Menurut Peter Hannan dalam Budairi, 2002:82, seorang pakar ilmu- ilmu sosial dari Australia yang pernah melakukan penelitian tentang LSM di
Indonesia pada tahun 1986, menyebutkan baahwa LSM adalah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan di tingkat grassroots, biasanya
melalui penciptaan dan dukungan terhadaap kelompok-kelompok swadaya lokal. Kelompok-kelompok ini biasanya mempunyai 20 sampai 50 anggota. Sasaran
LSM adalah untuk menjadikan kelompok ini berswadaya setelah proyeknya berakhir.
2.3.2 Peran Lembaga Swadaya Masyarakat LSM
Ralston mencatat bahwa LSM dapat memainkan beberapa peranan dalam mendukung kelompok swadaya yaang dikembangkan, termasuk
diantaranya adalah Budairi, 2002: 83: 19.
Mengidentifikasi kebutuhan kelompok lokal daan taktik-taktik untuk memenuhi kebutuhan.
20. Melakukan mobilisasi dan agitasi untuk usaha aktif mengejar kebutuhan
yang telah diidentifikasi. 21.
Merumuskan kegiatan jangka panjang untuk mengejar sasaran-sasaran pembangunan lebih umum.
22. Menghasilkan dan memobilisasi sumber daya lokal atau eksternal untuk
kegiatan pembangunan pedesaan. 23.
Pengaturan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan ini. Pendapat lain mengemukakan peran LSM secara teknis operasional
sebagai berikut:
• LSM selalu dikonotasikan sebagai lembaga yang independen dari
pemerintah, terutama dalam hal dana. Independen bidang ini akan berimplikasi pada independensi bidang-bidang lainnya.
• LSM merupakan bentuk pelembagaan dari pemikiran alternatif
pembangunan di luar yang dilaksanakan pemerintah. Dalam konteks ini mereka mencoba menjadi antitesis terhadap model-model pembangunan
yang dianut dan dikembangkan oleh pemerintah. Teori-teori modernisasi yang mengutamakan pertumbuhan dan pemerataan dianggap akan terjadi
dengan prinsip trickle down effect, tidak popular di kalangan LSM karena dinilai sangat elitis dan tidak memihak kaum bawah.
• LSM bertindak mewakili masyarakat khususnya masyarakat kelas bawah.
Ciri seperti ini sangat menonjol dilaksanakan LSM-LSM yang mengutamakan pendekatan advokasi dalam melaksanakan kiprahnya.
• LSM bergerak untuk mengembangkan partisipasi dan swadaya
masyarakat. Consern mareka tidak semata-mata pada keinginan untuk memeratakan hasil-hasil pembangunan, tapi juga untuk pemerataan
terhadap proses dan pengambilan keputusan dalam pembangunan itu sendiri.
2.3.3 Lembaga Swadaya Sosial LSM di Indonesia
Memasuki perubahan politik Indonesia pada 1998 yang disebut era Reformasi, LSM sebagai sebuah lembaga yang sering diposisikan oposannya
pemerintahan mulai dianggap sebagai salah satu bagian kelembagaan politik yang penting dan diakui yang berkembang sangat pesat Kompas Online, 17 April
2004. Negara pada era Reformasi ini tampaknya membuka ruang jauh lebih luas
untuk “menampung” kehadiran aktor-aktor demokrasi ketimbang negara pada era sebelumnya. Berdasarkan data BPS tahun 2000, LSM di Indonesia mencapai
70.000 organisasi. Di tengah berlangsungnya proses demokratisasi, penyebaran gerakan tersebut tidak lagi terbatas pada komponen elit, mahasiswa dan aktivis
LSM, tetapi sudah merambah hingga grassroots seperti gerakan buruh, kaum tani, pedagang dan kaum marjinal lainnya. Kehadirannya tidak hanya berhubungan
dengan gerakan-gerakan perlawanan selama masa transisi politik dari era Orde Baru ke era Reformasi.Parera Koekerits , 1999:25
Pertumbuhan jumlah organisasi gerakan sosial di Dunia Ketiga khusus LSM di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sejarah
diskursus pembangunan. Munculnya organisasi-organisasi sosial baik itu LSM, ormas, dan lain-lain disebabkan oleh persoalan-persoalan dari proses
pembangunan yang menyimpang. Sehingga, di banyak negara Dunia Ketiga istilah LSMNGO selalu berkonotasi organisasi pembangunan nonpemerintah
Fakih, 2004:39. Perkembangan LSM yang sangat pesat ini di Indonesia sebagai
gerakan sosial yang terorganisir telah dimulai sejak 1970. Di mana di akhir tahun 1960an dan awal 1970an hanya ada sedikit sekali gerakan sosial dan kelompok
nonpemerintah yang secara aktif memiliki kepedulian dan kemampuan untuk menangani masalah-masalah pembangunan Fakih, 2004:39. Jika dalam masa
1970an kebanyakan kegiatan LSM lebih difokuskan bagaimana bekerja dengan rakyat di tingkat akar rumput dengan melakukan kerja pengembangan masyarakat
community development, maka dalam tahun 1980an bentuk perjuangannya menjadi lebih beragam, dari perjuangan lokal hingga jenis advokasi baik tingkat
nasional maupun tingkat internasional. Sejumlah aktivis LSM bahkan mulai mengkhususkan diri melakukan kerja advokasi politik untuk perubahan kebijakan
yang dalam banyak manifestasinya dilakukan dengan pelbagai macam statement politik, petisi, lobbi, protes dan demonstrasi Fakih, 2004:5-6.
Paham Developmentalisme yang sangat hegemonik tentang konsep masyarakat sipil ini pada umumnya menggambarkan sebuah tata sosial dan proses
sosial yang otonom terpisah dari kehidupan dan proses politik dan berjarak dengan proses produksi. Dari kuatnya dominasi paham Developmentalisme
tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap munculnya LSM. Baik LSM yang dibentuk atau disponsori oleh kaum Developmentalisme sendiri
maupun LSM yang dibentuk oleh aktivis-aktivis yang memiliki kesadaran terhadap anti dominasi paham Developmentalisme.
Pada mulanya LSM dilihat sebagai organisasi yang bergerak secara eksklusif pada tingkat lokal dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok miskin
tanpa mempertimbangkan dampak yang luas; akan tetapi kemudian terjadi pergeseran yang mendasar yakni bahwa LSM tidak lagi hanya berupaya
memenuhi kebutuhan kelompok miskin melainkan juga membantu mereka untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka dan memberikan kemampuan kepada
mereka untuk mengontrol proses pengambilan keputusan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka.
Disebabkan oleh propaganda yang massif oleh ide Developmentalisme tentang konsep-konsep yang berkenaan dengan
pembangunan, dan dengan dukungan dana besar-besaran untuk melebarkan pengaruhnya, LSM pun tumbuh bak jamur di musim hujan sebagai sebuah
lembaga sosial yang baru, yang memiliki fungsi kontrol dan cenderung fatalistik. Para aktivis LSM beramai-ramai menjadi orang paling kritis terhadap
pembangunan, mendiskusikan konsep masyarakat sipil titipan, menawarkan gagasan tersebut seolah-olah memahami inti persoalan. Di sisi lain banyak juga
akitivis LSM yang berpenampilan egaliter, tetapi dibalik itu tindakan feodalistik dan status quo lah yang dirasakan dalam membangun hubungan di dalam
lembaga.
Dalam menjalankan dan menebarkan konsep masyarakat sipil sering sekali sebagian besar LSM menetapkan cita-cita mereka adalah demi
demokratisasi, transformasi sosial, dan keadilan sosial. Namun, ketika sampai pada bagaimana mereka akan mencapai aspirasi-aspirasi tersebut, kebanyakan
dari mereka menggunakan konsep maupun teori Modernisasi dan Developmentalisme tanpa pertanyaan kritis Fakih, 2004:7.
Di antara banyak sumber yang mempunyai andil besar dalam melahirkan ketidakjelasan itu adalah kuatnya pengaruh ideologi Modernisasi dan
Developmentalisme terhadap lingkungan politik, ekonomi, kultur, dan aspek- aspek lainnya, termasuk kalangan LSM, di Indonesia. Dewasa ini, Modernisasi
dan Developmentalisme di negeri-negeri Dunia Ketiga telah menjadi paradigma dan ideologi utama dan dominan yaitu Liberalisme. Modernisasi dan
Developmentalisme diyakini oleh kaum birokrat, intelektual kampus, dan bahkan kalangan aktivis LSM di Dunia Ketiga, khususnya di Indonesia, sebagai satu-
satunya jalan memecahkan masalah. Pengaruh Modernisasi dan
Developmentalisme ini mengendap sangat dalam di pikiran mayoritas aktivis LSM di Indonesia Fakih, 2004:8.
Sebagai tanggapan terhadap kecenderungan itu, kemudian muncullah suatu gerakan dimana tuntutan agar pembangunan lebih mengutamakan rakyat
sebagai subjek pembangunan yang menekankan pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial. Rakyat harus dipastikan aktif dalam proses pembanguan
yang mendorong pengembangan pengendalian, dan kemandirian lokal.
Di Indonesia, LSM lebih menampilakan segi positif yang
diharapkan akan dapat dimanfaatkan dengan lebih efektif, selain itu mereka pada umumnya kecil, tidak birokratis dan independen. Dengan kelebihan ini LSM lebih
mampu, lebih cepat dan kongkrit dalam memecahkan masalah yang ada di dalam masyarakat. LSM memang sulit untuk di defenisikan, akan tetapi yang jelas
mereka adalah sebagai gerakan yang tumbuh berdasarkan nilai-nilai kerakyatan dengan sebuah tujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan kemandirian
masyarakat, yang akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Budairi, 2002: 84. Sebagai organisasi kemasyarakatan yang melakukan kegiatan atas
motivasi dan swadaya yang bangkit dari kesadaran solidaritas sosial. LSM yang sedang berkembang pesat di Indonesia diharapkan mampu
memberikan jasa pada tingkat makro sebagai berikut: a.
Pemunculan isu-isu, misalnya tentang lingkungan hidup, hak azasi manusia, dan lain-lain.
b. Mengartikulasikan kepentingan umum tentang HAM, demokrasi dan
seterusnya.
c. Dampak dari kegiatan LSM yang mempunyai arti politis adalah pada
keseluruhan keseimbangan kekuatan balance of foces antar kelompok- kelompok sosial dan ekonomi pemerintahan Indonesia dan berbagai
agen-agennya, d.
LSM berperan sebagai intermediary antara perentaraan perencanaan pembangunan dengan masyarakat yang di bawah.
Perkembangan LSM di Indonesia menunjukkan adanya periodesasi kelahiran, hal yang signifikan adalah bahwa setiap generasi atau periode dari LSM
itu ternyata memiliki kecenderungan orientasi kegiatan dan pemikiran politik yang berbeda-beda.
BAB II URAIAN TEORITIS
2.1 Opini Publik 2.1.1 Pengertian Opini Publik
Opini atau biasa disebut dengan pendapat dapat diidentifikasi sebagai suatu pernyataan atau sikap dalam kata-kata. Suatu sikap dapat dinyatakan
sebagai disposisi seseorang atau kecenderungan untuk bertindak to act atau membalas tindakan react. Suatu sikap bisa tersembunyi latent dan tidak
dinyatakan unexpressed pada hari ini, tetapi bisa jadi sangat aktif dan dapat diamati observable esok harinya, baik yang dinyatakan atau tidak.
Opini atau opinion menurut Cultip dan Center adalah suatu ekspresi tentang sikap mengenai suatu masalah yang bersifat kontroversial Sastropoetro,
1987:41. Opini timbul sebagai hasil pembicaraan tentang masalah yang kontroversial, yang menimbulkan pendapat yang berbeda-beda. Pada umumnya
fakta bagi seseorang dapat juga dianggap sebagai opini bagi orang lain, kalau dalam penggunaannya tidak berhati-hati dan mengundang timbulnya kontroversi
atau perbedaan pendapat dalam membicarakan masalah atau isu tersebut. William Albig dalam Sunarjo, 1984:31, pendapat opini yaitu suatu
pernyataan mengenai masalah yang kontroversial atau “An opinion is some expression on controversial point.” Sarjana ini mengemukakan bahwa pendapat
atau opini itu dinyatakan kepada sesuatu hal yang kontroversial atau sedikit- dikitnya terdapat pandangan yang berlainan mengenai masalah tersebut. Opini
timbul sebagai suatu jawaban terbuka terhadap suatu persoalan atau isu. Subjek