Teks dan Wacana Kerangka Teorietik

13 London. Firth sendiri dipengaruhi oleh gurunya, Malinowsky dalam merumuskan ide tentang konteks. Murid-murid Firth seperti Halliday, Gregory, dan Martin mengembangkan teori LSF yang menghubungkan bahasa dengan konteks situasi register, konteks budaya genre, dan konteks ideologi ideology. Di dalam hubungan bahasa dengan konteks, penelitian ini didasarkan pada pengertian awal tentang teks, konteks, dan wacana. Guy Cook 1994 dalam Eriyanto 2008:9 menyatakan tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana sebagai-berikut. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Pengertian di atas sejalan dengan pendapat Halliday dan Hasan 1985:10 yang mendefinisikan teks sebagai bah asa yang fungsional, “language that is functional ”. Maksud fungsional di sini berarti bahasalah yang melakukan pekerjaan yang sama dalam suatu konteks dan bukan kata-kata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis. Dengan demikian, penggunaan bahasa dalam komunikasi memiliki relasi dengan konteks sosial dan menjadi sasaran teori LSF dalam hubungan dengan konteks situasi. Berikut ini digambarkan kedudukan bahasa dalam konteks sosial. Gambar 2.1: Bahasa dalam Relasi Konteks Sosial Martin, 1993:142; Lihat juga, Saragih, 2011:50 14 Secara umum, Kleden dalam Sudaryat 2009:141 menjelaskan bahwa konteks adalah ruang dan waktu yang spesifik yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang. Oleh karena itu, untuk memahami setiap kreasi budaya atau wacana memerlukan tinjauan yang bersifat kontekstual. Hal ini menjadikan konteks menjadi penting, terutama apabila dihayati secara tekstual sehingga menjadi terbuka untuk pembacaan dan penafsiran. Sejalan dengan pengertian di atas, Edward T. Hall dalam Parera 2004:227 mengatakan, “information taken out of context is meaningless and cannot reliably: interpreted. ” Makna dan informasi yang diperoleh dan ditafsirkan tidak dapat dilepaskan dari konteks. Konteks tersebut terbentuk karena terjadi interaksi setting, kegiatan, dan relasi. Setting meliputi waktu dan tempat situasi terjadi; kegiatan merupakan semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi berbahasa; dan, relasi meliputi hubungan antara peserta bicara dan tutur yang dapat ditentukan oleh jenis kelamin, umur, kedudukan, hubungan kekerabatan, dan hubungan kedinasan. Di dalam penafsiran wacana, Hymes memandang peranan konteks memiliki peranan ganda, di satu sisi membatasi jarak tafsiran yang mungkin, di lain pihak, sebagai penunjang tafsiran yang dimaksudkan. Di dalam konteks budaya terdapat konteks ideologi. Menurut Kress dan Hodge 1979 dalam Sinar 2008:64, kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan karena adanya pengaruh tuntutan sosial politik. Saragih 2006:239 menyatakan bahwa konteks ideologi sebagai konsep sosial mengatur apa yang seharusnya dilakukan atau seharusnya tidak dilakukan seseorang sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, teks dan wacana tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan ideologi karena teks merupakan realisasi ideologi dan ideologi dapat dieksplorasi dari teks. Hal itu dapat diidentifikasi dari gambar berikut ini.