Wilayah dan Masyarakat di Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara

3.1 Wilayah dan Masyarakat di Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara

3.1.1 Gambaran umum Kabupaten Mandailing Natal

Wilayah dari Natal masuk pada wilayah administratif Kabupaten Mandailing Natal yang berada pada bagian selatan Provinsi Sumatera Utara.

0 Secara Geografis 0 0 10‟-1 50‟ Lintang Utara dan 98050-100010‟ Bujur Timur dengan ketinggian antara 0 – 2.145 MDPL. Batas-batas wilayah Kabupaten

Mandailing Natal antara di utara berbatasan dengan kabupaten Tapanuli Selatan, arah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, arah timur dengan Kabupaten Padang Lawas, arah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Pusat ibukota Kabupaten Mandailing Natal berada di Kota Penyabungan yang memiliki pembagian wilayah administratif terdiri atas 23 Kecamatan dan 407 Desa/Kelurahan. Luas Wilayah dari Kabupaten Mandailing Natal seluas 662.070 Ha. Bentang wilayah Kabupaten Mandailing Natal terdiri atas gugusan pegunungan dan perbukitan yang dikenal dengan nama Bukit Barisan yang terbagi menjadi beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal. Wilayah Natal secara umum merupakan wilayah muara sungai Batang Natal dan berbatasan dengan garis pantai yang menghadap ke Samudera Hindia. 47

Berdasarkan aspek demografi, Kabupaten Mandailing Natal memiliki 23 wilayah kecamatan dengan rata-rata persebaran penduduk sebanyak 62 jiwa/km2 dan rata-rata penduduk per desa sejumlah 1.010 jiwa. Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal (2012) sebanyak 410.931 jiwa. Pada tahun 2012, laju pertumbuhan penduduk di kabupaten ini adalah 0,54%. Terdapat 97.566 KK dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Wilayah dari Kabupaten

47 Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, Profil Kabupaten Mandailing Natal, 2014, hal 3.

Mandailing Natal merupakan sebuah daerah penyangga antara dua komunitas yang berbeda sistem kekerabatannya antara Batak Angkola di Tapanuli Selatan dengan Minangkabau yang berada di Sumatera Barat. Kabupaten Mandailing Natal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999. Adapun dalam rangka mensosialisasikan nama akronim bagi Kabupaten Mandailing Natal yaitu dengan ditetapkannya akronim sebagai „Kabupaten Madina‟ melalui surat keputusan bupati tertanggal 24 April 1999 No.100/253.TU/1999. Ketika diresmikan, Kabupaten Mandailing Natal baru memiliki 8 Kecamatan, 7 kelurahan dan 266 Desa. Sampai pada akhir Tahun 2010, Kabupaten Mandailing Natal terdiri atas 23 Kecamatan, 27 Kelurahan dan 377 Desa.

Dalam strategi pembangunan, Kabupaten Mandailing Natal memiliki visi dan misi. Visi nya adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera yang berkeadilan, demokratis, berdaya saing dan maju. Pembangunan masyarakat sebagai fokus utama dan sasaran akhir dari kegiatan pembangunan melalui pengembangan pelayanan dalam segala segi kehidupan masyarakat. Sedangkan misinya pihak Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal menyuarakan bahwa keberhasilan pembangunan tidak hanya dilihat dari aspek pertumbuhan dan perkembangan yang ada, namun sejauh mana pemerintah daerah mampu menciptakan kondisi masyarakat hidup dengan layak dan mampu meningkatkan taraf hidup secara berkesinambungan sebagaimana yang berbunyi “Terwujudnya Masyarakat Mandailing Natal yang Religius, Cerdas, Sehat, Maju dan Sejahtera”. Selain visi, terdapat juga misi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Mandailing Natal. Hal tersebut muncul dari pemahaman bahwa misi kabupaten Mandailing Natal sebagai perwujudan dari keinginan masyarakat menyatukan langkah dan gerak dalam mencapai visi yang ada. Beberapa poin penting di dalam misi itu antara lain 48 :

a. Meningkatkan kualitas kehidupan beragama

b. Meningkatkan akses pendidikan yang berkualitas

c. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan pelayanan sosial

d. Meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi, hukum, politik

e. Pembangunan dan pemerintahan, serta

48 Ibid., Hal 4.

f. Pemberdayaan masyarakat dengan kelembagaan kearifan lokal Wilayah yang berkontur pegunungan dan adanya aliran sungai yang mengaliri beberapa wilayah pemukiman penduduk, menunjukkan air sebagai unsur yang vital bagi masyarakat di Mandailing Natal. Masyarakat Natal memiliki permukiman yang berada pada dekat dengan sumber dan aliran sungai. Pentingnya air bagi masyarakat Natal terlihat dari kegiatan masyarakat yang memanfaatkan air dari aliran sungai Batang Natal yang melewati pemukiman penduduk di Natal. Dengan segala hal kehidupan masyarakat yang menyangkut air, hal tersebut menandakan air sebagai kebutuhan penting vital bagi masyarakat Natal.

3.1.2 Aspek sosial dan budaya dari Masyarakat di Mandailing Natal

Aspek kearifan lokal juga dipandang sebagai bagian dari fungsi budaya masyarakat desa sebagaimana diatur di dalam Pasal 95 ayat (2) UU No. 6 Tahun 2016 tentang Desa. Salah satu bagian dari aspek sosial dan budaya dari masyarakat di Mandailing Natal adalah kearifan lokal (local wisdom) yang berdampingan dengan konsep kearifan lingkungan ( ecological wisdom) . Bentang alam yang terdiri atas pegunungan dan dialiri sungai – sungai membentuk karakter masyarakat Mandailing Natal dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Sebelum abad ke 20, pada dasarnya masyarakat lokal di Mandailing Natal sudah lama mengenal konsep konservasi sumber daya alam seperti konsep lubuk larangan yang sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat di Mandailing Natal.

Air sebagai unsur yang vital bagi masyarakat dapat dilihat sebagaimana gambaran situasi pada beberapa desa di sekitar Penyabungan seperti Desa Kayu Laut, Singengu Jae, Singengu Julu, dan Purba Baru yang tampak dikelilingi hutan hijau dan aliran sungai kecil. Selain desa-desa tersebut, memasuki kawasan yang terletak pada Kecamatan Lembah Sorik Merapi, terdapat sebuah Pesantren yaitu Pesantren Musthafawiyah atau dikenal oleh masyarakat Mandailing Natal sebagai Pesantren Purba. Salah satu yang dikenal dari pesantren ini adalah pondok para santri laki-laki yang berupa pondok – pondok kecil yang letaknya berada di sepanjang aliran sungai Batang Natal. Para santri dari pesantren sangat bergantung dengan sumber air yang berada pada aliran sungai seperti mulai dari wudhu, kegiatan MCK, hinggakebutuhan akan rekreasi.

Salah satunya kearifan lokal di wilayah desa tersebut adalah lubuk larangan yang diterapkan pada pengelolaan sumber daya air sebagaimana terdapat di aliran sungai sebagai suatu model pengelolaan atas sebagian aliran sungai di wilayah suatu desa. Penerapan lubuk larangan ini dilakukan dengan memberlakukan seperangkat aturan pelarangan misalnya adanya larangan penangkapan ikan dan mencemari air yang berada pada sepanjang aliran sungai lubuk larangan. Aliran air sungai dinamakan masyarakat setempat dalam bahasa setempat Aek Singolot, yang artinya aliran dengan kontur berbatu dan air yang masih cukup bersih dan layak digunakan oleh sebagian masyarakat. Istilah yang berkembang di masyarakat lokal desa tersebut dikenal dengan rarangan yang artinya larangan. Objek wilayah yang diterapkan seperti di wilayah hutan (arangan rarangan), wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang melarang aktivitas menangkap ikan dan aktivitas lainnya yang berada di wilayah hulu sungai. Lubuk larangan di terapkan pada suatu tempat atau kawasan yang dilarang untuk dimasuki, atau harus berlaku hati-hati di kawasan tersebut, disebut naborgo - borgo oleh masyarakat lokal Mandailing Natal. Larangan tersebut diterapkan dengan menanamkan kepercayaan spiritual maupun non-spiritual berupa aspek konservasi terhadap masyarakat di daerah yang bersangkutan. 50

Pengelolaannya dilakukan secara kolektif atau bersama anggota masyarakat desa setempat. Pengelolaan lubuk larangan di desa –desa tersebut dilakukan di aliran Sungai Batang Gadis yang menjadi bagian dari wilayah kedua desa, yaitu pada sekitar 900 meter dari sekitar satu kilometer panjang aliran sungai yang melintasi desa. Selain tata kelola sumber daya alam, dilaksanakan dengan daya dukung dari tata kelola lingkungan sosial yang ada pada masyarakat desa yang

bersangkutan. 51 Pergaulan sosial antara warga kedua desa boleh dikatakan menyatu ke dalam satu komunitas. Bahkan pengelolaan lubuk larangan sebagai

bentuk praktik kearifan lokal dilakukan secara bersama – sama yang sudah berlaku sejak lama oleh warga masyarakat dari kedua desa. Bentang alam yang merupakan perbukitan serta tempat tinggal penduduk desa berbatasan dengan

50 Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kearifan Lokal Masyarakat Mandailing Natal

dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam dan lingkungan Sosial, 2012, hal 8 – 10. 51 Ibid., hal 45 – 47.

aliran sungai yang airnya digunakan untuk berbagai keperluan dari penduduk setempat seperti kebutuhan mendasar rumah tangga, untuk irigasi tradisional lahan pertanian ( Bondar Saba sebagai bahasa masyarakat lokal setempat). Adanya kearifan lokal tergambar pada hamparan persawahan dialiri air dari sebuah irigasi tradisional (Bondar Saba) yang bersumber dari sungai Batang Gadis. Pengelolaan irigasi ini juga dilakukan secara kolektif dengan suatu sistem yang sudah berlaku lama bahkan sejak sebelum adanya model pengelolaan lubuk larangan di sungai. Dalam pengelolaannya, lubuk larangan dikelola oleh sebuah kelompok yang dibentuk melalui musyawarah desa yang diberi tugas khusus dalam melaksanakan seluruh tahapan pengelolaan terhadap kearifan lokal dengan dukungan partisipasi aktif dari anggota masyarakat.

Selain diterapkan pada aliran sungai, konsep lubuk larangan juga diterapkan pada kawasan hutan yang dikenal sebagai hutan larangan (harangan rarangan). Penerapan hutan larangan tersebut disertai dengan kepercayaan mistik apabila memasuki dan mengambil sesuatu di wilayah hutan larangan akan membawa malapetaka bagi yang melanggarnya. Masyarakat diarahkan untuk percaya larangan-larangan yang diterapkan. Keberadaan areal hutan terlarang biasanya dilegitimasi oleh adanya unsur-unsur kepercayaan, misalnya kepercayaan penduduk bahwa bagian tertentu dari wilayah hutan mereka tabu untuk dimasuki atau dibuka untuk lahan pertanian. Kepercayaan yang ditanamkan berupa tempat- tempat tertentu di dalam kawasan hutan dihuni oleh makhluk-makhluk halus (begu) yang bisa mengganggu manusia. Tempat-tempat seperti itu dinamakan “naborgoborgo”. Kepercayaan demikian merupakan bentuk kearifan lokal bercorak religio-magis yang fungsional untuk menjaga kelestarian sumberdaya, karena tempat-tempat yang disebut “naborgo - borgo” tersebut biasanya merupakan kawasan mata air, atau daerah resapan air, yang vital dalam pemeliharaan tata air bagi komunitas penduduk di sekelilingnya. 52

Terkait penjelasan sebelumnya, dapat diketahui gambaran kebudayaan masyarakat dalam pengelolaan SDA di Mandailing Natal. Potensi ketersediaan dari air cukup penting untuk mendukung kebutuhan mendasar dan perkembangan khususnya bagi masyarakat di Natal seperti pada sektor air minum, sanitasi,

52 Ibid., Hal 50.

irigasi, transportasi, maupun untuk kepentingan strategis yang dengan sektor SDA. Wilayah Kota Kecamatan Natal yang berada di daerah pesisir yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Dalam memenuhi akses kebutuhan mendasar atas, kebutuhan masyarakat berkaitan dengan sumber mata air dan sungai. Sebagian dari masyarakat Natal memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani yang tentunya berhubungan dan bergantung dengan air yang berada pada aliran Sungai Batang Natal. Wilayahnya berbatasan dengan laut dan aktivitas transportasi kapal yang bersinggungan langsung dengan aktivitas masyarakat atas aliran air sungai yang berdampak pada terancamnya ketersediaan sumber air bersih yang kurang mengakomodir kebutuhan masyarakat Natal.

Penanganan lebih lanjut dibutuhkan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal terkait persoalan akses air yang dihadapi. Adanya kearifan lokal di desa - desa di lereng kaki gunung Sorik Marapi di Mandailing Natal, seharusnya menjadi contoh dalam penerapannya pada masyarakat di Natal. Dari sisi kelembagaannya, pada masyarakat Natal kearifan lokal tidak diterapkan di lapangan. Masyarakat lokal Natal tidak memiliki partisipatisi yang aktif terhadap persoalan akses terhadap sumber air. Dengan Demikian, mengingat pentingnya tata kelola sumber daya alam, perlu dibentuk dan dikembangkan tata kelola lingkungan sosial sebagai faktor pendukung dalam memberdayakan masyarakat agar lebih peka dan melibatkan para pihak yang berkepentingan di dalam pendayagunaan air dalam menanggapi masalah akses terhadap air yang sifatnya vital.