Imlek dalam Tradisi Etnik Tionghoa
93
Tionghoa dalam merayakan Imlek. Perayaan tersebut tetap mengadopsi ornamen- ornamen berwarna merah sebagai bagian dari tradisi Imlek di Tiongkok. Akan tetapi,
di tengah kemeriahan perayaan Imlek di Namsan Tower tersebut, peserta didik etnik Tionghoa yang berasal dari Kota Medan tetap melakukan tradisi bersujud kepada
orang tua dengan doa semoga panjang umur dan sejahtera. Tradisi bersujud ini merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa.
Kedua, kearifan budaya lokal tradisi Imlek dalam teks 3: BU-2 Bahasa Indonesia berorientasi pada kedamaian yang diwujudkan oleh kerukunan dan rasa
syukur. Teks berjudul “Suasana Imlek yang Meriah dan Menyedihkan” menampilkan suasana Imlek di rumah. Di dalam teks ditampilkan perayaan Imlek sebagai tradisi
dan ritual. Sebagai tradisi, perayaan Imlek diwujudkan oleh kedatangan keluarga dari luar kota. Sebaliknya, sebagai ritual ditandai oleh persembahyangan. Tradisi dan
ritual Imlek tersebut dilaksanakan secara sederhana oleh seluruh anggota keluarga yang berkumpul di rumah. Wacana yang ditampilkan oleh peserta didik dalam teks 3:
BU diakhiri oleh silaturahmi dan berdoa pada Tuhan yang Maha Esa semoga semuanya bisa diberkati dan berjalan dengan baik.
Ketiga, kearifan budaya lokal tradisi Imlek dalam teks 5: BU-3 Bahasa Indonesia berorientasi pada kedamaian dan kesejahteraan. Kedamaian diwujudkan
oleh rasa syukur sedangkan kesejahteraan diwujudkan oleh pelestarian dan kreativitas budaya. Teks berjudul “Imlek” ini mendeskripsikan perayaan Imlek yang berupaya
semirip mungkin dengan suasana Imlek dalam tradisi Tiongkok. Oleh karena itu, wacana Imlek yang ditampilkan berupa penyediaan makanan, barongsai, angpao, dan
persembahyangan. Persembahyangan dimulai pada malam Imlek, biasanya satu keluarga akan berkumpul dan makan bersama dan bersembahyang kepada dewa di
langit untuk meminta rezeki dan keselamatan di tahun yang baru. Sebaliknya, angpao diberikan kepada anak-anak yang belum menikah, biasanya akan diberikan angpao
dari orang yang telah menikah, dan jika seseorang telah menikah, dia diwajibkan memberi angpao kepada orang yang lebih tua darinya khusus paman, bibi, ayah, ibu,
dan lain-lain, kecuali kakak dan sepupu. Ang pao sendiri adalah lambang kesejahteraan.
Keempat, kearifan budaya lokal tradisi Imlek dalam teks 7: SS-1 Bahasa Indonesia berorientasi pada rasa syukur, kesetiakawanan sosial, serta pelestarian dan
kreativitas budaya. Teks berjudul “Perayaan Tahun Baru Imlek” ini menampilkan persembahyangan sebagai wujud rasa syukur dan berdoa bagi kehidupan yang lebih
baik dalam perayaan Imlek. Setelah itu, dilakukan kunjungan kepada keluarga yang masih berhubungan darah beserta kerabat dekat. Di dalam ritual dan kunjungan
keluarga tersebut, etnik Tionghoa diingatkan pada mitos raksasa Nian. Menurut legenda, Nian adalah seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan atau bawah
laut. Ini tergantung padamasing-masing legenda yang muncul diakhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan penduduk desa. Untuk melindungi diri
mereka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu rumah masing-masing pada awal tahun. Hal ini dilakukan sedemikian rupa agar raksasa Nian tersebut hanya
memakan makanan yang telah mereka sediakan dan tidak akan menyerang orang atau
94
mencuri ternak dan hasil panen. Pada suatu hari, penduduk melihat Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian
berwarna merah. Dengan demikian, teks ini memberikan wacana rasa syukur, kesetiakawanan sosial, serta pelestarian dan kreativitas budaya yang berpedoman
pada mitos Imlek.
Kelima, kearifan budaya lokal tradisi Imlek dalam teks 9: SS-2 Bahasa Indonesia berorientasi pada kedamaian yang diwujudkan oleh rasa kesetiakawanan
sosial. Hal ini digambarkan dalam teks berjudul “Tahun Baru Imlek” dengan cara makan bersama di restoran dan mengunjungi keluarga yang lebih tua usianya. Teks
ini menampilkan wacana perimbangan kehidupan modern dengan tradisional yang diwakilkan oleh simbol restoran dan rumah nenek. Meskipun berbeda tetapi kedua
tempat tersebut tetap menampilkan kesederhanaan menu makanan, yakni dengan ketersediaan makanan vegetarian.
Keenam, kearifan budaya lokal tradisi Imlek dalam teks 11: SS-3 Bahasa Indonesia berorientasi pada rasa syukur, kesetiakawanan sosial, serta pelestarian dan
kreativitas budaya. Teks berjudul “Tradisi Hari Raya Imlek” ini menampilkan wacana persembahyangan Imlek, baik Sa Cap Meh maupun Che Kao, sebelum mengunjungi
orang yang lebih tua dan merayakan Imlek dengan berbagai kreativitas budaya. Di dalam kunjungan ke rumah orang yang lebih tua, etnik Tionghoa di Kota Medan tetap
menyediakan angpao sesuai dengan tradisi leluhurnya.
Ketujuh, kearifan budaya lokal tradisi Imlek dalam teks 13: WS-1 Bahasa Indonesia berorientasi pada kedamaian yang ditandai oleh rasa syukur serta
kerukunan dan penyelesaian konflik. Rasa syukur diwujudkan oleh persembahyangan dalam tradisi Imlek sedangkan kerukunan dan penyelesaian konflik diwujudkan oleh
pelepasan kesusahan dengan bergembira merayakan Imlek. Oleh karena itu, teks
berjudul “Perayaan Imlek 2563” ini menampilkan suasana orang Tionghoa yang bergembira dan bersorak-
sorak dan mengatakan “Gong Xi Fa Chai” dan ada juga yang mengatakan “Kiong Hi” dalam melaksanakan “Pai Cia” atau bersilaturahmi dan
berkumpul bersama keluarga. Kedelapan, kearifan budaya lokal tradisi Imlek dalam teks 15: WS-2 Bahasa
Indonesia berorientasi pada rasa syukur, kesetiakawanan sosial, serta pelestarian dan kreativitas budaya. Teks berjudul “Kegiatan di Hari Imlek” ini menggambarkan
kegiatan suatu keluarga dalam mempersiapkan kelengkapan perayaan Imlek, mulai persembahyangan, makanan, hiasan, sampai angpao. Di sini terlihat upaya pelestarian
dan kreativitas budaya Tionghoa masih dijaga dengan baik oleh keluarga peserta didik etnik Tionghoa di Kota Medan.
Kesembilan, kearifan budaya lokal tradisi Imlek dalam teks 17: WS-3 Bahasa Indonesia berorientasi pada kedamaian serta pelestarian dan kreativitas budaya. Di
dalam teks berjudul “Perayaan Imlek 2563” ini digambarkan perwujudan kedamaian dengan ungkapan rasa syukur pada Tuhan yang Maha Esa. Pada teks ini, wacana
Imlek tidak memandang agama melainkan menempatkan Imlek sebagai bagian dari tradisi leluhur etnik Tionghoa. Oleh karena itu, penulis teks yang beragama Buddha
tetap merayakan Imlek bersama etnik Tionghoa dari agama lainnya.