Efektifitas Lembaga Legislatif Desa Dalam Pengambilan Kebijakan Di Desa Malasin (Studi Komparatif Antara Lembaga Musyawarah Desa Periode 1996-2001 Dengan Badan Permusyawaratan Desa Periode 2004-2010)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
EFEKTIFITAS LEMBAGA LEGISLATIF DESA DALAM
PENGAMBILAN KEBIJAKAN DI DESA MALASIN
(Studi Komparatif Antara Lembaga Musyawarah Desa Periode 1996-2001 Dengan Badan Permusyawaratan Desa Periode 2004-2010)
SKRIPSI O
L E H
DEDI FITRAH 030903033
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
HALAMAN PERSETUJUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Dedi Fitrah
NIM : 030903033
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Judul : Efektifitas Lembaga Legislatif Desa Dalam Pengambilan Kebijakan Di Desa Malasin
Pembimbing Ketua Departemen
Ilmu Administrasi Negara
M. Arifin Nasution, S.Sos, M.SP
NIP. 132 306 952 NIP. 131 568 391 Drs. Marlon Sihombing, MA
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
NIP. 131 757 010
(3)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iv
ABSTRAK ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian... 4
E. Kerangka Teori ... 5
1. Efektifitas ... 5
2. Badan Permusyawaratan Desa ... 6
2.1. Mekanisme Pengambilan Kebijakan di BPD ... 10
3. Lembaga Musyawarah Desa ... 10
3.1. Susunan Organisasi Lembaga Musyawarah Desa ... 11
3.2. Kedudukan Tugas dan Fungsi Lembaga Musyawarah Desa .. 11
3.3. Pembentukan Lembaga Musyawarah Desa... 12
3.4. Keanggotaan dan Kepengurusan LMD ... 12
3.5. Syarat-Syarat dan Tata Cara Dalam Pengambilan Keputusan ... 13
4. Kebijakan ... 14
4.1. Pengertian Kebijakan ... 14
4.2. Proses kebijakan ... 16
4.3. Lembaga Dalam Pengambilan Kebijakan ... 20
F. Definisi Konsep ... 21
G. Definisi Operasional ... 22
H. Sistematika Penulisan ... 23
BAB II METODE PENELITIAN ... 24
A. Bentuk Penelitian ... 24
B. Lokasi Penelitian ... 24
C. Populasi dan Sampel ... 24
(4)
2. Sampel ... 25
D. Teknik Pengumpulan Data ... 25
E. Teknik Analisa Data ... 26
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 27
A. Gambaran Umum Desa Malasin ... 27
1. Luas dan Batas Wilayah Desa Malasin ... 27
2. Keadaan Penduduk ... 28
3. Mata Pencaharian ... 29
4. Pendidikan ... 30
5. Agama ... 31
6. Kesehatan ... 31
7. Sosial Budaya ... 32
B. Gambaran Umum Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Musyawarah Desa dan Pemerintahan Desa Malassin ... 33
1. Badan Permusyawaratan Desa Malasin ... 33
1.1.Stuktur Organisasi BPD Desa Malasin ... 34
2. Lembaga Musyawarah Desa Malasin ... 40
3. Pemerintahan Desa ... 45
3.1.Pemerintah Desa Malasin ... 45
BAB IV PENYAJIAN DATA ... 50
A. Karakteristik Informan ... 50
1. Karakteristik Informan Berdasarkan Jenis Kelamin... 50
2. Karakteristik Informan Berdasarkan Pendidikan ... 50
3. Karakteristik Informan Berdasarkan Kelompok Umur ... 50
4. Karakteristik Informan Berdasarkan Pekerjaan ... 51
5. Karakteristik Informan Berdasarkan Agama Yang Dianut ... 51
B. Jawaban Responden ... 51
1. Jawaban Mantan Anggota LMD Periode 1996-2001 ... 51
2. Jawaban Anggota BPD Periode 2004-2010 ... 62
3. Jawaban Tokoh Masyarakat ... 73
(5)
BAB V ANALISA DATA ... 97
A. Persepsi dan definisi ... 97
B. Agregasi dan Organisasi ... 100
C. Representasi ... 102
D. Agenda Setting ... 103
E. Formulasi Kebijakan ... 104
BAB VI PENUTUP ... 108
A. Kesimpulan ... 108
B. Saran ... 110
(6)
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Proses kebijakan kerangka analisa ... 17
Tabel 2: Klasifikasi Jumlah Penduduk Desa Malasin Menurut Jenis Kelamin ... 28
Tabel 3: Klasifikasi Mata Pencaharian Penduduk Desa malasin Berdasarkan Kepala Keluarga (KK) ... 29
Tabel 4: Sarana Pendidikan yang ada di desa Malasin ... 30
Tabel 5: Klasifikasi Tingkat Pendidikan Masyarakat desa malasin ... 30
Tabel 6: Klasifikasi Penduduk Desa Malasin Berdasarkan Suku Bangsa ... 32
Tabel 7: Apakah Bapak/ibu ketika menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001 mengetahui masalah/isu yang berkembang di desa Malasin ini ... 54
Tabel 8: Pada saat menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, apakah Bapak/ibu mengetahui permasalahan yang ada secara mendalam ... 55
Tabel 9: Pada saat Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, adakah kriteria khusus dalam menetapkan urgensitas sebuah masalah/isu ... 55
Tabel 10: Ketika Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, apakah LMD dan Pemerintah Desa atau dengan masyarakat sering berbeda pendapat dalam melihat masalah/isu untuk dijadikan kebijakan ... 56
Tabel 11: Pada saat anda menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, apakah semua masalah/isu telah direspon untuk dijadikan kebijakan ... 56
Tabel 12: Pada saat anda menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, apakah ada kebebasan berkreasi dalam mengembangkan masalah/isu pada tiap individu anggota LMD... 57
Tabel 13: Pada saat Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, apakah LMD memiliki persyaratan terhadap masalah/isu yang ada sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan ... 58
Tabel 14: Ketika Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, apakah ada landasan argumen untuk meyakinkan masyarakat bahwa suatu masalah/isu cocok untuk dijadikan sebuah kebijakan ... 58
Tabel 15: Apakah Bapak/ibu pada saat menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001 telah menyiapkan secara sistematis alasan untuk mendukung masalah/isu yang anda pilih ... 59
(7)
Tabel 16: Pada saat Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, apakah masalah/isu yang dibahas sudah mewakili golongan
mayoritas dan golongan minoritas masyarakat ... 59 Tabel 17: Selama ini apakah ada kebijakan dari Pemerintah Desa untuk
meningkatkan peran serta masyarakat yang minoritas dalam pembangunan di desa Malasin ini ... 60 Tabel 18: Adakah kiat khusus dalam mengakomodir segala input dari masyarakat
golongan minoritas ... 60 Tabel 19: Pada saat Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode
1996-2001, apakah Bapak/ibu berperan besar dalam menetapkan masalah/isu
untuk dijadikan kebijakan ... 61 Tabel 20: Ketika menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, apakah
Bapak/ibu sering ada kendala dalam membahas masalah/isu dengan
Kepala Desa sebagai ketua LMD ... 61 Tabel 21: Dalam UU No. 5 tahun 1979, LMD diberi peran sebagai lembaga yang
merekomendasikan sebuah masalah/isu untuk dijadikan peraturan desa.
Apakah Bapak/ibu memanfaatkan hal ini semaksimal mungkin ... 62 Tabel 22: Pada saat Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode
1996-2001, dalam memecahkan masalah, apakah Bapak/ibu mengakomodir
aspirasi dari lembaga lain... 62 Tabel 23: Ketika menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001, apakah
sering terjadi kebuntuan (Deadlock) antara LMD dengan Pemerintah
Desa dalam proses pengambilan kebijakan ... 63 Tabel 24: Ketika Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode 1996-2001,
apakah proses pengambilan kebijakan sudah demokratis... 63 Tabel 25: Adakah kendala dalam proses pengambilan kebijakan di desa Malasin
ini ketika Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode
1996-2001 ... 64 Tabel 26: Pada saat Bapak/ibu menjabat sebagai anggota LMD Periode
1996-2001, apakah Bapak/ibu mengetahui mekanisme pengambilan
(8)
Tabel 27: Apakah ada dualisme pengambilan kebijakan di desa antara LMD dengan Pemerintah Desa Pada saat Bapak/ibu menjabat sebagai
anggota LMD Periode 1996-2001 ... 65 Tabel 28: Apakah Bapak/ibu sebagai anggota BPD Periode 2004-2010
mengetahui masalah/isu yang berkembang di desa Malasin ini ... 65 Tabel 29: Sebagai anggota BPD Periode 2004-2010, apakah Bapak/ibu
mengetahui permasalahan yang ada secara mendalam ... 66 Tabel 30: Sebagai anggota BPD Periode 2004-2010, adakah kriteria khusus dalam
menetapkan urgensitas sebuah masalah/isu ... 66 Tabel 31: Apakah antara BPD Periode 2004-2010 dan Pemerintah Desa atau
dengan masyarakat sering berbeda pendapat dalam melihat masalah/isu
untuk dijadikan kebijakan ... 67 Tabel 32: Sebagai anggota BPD Periode 2004-2010, apakah semua masalah/isu
telah direspon untuk dijadikan kebijakan ... 67 Tabel 33: Apakah ada kebebasan berkreasi dalam mengembangkan masalah/isu
pada tiap individu anggota BPD ... 68 Tabel 34: Apakah Bapak/ibu sebagai anggota BPD Periode 2004-2010 memiliki
persyaratan terhadap masalah/isu yang ada sehingga dapat dijadikan
suatu kebijakan ... 68 Tabel 35: Sebagai anggota BPD Periode 2004-2010, apakah ada landasan
argumen untuk meyakinkan masyarakat bahwa suatu masalah/isu
cocok untuk dijadikan sebuah kebijakan ... 69 Tabel 36: Apakah Bapak/ibu sebagai anggota BPD Periode 2004-2010 telah
menyiapkan secara sistematis alasan untuk mendukung masalah/isu
yang anda pilih ... 69 Tabel 37: Apakah masalah/isu yang dibahas sudah mewakili golongan mayoritas
dan golongan minoritas masyarakat ... 70 Tabel 38: Selama ini apakah ada kebijakan dari Pemerintah Desa dalam
meningkatkan peran serta masyarakat yang minoritas dalam pembangunan di desa Malasin ini ... 70 Tabel 39: Adakah kiat khusus dalam mengakomodir segala input dari masyarakat
(9)
Tabel 40: Sebagai anggota BPD Periode 2004-2010, apakah Bapak/ibu berperan
besar dalam menetapkan masalah/isu untuk dijadikan kebijakan ... 72 Tabel 41: Apakah sering ada kendala dalam membahas suatu masalah/isu dengan
Kepala Desa sebagai Pemerintah Desa ... 72 Tabel 42: Dalam UU No. 32 tahun 2004, BPD diberi peran yang dominan dalam
membahas masalah/isu yang ada karena BPD berhak mengajukan usulan dan sebagai pengawas kebijakan yang ada. Apakah Bapak/ibu
memanfaatkan hal ini semaksimal mungkin ... 73 Tabel 43: Dalam memecahkan masalah/isu, apakah anda mengakomodir aspirasi
dari lembaga lain ... 73 Tabel 44: Apakah sering terjadi kebuntuan (Deadlock) antara BPD dengan
Pemerintah Desa dalam proses pengambilan kebijakan ... 74 Tabel 45: Menurut Bapak/ibu sebagai anggota BPD Periode 2004-2010, apakah
proses pengambilan kebijakan sudah demokratis ... 74 Tabel 46: Adakah kendala dalam proses pengambilan kebijakan di desa Malasin
ini ... 75 Tabel 47: Apakah Bapak/ibu mengetahui mekanisme pengambilan kebijakan
berdasarkan peraturan yang ada ... 75 Tabel 48: Apakah ada dualisme pengambilan kebijakan di desa antara BPD
dengan Kepala Desa ... 75 Tabel 49: Menurut Bapak/ibu, apakah LMD Periode 1996-2001 memiliki
pengetahuan yang kuat dalam melihat masalah/isu yang ada di desa ini
ketika mereka menjabat sebagai anggota LMD ... 76 Tabel 50: Menurut Bapak/ibu, apakah BPD Periode 2004-2010 memiliki
pengetahuan yang kuat dalam melihat masalah/isu yang ada di desa
Malasin ini... 77 Tabel 51: Menurut Bapak/ibu, apakah LMD Periode 1996-2001 mengetahui
permasalahan yang ada secara mendalam pada saat mereka menjabat ... 77 Tabel 52: Menurut Bapak/ibu, apakah BPD Periode 2004-2010 mengetahui
(10)
Tabel 53: Menurut Bapak/ibu, adakah cara pandang yang berbeda antara antara LMD Periode 1996-2001 dengan BPD Periode 2004-2010 dalam
melihat masalah/isu yang ada di desa Malasin ... 78 Tabel 54: Menurut Bapak/ibu, apakah LMD Periode 1996-2001 lebih efektif
dalam menanggapi masalah/isu yang ada di desa Malasin sehingga
lahirnya Perdes yang berkaitan dengan masalah tersebut ... 79 Tabel 55: Menurut Bapak/ibu, apakah BPD Periode 2004-2010 lebih efektif
dalam menanggapi masalah/isu yang ada di desa Malasin sehingga
lahirnya Perdes yang berkaitan dengan masalah tersebut ... 80 Tabel 56: Menurut Bapak/ibu, apakah LMD Periode 1996-2001 lebih baik dalam
mengembangkan masalah/isu yang ada dan mengorganisasikan masalah/isu tersebut menjadi sebuah kebijakan ... 80 Tabel 57: Menurut Bapak/ibu, apakah BPD Periode 2004-2010 lebih baik dalam
mengembangkan masalah/isu yang ada dan mengorganisasikan masalah/isu tersebut menjadi sebuah kebijakan ... 81 Tabel 58: Menurut Bapak/ibu, apakah LMD Periode 1996-2001 lebih baik dalam
menjadikan masalah/isu sehingga memiliki persyaratan untuk dijadikan suatu kebijakan ... 82 Tabel 59: Menurut Bapak/ibu, apakah BPD Periode 2004-2010 lebih baik dalam
menjadikan masalah/isu sehingga memiliki persyaratan untuk dijadikan suatu kebijakan ... 82 Tabel 60: Menurut Bapak/ibu, apakah LMD Periode 1996-2001 memiliki
argumen/dasar pemikiran untuk membawa suatu masalah/isu untuk
dibahas ... 83 Tabel 61: Menurut Bapak/ibu, apakah BPD Periode 2004-2010 memiliki
argumen/dasar pemikiran untuk membawa suatu masalah/isu untuk
dibahas ... 83 Tabel 62: Menurut Bapak/ibu, apakah LMD Periode 1996-2001 sudah mewakili
masyarakat desa Malasin secara keseluruhan ... 84 Tabel 63: Menurut Bapak/ibu, apakah BPD Periode 2004-2010 sudah mewakili
(11)
Tabel 64: Sepengetahuan Bapak/ibu, apakah ada perlakuan khusus pada waktu LMD Periode 1996-2001 menjabat dalam memperhatikan golongan
minoritas di desa Malasin ini ... 85 Tabel 65: Sepengetahuan Bapak/ibu, apakah ada perlakuan khusus oleh BPD
Periode 2004-2010 dalam memperhatikan golongan minoritas di desa
Malasin ini... 85 Tabel 66: Menurut sepengetahuan Bapak/ibu, apakah pada masa LMD Periode
1996-2001 melakukan pemilihan atau penyaringan terhadap masalah/isu yang akan diagendakan ... 86 Tabel 67: Menurut Bapak/ibu, apakah BPD Periode 2004-2010 melakukan
pemilihan atau penyaringan terhadap masalah/isu yang akan diagendakan ... 86 Tabel 68: Sepengetahuan Bapak/ibu, apakah LMD Periode 1996-2001 dalam
melakukan pembahasan masalah/isu selalu memperoleh solusi yang
baik ... 87 Tabel 69: Menurut Bapak/ibu, apakah BPD Periode 2004-2010 dalam melakukan
pembahasan masalah/isu selalu memperoleh solusi yang baik ... 87 Tabel 70: Menurut Bapak/ibu apakah LMD Periode 1996-2001 selalu
menghasilkan solusi atas masalah/isu dengan Perdes yang telah dibuat ... 88 Tabel 71: Menurut Bapak/ibu apakah BPD Periode 2004-2010 selalu
menghasilkan solusi atas masalah/isu dengan Perdes yang telah dibuat ... 88 Tabel 72: Menurut sepengetahuan Bapak/ibu, apakah proses penentuan keputusan
yang diimplementasikan LMD Periode 1996-2001 sudah meminimalisir dampak negatif yang mungkin terjadi akibat keputusan
tersebut ... 89 Tabel 73: Menurut Bapak/ibu, apakah proses penentuan keputusan yang
diimplementasikan BPD Periode 2004-2010 sudah meminimalisir
dampak negatif yang mungkin terjadi akibat keputusan tersebut ... 90 Tabel 74: Apakah mekanisme pengambilan kebijakan LMD Periode 1996-2001 di
desa Malasin ini sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku ... 90 Tabel 75: Apakah mekanisme pengambilan kebijakan BPD Periode 2004-2010 di
(12)
ABSTRAK
Nama : Dedi Fitrah
NIM : 030903033
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing : M. Arifin Nasution, S.Sos, MSP
Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 mengubah paradigma yang berorientasi kekuasaan menjadi paradigma kerakyatan. Hal ini diikuti konsep Top Down (atas ke bawah) berubah menjadi konsep Bottom Up (bawah ke atas) yang berarti mengaktifkan kembali peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan. Bukti konkrit dari konsep tersebut dengan hadirnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dalam menanamkan proses demokrasi pada tatanan pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwakilan masyarakat yang masih baru dan eksistensinya masih dipertanyakan khususnya dalam proses pengambilan kebijakan. Oleh karena itu perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Lembaga Manakah Yang Lebih Efektif Dalam Pengambilan Kebijakan Di Desa Malasin Antara Lembaga Musyawarah Desa Periode 1996-2001 Dengan Badan Permusyawaratan Desa Periode 2004-2010”?.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas dalam pengambilan kebijakan di desa Malasin antara Lembaga Musyawarah Desa Periode 1996-2001 Dengan Badan Permusyawaratan Desa Periode 2004-2010.
Metode dalam penelitian ini adalah metode Komparatif yang bersifat membandingkan. Penelitian ini merupakan langkah awal atau sebagai landasan untuk penelitian berikut yang lebih signifikan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 33 orang yang terdiri dari Kepala Desa, mantan anggota LMD Periode 1996-2001 berjumlah 8 orang, anggota BPD Periode 2004-2010 berjumlah 9 orang, tokoh masyarakat yang berjumlah 15 orang. Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data meliputi kuesioner, wawancara dan juga studi kepustakaan. Yang kemudian data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dalam proses pengambilan kebijakan di desa Malasin lebih efektif Lembaga Musyawarah Desa (LMD) Periode 1996-2001 dibandingkan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Periode 2004-2010. Hal ini tidak terlepas dari peranan dan kerja keras Lembaga Musyawarah Desa (LMD) Periode 1996-2001 sebagai lembaga perwakilan masyarakat yang memiliki komitmen yang kuat untuk menampung serta menyalurkan seluruh aspirasi masyarakat desa Malasin. Hasil ini dilihat dari indikator proses pengambilan kebijakan yang terdiri dari persepsi dan definisi, agregasi dan organisasi, representasi, agenda setting serta formulasi sebuah kebijakan.
Kata kunci : Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Musyawarah Desa, Kebijakan Publik, Pemerintahan Desa.
(13)
ABSTRAK
Nama : Dedi Fitrah
NIM : 030903033
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembimbing : M. Arifin Nasution, S.Sos, MSP
Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 mengubah paradigma yang berorientasi kekuasaan menjadi paradigma kerakyatan. Hal ini diikuti konsep Top Down (atas ke bawah) berubah menjadi konsep Bottom Up (bawah ke atas) yang berarti mengaktifkan kembali peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan. Bukti konkrit dari konsep tersebut dengan hadirnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dalam menanamkan proses demokrasi pada tatanan pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwakilan masyarakat yang masih baru dan eksistensinya masih dipertanyakan khususnya dalam proses pengambilan kebijakan. Oleh karena itu perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Lembaga Manakah Yang Lebih Efektif Dalam Pengambilan Kebijakan Di Desa Malasin Antara Lembaga Musyawarah Desa Periode 1996-2001 Dengan Badan Permusyawaratan Desa Periode 2004-2010”?.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas dalam pengambilan kebijakan di desa Malasin antara Lembaga Musyawarah Desa Periode 1996-2001 Dengan Badan Permusyawaratan Desa Periode 2004-2010.
Metode dalam penelitian ini adalah metode Komparatif yang bersifat membandingkan. Penelitian ini merupakan langkah awal atau sebagai landasan untuk penelitian berikut yang lebih signifikan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 33 orang yang terdiri dari Kepala Desa, mantan anggota LMD Periode 1996-2001 berjumlah 8 orang, anggota BPD Periode 2004-2010 berjumlah 9 orang, tokoh masyarakat yang berjumlah 15 orang. Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data meliputi kuesioner, wawancara dan juga studi kepustakaan. Yang kemudian data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dalam proses pengambilan kebijakan di desa Malasin lebih efektif Lembaga Musyawarah Desa (LMD) Periode 1996-2001 dibandingkan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Periode 2004-2010. Hal ini tidak terlepas dari peranan dan kerja keras Lembaga Musyawarah Desa (LMD) Periode 1996-2001 sebagai lembaga perwakilan masyarakat yang memiliki komitmen yang kuat untuk menampung serta menyalurkan seluruh aspirasi masyarakat desa Malasin. Hasil ini dilihat dari indikator proses pengambilan kebijakan yang terdiri dari persepsi dan definisi, agregasi dan organisasi, representasi, agenda setting serta formulasi sebuah kebijakan.
Kata kunci : Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Musyawarah Desa, Kebijakan Publik, Pemerintahan Desa.
(14)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Setelah disahkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, lahirlah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga legislatif pada tataran pemerintahan desa. Secara formal sebenarnya sebelumnya telah ada suatu badan yang berfungsi mengakomodir segala aspirasi masyarakat dalam suatu lembaga bernama Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa.
Namun seiring dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999, maka Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang notabene merupakan produk orde baru diganti sesuai misi otonomi daerah yakni pemberdayaan masyarakat dan peningkatan demokrasi serta pembelajaran politik pada tataran pemerintahan terkecil.
UU No. 5 Tahun 1979 menunjukkan dengan sangat jelas suatu skema sentralisasi. Skema tersebut dimanifestasikan dalam rumusan adanya “penguasa tunggal” yakni kepala desa. Kepala desa di era orde baru memiliki posisi strategis yang dapat dilihat dalam jabatan rangkapnya sebagai kepala desa dan sebagai ketua Lembaga Musyawarah Desa (LMD) serta badan penasihat Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Kepala desa tidak memiliki keterkaitan secara langsung kepada masyarakat melalui Lembaga Musyawarah Desa (LMD) tetapi hanya pada pejabat yang berwewenang mengangkatnya.
Untuk lebih menjelaskan perbedaan antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), maka di bawah ini dipaparkan perbedaan secara teoritis antara keduanya :
(15)
1. Proses Rekrutmen
Dalam proses rekrutmen, terjadi perbedaan yang signifikan antara kedua lembaga ini yakni dalam Lembaga Musyawarah Desa (LMD) proses rekrutmen berdasarkan atas rekomendasi Kepala Desa yang menjadi ketua lembaga tersebut. Sedangkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) proses rekrutmen dilakukan oleh masyarakat secara langsung melalui pemilihan berdasarkan bakal calon yang mengikuti pemilihan tersebut berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan Undang-Undang.
2. Posisi Struktur
Posisi kedua lembaga ini mengalami perbedaan yang signifikan, dalam UU No. 5 Tahun 1979 Lembaga Musyawarah Desa (LMD) posisinya di bawah Kepala Desa disebabkan hak dan wewenangnya masih dibatasi, posisi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam PP No. 72 Tahun 2005 sejajar dengan Kepala Desa yang disebabkan adanya perubahan pada hak wewenang dari lembaga tersebut.
3. Fungsi Legislasi
Selain berfungsi memformulasikan kebijakan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga diberikan hak mengawasi kinerja Kepala Desa. Sedangkan pada LMD hanya rekomendator, artinya Lembaga Musyawarah Desa tidak memiliki hak untuk menggugat Eksekutif Desa bila mana hasil rekomendasi mereka tidak dijalankan.
4. Pemisahan antara Pemerintahan Desa dengan Pemerintah Desa
Dalam UU No. 5 Tahun 1979 masih bersatunya istilah Pemerintahan Desa yang terdiri dari eksekutif Desa yakni Kepala Desa dengan Lembaga Musyawarah
(16)
Desa (LMD) dengan bukti keterlibatan Kepala Desa dalam Institusi Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sesuai pasal 17 yang berbunyi “ Kepala Desa menjabat sebagai ketua Lembaga Musyawarah Desa sedang Sekretaris Desa menjabat sebagai Sekretaris pada Lembaga Musyawarah Desa “. Dalam terminologi UU No. 32 Tahun 2004 terjadi pemisahan antara Pemerintah Desa dan Pemerintahan Desa, Pemerintah Desa yang dalam UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan hanya eksekutif Desa yakni Kepala Desa beserta perangkat-perangkatnya. Sedangkan Pemerintahan Desa adalah gabungan antara eksekutif Desa dan legislatif Desa dalam hal ini adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
5. Mekanisme laporan pertanggung jawaban
Dalam UU No. 5 Tahun 1979 Kepala Desa bertanggung jawab kepada Camat dan Bupati serta menyerahkan laporan pertanggung jawabannya kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD), sedang dalam UU No. 32 Tahun 2004 terjadi sebaliknya bahwa Kepala Desa menyampaikan laporan pertanggung jawabannya kepada Bupati/Walikota tetapi bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Dari berbagai perbedaan yang terdapat antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), maka penelitian ini lebih memfokuskan pada efektifitas dalam proses pengambilan kebijakan antara kedua lembaga legislatif desa tersebut.
Permasalahannya saat ini apakah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) lebih efektif dalam pengambilan kebijakan, atau sebaliknya perubahan peran ini hanya bersifat teoritis, sehingga pada tataran implementasi Lembaga Musyawarah
(17)
Desa (LMD) lebih efektif dalam pengambilan kebijakan di desa. Untuk itu, penulis merasa tertarik mengangkat permasalahan ini ke dalam skripsi dengan judul : “EFEKTIFITAS LEMBAGA LEGISLATIF DESA DALAM
PENGAMBILAN KEBIJAKAN DI DESA MALASIN”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah : “Lembaga Manakah Yang Lebih Efektif Dalam Pengambilan Kebijakan Di Desa Malasin Antara Lembaga Musyawarah Desa Periode 1996-2001 Dengan Badan Permusyawaratan Desa Periode 2004-2010?”.
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui efektifitas dalam pengambilan kebijakan di desa Malasin antara Lembaga Musyawarah Desa Periode 1996-2001 Dengan Badan Permusyawaratan Desa Periode 2004-2010.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara mengenai efektifitas dalam
(18)
pengambilan kebijakan di desa antara Badan Permusyawaratan Desa dengan Lembaga Musyawarah Desa.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat :
a. Bermanfaat bagi penulis untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam membuat karangan ilmiah.
b. Memberikan data empirik hasil penelitian mengenai efektifitas dalam pengambilan kebijakan di desa antara Badan Permusyawaratan Desa dengan Lembaga Musyawarah Desa.
c. Sebagai perbandingan bagi penelitian yang serupa di masa yang akan datang dan segala pemanfaatan dari tulisan ini.
E. Kerangka Teori
Menurut Singarimbun (1989 :37), teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Perkembangan ilmu pengetahuan dimulai dari teori dan teori inilah ciptaan manusia, kemudian teori dihadapkan kepada pengujian.
Adapun teori yang relevan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang Efektifitas, Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Musyawarah Desa dan Kebijakan.
1. Efektifitas
Menurut Miller (dalam Tangkilisan, 2005 :138) mengemukakan bahwa “Efectiveness be de fine as the degree to which a social system achieve its goals.
(19)
concerned with goals attain ments” artinya efektifitas dimaksud sebagai tingkat
seberapa jauh suatu system sosial mencapai tujuannya. Efektifitas ini harus dibedakan dengan efisiensi. Efisiensi terutama mengandung pengertian perbandingan antara biaya dengan hasil, sedangkan efektifitas secara langsung dihubungkan dengan pencapaian suatu tujuan.
Sedangkan menurut Georgopualos dan Tannebaum (dalam Tangkilisan, 2004 :139) “Effectiveness as the extent to which an organization as a social
system, given certain resources and mean, fulfill it’s objective whithout placing starin upon it’s members”, artinya efektifitas adalah tingkat sejauh mana suatu
organisasi yang merupakan system sosial dengan segala sumber daya dan sarana tertentu yang tersedia memenuhi tujuan-tujuannya. Tanpa pemborosan dan menghindari ketegangan yang tidak perlu diantara anggotanya.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa efektifitas menunjukkan pada tingkat sejauh mana melaksanakan kegiatan atau fungsi-fungsi sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan menggunakan cara optimal alat-alat dan sumber-sumber yang ada.
2. Badan Permusyawaratan Desa
Menurut PP No. 72 Tahun 2005 bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah Badan perwakilan dari penduduk desa yang bersangkutan beradasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat, yang terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5
(20)
(lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa.
Sedangkan menurut Perda Kabupaten Simeulue No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah sebagai lembaga legislatif dan pengawasan desa dalam hal pelaksanaan peraturan desa, anggaran dan belanja desa dan keputusan kepala desa.
Selain itu, lembaga ini merupakan lembaga legislatif mini yang bekerja sama dengan Kepala Desa sebagai eksekutif dalam merumuskan kebijakan dan menjalankan roda pemerintahan. Dalam proses kerja sama tersebut kedua lembaga tersebut merupakan mitra sejajar untuk menentukan arah pembangunan suatu desa.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) desa Malasin terbentuk berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 serta Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 13 tahun 2003. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue, anggota Badan permusyawaratan Desa dipilih dari calon-calon yang diajukan oleh kalangan adat, agama, organisasi sosial politik, golongan profesi, dan unsur pemuka masyarakat lainnya. Jumlah anggota BPD ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Jumlah penduduk Sampai dengan 500 orang ditetapkan sebanyak 5 orang anggota.
b.Jumlah penduduk 501 s/d 1.000 orang ditetapkan sebanyak 7 orang anggota.
(21)
c. Jumlah penduduk 1.001 s/d 1.500 orang ditetapkan sebanyak 9 orang anggota.
d.Jumlah penduduk lebih dari 1.500 orang ditetapkan sebanyak 11 orang anggota.
Oleh sebab itu, desa Malasin yang berpenduduk 1.216 jiwa mempunyai jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa sebanyak 9 orang.
Adapun fungsi Badan Permusyawaratan Desa menurut PP No. 72 Tahun 2005 adalah :
a. Menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa. b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 13 Tahun 2003 pasal 3, adapun fungsi BPD selain kedua hal di atas, juga mencakup mengayomi adat istiadat dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 13 Tahun 2003 pasal 5, tugas dan wewenang BPD adalah :
a. Membentuk panitia pemilihan kepala desa.
b. Menetapkan dan nmengusulkan calon kepala desa terpilih. c. Mengusulkan pemberhentian kepala desa.
d. Bersama kepala desa menyusun peraturan desa e. Bersama kepala desa menyusun APB Desa.
f. Memberikan persetujuan dalam kerjasama antar desa. g. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala desa.
(22)
h. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan desa dan peraturan perundang-undangan lainnya, Keputusan kepala desa, APB Desa, Kekayaan desa, Kerjasama antar desa atau pihak lain serta Pinjaman desa.
i. Memberi persetujuan terhadap pengembangan, penggabungan dan penghapusan desa.
Hak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menurut Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 13 Tahun 2003 pasal 7 adalah sebagai berikut :
a. Meminta pertanggung jawaban kepala desa. b. Meminta keterangan kepala desa.
c. Mengusulkan perubahan atas rancangan APB Desa. d. Mengajukan rancangan peraturan desa.
e. Mengajukan pernyataan pendapat. f. Mengajukan anggaran belanja BPD. g. Menetapkan peraturan tata tertib BPD.
Sedangkan kewajiban BPD menurut Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 13 Tahun 2003 pasal 6 adalah :
a. Mempertahankan, memelihara dan menjaga persatuan dan kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
b. Mengedepankan kepentingan umum dari pada kepentringan pribadi, kelompok maupun golongan.
c. Memelihara keutuhan dan stabilitas desa.
d. Mentaati segala ketentuan yang telah ditetapkan. e. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
(23)
2.1. Mekanisme Pengambilan Kebijakan di BPD
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga legislatif di desa yang bertugas untuk membuat dan mengawasi kebijakan-kebijakan yang telah disepakati bersama oleh eksekutif atau Kepala Desa.
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 17 Tahun 2003 Pasal 8, mekanisme pengambilan kebijakan di BPD ditetapkan dengan beberapa ketentuan yaitu Badan Permusyawaratan Desa wajib mengembangkan nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan. Selain itu, pengambilan keputusan oleh BPD dinyatakan sah jika dilakukan dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota BPD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya setengah ditambah satu jumlah anggota BPD yang hadir. Dalam hal jumlah anggota BPD sebagaimana dimaksud tidak terpenuhi, maka rapat paripurna diundur paling lama 2 (dua) jam. Dan jika dalam hal ini jumlah anggota BPD tetap tidak terpenuhi sebagaimana yang dimaksud, maka rapat paripurna diundur pada hari lain.
3. Lembaga Musyawarah Desa
Menurut UU No. 5 tahun 1979, Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan/ permufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan dan Pemuka-pemuka Masyarakat di Desa yang bersangkutan.
(24)
3.1. Susunan Organisasi Lembaga Musyawarah Desa
Susunan organisasi Lembaga Musyawarah Desa dalam Permendagri No. 1 tahun 1981, terdiri dari Ketua, Sekretaris dan anggota. Anggota LMD berjumlah sedikitnya 9 orang dan sebanyak-banyaknya 15 orang tidak termasuk ketua dan sekretaris.
3.2. Kedudukan Tugas dan Fungsi Lembaga Musyawarah Desa
Menurut Permendagri No. 1 tahun 1981, Lembaga Musyawarah Desa mempunyai tugas untuk menyalurkan pendapat masyarakat di desa dengan memusyawarahkan setiap rencana yang diajukan oleh kepala desa sebelum ditetapkan menjadi keputusan desa. Untuk menjalankan tugasnya, Lembaga Musyawarah Desa mempunyai fungsi melaksanakan kegiatan musyawarah/mufakat dalam rangka penyusunan keputusan desa.
Ketua LMD dijabat oleh kepala desa karena jabatannya dan berkedudukan sebagai pimpinan LMD mempunyai tugas memimpin musyawarah/mufakat dan mempunyai fungsi membina kelancaran dan memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat desa yang bersangkutan.
Sekretaris LMD dijabat oleh sekretaris desa karena jabatannya dan berkedudukan sebagai alat pelaksana administrasi, mempunyai tugas menyiapkan segala kegiatan musyawarah/mufakat dan berfungsi melakukan pencatatan dan penyimpanan administrasi yang berhubungan dengan Lembaga Musyawarah Desa.
Anggota LMD yang terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat di desa bertugas untuk memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan yang hidup dan
(25)
berkembang dalam masyarakat desa serta mempunyai fungsi menyalurkannya dalam rapat LMD.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, LMD melakukan rapat sekurang-kurangnya satu kali setahun.
3.3. Pembentukan Lembaga Musyawarah Desa
Tujuan pembentukan LMD adalah untuk memperkuat pemerintahan desa terutama mewadahi perwujudan pelaksanaan demokrasi pancasila di desa. Pembentukan LMD dan keanggotaannya dimusyawarahkan/dimufakatkan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan. Hasil musyawarah tersebut disampaikan oleh kepala desa kepada Bupati/Wali Kota Madya melalui Camat untuk mendapatkan pengesahan.
3.4. Keanggotaan dan Kepengurusan Lembaga Musyawarah Desa
Keanggotaan LMD terdiri atas kepala-kepala dusun, pimpinan lembaga-lembaga kemsyaratan dan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan. Yang dapat menjadi anggota LMD adalah warga Negara Republik Indonesia yang :
a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b. Setia dan taat kepada Pancasila dan UUD 1945
c. Tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam suatu kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945, seperti G.30 S/PKI dan atau kegiatan-kegiatan organisasi terlarang lainnya
d. Tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan pasti
(26)
e. Tidak sedang menjalani pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti karena tindak pidana yang dikenakan ancaman pidana sekurang-kurangnya lima tahun
f. Terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal tetap di desa yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama dua tahun terakhir dengan tidak terputus-putus.
g. Sekurang-kurangnya telah berumur 25 tahun h. Sehat jasmani dan rohani
i. Berkelakuan baik, jujur, adil, cerdas, dan berwibawa. 3.5. Syarat-syarat dan tata cara dalam pengambilan keputusan
Dalam rangka menetapkan keputusan desa, LMD melakukan rapat yang harus dihadiri oleh sekurang-sekurangnya 2/3 dari jumlah anggota LMD ditambah dengan kepala desa dan perangkat desa dan disaksikan oleh camat atau pejabat lain yang ditunjuk oleh camat. Dalam hal jumlah anggota LMD yang hadir kurang dari 2/3, rapat LMD dinyatakan tidak sah. Apabila rapat LMD dinyatakan tidak sah, maka kepala desa setelah mendengar pertimbangan dari camat menetukan rapat untuk menentukan rapat selanjutnya selambat-lambatnya 3 hari setelah rapat pertama.
Rancangan keputusan desa disusun oleh kepala desa dan disampaikan kepada anggota LMD selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum LMD mengadakan rapat untuk menetapkan keputusan desa. Dalam penyusunan rancangan keputusan desa, kepala desa dibantu oleh perangkat desa.
Keputusan desa ditetapkan secara musyawarah/mufakat dan harus mencerminkan keinginan masyarakat desa yang bersangkutan serta tidak boleh
(27)
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penetapan keputusan desa sejauh mungkin dihindari adanya pemungutan suara.
4. Kebijakan
4.1. Pengertian Kebijakan
Secara historis Ilmu kebijakan sudah ada sebelum Masehi, ketika pemerintah Mesopotamia menetapkan kode Hamurabi yang berisikan tentang ketertiban umum, kriminal, UU Kepemilikan, perdagangan, perkawinan, tarif dan pertanggungjawaban publik (William, 2000:53).
Aristoteles kemudian memodofikasi kode ini menjadi semacam risalah klasik mengenai politik, 184 SM yang kemudian diuraikan secara sistematis di India oleh Arthasasatra. Pada masa Revolusi Industri di Inggris, ilmu kebijakan sudah sampai pada penelitian empiris dan kuantitatif yang selanjutnya berkembang di Amerika Serikat dengan program New Dealnya di Eropa (William, 2000:57).
Menurut William N Dunn (1988:23) secara etimologis policy berasal dari kata polis (Bahasa Yunani) yang artinya Negara kota, yang dalam bahasa Latin
Politeia (Negara) dan masuk ke dalam bahasa Inggris menjadi policie yang berarti
masalah publik, kemudian secara bergantian dipakai istilah policy, polictics dan
policy study.
Menurut Anderson (1975:3) telah memberikan definisi “Kebijakan sebagai suatu tindakan tertentu yang bertujuan, yang diikuti oleh seorang aktor atau sejumlah aktor sehubungan dengan masalah tertentu yang dihadapi”. Sedang Adrain (1992:311) mengemukakan kebijakan yaitu berupa serangkaian keputusan atau tindakan dalam rangka menanggapi suatu masalah khusus”.
(28)
B.N Marbun (1996:31) memberikan pengertian kebijakan sebagai rangkaian konsep dan Asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. Kepemimpinan dalam pemerintahan atau organisasi, pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman dalam mencapai sasaran.
Kemudian Hogeood dan Gunn dalam Charles O jones (1986:13-19) telah mengelompokkan aneka ragam penggunaan istilah kebijakan ke dalam sepuluh macam pengertian, yakni :
a. Kebijaksanaan sebagai suatu merk bagi suatu bidang kegiatan tertentu b. Kebijaksanaan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau
keadaan tertentu yang dikehendaki c. Kebijaksanaan sebagai ususlan khusus d. Kebijaksanaan sebagai keputusan pemerintah e. Kebijaksanaan sebagai bentuk pengesahan formal f. Kebijaksanaan sebagai program
g. Kebijaksanaan sebagai out put h. Kebijaksanaan sebagai hasil akhir i. Kebijaksanaan sebagai teori atas model j. Kebijaksanaan sebagai proses
Disamping dengan pengertian yang bermacam-macam itu tentunya mengandung interpretasi yang berbeda sehingga bentuk-bentuk kebijakan itu sendiri dan bermacam-macam, boleh jadi kebijakan itu berbentuk program, keputusan, hukum, proposal, patokan maupun maksud-maksud lain. Namun
(29)
demikian dikalangan pembuatan keputusan makna semacam itu tidak menjadi masalah.
4.2. Proses Kebijakan
Dalam mengamati kebijakan, banyak sisi maupun pendekatan yang dapat dipandang sebagai alat yang tepat dalam menganalisa maupun menjelaskan permasalahan kebijakan sekalipun penggunaan alat tersebut disisi lain memiliki kekurangan, tetapi karena kebijakan itu sendiri tidak memiliki bentuk yang pasti dan secara konseptual selalu berkembang seperti halnya teori Organisasi, cakupan ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Administrasi Niaga, dan juga Administrasi Negara.
Untuk menganalisa kebijakan tersebut, bidang analisa kebijakan dapat dipecah menjadi dua yakni :
1. Upaya untuk menganalisa proses dari pembuatan kebijakan yang lebih kepada uraian deskriptif.
2. Upaya untuk menganalisa proses pembuatan kebijakan yang deskriptif (alternatif) yang lebih cenderung tentang model elit/masa sistem-sistem dan model institutional (Jones, 1994:25).
Untuk lebih mengetahui tentang proses pengambilan kebijakan menurut Charles O Jones, maka di bawah ini adalah tabel proses pengambilan kebijakan, sebagai berikut :
(30)
Tabel 1. Proses Kebijakan Proses kebijakan kerangka analisa : Kegiatan fungsional Dikatagorikan dalam
pemerintahan
Dengan sebuah produk potensial Persepsi Agregasi Organisasi Representasi Penyusunan Agenda Masalah-masalah kepada pemerintah
Problem tuntutan akses prioritas-prioritas Formulasi Legitimasi Penganggaran Tindakan dalam pemerintah Proposal program Anggaran/Sumber daya
Implementasi Pemerintah kepada
masalah-masalah
Bervariasi (Pembayaran Kemudahan pengawasan) Evaluasi Penyesuaian /
terminasi Program ke pemerintah
Bervariasi (Pelayanan kemudahan pengawasan)
Sumber : Charles O Jones 1994, Pengantar Kebijakan Publik, hal. 53
Adapun pengertian proses pembuatan kebijakan menurut Charles O Jones (1994:56) adalah sebagai berikut :
1. Persepsi dan Definisi
Tahap ini merupakan tahap kegiatan fungsional yang dianggap sebagai problem dalam pemerintahan, atau sejauh mana suatu isu dianggap sebagai problem, dengan kata lain suatu fenomena terjadi maka seorang individu membuat cara pandang dari sudut tertentu, dan mendefinisikan sebagai suatu permasalahan.
2. Agregasi
Agregasi didefinisikan sebagai sekumpulan isu-isu yang menjadi topik untuk diangkut dan dikembangkan agar dapat terorganisir secara baik sehingga isu tersebut memiliki keberpihakan pada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan.
3. Representasi
Merupakan salah satu konsep demokrasi yang fundamental, artinya perwakilan atau keterwakilan atas kepentingan masyarakat dibebankan kepada
(31)
sang wakil. Meski diingat wakil disini harus steril (bersih) dari kepentingan pribadi / golongan dan dalam menyikapi permasalahan yang ada.
4. Penyusunan Agenda
Agenda yang disusun atas proses persepsi, agregasi (organisasi) dan representasi mengenai isu-isu yang menjadi prioritas potensial dikedepankan dalam pembuatan kebijakan.
5. Formulasi
Merupakan serangkaian aktivitas kebijakan yang bukan sekedar bukan membuat perencanaan tetapi juga menetukan apa yang harus dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang ada.
6. Legitimasi
Didefinisikan sebagai pemberi kekuatan hukum, wewenang atau penilaian terhadap sesuatu. Lolosnya sebuah formulasi ditandai dengan pemberian legitimasi. Legitimasi adalah eksistensi dari Negara politik (political state). Kegiatan legitimasi pada proses kebijakan mencakup persetujuan tata cara (pengesahan) dan pengesahan itu sendiri untuk menghasilkan suatu keputusan atau program. Secara umum, yang terlibat dirancang mewakili kepentingan masyarakat, namun hal ini tergantung pada konstitusi suatu Negara.
7. Penganggaran
Secara sederhana penganggaran merupakan rencana pemasukan dan pengeluaran (budgeting process) dalam proses kebijakan yang bukan merupakan tahap yang berdiri sendiri. Penganggaran bisa merupakan pendanaan untuk pelaksanaan kebijakan maupun terhadap proses kebijakan itu sendiri.
(32)
8. Implementasi
Implementasi merupakan hal yang paling sukar dalam bentuk dan cara memuaskan semua orang yang terlibat di dalamnya sesuai dengan interest / kepentingan masing-masing pihak. Dalam hal ini, Jones menyebutkan 3 kegiatan sebagai pilar-pilar implementasi, yakni :
a. organisasi : Iplementasi disalurkan melalui birokrasi sebagai organisasi utama penerapan kebijakan.
b. Interpretasi : Penerjemahan atau penafsiran yang lebih sederhana tentang apa yang harus dilakukan.
c. Penerapan : Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran dan lain-lain yang disesuaikan dengan tujuan penerapan merupakan aplikasi dari interpretasi.
9. Evaluasi
Kegiatan evaluasi mencakup spesifikasi, pengukuran analisis dan rekomendasi. Spesifikasi mengidentifikasi tujuan serta kriteria yang harus dievaluasi. Pengukuran merupakan pengumpulan informasi yang relevan menyangkut kualitas dan kwantitas. Analisis adalah penyerapan dan penggunaan informasi yang dikumpulkan guna mengambil keputusan dan rekomendasi adalah penentuan mengenai apa yang dilakukan selanjutnya ke depan.
Demikianlah kebijakan ditinjau dari model proses, urutan yang ada di atas menunjukkan urutan yang umum terjadi namun tidak menutup kemungkinan proses itu terjadi berurutan.
(33)
4.3. Lembaga dalam Pengambilan Kebijakan
Menurut Montesqueu, yang dikutip dari buku Pengantar Ilmu Politik karangan prof. Miriam Budiarjo (1998 :151) bahwa lembaga yang terlibat dalam kebijakan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif yang terkenal dengan Trias
Politica.
Di sini Montesqueu menjelaskan bahwa peran Eksekutif adalah untuk melaksanakan segala kebijakan yang telah disetujui, sedangkan fungsi Legislatif adalah untuk memformulasikan (membuat) kebijakan dan fungsi Yudikatif adalah sebagai lembaga yang mengawasi serta dapat memberikan sanksi bila kebijakan tersebut belum dijalankan atau lari dari yang disepakati bersama.
Sedang John Locke, filsuf asal Inggris juga membagi lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses kebijakan kepada tiga yakni eksekutif, legislatif dan federatif (Miriam, 1998:1527). Eksekutif memiliki fungsi dalam mengimplementasikan kebijakan dalam program-program pembangunan dan di dalamnya kewenangan untuk mengawasi kebijakan yang ada, sedangkan Federatif memiliki peran sebagai pembatas kebijakan dalam ruang lingkup Negara federal.
Menurut Charles O jones (1994:70) bahwa lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengambilan kebijakan terbagi dua (2) yang dalam istilah Jones adalah
Official Makers dan Unofficial Makers.
Official Makers adalah lembaga-lembaga dari intern pemerintah yang
memiliki akses untuk membuat kebijakan dan memiliki kewenangan dalam proses pelaksanaan kebijakan seperti DPR, Presiden dan lain-lain. Sedangkan Unofficial
(34)
oleh suprastruktur politik dan dinamakan infrastruktur politik seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Partai Politik (Parpol) dan Kampus.
F. Definisi Konsep
Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1989:37). Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti.
Oleh karena untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, maka penulis mengemukakan definisi konsep yaitu : 1. Efektifiats adalah tingkat sejauh mana suatu organisasi yang merupakan
sistem sosial dengan segala sumber daya dan sarana tertentu yang tersedia memenuhi tujuan-tujuannya.
2. Badan Permusyawaratan Desa adalah perwakilan dari penduduk desa yang bersangkutan beradasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat, yang terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya
3. Lembaga Musyawarah Desa adalah Lembaga permusyawaratan yang anggotanya terdiri dari kepala-kepala dusun, pimpinan lembaga-lembaga kemasyaratan dan pemuka-pemuka lembaga masyarakat yang bersangkutan. 4. Kebijakan adalah Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
(35)
G. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui indikator-indikator apa saja untuk mendukung analisa dari variabel-variabel tersebut (Singarimbun, 1989:46).
Adapun yang menjadi definisi operasional dalam penelitian ini adalah Efektifitas Lembaga Legislatif Desa Dalam Pengambilan Kebijakan Di Desa Malasin, dengan indikator sebagai berikut :
1. Persepsi dan Definisi, terdiri dari : a. Pengetahuan terhadap isu (masalah) b. Perspektif terhadap isu (masalah) c. Isu-isu (masalah) yang ada
2. Agregasi dan Organisasi, terdiri dari : a. Kemampuan untuk mengembangkan isu b. Melembagakan isu (masalah)
c. Menguatkan isu untuk diagendakan 3. Representasi, terdiri dari :
a. Perwakilan isu (masalah)
b. Perhatian terhadap masyarakat minoritas 4. Agenda Setting, terdiri dari :
a. Pemilihan isu b. Pembahasan isu
5. Formulasi Kebijakan, terdiri dari : a. Pemecahan masalah
(36)
b. Proses pengambilan kebijakan c. Mekanisme pengambilan kebijakan
H. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sample penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian berupa sejarah singkat, visi dan misi, serta struktur organisasi.
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis.
BAB V ANALISA DATA
Bab ini memuat pembahasan atau interpretasi dari data-data yang disajikan pada bab sebelumnya.
BAB VI PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang dilakukan.
(37)
BAB II
METODE PENELITIAN A. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Komparatif dengan analisis Kualitatif. Menurut Sugiono (2005:11), penelitian komparatif adalah suatu penelitian yang bersifat membandingkan. Disini variabelnya masih sama dengan penelitian variabel mandiri tetapi untuk sampel yang lebih dari satu, atau dalam waktu yang berbeda.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di desa Malasin Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Menurut Sugiono (2005:90) Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Berdasarkan hal itu, maka yang dimaksud populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Periode 2004-2010 di desa Malasin, Seluruh mantan LMD Periode 1996-2001 desa Malasin, Kepala Desa Malasin dan seluruh masyarakat desa Malasin.
Menurut data pra survey oleh penulis (Juni 2006), maka Anggota BPD Periode 2004-2010 di desa Malasin berjumlah 9 orang, mantan LMD Periode
(38)
1996-2001 desa Malasin berjumlah 8 orang, beserta seorang Kepala Desa Malasin dan seluruh masyarakat di desa Malasin yang berjumlah 1.216 jiwa.
2. Sampel
Menurut Singarimbun (1989:53), sampel diartikan sebagai bagian dari populasi yang menjadi sumber data yang sebenarnya dengan kata lain sampel adalah bagian dari populasi.
Dalam penelitian ini, Pengambilan sampel dilakukan secara Purposive Sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian dan digunakan sesuai kriteria yang ditetapkan (Nawawi, 1999:57).
Adapun yang menjadi Sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, Seluruh anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Periode 2004-2010 yang berjumlah 9 orang, seluruh mantan LMD Periode 1996-2001 berjumlah 8 orang, kepala desa Malasin, dan dari masyarakat yang diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa Malasin berjumlah 15 orang. Jadi, jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 33 orang.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : a. Teknik pengumpulan data primer, yaitu :
- Wawancara
Yaitu pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab secara langsung kepada informan.
(39)
- Kuesioner
Kuesioner (angket) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pertanyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiono, 2005:162).
b. Teknik pengumpulan data skunder, yaitu : - Studi Kepustakaan
Yakni dengan mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan dari buku dan referensi serta naskah lainnya yang berhubungan dengan objek yang diteliti.
- Dokumentasi
Yakni pengumpulan data dengan menggunakan catatan-catatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.
E. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa kualitatif. Teknik analisa data kualitatif adalah analisa terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta, data dan informasi. Jadi, teknik analisa data dilakukan dengan penyajian data yang didapat melalui keterangan yang diperoleh dari responden selanjutnya diinterpretasikan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
(40)
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Malasin
Gambaran umum tentang Desa Malasin pada penelitian ini dijelaskan ke dalam tujuh kondisi sebagai berikut :
1. Luas dan Batas Wilayah Desa Malasin.
Desa Malasin merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Luas desa Malasin adalah ± 1,5 km2
- Dusun Suka Ramai
, terdiri dari atas empat dusun yaitu sebagai berikut :
- Dusun Bufu Indah - Dusun Lestari
- Dusun Fajar Kenangan
Secara administrasi, desa Malasin ini mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Lautan
- Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Babul Makmur - Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Teluk Sibigo - Sebelah Timur berbatasan dengan desa Batu Ragi
Desa Malasin beriklim tropis, memiliki dua musim seperti halnya daerah lain di Indonesia yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kondisi inilah yang membuat daerah tersebut berpotensi sebagai daerah pertanian dan perkebunan. Selain itu penduduk Desa Malasin juga mayoritas berprofesi sebagai nelayan
(41)
karena desa tersebut juga sangat dekat dengan laut. Kemudian kondisi geografis desa Malasin berada pada ketinggian 10 m dpl, curah hujan rata-rata 50-60 mm per tahun dengan keadaan suhu rata-rata 30-32 o
No
C. Sedangkan orbitasi dan jarak tempuh di desa Malasin adalah desa ini memiliki jarak 0 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Simeulue Barat, 122 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Simeulue dan 438 km dari pusat pemerintahan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Keadaan Penduduk.
Masyarakat desa Malasin merupakan masyarakat majemuk (heterogen), dimana daerah ini dihuni berbagai suku bangsa yakni suku Aceh, Jawa dan Nias. Suku Aceh merupakan suku mayoritas daerah ini yang memiliki sifat keterbukaan dan menerima dengan suku pendatang. Meskipun masyarakatnya majemuk (heterogen), namun suasana kekeluargaan dan kekerabatan sangat tinggi sehingga kehidupan berdampingan berjalan dengan baik. Hal tersebut terbukti menurut salah seorang tokoh masyarakat Desa Malasin Bapak. M. Basan (wawancara 15 Juni 2007) mengatakan bahwa sampai sekarang belum pernah terjadi konflik antar sesama warga masyarakat, maupun dengan orang/warga pendatang.
Berdasarkan data pada kantor desa Malasin tahun 2006, jumlah penduduk desa Malasin adalah 1.216 jiwa, terdiri dari laki-laki berjumlah 514 orang dan perempuan berjumlah 702 orang dengan jumlah kepala keluarga 256 KK. Berikut keadaan penduduk desa Malasin dalam bentuk tabel yaitu :
Tabel 2. Klasifikasi Jumlah Penduduk Desa Malasin Menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (jiwa) Persentase
1 Laki-laki 514 42,27 %
2 Perempuan 702 57,73 %
Jumlah 1.216 100 %
(42)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan yakni jumlah laki-laki 514 orang atau 42,27 % sedangkan jumlah perempuan 702 orang atau 57,73 %.
3. Mata Pencaharian.
Dilihat dari segi perekonomian, karena kondisi wilayah desa malasin dekat dengan laut dan masih memiliki lahan pertanian yang cukup luas, maka mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Selain itu juga sebagian masyarakat berprofesi sebagai PNS, buruh, wiraswasta dan lain-lain. Berikut klasifikasi mata pencaharian penduduk desa Malasin :
Tabel 3. Klasifikasi Mata Pencaharian Penduduk Desa malasin Berdasarkan Kepala Keluarga (KK)
No Mata Pencaharian Jumlah (KK) Persentase
1 Petani 96 37,5 %
2 Buruh / Swasta 16 6,25 %
3 Kapal Motor Laut (KM) 4 1,56 %
4 PNS, TNI dan POLRI 38 14,84 %
5 Pedagang 11 4,29 %
6 Montir 3 1,17 %
7 Peternak 13 5,08 %
8 Pengrajin 7 2,73 %
9 Nelayan 68 26,56 %
Jumlah KK 256 100 %
Sumber, Kantor Kepala Desa Malasin Tahun 2006
Dari tabel di atas dapat dilihat lebih jelas bahwa mata pencaharian yang paling dominan adalah petani dan nelayan. Pekerjaan sebagai petani merupakan mata pencaharian utama masyarakat desa Malasin dari sejak zaman dahulunya, walaupun seiring dengan kemajuan daerah, maka terjadi penurunan mata pencaharian ini. Sedangkan pekerjaan sebagai buruh/swasta terjadi peningkatan karena seiring dengan perkembangan daerah yang merupakan Ibu Kota Kecamatan Simeulue Barat.
(43)
4. Pendidikan.
Pendidikan merupakan instrumen yang penting dalam menentukan maju mundurnya suatu daerah. Hal ini terjadi karena apabila berbicara tentang pendidikan kita akan bersentuhan dengan sumber daya manusianya, kualitas masyarakat dan kualitas arah pembangunan daerah tersebut. Desa Malasin memiliki masyarakat yang cerdas, hal tersebut didukung dengan sarana pendidikan yang memadai. Berikut gambaran sarana pendidikan yang ada di desa Malasin.
Tabel 4. Sarana Pendidikan yang ada di desa Malasin
No Sarana Pendidikan Jumlah Persentase
1 TK 1 20 %
2 SD 1 20 %
3 Pesantren 1 20 %
4 SLTP 1 20 %
5 SLTA 1 20 %
6 Perguruan Tinggi - 0 %
Jumlah 5 100 %
Sumber, Kantor Kepala Desa Malasin Tahun 2006
Dari tabel di atas, terlihat bahwa sarana pendidikan sudah memadai, karena daerah ini merupakan Ibu Kota Kecamatan Simeulue Barat. Meskipun demikian tidak menjamin semua masyarakat bebas buta huruf, sampai sekarang masih ada masyarakat desa Malasin yang buta huruf dan tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Berikut ini gambaran pendidikan masyarakat desa Malasin.
Tabel 5. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Masyarakat desa malasin
No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase
1 Belum Sekolah 129 10,60 %
2 Tidak Tamat SD 152 12,5 %
3 SD 198 16,28 %
4 SLTP 227 18,66 %
5 SLTA 476 39,14 %
6 Perguruan Tinggi 34 2,79 %
Jumlah 1.216 100 %
(44)
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa masyarakat desa Malasin memiliki tingkat pendidikan yang baik. Hal ini disebabkan fasilitas dan sarana pendidikan pada daerah ini cukup menunjang sebagaimana dijelaskan pada tabel 4 di atas. Kondisi demikian sesuai dengan pernyataan Kepala Desa Malasin Bapak. Aliaman (wawancara 14 Juni 2007) yaitu dengan tersedianya fasilitas dan sarana pendidikan yang cukup mendukung tersebut, mengakibatkan tingkat pendidikan masyarakat semakin meningkat dan masyarakat semakin termotivasi untuk bersekolah. Menurut data tersebut, bahwa mayoritas masyarakat desa Malasin berpendidikan SLTA, SLTP dan SD. Tingginya jumlah masyarakat yang berpendidikan SD adalah untuk katagori penduduk lanjut usia, yang pada saat sebelumnya fasilitas dan sarana pra sarana pendidikan masih minim sehingga banyak yang bersekolah sampai pada jenjang Sekolah Dasar saja.
5. Agama.
Dalam hal agama, masyarakat desa Malasin seluruhnya beragama Islam. walaupun masyarakatnya majemuk terdiri dari berbagai suku bangsa yakni suku Aceh, Jawa dan Nias. Adapun jumlah tempat peribadatan agama Islam di desa Malasin yakni Mesjid sebanyak satu buah dan Mushallah (Surau) sebanyak 6 buah.
6. Kesehatan.
Sarana kesehatan merupakan hal yang sangat pokok bagi masyarakat terutama yang berada dipedesaan. Sarana kesehatan di desa Malasin cukup memadai, dimana dari dulu di desa tersebut telah berdiri sebuah puskesmas. Hal ini juga ditunjang dengan tersedianya beberapa orang tenaga ahli kesehatan. Namun yang menjadi keluhan masyarakat adalah masih mahalnya biaya
(45)
pengobatan dan juga harga obat, sehingga bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah banyak memilih berobat alternatif atau tradisional.
7. Sosial Budaya.
Masyarakat desa Malasin merupakan masyarakat yang majemuk (heterogen). kemajemukan tersebut terlihat dari beranekaragamnya suku yang mendiami wilayah ini seperti suku Aceh, Jawa dan Nias. Berikut gambaran suku bangsa yang mendiami desa Malasin :
Tabel 6. Klasifikasi Penduduk Desa Malasin Berdasarkan Suku Bangsa
No Jenis Suku Jumlah (Jiwa) Persentase
1 Aceh 1026 84,37 %
2 Jawa 127 10,44 %
3 Nias 63 5,18 %
Jumlah 1216 100 %
Sumber, Kantor Kepala Desa Malasin Tahun 2006
Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa suku Aceh merupakan suku mayoritas masyarakat desa Malasin dengan jumlah 1026 orang atau 84,37 %, kemudian disusul suku Jawa 127 orang atau 10,44 % dan suku Nias sebanyak 63 orang atau 5,18 %.
Namun demikian, meskipun suku Aceh sebagai suku asli dan mayoritas tetapi bahasa yang digunakan penduduk desa Malasin bukan bahasa Aceh namun bahasa Dialeg Sigulai yang sangat jauh berbeda dengan bahasa Aceh asli. Kemajemukan tersebut memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan perekonomian di desa tersebut. Hal ini ditandai dengan semangat etos kerja masyarakat untuk bekerja atau berusaha. Sesuai dengan pernyataan Kepala Desa Malasin Bapak Aliaman (wawancara 14 Juni 2007) bahwa masyarakat desa Malasin memiliki semangat kerja yang tinggi dimana semua lahan yang mereka punyai dimanfaatkan dengan baik bahkan di areal pekarangan rumah merekapun
(46)
ditanami dengan tanaman muda seperti cabe, terong, tomat dan lain-lain, sehingga untuk kebutuhan dapur sebagian sudah terpenuhi. Selama ini mereka agak malas karena masih banyak sumber alam yang bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu sifat keterbukaan masyarakatnya membuat daerah ini cepat terjadinya pembauran yang ditandai dengan banyaknya terjadi perkawinan antar daerah dan sebagainya.
Sesungguhnya kalau dilihat dari kondisi wilayah dan masyarakat desa Malasin, maka daerah ini sangat berkualitas dan akan cepat berkembang. Akan tetapi hal tersebut harus didukung dengan kualitas dan pelaksanaan kinerja yang baik dari pemerintah desa Malasin terutama dalam hal penetapan keputusan desa.
B. Gambaran Umum Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Musyawarah Desa dan Pemerintahan Desa Malasin
1. Badan Permusyawaratan Desa Malasin
Menjelang akhir tahun 2003, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 13 tahun 2003, Pemerintah Kabupaten melalui pihak Kecamatan menginstruksikan kepada Kepala Desa Malasin agar menyelenggarakan rapat desa dan membentuk panitia pemilihan anggota Badan Permusyawaratan Desa. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue, anggota Badan permusyawaratan Desa dipilih dari calon-calon yang diajukan oleh kalangan adat, agama, organisasi sosial politik, golongan profesi, dan unsur pemuka masyarakat lainnya. Selain itu jumlah anggota BPD ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan dengan ketentuan jumlah penduduk Sampai dengan 500 orang ditetapkan sebanyak 5 orang anggota, jumlah penduduk 501 s/d 1.000 orang
(47)
ditetapkan sebanyak 7 orang anggota, jumlah penduduk 1.001 s/d 1.500 orang ditetapkan sebanyak 9 orang anggota dan jumlah penduduk lebih dari 1.500 orang ditetapkan sebanyak 11 orang anggota. Dengan ketentuan tersebut berarti desa Malasin yang penduduk berjumlah 1.216 jiwa, maka jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa sebanyak 9 orang.
Sejalan dengan itu maka Kepala Desa Malasin mengadakan rapat desa dan membentuk panitia pemilihan anggota Badan Permusyawaratan Desa. Panitia tersebut melakukan proses pemilihan dengan menjelaskan persyaratan yang telah ditetapkan pada Perda dan hasil keputusan musyawarah desa, dimana perwakilan anggota BPD untuk masing-masing dusun berdasarkan jumlah penduduk pada dusun tersebut. Menurut ketentuan tersebut diadakan pemilihan anggota BPD oleh masing-masing pada seluruh masyarakat desa Malasin yaitu empat dusun dengan jumlah kursi yang diperebutkan 9 kursi dan akhirnya berjalan dengan sukses. Pada tanggal 7 Februari 2004 dikeluarkan Surat Keputusan Bupati Simeulue No. 141/035/SK TA-PEM/2004 tentang pengesahan pimpinan dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (waktu itu Badan Perwakilan Desa) desa Malasin. Dengan keluarnya Surat Keputusan tersebut berarti terbentuklah BPD desa Malasin sebagai parlemen desa yang kuat secara hukum dan kuat secara fakta karena dipilih secara demokratis.
1.1.Struktur Organisasi Badan Permusyawaratan Desa Malasin
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 tahun 1999 dan Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 13 tahun 2003 pasal 8, bahwa jumlah anggota BPD ditentukan berdasarakan jumlah penduduk desa yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut :
(48)
e. Jumlah penduduk Sampai dengan 500 orang ditetapkan sebanyak 5 orang anggota.
f. Jumlah penduduk 501 s/d 1.000 orang ditetapkan sebanyak 7 orang anggota.
g.Jumlah penduduk 1.001 s/d 1.500 orang ditetapkan sebanyak 9 orang anggota.
h.Jumlah penduduk lebih dari 1.500 orang ditetapkan sebanyak 11 orang anggota.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa Malasin untuk periode 2004 s/d 2010 adalah berjumlah sembilan orang karena jumlah penduduk 1.216 jiwa.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 13 tahun 2003 pasal 9 dan 11, maka pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari :
a. Ketua b. Wakil Ketua
c. Dalam pelaksanaan tugasnya pimpinan BPD dibantu oleh secretariat BPD. Secretariat BPD sebagaimana dimaksud dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Kepala Desa atas persetujuan pimpinan BPD dan bukan dari perangkat desa.
Badan Permusyawaratan Desa Malasin dibagi atas bidang-bidang yang terdiri dari tujuh bidang yang disesuaikan dengan kondisi desa. Untuk menegaskan tata laksana kerja, maka setiap anggota BPD memiliki kedudukan, tugas dan fungsi sebagai berikut :
(49)
1. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Ketua BPD :
- Mewakili BPD dalam hal menghadiri rapat, undangan dan lain-lain. - Memimpin rapat-rapat BPD.
- Bekerjasama dengan Kepala Desa dalam memajukan sebuah kebijakan. - Memiliki hak prerogratif menempatkan anggota BPD pada bidang-bidang
yang telah tersedia.
2. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Wakil Ketua BPD :
- Menggantikan tugas Ketua BPD dalam menjalankan organisasi jika berhalangan.
- Mengkonsolidasi anggota BPD secara intern.
- Menggantikan Ketua dalam mewakili BPD ke konteks eksternal, misalnya undangan, seminar dan lain-lain.
3. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Sekretaris BPD :
- Tempat penyimpanan arsip, data dan rahasia BPD. - Sebagai notulen dalam rapat BPD.
- Menjalankan roda organisasi bersama Ketua dan Wakil Ketua BPD. 4. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Bidang Pembangunan :
- Memberi saran dan pendapat penyelenggaraan pembangunan desa dalam musyawarah pembangunan desa dan kegiatan adminisrasi pembangunan desa.
- Memberi saran pendapat tentang pemanfaatan dana pembangunan desa (DPD/K) pada setiap tahun anggaran untuk kepentingan pembangunan desa, prasarana pertanian, prasarana sosial dan prasarana umum.
(50)
- Mengawasi pencatatan administrasi serta mempersiapkan bahan guna pembuatan Daftar Usulan Proyek/Daftar Usulan Kegiatan serta mencatat daftar isian proyek (daftar isian kegiatan dari hasil musyawarah pembangunan yang disampaikan kepada pemerintahan kecamatan).
- Mempersiapkan program kerja pembangunan desa dalam setiap tahun anggaran.
- Mempersiapkan sidang komisi pembangunan pada setiap triwulan dalam mempersiapkan PERDES tentang pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan pinjaman kepada lembaga keuangan.
5. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Bidang Ekonomi :
- Memberikan saran dan pendapat kepada Kepala Desa tentang urusan perekonomian, pendapatan dan kekayaan desa.
- Mengawasi administrasi pelayanan perkembangan kondisi perekonomian di desa (koperasi, perekonomian/perkreditan dan lembaga-lembaga perekonomian lainnya).
- Mengawasi pelaksanaan tra ulang timbangan, pelayanan terhadap masyarakat dalam hal permohonan izin usaha, izin bangunan masyarakat dan pelaksanaan pengutipan retribusi desa.
- Mempersiapkan rancangan PERDES tentang pendapatan dan kekayaan desa dan iuran pembangunan fasilitas umum di desa.
- Mempersiapkan sidang komisi pada setiap triwulan. 6. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Bidang Keagamaan :
- Memberikan saran dan pendapat kepada Kepala Desa tengan
(51)
- Menganjurkan dan mengajak masyarakat agar menerapkan Syariat Islam dalam hal cara berpakaian, berperilaku, bergaul dan selalu bersikap ramah tamah.
- Mengupayakan agar selalu memakmurkan Mesjid, Langgar dan Meunasah dengan shalat secara berjamaah.
- Mengupayakan selalu menghidupkan pengajian setiap malam, dan sekaligus mengatur jadwal pengajian tersebut.
- Memperingati hari-hari besar Islam (PHBI). - Mengadakan perlombaan pengajian tingkat desa. 7. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Bidang Sosial :
- Mengadakan gotong royong umum untuk pembersihan seluruh desa. - Mengunjungi dan memberikan bantuan kepada famili/anggota masyarakat
yang sakit dan yang ditimpa musibah.
- Membantu dan menyantuni anak yatim dan fakir miskin.
- Meningkatkan kesadaran, rasa sosial dan tenggang rasa di tengah-tengah masyarakat.
- Menerapkan rasa harga-menghargai, hormat-menghormati dalam masyarakat.
- Meningkatkan rasa kekeluargaan yang harmonis. 8. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Bidang Kepemudaan :
- Memberikan saran dan pendapat kepada Kepala Desa dalam rangka penyelenggaraan pembinaan organisasi pemuda dan olah raga.
- Melaksanakan inventarisasi organisasi pemuda dan olah raga ditingkat desa.
(52)
- Menyusun program kerja pembinaan organisasi pemuda dan olah raga setiap tahun anggaran.
- Melaksanakan program kerja pembinaan organisasi pemuda dan olah raga kepada instansi yang berwenang dalam rangka pembinaan generasi muda, baik melalui instansi propinsi, kabupaten maupun kecamatan.
- Mengikuti even/turnamen olah raga untuk seluruh cabang olah raga yang ada.
- Pengadaan saran dan prasarana kepemudaan dan sarana olah raga. 9. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Bidang Kewanitaan
- Memberi saran dan pendapat kepada Kepala Desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa dalam hal pemberdayaan perempuan dan pemberdayaan masyarakat desa.
- Menyusun program kerja Kepala Desa dalam rangka pemberdayaan perempuan masyarakat desa.
- Mengadakan pendidikan dan latihan bagi pemberdayaan perempuan dan masyarakat desa.
- Mengadakan kontak dan kerjasama kepada instansi dinas terkait dalam rangka pelaksanaan program kerja pemberdayaan perempuan dan masyarakat desa.
- Menggali sumber-sumber pendapatan desa dan kekayaan desa dengan melibatkan unsur perempuan sebagai potensi desa yang harus dikembangkan.
- Mengadakan kerjasama dengan pihak PKK dalam hal pembinaan kepandaian putri/perempuan di pedesaan.
(53)
- Mensosialisasikan 10 program pokok PKK dan kelompok Dasawisma. - Menghimbau dan mengajak ibu-ibu PKK agar selalu berbusana muslimah
dan menutup aurat serta senantiasa ikut berpartisipasi dalam pembangunan desa.
10. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Bidang Adat Istiadat :
- Memberi saran dan pendapat kepada Kepala Desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa dalam hal penyelenggaraan adat istiadat di desa.
- Melestarikan kesenian tradisional yang ada di desa dan mengembangkan adat budaya suku-suku yang ada di desa.
- Mengajak masyarakat agar selalu melaksanakan dan mentaati adat istiadat yang berlaku di desa.
- Menetapkan sanksi/hukuman kepada warga masyarakat yang melangggar norma adat istiadat.
- Ikut berperan dalam mensukseskan kelancaran acara adat istiadat yang sedang berlangsung/diselenggarakan oleh anggota masyarakat.
2. Lembaga Musyawarah Desa Malasin
Lembaga Musyawarah Desa (LMD) desa Malasin terbentuk berdasarkan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Setelah UU No. 5 tahun 1979 tersebut diimlementasikan, Pada tahun 1981 di desa Malasin dibentuklah Lembaga Musyawarah Desa sebagai lembaga yang menampung aspirasi masyarakat. Pada saat itu, desa Malasin dipimpin oleh seorang kepala desa yaitu Bapak. Zulkifli R (alm), dan Lembaga Musyawarah Desa Malasin tersebut
(54)
berakhir dan diganti dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setelah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1979 Pasal 17, yang dimaksud dengan Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan/ permufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan dan Pemuka-pemuka Masyarakat di Desa yang bersangkutan. Selain itu, dalam UU tersebut disebutkan juga bahwa yang menjadi ketua Lembaga Musyawarah Desa adalah Kepala Desa langsung dan yang menjadi Sekretaris Lembaga Musyawarah Desa adalah Sekretaris Desa setempat.
Sedangkan menurut Permendagri No. 2 tahun 1981, bahwa Lembaga Musyawarah Desa adalah Lembaga permusyawaratan/permufakatan yang keanggotaannya terdiri dari kepala-kepala dusun, Pimpinan lembaga-lembaga musyawarah desa dan pemuka-pemuka masyarakat desa yang bersangkutan. Yang dimaksud pemuka-pemuka masyarakat adalah pemuka-pemuka masyarakat yang diambilkan antara lain dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial politik dan golongan profesi yang bertempat tinggal di desa dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun tujuan pembentukan Lembaga Musyawarah Desa menurut Permendagri No. 2 tahun 1981 adalah untuk memperkuat pemerintahan desa serta mewadahi perwujudan pelaksanaan demokrasi pancasila di desa. Pembentukan Lembaga Musyawarah Desa dan keanggotaannya dimusyawarahkan / dimufakatkan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan. Setelah melakukan musyawarah/mufakat, hasil musyawarah
(55)
disampaikan oleh kepala desa kepada Bupati/Walikota madya Kepala Daerah Tingkat II melalui camat untuk mendapatkan pengesahan.
Kedudukan, tugas dan fungsi Lembaga Musyawarah Desa menurut Permendagri No. 2 tahun 1981 pasal 5 adalah :
1. Lembaga Musyawarah Desa dalam susunan organisasi pemerintah desa adalah sebaga wadah permusyawaratan/permufakatan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa.
2. Lembaga Musyawarah Desa mempunyai tugas untuk menyalurkan pendapat masyarakat di desa dengan memusyawarahkan setiap rencana yang diajuka oleh kepala desa sebelum ditetapkan menjadi keputusan desa. 3. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, Lembaga
Musyawarah Desa mempunyai fungsi melaksanakan kegiatan-kegiatan musyawarah/mufakat dalam rangka penyusunan keputusan desa.
Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga musyawarah Desa menurut Permendagri No. 2 tahun 1981 pasal 6 adalah :
1. Keanggotaan Lembaga Musyawarah Desa terdiri atas kepala-kepala dusun, pimpinan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan.
2. Jumlah anggota Lembaga Musyawarah Desa adalah sedikit-dikitnya 9 orang dan sebanyak-banyaknya 15 orang tidak termasuk ketua dan sekretaris.
Sedangkan pada pasal 7 dijelaskan bahwa yang adapat menjadi anggota Lembaga Musyawarah Desa adalah Warga Negara Republik Indonesia yang :
(56)
b. Setia dan taat kepad pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 c. Berkelakuan baik, jujur, adil, cerdas dan berwibawa
d. Tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam sesuatu kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, seperti G 30 S/PKI dan atau kegiatan-kegiatan organisasi terlarang lainnya
e. Tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan pasti
f. Tidak sedang menjalankan pidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan pasti, karena tindak pidana yang dikenakan ancaman pidana sekurang-kurangnya 5 tahun
g. Terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal tetap di desa yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama 2 tahun terakhir dengan tidak terputus-putus
h. Sekurang-kurangnya telah berumur 25 tahun i. Sehat jasmani dan rohani
Lembaga Musyawarah Desa (LMD) Desa Malasin terdiri dari beberapa seksi, yaitu terdiri dari 10 seksi. Dimana dari setiap seksi tersebut mempunyai tugas dan fungsi masing-masing yang telah ditetapkan, seksi-seksi Lembaga Musyawarah Desa Malasin adalah sebagai berikut :
1. Seksi Pembangunan, dengan tugas dan fungsi :
- Merencanakan dan melaksanakan pembangunan jalan dan jembatan desa - Melaksanakan pengaturan rumah-rumah penduduk dan melakukan
(57)
2. Seksi Pendidikan, dengan tugas dan fungsi :
- Menghimbau kepada masyarakat agar seluruh anak-anak disekolahkan dan wajib mengenyam pendidikan
3. Seksi Ekonomi, dengan tugas dan fungsi :
- Memprogramkan jadwal turun ke sawah untuk swasembada beras
- Memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk membuka kebun masyarakat
4. Seksi Kepemudaan, dengan tugas dan fungsi : - Mengajak pemuda untuk berolah raga
- Mengajak pemuda untuk mengikuti kegiatan sosial
- Membimbing kepemudaan untuk mengurangi kenakalan remaja 5. Seksi Agama, dengan tugas dan fungsi :
- Mengajak masyarakat untuk mendalami agama
- Menginfentarisasikan, menjaga dan memelihara serta membagikan harta-harta agama seperti zakat, tanah wakaf, rumah ibadah dan lain-lain
- Melaksanakan/memperingati Hari Besar Islam (PHBI) bersama anggota masyarakat
6. Seksi PKK, dengan tugas dan fungsi :
- Mensosialisasikan 10 program pokok PKK - Menerapkan Dwifungsi Ibu
- Melaksanakan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) setiap bulan - Melaksanakan pengajian ibu-ibu setiap hari Jum’at
(1)
Semua hal ini didukung oleh jawaban responden pada kuesioner penelitian dan wawancara dengan masyarakat.
Walaupun demikian ada beberapa kekurangan yang dimiliki oleh LMD, kekurangan tersebut yakni dengan dibatasinya kewenangan LMD pada saat itu. Lembaga Musyawarah Desa memang ikut berperan dalam proses pengambilan kebijakan di desa, tetapi perlu digaris bawahi hak dan wewenang dalam menentukan arah kebijakan sepenuhnya masih berada pada tangan eksekutif desa. Fungsi legislasi yang diususng oleh LMD hanya sebatas rekomendator yang berarti LMD hanya memiliki fungsi sebagai pemberi masukan, saran, alternatif bagi pengambilan kebijakan sehingga posisi yang dimiliki oleh LMD sangatlah lemah. Namun kelemahan ini ternyata tidak menjadi penghalang bagi LMD untuk mengimplementasikan diri sebagai lembaga representasi masyarakat.
Meskipun pada saat ini Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan kewenangan yang lebih telah dihadirkan untuk menutupi kelemahan yang muncul pada saat Lembaga Musyawarah Desa (LMD) khususnya dalam proses legislasi atau dalam pengambilan kebijakan, namun yang diperlukan dalam hal ini adalah tataran implementasi dilapangan, mudah-mudahan Badan Permusyawaratan Desa ke depan dapat menjadi lembaga yang benar-benar mengakomodir seluruh aspirasi masyarakat dengan wewenang yang telah dibekali oleh UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 72 tahun 2005.
(2)
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini khusus untuk BPD Periode 2004-2010 karena BPD Periode 2004-2010 merupakan lembaga perwakilan masyarakat yang ada di desa Malasin pada saat ini yang sedang menjalankan tugasnya ke depan, penulis berharap bahwa dengan saran yang penulis tawarkan ini BPD Desa Malasin Periode 2004-2010 dapat berperan lebih efektif dalam proses pengambilan kebijakan di desa Malasin. Adapun saran yang dapat peneliti tawarkan kepada BPD Desa Malasin Periode 2004-2010 dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengefektifkan proses pengambilan kebijakan khususnya dalam pemerintahan desa Malasin, maka dapat ditempuh dengan memaksimalkan peranan semua pihak yang terlibat baik dari BPD, Kepala Desa, maupun masyarakat melalui pengaktifan kembali pertemuan, musyawarah desa, serta membentuk forum bersama pemerintah dengan masyarakat desa secara informal.
2. Kemudian untuk mengatasi kendala-kendala dalam proses pengambilan kebijakan, saran yang penulis tawarkan yakni :
- Sosialisasi yang intens mengenai eksistensi Badan Permusyawaratan Desa sehingga masyarakat dapat mengetahui bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari lembaga tersebut.
- Untuk menuju anggota Badan Permusyawaratan Desa yang profesional, maka harus ada bentuk kompensasi, insentif atau ada bagi hasil antara Pemerintahan Kabupaten dengan Pemerintahan Desa mengenai Pemerintahan Desa, mengenai iuran PBB/retribusi lainnya sehingga
(3)
mekanisme akuntabilitas dapat berjalan sesuai dengan hak dan kewajiban yang diberikan dan hal ini diatur dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten. - Memberdayakan anggota Badan Permusyawaratan Desa dengan
mengadakan pelatihan (training) atau mungkin studi banding agar tingkat pengetahuan dan sumber daya manusia dapat terasah, selain itu pola rekrutmen yang menjaring bakal calon harus benar-benar selektif.
- Perbanyak peraturan-peraturan yang mengatur hubungan horizontal dan kemitraan antara Badan Permusyawaratan Desa dengan Kepala Desa sehingga dapat meminimalisir konflik yang mungkin terjadi.
- Kematangan dan kedewasaan harus ditunjukkan eksekutif desa dalam menerima perubahan-perubahan yang terjadi demi penciptaan masyarakat yang mandiri.
- Political will yang telah ditunjukkan oleh pemerintah dengan hadirnya Badan Permusyawaratan Desa harus diikuti political action dari pemerintah yakni berupa aturan, mekanisme yang jelas dan transparansi mengenai tugas dan fungsi dengan memperbanyak petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sebagai pedoman untuk mengambil tindakan.
3. Untuk mengefektifkan peranan Badan Permusyawaratan Desa di tengah masyarakat desa Malasin, maka usaha yang dilakukan adalah :
- Tingkat keterwakilan (representasi) anggota Badan Permusyawaratan Desa harus diimplementasikan secara benar khususnya menyangkut proses rekrutmen.
- Karya nyata harus diperlihatkan Badan Permusyawaratan Desa di tengah kehidupan masyarakat khususnya keberpihakan terhadap kepentingan
(4)
masyarakat sehingga dengan mudah lembaga tersebut memperoleh simpati.
- Pendekatan bersifat birokratis harus dihapuskan di lembaga BPD untuk lebih memudahkan komunikasi masyarakat dengan wakil-wakilnya.
- Anggota Badan Permusyawaratan Desa harus memiliki niat yang tulus untuk membangun desa, memiliki pengetahuan, tanggap terhadap perubahan, memiliki sifat yang dapat dijadikan teladan serta memahami betul karakteristik kultur masyarakat suatu desa.
- Buat masyarakat menjadi bagian penting Badan Permusyawaratan Desa sehingga dapat merangsang secara simultan peran aktif masyarakat menuju era perubahan.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James E, Public Policy Making, New York: Holt, Renehart and Winston, 1975.
Bouman, B.J, Pengantar Penelitian Kebijakan, Yayasan Kasinius, Yogyakarta, 1978.
Budiarjo, Miriam, Pengantar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.
Dunn, N. William, Pengantar analisa Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2000.
Easton, David, Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik, Bina Aksara, Jakarta, 1994.
Jones, Charles O, Pengantar Kebijakan Publik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Singarimbun, Masri, Metode Penelitian Survey, LP3S, Jakarta, 1989. Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 2005. Tangkilisan, Manajemen Publik, Grasindo, Jakarta, 2005.
Widjaja, H.A.W, Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa Menurut UU No. 5 tahun 1979, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
---, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, RAJAWALI PERS, Jakarta, 2004.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1981 tentang Pembentukan Lembaga Musyawarah Desa
Permendagri No. 1 tahun 1981 tentang Susunan Organisasi Tata Kerja Pemerintah Desa Dan Perangkat Desa
(6)
Permendagri No. 3 tahun 1981 tentang Keputusan Desa
Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 13 Tahun 2003 tentang Pedoman Pembentukan Badan Perwakilan Desa
Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 14 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan Dan Pemberhentian Kepala Desa
Peraturan Daerah Kabupaten Simeulue No. 17 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa