Analisis Ilmu Fiqih tentang Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
sunnah Nabi Muhammad SAW untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum
Islam.
22
Ilmu fiqih juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan masyarakat, dan dengan alam di
sekitarnya sesuai dengan lima hukum Islam taklifi: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.
Hubungan ilmu fiqih dengan lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada wilayah hukum-hukumnya semata, akan tetapi juga berhubungan dengan
kapasitanya sebagai dasar pembentukan hukum secara universal. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri oleh para ahli fiqih, bahwa metode-metode fiqih yang
terkenal telah melahirkan bahasan dalam berbagai literatur yang amat banyak yang dalam bahasan-bahasan itu menyinggung pentingnya memberikan perhatian
terhadap lingkungan hidup, serta bagaimana Islam mengatur dan memeliharanya. Karena di dalamnya dipaparkan prinsip-prinsip pemeliharaan lingkungan dengan
amat terpuji. Di antara prinsip-prinsip yang sangat terkenal dalam ilmu fiqih dan yang
lebih khususnya lagi termaktub dalam ilmu qawaid fiqhiyyah mengenai masalah
22
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakata: Raja Grafindo Persada, 1998, cet. Ke-6, h. 49
ﻻ ﺰ
ار ّﺮ
ﻀ ﻟا
pemeliharaan lingkungan hidup adalah prinsipkaidah kemadharatan, kesulitan atau bahaya harus dihilangkan.
23
Qa’idah tersebut kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al- syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan
kemudharatan atau setidaknya meringankannya.
24
Di mana qa’idah tersebut dibangun berdasrkan Q.S Al-Baqarah 2:195.
=t† β θΖ¡mρ π3=κJ9 ’ 3ƒ‰ƒ θ=? ωρ ≅‹6™ ’û θΡρ
٩ :
ةﺮ ﻘﺒﻟ
ا ∩⊇®∈∪ ⎦⎫Ζ¡sϑ9
Artinya:‘‘Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.’’
Selain itu kaidah tersebut didasarkan kepada hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abi Sa’id Al-Hudri:
‘‘Tidak boleh berbuat dloror bahaya dan membalas perbuatan bahaya
kepada orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka
23
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pngentar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, cet. Ke-2, h. 70
24
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah- Masalah Yang Praktis,
Jakarta: Kencana, 2007, cet. Ke-2, h. 67
Allah akan berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa mempersulit
kepada orang lain, maka Allah akan mempersulit dia.’’
ار ّﺮ
ﻀ ﻟا
Pengertian menurut al-Nadawi sebagaimana dikutip dalam buku
Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqih karangan Ahmad Sudirman Abbas
adalah‘‘berbuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak, mendatangkan
kerusakan terhadap orang lain dengan cara yang tidak diijinkan oleh agama. Sedangkan tindakan perusakan terhadap orang lain yang diijinkan oleh agama
seperti qiyas, diyat, had, dan lain-lain tidak dikategorikan berbuat kerusakan tetapi untuk mewujudkan kemaslahatan.
25
Dari kaidah universal ini kemudian dibagi kembali ke dalam kaidah-kaidah parsial sbagai kumpulan metode yang telah disepakati oleh para ahli fiqih. Di
antara kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
“Menghindari kesulitan harus didahulukan atas menarik kemaslahatan.” Yang dimaksud
ﺪ ﺎ
درءا
adalah menghilangkan atau melenyapkan sesuatu yang merusak. Jika terjadi tarik menarik antara sesuatu yang merusak
dan sesuatu yang maslahah, maka menolak sesuatu yang merusak harus lebih didahulukan, walaupun untuk itu harus kehilangan peluang mendapatkan sesuatu
25
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqih, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004, h. 128
yang maslahah. Sebab kepedulian syariat Islam terhadap hilangnya kerusakan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan menciptakan sesuatu yang maslahah.
Kesungguhan syariat Islam dalam menghimbau untuk meninggalkan larangan, lebih diotoritaskan dari pada himbauan untuk melaksanakan perintah.
26
Qa’idah ini didasarkan hadis Nabi:
“Apabila aku perintahkan kamu sekalian melakukan sesuatu, maka lakukanlah sesuai kemampuan kamu, dan apabila uku larang kamu sekalian dari
suatu hal, maka jauhilah.”