Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman kondisi kehidupan masyarakat semakin sulit dan kompleks. Semua permasalahan yang dihadapi harus diselesaikan oleh setiap individu. Tapi kita harus menyadari bahwa kita adalah makhluk sosial dimana kita tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, manusia adalah makhluk sosial. Jika kita lihat sejak lahirpun manusia sudah membutuhkan pergaulan dengan orang lain yang memenuhi kebutuhan biologisnya, makan, minum dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi sosial dalam masyarakat sangatlah kompleks. Kita bisa temukan pada penderita HIVAIDS adanya perlakuan yang berbeda, seperti dijauhi, dikucilkan, adanya diskriminasi.. Hutapea; 2004. Jumlah penderita HIVAIDS memang mengalami peningkatan yang sangat tajam. Kasus ini meningkat 100 persen tiap bulannya. Hingga akhir Oktober 2009 di Jakarta sendiri tercatat 41.240 kasus. Terdiri dari pengguna narkotika suntik sebanyak 55 persen sebagian besar berusia muda, waria sebanyak 34 persen, PSK Pekerja Seks Komersial di lokalisasi sebanyak 10,2 persen dan PSK tidak langsung 5,7 persen www.kabarindonesia.com. Menurut data dari KPA Komisi Penanggulangan AIDS DKI Jakarta, jumah penderita HIVAIDS pada tahun 2008 meningkat 500 persen dari tahun 2 2000, penderita AIDS yang tercatat hingga bulan September 2008 sebanyak 3.761 orang, sedangkan pada tahun 2000 jumlahnya masih 700 orang. KPA DKI Jakarta memperkirakan berjumlah 25.000 orang penderita HIVAIDS remaja laki-laki berusia 19-25 tahun, 70 persen penularan HIVAIDS melalui jarum suntik, 29 persen melalui hubungan seks yang tidak aman dan sisanya diakibatkan dari tranfusi darah Rohana; 2009. Menurut Ruslan 2011 Penderita HIV AIDS di Jakarta Barat terus meningkat akibat menjamurnya tempat hiburan. Penyebabnya karena hubungan seks langsung atau tidak langsung dan pengguna jarum suntik yang terinfeksi virus HIVAIDS. Populasi resiko tinggi tahun 2011 di Jakarta Barat tercatat sebanyak 161.654 penderita HIVAIDS. Tahun 2010 jumlah Resiko tertinggi penderita HIVAIDS di Jakarta Barat, di Kecamatan Tamansari 105.380 penderita, kecamatan Grogol Petamburan 21.932 penderita dan terrendah di Kecamatan Cengkareng 2.524 penderita. Barat laporan dari beberapa LSM Peduli AIDS dari 1800 menjad 4756, wanita pekerja seks langsung 579 orang dan pekerja seks tidak langsung bekerja di hiburan.53,6 persen dintaranya hubungan seksual 39,3 persen pengguna narkoba suntik dan 2,6 persen penularan dari ibu bayi. Penderita HIVAIDS di Bali hingga Maret 2011 mencapai 4.314 kasus, 381 orang di antaranya meninggal dunia. Kota Denpasar menempati peringkat pertama dengan 1.931 kasus, di antaranya 171 orang meninggal atau persentasenya mencapai 44,76 persen. Kabupaten Buleleng dengan 941 kasus, 53 3 orang di antaranya meninggal dunia atau 21,81 persen dan Kabupaten Badung pada peringkat ketiga dengan 708 kasus, 67 orang di antaranya meninggal atau 16,41 persen. Selain itu Kabupaten Jembrana dengan 75 kasus, 17 orang di antaranya meninggal 1,74 persen, Tabanan 237 kasus, 27 orang di antaranya meninggal 5,49 persen dan Gianyar dengan 200 kasus, 24 orang di antaranya meninggal 4,54 persen. Sementara di Kabupaten Bangli penderita HIVAIDS tercatat 50 kasus, tujuh di antaranya meninggal 1,16 persen, Klungkung 58 kasus, tujuh di antaranya meninggal 1,34 persen dan Kabupaten Karangasem 114 kasus, delapan di antaranya meninggal 2,84 persen Suteja; 2011 . Seperti yang kita tahu, penyakit HIVAIDS adalah penyakit yang memang belum ditemukan obatnya. Para penderita hanya diberikan obat untuk memperlambat penyebaran virus dalam tubuh. Sebagian besar yang menderita HIVAIDS diantaranya PSK, pelaku homoseks, pengguna narkoba dengan jarum suntik, bayi yang terlahir dari ibu yang positif terinfeksi HIVAIDS dan pasangan suami istri yang terinfeksi HIVAIDS. Memang benar, fakta yang ada kebanyakan dari penderita HIVAIDS adalah orang-orang yang perilakunya secara moril bertentangan dengan norma agama dan masyarakat. Kadang mereka mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan baik dari lingkungan keluarga maupun teman. Meliputi cemoohan, hinaan dan bahkan sikap lain yang menunjukkan sikap tidak suka terhadap penderita HIVAIDS. Meskipun sudah 23 tahun sejak adanya kasus AIDS di Indonesia, sampai sekarang masih banyak masyarakat yang acuh tak acuh bahkan stigma mereka semakin negatif. Persepsi negatif masyarakat terhadap penderita HIVAIDS, 4 berdasarkan stimulus yang mereka terima. Stimulus ini salah satunya adalah melalui informasi yang masyarakat terima tentang HIVAIDS sehingga terbentuk stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap penderita HIVAIDS. Menurut Walgito 2003 persepsi adalah suatu proses yang didahulukan oleh penginderaan. Penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Keadaan individu dapat mempengaruhi hasil persepsi, ada dua sumber yang mempengaruhinya yaitu yang berhubungan dengan segi kejasmanianfisiologis dan yang berhubungan dengan segi psikologis. Apabila sistem fisiologisnya terganggu, hal tersebut akan berpengaruh pada persepsi seseorang. Sedangkan segi psikologis yaitu mengenai pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, motivasi akan berpengaruh pada seseorang yang akan melakukan persepsi. Menurut Chaplin 2004 stigma adalah satu cacat atau cela pada karakter seseorang. Sedangkan menurut Green dalam Cholil; 1997 stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma dalam penelitian ini adalah stigma yang yang di berikan masyarakat terhadap penderita HIVAIDS. Menurut Merati dalam Cholil; 1997 ada beberapa kasus di lingkungan masyarakat yang diakibatkan kurangnya pengetahuan tentang HIVAIDS. Contoh kasus pertama adalah sebagai berikut: dokter-dokter dan paramedis di bagian unit gawat darurat sudah sangat sering mendapatkan penyuluhan tentang bagaimana cara penularan HIVAIDS dan bagaimana cara pencegahan penularan di rumah sakit dalam pekerjaan sehari-hari. Semua mengetahui hanya dengan meraba dan 5 memeriksa pasien AIDS tidak akan terjadi penularan, tapi apa yang terjadi setelah memeriksa seorang pasien yang menyatakan dirinya seorang HIV positif? begitu mendengar pernyataan pasien, dokter tersebut segera mencuci tangannya berulang-berulang dengan sabun baru kemudian duduk dan meneruskan kembali dengan pasien. Jadi tidak terpikir dahulu untuk melakukan pemeriksaan dan pembicaraan dengan pasien tersebut karena ketakutan dan ingin segera mencuci tangannya seolah-olah dokter takut tertular. Memang antara sikap dan pengetahuan belum konsisten. Contoh kasus lain adalah terulangnya pembakaran kasur dan alat-alat bekas pakaian pasien AIDS dari satu provinsi ke provinsi lain. Pada tahun 1987 RSUD Sanglah, Bali telah membakar segala peralatan dan pakaian bekas pasien AIDS, yang kemudian hal tersebut disadari tidak perlu. Tetapi kurang lebih lima tahun setelah itu terdengar keadaan serupa dilakukan oleh rumah sakit lain di Sumatera. Dengan membaca contoh kasus di atas, jelas sekali terjadi diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat, bahkan di lingkungan kesehatan seperti rumah sakit. Disadari atau tidak, semakin kurang informasi tentang HIVAIDS semakin besar diskriminasi yang akan terjadi. Hal ini berkembang karena mitos-mitos tidak segera dikoreksi sehingga terjadi pengertian dan pemahaman yang salah terhadap HIVAIDS. Walaupun diketahui HIVAIDS ditularkan akibat perilaku, tetapi tanpa disadari atau tidak masyarakat melakukan diskriminasi terhadap orangnya, terutama diwujudkan pada kelompok-kelompok tertentu seperti homoseksual, PSK dan pecandu narkotik. 6 Pemahaman yang kurang tentang HIVAIDS di masyarakat perlu di minimalisir agar penangan HIVAIDS bukan dengan cara memerangi penderita HIVAIDS tetapi memerangi cara penyebaran virus HIV. Bila stigma masyarakat ataupun lingkungan sekitarnya negatif, beban penderitaan mereka akan semakin besar dan terakumulasi. Mereka harus mendapatkan perhatian yang serius dan dihindarkan dari kemungkinan untuk berputus asa dengan melakukan tindakan- tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama seperti mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri ataupun hal yang lainnya yang memang bertentangan dengan norma-norma atau aturan agama. Karena pada dasarnya penyakit ini tidak menular melalui interaksi. Sesungguhnya, diskriminasi terhadap penderita HIVAIDS bukan saja melanggar hak-hak asasi manusia, melainkan juga sama sekali tidak membantu usaha mencegah penyebaran virus HIVAIDS secara cepat dan luas. Stigma dan diskriminasi keduanya menjelma sebagai penghalang terbesar bagi penanganan penyerbaran HIVAIDS. Banyak dari masyarakat yang menganggap siapapun yang sudah terkena HIVAIDS harus dijauhi dan kehadirannya pun dalam lingkungan tidak diinginkan. Jika kita ingat aliran psikologi humanistik yang dipelopori oleh Abraham Maslow, ada 5 hierarki kebutuhan manusia salah satunya adalah rasa ingin dihargai dan menghargai. Jika penghargaan dari orang lain tidak terpenuhi dan kehadirannya pun dalam lingkungan tidak diinginkan maka akan menghambat proses aktualisasi diri. Dalam hal ini pemerintah wajib melindungi hak-hak penderita HIVAIDS sama seperti terhadap warga Negara lainnya. 7 Mengapa stigma ini terjadi, ada tiga sumber. Pertama: ketakutan, semua tahu HIVAIDS adalah penyakit infeksi yang tidak ada obat untuk menyembuhkannya. Kedua: moril, penyakit HIVAIDS sering terkait dengan seks bebas dan penyalahgunaan obat terlarang atau obat bius, kutukan Tuhan dengan alasan bahwa ODHA Orang Dengan HIVAIDS adalah orang-orang yang telah melanggar norma agama. Ketiga: ketidak acuhan oleh media masa, adanya ketakutan dan pikiran moril pembaca Green, dalam Cholil; 1997. Diskriminasi terhadap mereka harus dikikis dengan cara memastikan bahwa hak-hak mereka terhadap layanan dan fasilitas kesehatan diakui dan dilindungi, untuk diperlakukan sebagai orang yang sedang sakit dan bukan orang yang membawa penyakit. Ada stigma yang negatif dari masyarakat dan adanya perlakuan yang kurang menyenangkan baik dari keluarga maupun masyarakat. Jika stigma terhadap mereka sudah melekat, biasanya akan mempengaruhi interaksi mereka dengan masyarakat, hasil penelitian yang dilakukan oleh Waluyo, dkk 2007 dikutip dari hasil wawancara peneliti dengan penderita HIVAIDS, menyebutkan bahwa stigma yang di berikan masyarakat membuat penderita HIVAIDS menjadi tertutup atau tidak terbuka. Karena pada dasarnya interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Pertemuan orang perseorangan secara badaniah tidak akan terjadi pergaulan hidup dalam kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perseorangan atau kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara dan seterusnya. Untuk mencapai satu tujuan bersama, mengadakan persaingan, 8 pertikaian dan sebagainya, maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses sosial, pengertian menunjukkan pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis Soekanto; 2004. Sedangkan menurut Walgito 2003 interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan yang lainnya, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik, hubungan tersebut dapat antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Kita harus menyadari interaksi sosial pada penderita HIVAIDS atau ODHA sangat penting, karena dengan berinteraksi akan membangun kepercayaan diri dan optimisme dalam menghadapi hidup di masa yang akan datang serta meningkatkan kualitas hidup mereka. Fenomena ini yang menstimulasi dan memotivasi bagi penulis untuk memahami dan mengkaji lebih dalam hubungan persepsi ODHA terhadap stigma HIVAIDS Masyarakat dengan interaksi sosial pada ODHA dengan lingkungannya dan mengangkat judul “Hubungan Persepsi ODHA Terhadap Stigma HIVAIDS Masyarakat Dengan Interaksi Sosial Pada ODHA ”.

1.3. Identifikasi Masalah