film, munculnya Bernafas dalam Lumpur menjadi keberanian orang film dalam mengeksploitasi seks habis-habisan. Subandi,1997 :210
Baru pada tahun 1999 populer kembali setelah melejitnya film produksi Amerika dewasa yaitu, AMERICAN PIE lewat peran seorang ibu yang senang
berhubungan seks dengan anak remaja . Dikutip pada Newyork News and Feature:
“ The term’s tipping point was the 1999 release of American Pie, in which a designated MILF named simply “Stifler’s mom” devirginizes a grateful
teen” http:nymag.comnewsfeatures2007sexandlove30915
Menurut A.Kasandaria, psikolog, kecenderungan pria yang jatuh cinta
kepada wanita yang lebih tua darinya, terobsesi karakter ibunya. Kemungkinan sejak kecil si pria tersebut memiliki kedekatan secara emosional terhadap figur
seorang ibu. Sehingga, secara tak langsung, alam bawah sadarnya merekam memori kasih sayang yang selama ini diberikan sang bunda. bila selama ini
hubungan, sebagai seorang pria, dengan wanita sebaya atau yang lebih muda mengalami kejenuhan, mungkin ingin mencoba untuk berpetualang cinta dengan
wanita lebih tua. Ada tiga hal yang menjadi alasan pria lebih suka pada wanita yang lebih tua, diantaranya : lebih matang, pengalaman seksual, materi, dan
kontrol hasrat http:www.suarakarya-online.comnews.html?id=182688
diakses pada 29 Desember 2009 03:22 WIB .
2.1.10 Teori Semiologi dan Mitologi Roland Barthes
Secara etimologis istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri di definisikan sebagai sesuatu yang atas
dasar konvesi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat mewakili sesuatu yang lain Eco dalam Sobur,2006 :95. Secara termilogis , semiotik dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda Eco dalam Sobur, 2006:95. Dalam hal
semiotik, istilah ini sering pula disebut sebagai semiologi. Keduanya lebih dapat salaing menggantikan karena sama-sama di gunakan untuk mengacu kepada ilmu
tentang tanda tadi. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Semiotika, atau dalam istilah Barthes semiologi, apada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memakai hal-hal things.
Memaknai to signify. Dalam hal ini tidak dapat di campur adukkan dengan mengkomunikasikan to communicate. Memaknai berarti bahwa obyek – obyek
tidak hanya.membawa informasi dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Salah satu pengikut Sausure, Roland Barthes, membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda.fokus perhatian Barthes
lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap two order of signification seperti terlihat pada gambar berikut :
Sumber : John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm 88
Gambar 2.1: skema signifikasi dua tahap Rolad Barthes Melalui gambar ini, Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terdapat realitas eksternal.Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu
makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi
ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai –nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subyektif atu paling tidak
intrsubyektif. Dengan kata lain adalah apa yang di gambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya Fiske,
1990:72 Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam dan merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai dominasi. Kita bisa menemukan ideologi dalam
teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya Van Zoest, 1991 :70. Salah satu cara adalah memberi mitologi dalam teks-teks
semacam itu. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Mitologi kesatuan mitos-
mitos yang koheren menyajikan inkarnasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideologi. Ideologi harus dapat di ceritakan yang dinamakan mitos. Barthes
menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling ”akhir”. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan
namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subyektif, sehingga kehadirannya
tidak disadari. Pembaca mulai sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotik adalah untuk mengatasi
salah baca misreading. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna
meaning ialah hubungan antara suatu obyek atau idea dan suatu tanda Litllejhon,1996:64. Konsep ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat
luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk – bentuk nonverbal, teori- teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya
dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reade. Konotasi , walaupun sifat asli tanda ,
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua ini oleh Barthes disebut konotatif,
yang didalam mythologies-nya secara tegas ia di bedakan dari denotatif atau
sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja :
Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan tanda denotatif adalah
juga penanda konotatif 4. Jadi dalam konteks Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaannya. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsure material : hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah
konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Cobley Janz, 1999:51 dalam Sobur,2003:68 – 69
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh
Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang ‘sesungguhnya’ bahkan kadangkala juga di rancukan dengan
referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai
1. Signifier
Penanda 2. Signified
petanda 3. Denotative sign tanda denotative
4. CONOTATION SIGNIFIER PENANDA KONOTATIF
5. CONOTATION SIGNIFIERD PETANDA KONOTATIF
6. CONOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF
terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan
tingkat kedua. Dalam hal ini,denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang
paling ekstrem melawan keharfiaan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi
semata-mata. Penolakan ini terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna ‘harfiah’ merupakan sesuatu yang
bersifat alamiah Budiman,1999:22. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Sausure, yang berhenti pada
penanda dalam tataran denotatif.
Cara kerja Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine ini
terngkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Lima kode yang di tinjau Barthes adalah :
1. Kode Hermeunitik atau kode teka-teki
Berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur
yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada suatu tempat kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian
nya di dalam cerita.
2. Kode Semik atau kode konotatif
Kode semik atau kode konotatif banyak yang menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan , pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa
konotasi kata atau frasa tertentu dalam teks dapat di kelompokkan sengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan
konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu di catat bahwa Barthes menganggap denotasi
sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” 3.
Kode Simbolik Merupakan suatu pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural atau
tepatnya menurut Barthes , pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam
taraf bunyi menjadi fenomena dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang
bersifat simbolik seperti ini dapat di kodekan melalui istilah retoris seperti antitesis yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem symbol Barthes.
4. Kode Paretik atau kode tindakan lakuan
Kode Paretik atau kode tindakan lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya antara lain semua teks yang bersifat
naratif. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan di “isi”
sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks.
5. Kode Gnomik atau Kode Kultural
Kode ini merupakan acuan teks benda-benda yang sudah di ketahui dan di kodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional di definisi oleh
acuan ke apa yang telah di ketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis
bertumpu Sobur, 2003:65-66
2.2 Kerangka Berpikir