Akibat Perceraian SEBAB DAN AKIBAT PERCERAIAN

33

D. Akibat Perceraian

Setelah perceraian terjadi maka timbullah akibat hukum dari perceraian yaitu iddah, nafkah dan pemeliharaan anak. Dilihat dari timbulnya masa iddah sebagai berikut : Dalam pasal 150 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa mantan suami berhak melakukan rujuk kepada mantan isterinya yang masih dalam masa iddah. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami pasal 153 Kompilasi Hukum Islam. Berarti seorang isteri tidak mempunyai masa iddah karena perceraiannya dilakukan sebelum melakukan hubungan suami isteri. Kemudian untuk janda yang waktu iddah atas putus perkawinannya karena khulu’, fasakh dan li’an berlaku iddah thalaq. Dalam hal nafkah adalah sebagai berikut : Mengenai nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada pasal 149 huruf a bahwa seorang suami wajib memberikan mut’ah yang layak bagi mantan isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali mantan isteri tersebut qobla dukhul . Jadi isteri yang cerai sebelum dukhul tidak berhak mendapatkan mut’ah dan di huruf b menjelaskan suami memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan isterinya selama masa iddah, kecuali mantan isterinya telah dijatuhi thalaq ba’in atau nuysuz dan dalam keadaan tidak hamil. Pada pasal 152 juga tersirat bahwa isteri tidak mendapatkan hak nafkah iddah dari 34 mantan isterinya karena nuysuz. Sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 241 : ☺ ☺ ☺ Artinya : Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa. Q.S. Al-Baqarah2 :241 Bagi seorang isteri yang dithalaq dalam keadaan masih mengandung dan menyusukan maka ia berhak mendapatkan nafkah dari suaminya sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat 6, yaitu : ⌧ ⌧ ☺ Artinya : Tempatkanlah mereka para isteri di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan jika mereka isteri-isteri yang sudah dithalaq itu sedang hamil. Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu. Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya. Q.S. at- Thalaq65 : 6 35 Dalam pasal 162 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa akibat perceraian karena li’an, bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebaskan dari kewajiban membayar nafkah. Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa fiqih disebut hadhanah. Hadhanah adalah memelihara seorang anak yang tidak bisa mandiri, kemudian mendidik dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudharat kepadanya. 41 Dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 41 diatur sebagai berikut : 1. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka pengadilan yang memberi keputusan. 2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 41 Ahmad Rafik M.A, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1998, cetakan ketiga, h. 247 36 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isteri. 42 Pada pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, dalam pemeliharaan anak juga diterangkan sebagai berikut : 1. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh : a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; b. Ayah; c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah; 2. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. 3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. 42 Ibid , h.282 37 4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri ± 21 tahun . 5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberi putusannya berdasarkan 1 sampai dengan 4 tersebut diatas. 6. Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. 43 Dari pembahasan pada bab ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa putusnya tali ikatan perkawinan dapat disebabkan oleh pihak suami dan pihak isteri serta putusan dari pengadilan. Perceraian yang datangnya dari pihak suami disebut thalaq, sedangkan yang datang dari pihak isteri disebut cerai gugat. Seorang suami dapat kembali lagi kepada mantan isteri dalam keadaan thalaq raj’i, sedangkan dalam thalaq ba’in harus dengan akad nikah yang baru, ini merupakan akibat dari hukum yang ditimbulkan dari putusnya tali ikatan perkawinan tersebut. 43 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : DEPAG RI, 2002, h.72

BAB III PROSEDUR PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA