa. Sebaliknya kadar Cl
-
di dalam tubulus meningkat. Pada bagian menurun ansa Henle terjadi pengeluaran air secara pasif sehingga
urin menjadi hipertonik. Pada bagian naik ansa Henle tidak permeabel untuk air sedangkan NaCl keluar. Urin yang sampai ke tubulus distal bersifat
hipoosmotik, terjadi reabsorpsi Na
+
secara aktif. Aldosteron berperan menahan natrium serta air dan sebaliknya melepaskan kalium. Hormon antidiuretik
ADH berperan mereabsorpsi air pada bagian akhir tubulus distal dan saluran pengumpul collecting duct sehingga urin yang hipotonik dapat menjadi
hipertonik lihat Gambar 9 Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010. Selain ADH, ada juga hormon aldosteron yang berperan dalam membantu
merangsang reabsorpsi natrium dalam tubulus distal dan duktus koligen. ADH bersama dengan aldosteron bergungsi untuk mengendalikan tekanan darah.
Pada ginjal, dikenal sistem renin-angiotensin. Pengeluaran renin dari ginjal akan mengakibatkan perubahan angiotensinogen suatu glikoprotein yang
dibuat dalam hati menjadi angiotensin I. Angiotensin I kemudian dirubah menjadi angiotensin II oleh converting enzyme yang ditemukan di dalam
kapiler paru-paru. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan menyebabkan vasokonstriksi arteriol perifer dan merangsang sekresi
aldosteron. Peningkatan kadar aldosteron akan merangsang reabsorpsi natrium
dalam tubulus distal dan duktus koligen. Peningkatan reabsorpsi natrium akan mengakibatkan peningkatan reabsorpsi air dan dengan demikian volume plasma
meningkat. Peningkatan volume plasma ini ikut berperan dalam peningkatan tekanan darah yang seterusnya akan mengurangi iskemia ginjal Price and
Wilson, 1985.
Gambar 9. Mekanisme pembentukan urin melalui proses filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi
Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010
Urin yang dikeluarkan mengandung air dengan ureum, kreatinin, fosfat dan sulfat hasil proses katabolisme. Juga terdapat asam urat, K
+
, dan H
+
hasil penukaran dengan Na
+
atas pengaruh aldosteron di tubulus distal. Protein dalam keadaan normal diekskresi dalam jumlah sedikit. Glukosa yang difiltrasi akan
direabsorpsi di tubulus proksimal, tetapi dengan makin tinggi kadarnya dalam filtrat glomeruli maka makin banyak pula glukosa yang dikeluarkan bersama
urin. Terdapat pula eritrosit, leukosit, dan kristal metabolit serta sel-sel epitel Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010.
F. Pemeriksaan Kreatinin
Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat protein, yang disintesis dalam hati, ditemukan dalam otot rangka dan darah,
dan diekskresikan dalam urine. Meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal Lu, 1995.
1. Metabolisme kreatinin
Kreatinin berasal dari pemecahan kreatinifosfat otot. Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatin sebagian besar ditemukan di otot
rangka, tempat zat ini terlibat dalam penyimpanan energi sebagai kreatin fosfat. Dalam sintesis ATP dari ADP, kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan
katalasi enzim kreatin kinase. Reaksi ini berlanjut seiring dengan pemakaian energi sehingga dihasilkan kreatin fosfat. Dalam prosesnya, sejumlah kecil
kreatin diubah secara ireversibel menjadi kreatinin, yang dikeluarkan dari sirkulasi oleh ginjal. Jumlah kreatinin yang dihasilkan setara dengan massa otot
rangka yang dimiikinya Sacher and Richard, 2004. 2.
Fakor yang mempengaruhi kadar kreatinin darah
Kreatinin umumnya dianggap tidak dipengaruhi oleh asupan protein namun sebenarnya ada pengaruh diet terutama protein tetapi tidak sebesar pengaruhnya
terhadap kadar ureum. Kreatinin terutama dipengaruhi oleh massa otot. Karena itu kadar kreatinin darah lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan,
meningkatnya pada atlit dengan massa otot banyak, dan juga pada kelainan pemecahan otot rhabdomiolisis. Sebaliknya kadar kreatinin menurun pada usia
orang usia lanjut yang massa ototnya berkurang Laboratorium Amerind Bio- Clinic, 2010.
3. Metode pemeriksaan kreatinin
Macam pemeriksaan kreatinin darah adalah: a.
Jaffe Reaction. Dasar dari metode ini adalah kreatinin dalam suasana alkalis dengan asam pikrat membentuk senyawa kuning jingga. Alat yang
digunakan photometer. b.
Kinetik. Dasar metodenya relatif sama hanya dalam pengukuran dibutuhkan sekali pembacaan. Alat yang digunakan autoanalyzer.
c. Enzimatik. Dasar metode ini adalah dengan adanya substrat dalam sampel
bereaksi dengan enzim membentuk senyawa enzim substrat dengan menggunakan alat photometer.
Meskipun sejumlah kecil disekresi, tes kliren kreatinin merupakan suatu tes untuk memperkirakan GFR dalam klinik. Untuk melakukan tes kliren kreatinin,
cukup mengumpulkan contoh urin atau darah selama 24 jam Price and Wilson, 1985.
Dalam keadaan normal, produksi kreatinin secara kasar sama dengan ekskresi kreatinin, sehingga kadar kreatinin serum konstan. Pada seorang penderita
dengan filtrasi glomerulus yang menurun, kreatinin serum akan terakumulasi sesuai dengan derajat hilangnya filtrasi glomerulus pada ginjal. Konsentrasi kreatinin serum
sering digunakan untuk menentukan klirens kreatinin, yang merupakan cara
pemantauan fungsi ginjal yang cepat dan sesuai. Secara farmakokinetik, klirens kreatinin dapat ditakrifkan sebagai laju ekskresi kreatinin melalui urin atau kreatinin
serum. Klirens kreatinin secara klinik dinyatakan dalam mLmenit dan konsentrasi kreatinin serum dalam mg Shargel and Yu, 1988. Persamaan berikut digunakan
untuk menghitung klirens kreatinin dalam mLmenit: CL
cr
= U
cr
× V S
cr
× t Di mana U
cr
= urine creatinine concentration, V = urine volume, S
cr
= serum creatinine concentration
, dan t = duration of the urine collection Dipiro, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008.
Menurut Huether dan McCance 2008, nilai normal dari plasma creatinine concentration
adalah 0,7-1,2 mgdL. Konsentrasi kreatinin plasma ini akan memiliki nilai yang stabil ketika nilai GFR juga stabil, karena laju produksi kreatinin sama
besar dengan hasil metabolisme otot. Nilai normal kreatinin dalam darah pada tes fungsi ginjal yang normal pada manusia adalah sebesar 0,6-1,5 mgdL laki-laki dan
0,6-1,1 mgdL perempuan. Sedangkan nilai rata-rata kadar kreatinin normal pada tikus strain Sprague-Dawley adalah 0,860 mgdL jantan dan 0,713 mgdL betina
Derelanko and Hollinger, 2002.
G. Kerusakan Ginjal
Fungsi utama dari ginjal adalah organ eliminasi penting bagi tubuh. Meskipun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan ginjal terhadap
efek toksik, tetapi tingginya aliran curah jantung dan peningkatan konsentrasi produk
ekskresi karena adanya reabsorpsi air dari cairan tubuler merupakan faktor terpenting. Akibatnya, beberapa obat atau zat kimia yang beredar dalam sirkulasi sistemik akan
dibawa ke ginjal dalam kadar yang cukup tinggi. Sebagai akibatnya akan terjadi proses perubahan struktur dari ginjal itu sendiri, terutama di tubulus ginjal karena
disinilah terjadi proses reabsorpsi dan eksresi dari zat- zat toksik tersebut Manggarwati, 2010.
Gambaran kondisi ginjal normal dapat dilihat secara mikroskopik gambar 10.
Gambar 10. Gambaran mikroskopik ginjal normal diwarnai dengan haematoxylin dan eosin.
A Korteks ginjal, 1: renal corpuscle; 2: proximal convoluted tubules; 3: distal
convoluted tubules; 4: Bowmans capsulae space. B Medula ginjal, 1: thick ascending limb of the loop of Henle; 2: interstitial connective tissue
Gunin, 2000
Penyakit ginjal sangat kompleks sama seperti strukturnya, tetapi untuk memahaminya bisa dipermudah dengan membagi penyakit ginjal berdasarkan empat
komponen morfologik dasar ginjal yaitu glomerulus, pembuluh darah, tubulus, dan interstisium. Sebagian besar penyakit glomerulus disebabkan oleh proses imunologik,
sedangkan penyakit pada tubulus dan interstisium sering disebabkan oleh bahan toksik atau infeksi Kumar, et al., 2010.
1. Penyakit yang mengenai glomerulus
Penyakit glomerulus dapat digolongkan lebih lanjut berdasarkan gambaran klinis. Sebagian penyakit bermanifestasi sebagai proteinuria berat tetapi tanpa
tanda reaksi peradangan selular penyakit nefrotik, sementara yang lain memperlihatkan proteinuria dengan derajat bervariasi yang disertai oleh adanya
sel darah merah dan putih di urin penyakit nefritik McPhee and Ganong, 2010.
Penyakit nefrotik biasanya memperlihatkan pengendapan kompleks imun tepat di atau di bawah sel epitel, sering dengan perubahan morfologis foot
process . Sedangkan penyakit nefritik memperlihatkan pengendapan kompleks
imun di lokasi subendotel atau di membran basal glomerulus atau mesangium McPhee and Ganong, 2010.
2. Penyakit yang mengenai tubulus dan interstisium
Sebagian besar cidera tubulus juga melibatkan interstisium. Interstisium adalah ruang antar tubulus. Adanya kerusakan dalam tubulus ginjal akibat zat
nefrotoksik dilihat dengan adanya penyempitan tubulus kontortus proksimal, nekrosis sel epitel tubulus kontortus proksimal, atau adanya hyaline cast di
tubulus distal Manggarwati, 2010. Salah satu penyakit yang mengenai tubulus dan interstisium adalah nefritis
tubulointerstisium reaksi peradangan di tubulus dan interstisium. Nefritis
tubulointerstisium dapat bersifat akut atau kronis. Nefritis tubulointerstisium akut memperlihatkan secara histologiss ditandai dengan edema interstisial, sering kali
disertai infiltrasi leukositik di interstisum dan tubulus, dan nekrosis tubulus fokal. Nekrosis adalah pembengkakan sel yang kemudian mengalami lisis. Sel yang
nekrotik terlihat membesar dan lebih asidofik merah daripada sel normal. Nekrosis melibatkan kematian sekelompok sel dan terlihat adanya respon
peradangan. Pada nefritis tubulointerstisium kronik, terjadi infiltrasi terutama oleh leukosit menonukleus, fibrosis interstisium, dan atrofi tubulus luas.
Gambaran morfologik yang membedakan bentuk akut dan kronik pada nefritis tubulointerstisium adalah edema dan jika ada eosinofil dan neutrofil pada
bentuk akut, dan fibrosis serta atrofi tubulus pada bentuk kronik Kumar, et al., 2010.
Mekanisme utama dalam nefritis tubulointerstitial akut adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat seperti penisilin, anti-inflammatory drugs
NSAIDs, dan obat sulfa. Mekanisme lain adalah cedera selular akut yang disebabkan oleh infeksi, virus atau bakteri, sering dikaitkan dengan obstruksi
atau refluks. Ginjal sangat tahan terhadap kerusakan struktural karena infeksi bakteri, dan dengan tidak adanya obstruksi, kerusakan dari infeksi bakteri dalam
parenkim ginjal sangat mungkin terjadi Alper, 2011. Cedera yang bermanifestasi sebagai kerusakan tubulus dan inflamasi
interstisium, salah satunya disebabkan oleh fibrosis tubulointerstisium. Banyak faktor yang dapat menyebabkan cedera tubulointerstisium, termasuk iskemia
segmen-segmen tubulus di sebelah hilir glomerulus sklerotik, dan berkurang dan hilangnya pasokan darah kapieler peritubulus. Berdasarkan penelitian pada
hewan secara in vitro, proteinuria diduga menyebabkan cedera langsung dan mengaktifkan sel tubulus. Sebaliknya, sel tubulus aktif akan mengekspresikan
molekul-molekul adhesi dan dan mengeluarkan sitokin proinflamasi, kemokin dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam fibrosis interstisium Kumar, et al.,
2010.
Gambar 11. Mekanisme cedera tubulointerstisium kronik pada glomerulonefritis. ET-1,
endotelin-1, PAI-1,
plasminogen activator inhibitor-1; TIMP-1, tissue inhibitor of metaloproteinases.
Kumar, et al., 2010.
Dilihat pada gambar 11, berbagai komponen filtrat kaya protein dan sitokin yang berasal dari leukosit, menyebabkan aktivasi sel tubular dan sekresi sitokin,
faktor pertumbuhan, dan mediator lainnya. Seluruhnya bersama produk-produk makrofag, menyebabkan inflamasi interstisium dan fibrosis Kumara, et al.,
2010. Nefritis interstitial sama halnya dengan nefritis tubulointerstisium yaitu
peradangan pada daerah interstisium yang disebabkan oleh reaksi alergi obat,
penyakit autoimun, infeksi atau infiltrasi penyakit lainnya. Dalam nefritis interstitial akut, kerusakan tubular menyebabkan disfungsi tubular ginjal, dengan
atau tanpa gagal ginjal. Terlepas dari tingkat keparahan kerusakan epitel tubular, disfungsi ginjal ini umumnya reversibel Kumara, et al., 2010 Kumara, et al.,
2010.. Menurut Wulandari 2010, nefritis intersitial ini secara morfologi ditandai dengan sitoplasma yang keruh, pembengkakan sel-sel tubulus proksimal
sehingga lumennya menyempit bahkan menghilang. Nefritis interstitial merupakan jejas tubular yang manifestasi awalnya berupa edema tubulus
proksimal dimana sel-sel epitel tubulus proksimal dan intertisium membengkak dengan sitoplasma yang granuler karena terjadi pergeseran air ekstraseluler ke
intrasel. Pergeseran cairan ini terjadi karena toksin menyebabkan perubahan muatan listrik permukaan sel epitel tubulus, transport ion aktif dan asam organik,
dan kemampuan mengkonsentrasikan dari ginjal yang akhirnya mengakibatkan tubulus rusak Wijaya dan Miranti, 2005.
Gambar 12. Gambaran mikroskopik nefritis interstitial kronik diwarnai dengan hematoxylin dan eosin, perbesaran 600x.
Perazella and Markowitz, 2010
Pada gambar 12 menjelaskan nefritis interstitial kronik di mana tubulus muncul menyusut dan atrofi ditunjukkan oleh panah, dan dipisahkan oleh
fibrosis interstisial yang luas ditunjukkan oleh panah Perazella and Markowitz,
2010.
Interstisium korteks yang melebar dikatakan abnormal. Pelebaran ini dapat disebabkan oleh edema atau infiltrasi oleh sel radang akut, seperti pada penyakit
interstisium akut, atau mungkin juga oleh akumulasi sel radang kronik dan jaringan fibrosa, serta pada penyakit interstisium kronik. Jumlah proteoglikan di
jaringan interstisium medula meningkat seiring usia dan adanya iskemia Kumar, et al.
, 2010.
3. Penyakit yang mengenai pembuluh darah
Hampir semua penyakit ginjal melibatkan pembuluh darahnya secara sekunder. Salah satu contoh penyakitnya adalah nefrosklerosis jinak yaitu istilah
yang digunakan untuk patologi ginjal akibat sklerosis arteriol dan arteri kecil ginjal. Efek yang terjadi adalah iskemia fokal parenkim yang disuplai oleh
pembuluh yang dindingnya menebal dan lumennya menyempit Kumar, et al., 2010.
H. Uji Toksisitas Subkronis
Uji ketoksikan subkronis ialah uji ketoksikan sesuatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga
bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji,
serta untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis Donatus, 2001.
Pengamatan dan pemerikasaan yang dilakukan dari uji ketoksikan subkronis meliputi:
1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali.
2. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan yang
diukur paling tidak tujuh hari sekali. 3.
Gejala kronis umum yang diamati setiap hari. 4.
Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali pada awal dan akhir uji coba.
5. Pemeriksaan kimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji coba.
6. Analisis urin paling tidak sekali.
7. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba Loomis, 1978.
Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang bermanfaat tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya. Selain itu
juga dapat diperoleh info tentang perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut. Kekerabatan antar kadar
senyawa pada darah dan jaringan terhadap perkembangan luka toksik dan keterbalikan efek toksik Donatus, 2001.
Tujuan utama dari uji ini adalah untuk mengungkapkan dosis tertinggi yang diberikan tanpa memberikan efek merugikan serta untuk mengetahui pengaruh
senyawa kimia terhadap tubuh dalam pemberian berulang. Sasaran uji ini adalah
hispatologi organ organ-organ yang terkena efek toksik, gejala-gejala toksik, wujud efek toksik kekacauan biokimia, fungsional, dan struktural serta sifat efek toksik
Eatau and Klaassen, 2001. Jenis wujud toksik digolongkan berdasarkan perubahan biokimia,
fungsional, dan struktural. Jenis wujud efek toksik berdasarkan perubahan biokimia berkaitan dengan respons dan perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka sel,
akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang terbalikan. Antaraksi yang terbalikan yang dimaksud adalah reaksi yang terjadi antara molekul racun dan tempat
aksi yang khas, seperti reseptor-reseptor neurotransmitter, tempat aktif enzim, dan lain sebagainya. Jenis wujud efek toksik berdasarkan perubahan fungsional berkaitan
dengan antaraksi racun yang terbalikan dengan reseptor atau tempat aktif enzim, sehingga mempengaruhi fungsi homeostatis tertentu. Sedangkan pada jenis efek
toksik berdasarkan perubahan struktural diantaranya perlemakan degenarasi melemak, nekrosis, karsinogenesis, mutagenesis, dan teratogenesis Donatus, 2001.
Ketoksikan racun dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu meliputi faktor yang berasal dari racun pangan faktor intrinsik racun dan yang berasal dari makhluk
hidupnya faktor intrinsik makhluk hidup. Faktor intrinsik racun ialah faktor kimia fisika, kondisi pemejanan, pengolahan, pengawetan, pengentalan, dan pengepakan
racun. Yang termasuk dalam kondisi pemejanan yaitu antara lain: a.
Jenis pemejanan. Ada dua jenis pemejanan yaitu akut dan kronis. Ketoksikan akut berlaku bagi peristiwa keracunan yang terjadi segera setelah pemejanan racun,
sedangkan ketoksikan kronis berlaku bagi peristiwa keracunan yang terjadi setelah beberapa hari, minggu, bulan atau tahun pemejanan berulang dengan racun.
b. Jalur pemejanan. Hal ini berkaitan dengan keefektifan absorpsi racun tertentu,
semakin efektif absorpsi racun, berarti semakin cepat dan besar kadar racun yang berada di sirkulasi sistemik, yang tersedia untuk didistribusikan ke tempat aksi.
c. Lama dan kekerapan pemejanan. Senyawa yang dipejankan hanya sekali jenis
pemejanan akut selama satu kurun waktu tertentu, mungkin akan menimbulkan efek toksik yang berbeda dengan yang ditimbulkan oleh pemejanan berulang jenis
pemejanan kronis. Efek toksik akibat pemejanan yang kronis terjadi bila racun menumpuk di dalam tubuh, yakni ketika kecepatan absorpsi melebihi kecepatan
eliminasinya. d.
Saat dan takaran pemejanan. Ketersediaan zat toksik atau metabolitnya di tempat aksi tertentu di dalam tubuh dan kerentanan makluk hidup terhadap ketoksikan zat
toksik tertentu Donatus, 2001. Faktor intrinsik makluk hidup yaitu keadaan fisiologi dan patologi.
Termasuk dalam keadaan fisiologi meliputi berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, kehamilan, jenis kelamin,
irama sirkadian, irama diurnal, kapasitas fungsional cadangan, penyimpanan racun dalam makhluk hidup, genetika, serta toleransi dan resistensi, sedangkan keadaan
patologi meliputi penyakit saluran cerna, kardiovaskular, ginjal, dan hati Donatus, 2001.
I. Uji Reversibilitas
Sifat efek toksik suatu obat terbagi menjadi dua yaitu terbalikkan reversible dan tak terbalikkan irreversible. Efek toksik disebut berpulih
reversible jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, efek nirpulih irreversible akan menetap atau justru bertambah parah setelah pajanan toksikan
dihentikan Lu, 1995. Efek toksikan dapat berpulih bila tubuh terpajan pada kadar yang rendah
atau untuk waktu yang singkat. Sementara, efek nirpulih dapat dihasilkan pada pajanan dengan kadar yang lebih tinggi atau waktu yang lama Lu, 1995.
J. Keterangan Empiris