dapat terwujud apabila makanan yang dikonsumsi tergolong cukup, baik dari segi jumlah, mutu, maupun keragaman serta tidak terdapat infeksi penyakit Aritonang,
2004. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Astuti 1998 yang
menyatakan bahwa konsumsi makan yang mempengaruhi status gizi RP = 5,77. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Aritonang 2004 yang menyatakan adanya
hubungan yang nyata p 0,05 antara konsumsi pangan dengan status gizi. Dalam penelitian ini kondisi kesakitan dijadikan kriteria pemilihan sampel,
dimana syarat untuk menjadikan sampel penelitian ini adalah setiap siswa-siswi yang berada dalam kondisi sehat pada saat penelitian berlangsung.
Penjelasan lain yang dapat diberikan adalah adanya kemungkinan riwayat penyakit yang dialami oleh ibu dalam rentang waktu yang berdekatan dengan waktu
penelitian yang diadakan, yang pada saat penelitian berlangsung dinyatakan sudah sembuh.
5.4. Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Status Gizi
Dari hasil uji chi-square pada tabel. 4.18. terlihat bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan dimana p = 0,029 p 0,05 artinya terdapat hubungan
pengetahuan ibu dengan status gizi anak. Pengetahuan serta keterampilan ibu sangat diperlukan dalam upaya
peningkatan status gizi balitanya secara baik, semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu semakin banyak usaha yang dilakukan dalam mengatur makanan agar lebih berguna
bagi tubuh.
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi seseorang. Pengetahuan gizi dapat
membantu seseorang untuk menggunakan pangan dengan baik. Namun demikian kesalahan konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah hal yang
umum terjadi. Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kurangnya kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizi dan pangan dalam kehidupan sehari-hari dapat
memyebabkan gangguan gizi Suharjo, dalam Boby Chandra, 2008.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,
maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperoleh untuk dikonsumsi Achmad Djaeni Sediaoetama, 2000. Tingkat pengetahuan gizi ibu
sebagai pengelola rumah tangga akan berpengaruh pada macam bahan makanan yang dikonsumsinya. Adapun tingkat pengetahuan ibu dalam pemberian makanan yaitu
ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan, kebiasaan atau pantangan makanan yang merugikan, kesukaan terhadap jenis pangan tertentu.
Melihat data dari hasil survei yang dilakukan di Kelurahan Gaharu Kecamatan Medan Timur pemukiman sepanjang rel kereta api dapat disimpulkan bahwa dengan
mayoritas masyarakat memiliki pengetahuan kurang dalam hal pemenuhan gizi anak, sehingga banyak anak usia 12-59 bulan cenderung status gizi kurang.
Menurut penelitian Mardiana 2006 menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan status gizi balita. Pengetahuan ibu yang tinggi
tentang gizi berhubungan dengan praktek pemenuhan gizi keluarga. Semakin tinggi pengetahuan dan banyaknya pengalaman ibu semakin bervariasi ibu dalam
Universitas Sumatera Utara
menyediakan makanan bagi balitanya sehingga kualitas dan kuantitas makanan yang disajikan oleh ibu mempunyai nilai gizi yang tinggi. Dari hasil penelitian yang
dilakukan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan sedang memiliki 15,3 balita dengan status gizi kurang
berdasarkan indikator BBU, 15,3 dengan status gizi pendek berdasarkan indikator TBU dan 58,3 status gizi normal berdasarkan indikator BBTB. Masih
terdapat balita dengan status gizi kurang, status gizi pendek dan status gizi kurus pada penelitian dapat dikarenakan praktek pengasuhan terhadap balita yang beragam,
pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan ketahanan keluarga fisik, sosial dan psikolosis. Menurut Sunarti 2001 fungsi pengasuhan anak berkaitan dengan
keberfungsian keluarga lainnya, terutama fungsi ekonomi keluarga. Masalah KEP atau gizi buruk pada balita disebabkan oleh berbagai faktor,
baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung. Menurut Dpkes RI 1997 faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi buruk pada balita
adalah adanya penyakit infeksi serta konsumsi makanan yang tidak mencukupi kebutuhannya, sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor
penunjang timbulnya masalah gizi buruk pada balita adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan, sosial ekonomi daya beli yang masih rendah, ketersediaan
pangan ditingkat keluarga yang tidak mencukupi, pola konsumsi yang kurang baik, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang masih sulit dijangkau. Hal ini juga sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Supariasa 2001 menyatakan ada dua penyebab yang menyebabkan timbulnya masalah gizi buruk. Menurut Supariasa, faktor
penyebab tidak langsung salah satunya yaitu pemeliharaan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
5.5. Hubungan Sikap Ibu Dengan Status Gizi Anak