42
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Konsumsi Energi dan Protein
Dari hasil uji chi-square pada tabel. 4.12. dan tabel. 4.13 terlihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan dimana p = 0,004 p 0,05 artinya adanya
hubungan pengetahuan ibu dengan konsumsi energi anak, dan pengetahuan ibu dengan konsumsi protein terdapat hubungan yang sangat signifikan dimana p = 0,015
p 0,05 artinya terdapat hubungan pengetahuan ibu dengan pola makan konsumsi protein anak.
Hubungan pengetahuan ibu dengan Konsumsi Energi ada hubungan, berarti jumlah karbohidrat yang dikonsumsi anak sudah terpenuhi dalam kebutuhan sehari-
hari, terlihat bahwa ibu sudah mampu membujuk anaknya untuk makan, dan ibu memberi anaknya makan 3 x sehari dengan jumlahporsi yang dibutuhkan anak dalam
satu hari juga ibu telah mengetahui jenis makanan yang memiliki karbohidrat, seperti nasi, mie, teh manis dan olahannya
Hal ini dapat dilihat bahwa ibu mulai memikirkan bagaimana cara untuk meningkatkan selera anak agar mau makan, bukan membiarkan anak tidak makan
sama sekali, ibu juga sudah mulai faham membuat makanan beragam agar dapat meningkatkan nafsu makan anaknya.
Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi seseorang dalam memilih makanan untuk masyarakat yang berpendidikan dan cukup pengetahuan tentang gizi,
pertimbangan, fisiologis lebih menonjol dibandingkan dengan kebutuhan kepuasan fisikis. Tetapi umumnya akan terjadi kompromi antara keduanya, sehingga akan
Universitas Sumatera Utara
menyediakan makanan yang lezat dan bergizi seimbang. Tinggi rendahnya pengetahuan ibu merupakan faktor penting, karena mempengaruhi kemampuan ibu
dalam mengelola sumber daya yang ada untuk mendapatkan bahan makanan, Sediaoetama, 2010.
Konsumsi makan yang baik selalu mengacu kepada gizi seimbang yaitu terpenuhinya semua zat gizi sesuai dengan kebutuhan tubuh anak. Tidak diragukan,
terdapat enam unsur zat gizi yang harus terpenuhi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Karbohidrat, protein dan lemak merupakan zat gizi makro
sebagai sumber energi, sedangkan vitamin dan mineral merupakan zat gizi mikro sebagai pengatur kelancaran metabolisme tubuh Muliarni, 2010.
Situasi makan dapat berpengaruh terhadap kebiasaan makan, ada anak yang diberi makan secara teratur setiap hari, makan pada tempat yang nyaman, dan anak
makan dengan tertib. Sebaliknya ada pula anak yang diberi makan semaunya, sambil jalan-jalan, sambil bermain-main, dan tergantung kepada pengawasan ibu atau
pengasuh. Akibatnya anak akan terbiasa sulit untuk makan, berhamburan, atau akan banyak makanan yang tidak dihabiskan. Situasi inilah yang membuat status gizi anak
di pemukiman sepanjang rel kereta api Kelurahan Gaharu tidak terpenuhi, disamping penghasilan ibu yang sangat minim dan jumlah anak paling banyak memiliki 4 orang
dalam satu keluarga . Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Bauman 1961 dan
Koos1954 dalam Friedman, 1998, mengemukakan bahwa semakin terdidik keluarga maka semakin baik pengetahuan keluarga tentang kesehatan. Hal lain juga
Universitas Sumatera Utara
yang turut berpengaruh aktif atau tidaknya keluarga untuk datang memantau balitanya yaitu faktor fisik, mental, dan pola makan balita.
Berdasarkan hasil penelitian yaitu status gizi balita dengan KEP sebanyak 38 balita 46,34 berada pada usia 12-24 bulan . Hal ini menunjukkan pada umur 1-2
tahun merupakan keadaan rawan gizi. Pada umumnya kekurangan gizi terjadi pada balita, karena pada umur tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat dan
termasuk kelompok yang rentan gizi, karena pada masa itu merupakan masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa
Adisasmito 2007. Menurut Markum 1999 pada usia 1-3 tahun kebiasaan anak mulai
terbentuk,kebiasaan makan keluarga mulai ditelaah untuk mengevaluasi cukup atau tidaknya nutrient dalam hidangan, kesulitan makan umumnya terletak pada nak 2-5
tahun akibat kesalahan ibu dalam pemberian makanan selama masa bayi, ketegangan saat makan, waktu makan yang terlalu pendek, atau makanan yang kurang disukai
karena bentuknya yang tidak menarik. Kemudian Markum 1999 juga menjelaskan bahwa pada anak usia 1-3 tahun merupakan angka kejadian tertinggi untuk KEP dan
devisiensi vitamin A, pada umur ini anak biasanya mulai disapih tetapi belum mengenal makanan sehari-hari, selain itu pertumbuhan dan perkembangan otak masih
berlangsung pada kelompok umur ini.
5.2. Hubungan Sikap Ibu Terhadap Status Gizi dengan Konsumsi Energi Anak