Angkringan sebagai unsur tradisional tempat interaksi sosial masyarakat perkotaan (studi deskriptif analisis di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan)

(1)

Tangerang Sselatan)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Risyda Azizah

NIM. 11100015000107

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(2)

Pamulang Barat Kecamatan Pamulang Tangerang Selatan MENYATAKAN DENGAN SE SUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang

berjudul

Angkringan Sebagai

Unsur

Tradisional Tempat

Interaksi Sosial Masyarakat Perkotaan (Studi Deskriptif Analisis

Di

Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan) adalah benar hasil karya sendiri

di

bawah bimbingan dosen:

NIM

Jurusan

Alamat

Nama Pembimbing I

NIP

Jurusan/Program

Nama Pembimbing II

NIP

Jurusan/Program

I I 10015000107

PendidikanTlmu Pengetahuan Sosial (lPS)

Jl. Surya Kencana Gg Kemuning

v

No 14 RT 05/06 Kelurahan

Dr. Ulfah Fajarini, M.Si

19670828 t99303 2 006

Pend idikan IPS/Sosiologi

Cut Dhien Nourwahida, MA

19791221 200801 2 016

Pend idikan IPS/Sosiologi

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakafta, 22 Januari2015 Yang Menyatakan


(3)

'

Tdngerang Selatan) Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Risyda Azizah

NIM:

1110015000107

Mengesahkan,

Cut Dhien Nourwahida, MA I\[P. 19791221 200801 2 016

Jurusan Pendidikan llmu Pengetahuan Sosial

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2015 Pembimbing I

Dr. UlfaNFajarini, M.Si NrP. 19670828 199303 2 006


(4)

Deskriptif Analisis

di Kecamatan Pamulang,

Kota Tangerang

Selatan) disusun oleh RISYDA AZIZAH NIM I I10015000107, diajukan kepada Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqosah pada tanggal 24 Maret 2015 di hadapan

dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjana

Sl

(S.Pd) dalam Pendidikan IPS.

Jakafta,2 April2015 Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi) Dr. Iwan Purwanto. Itzl.Pd

NIP: I 9730424200801 I 012

Sekertaris (Sekertaris Jurusan/Prodi) Drs. Svaripulloh. M.Si

NIP: I 9670909200701 I 033

Penguji I

Maila Dinia Husni Rahim. MA.

NIP: I 97 803 I 42006042002 Penguji II

NIP: I 976111 8201 I 0l I 006

Dekan

'*:l:fly.,


(5)

iii

Analisis di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan),

Penelitian ini menjelaskan angkringan sebagai usaha informal perkotaan yang menggunakan unsur-unsur tradisional. Penelitian ini berupaya mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana kuliner angkringan. Pada kenyataannya angkringan bukan hanya sebagai tempat untuk melepas dahaga dan lapar. Ada fungsi-fungsi sosial lain yang hadir di dalam angkringan, seperti tepo seliro atau tenggang rasa, serta melatih kejujuran masyarakat. Angkringan juga merupakan salah satu tempat terjadinya interaksi sosial secara tidak sengaja dan terjadi diantara para pengunjung angkringan yang memiliki berbagai macam latar belakang.

Penelitian ini mengamati tiga angkringan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, untuk menunjang proses pencarian data secara lebih mendalam. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan wawancara dan observasi yang dilakukan sejak Januari 2014. Wawancaradan observasi terutama dilakukan pada tiga pedagang yang terdiri dari dua pedagang angkringan tradisional dan satu pedagang angkringan modern. Serta sembilan orang keseluruhan informan yang diambil dari tiga orang pengunjung dari tiap-tiap angkringan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa angkringan merupakan tempat interaksi sosial masyarakat perkotaan yang mampu menimbulkan dan menunjukan bahwa pada dasarnya semua manusia itu sama dalam perbedaan-perbedaan yang dimiliki.


(6)

iv

Elements of The Urban Communities Social Interaction (Descriptive Study Analysis in District of Pamulang, South Tangerang City). A Bachelor Thesis of Education Consentration at Tarbiyah and Teacher’s Training of State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

This study describes Angkringan as the urban informal businesses that use traditional elements. This study seeks to describe what and how Angkringan culinary is. In fact Angkringan is not only a place to quench your thirst and hunger. But also having social functions that are present in Angkringan, such as teposeliro or tolerance, also habituating honesty in community. Angkringan also one of the places of ‘unintentional’social interaction which occurred among the visitors who have a wide variety of backgrounds.

This study observed three Angkringan’s. this study used a qualitative research method, in order to process the data deeper. Data collection techniques in this study were using interviews and observations. The participants of this research are three merchants two traditional Angkringan vendors and a modern Angkringan merchant, And nine visitors of those three angkringan (three visitors per angkringan).

This study concluded that Angkringan is a place where social interaction of urban comunities happened and giving an athmosphere of respect where equal.


(7)

v

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Angkringan Sebagai Unsur Tradisional Tempat Interaksi Sosial Masarakat Perkotaan (Studi Deskriptif

Analisis di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan)”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasullah SAW, keluarga dan sahabatnya.

Skripsi ini tidak mungkin selesai sebagaimana mestinya tanpa ada bantuan dari semua pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu peneliti menghaturkan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA serta para pembantu dekan.

2. Ketua Jurusan Pendidikan IPS, Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd beserta seluruh staf.

3. Dosen pembimbing, Ibu Dr. Ulfah Fajarini, M.Si dan Ibu Cut Dhien Nourwahida, MA yang telah sabar membimbing dan memberikan ilmu dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya kepada peneliti, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat di kemudian hari.

5. Pakdhe Yono, mas Min dan Ibu Yanti yang telah memberikan izin dan membantu peneliti dalam proses penelitian skripsi ini. Semoga sukses selalu.

6. Staf dari KESBANGPOLINMAS Tangerang Selatan dan Staf Kecamatan Pamulang yang telah memberikan bantuan pada peneliti

7. Kedua Orangtua Bapak Agus Mukhtar Rosyidi dan Ibu Nur Izzah orangtua yang sangat super sekali sudah membesarkan peneliti dan dengan sabar serta tabah masih mengakui peneliti sebagai anaknya, terimakasih selalu


(8)

vi

seluruh anggota Bani Tamim, Bani Anshor yang selalu mendoakan, memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta memberikan pertanyaan-pertanyaan kapan lulus dan kapan nikah kepada peneliti.

9. Keluarga besar SosioAntro 2010 terimakasih untuk semua pengalaman yang tak terlupakan semoga kita selalu dilindungi oleh Allah SWT

10.Muh Ria yang tidak bosan-bosannya membimbing, mensupport, memarahi, ketawa, berantem, musuhan, perhatian kepada peneliti dan semua keamazingan ini love you bang. Terimakasih sudah mencetuskan ide awal skripsi ini. Mama Ipeh my another mom.

11.Sahabat-sahabat di kampus (Celia, Ines, Ninna, Tuti, Nesa, Deli, Epi, Nadia, Embong). Professor Ibnu Mustaqim, dessti.

12.Anak untung-untungan sahabad di dalam dan luar lapangan futsal(Galuh, Movi, Dita Dini dan aul) yang hadir di saat-saat kritis penulis, makasih loh. Terus seru-seruan ya, udah lama ga ayo. Ditunggu terus sparingannya. 13.Stupweds kids (Momo, Ryouma, Ryota, Om Alice, Lore, Mela, Mekel)

youre amazing, guys.

14. Seluruh anggota Ladies Futsal UIN Jakarta. Seluruh anggota Komunitas Sepeda Sehat UIN Jakarta yang sudah memberikan refreshing dan dukungan untuk peneliti.

15.Aqyal Kazhir dan ka Nani yang direcokin oleh peneliti. Geng Opek (Nunung, Lisa,Tari, Tias, Nopi, husnul, Jay, Dara)

16.Serta seluruh orang-orang yang telah dimintai doa nya oleh peneliti yang bahkan peneliti sendiri pun tidak mengingatnya karna terlalu banyak. Maaf bumi untuk kertas-kertas yang peneliti buang secara biadab nya.


(9)

vii

itu, saran dan kritik yang membangun peneliti butuhkan dan akan ditindaklanjuti demi kesempurnaan penelitian di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua yang telah membacanya.

Jakarta, Januari 2015


(10)

viii

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR DENAH ... xi

DAFTAR ISTILAH ... xii

BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 5

C.Pembatasan Masalah ... 5

D.Perumusan Masalah ... 6

E.Tujuan Penelitian ... 6

F.Manfaat Penelitian ... 6

BAB II: KAJIAN TEORI A.Kajian Teori ... 8

1. Angkringan ... 8

2. Interaksi Sosial ... 13

a. Teori Perspektif tentang Interaksi Sosial ... 13

1. Tindakan Sosial... 13

2. Interaksionisme Simbolik ... 13

b. Pengertian Interaksi Sosial ... 14


(11)

ix

a. Teori Perspektif tentang Masyarakat ... 24

1. Perspektif Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik ... 24

b. Pengertian Masyarakat ... 24

c. Masyarakat Perkotaan ... 26

4. Kebudayaan ... 31

a. Teori Perspektif tentang Kebudayaan ... 31

1. Perspektif Fungsionalis ... 31

2. Perspektif Marxian ... 32

b. Pengertian Kebudayaan ... 32

c. Bentuk-Bentuk Kebudayaan ... 33

d. Unsur Tradisional Kejawaan ... 34

B.Hasil Penelitian yang Relevan ... 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 46

B.Metode Penelitian ... 46

C.Sampel dan Sumber Data Penelitian ... 47

D.Teknik Pengumpulan Data ... 49

E.Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 52

F.Pengecekan Keabsahan Data ... 53

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Pendahuluan ... 55

B. Profil Tempat ... 55


(12)

x

BAB V: PENUTUP

A.Kesimpulan ... 84 B.Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

x

Tabel 4.1 Jumlah Kelurahan dan Desa per Kecamatan

Kota Tangsel Penduduk di tiap RW ... 55 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan ... 56 Tabel 4.3 Panjang Jalan Menurut Kecamatan

dan Kondisi Jalan Tahun 2013 ... 57 Tabel 4.4 Luas Wilayah Kelurahan

di Kecamatan Pamulang Tahun 2013 ... 59 Tabel 4.5 Jumlah RT atau RW dan Nama Satuan

Lingkungannya Tahun 2014 ... 60 Tabel 4.6 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin

di Kecamatan Pamulang Tahun 2013 ... 61 Tabel 4.7 Komposisi Penduduk Kecamatan

Pamulang Berdasarkan Agama ... 66 Tabel 4.8 Usaha Kuliner Berbasis Kedaerahan

di Jakarta... 69 Tabel 4.9 Menu Makanan dan Minuman

di Angkringan Pakde Yono ... 78 Tabel 4.10 Menu Makanan dan Minuman

di Angkringan Mas Min ... 82 Tabel 4.11 Menu Makanan dan Minuman


(14)

(15)

xii

Jagongan yang artinya ngobrol atau bercengkarama • ngogelke ilate yang artinya menggoyangkan lidah • Sego istilah dalam Bahasa Jawa yang memiliki arti Nasi

Senthir istilah dalam Bahasa Jawa yang memiliki arti lampu tempel yang menggunakan bahan bakar minyak tanah

Kethel istilah dalam bahasa jawa tempat menyimpan air minum terbuat dari tanah liat

Pakdhe panggilan dalam bahasa Jawa biasanya untuk laki-laki yang lebih tua • Tepo Seliro artinya tenggang rasa, saling menghargai

• Istilah aja njiwit nek ora gelem dijiwit artinya jangan mencubit kalau tidak ingin dicubit


(16)

1 A. Latar belakang

Jakarta sebagai salah satu kota besar mempunyai daya tarik tersendiri bagi orang desa. Keterbatasan ekonomi menyebabkan tenaga kerja di desa harus mengambil pilihan rasional untuk mempertahankan hidup keluarganya. Maka hampir setiap tahunnya orang-orang dari desa berbondong-bondong pergi ke kota untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak di perkotaan. Walaupun pada kenyataannya kota Jakarta sangat sulit untuk memenuhi pelayanan masyarakat seperti perumahan, pekerjaan, dan transportasi yang memadai.

Menurut Hartomo dan Arnicun Aziz, “Tak bisa dibantah, bahwa kaum pendatang di kota benar-benar miskin. Kendatipun demikian, keadaan para migran ini jauh lebih baik dari keadaan mereka di pedesaan.”1 Inilah yang menyebabkan gelombang migrasi masuk terus meningkat. Faktor utamanya adalah dari segi ekonomi yang menjadikan para migran ini melakukan migrasi.

Pesatnya perkembangan kota Jakarta antara lain karena pengaruh globalisasi menarik imigran atau orang pendatang dari berbagai etnis yang ada di Indonesia termasuk suku Jawa untuk mencoba mencari peruntungan dengan mencari peluang kerja di Jakarta. Kedatangan pendatang selain menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk setiap tahun di Jakarta, juga menambah ragam budaya dari berbagai etnis yang ada di Jakarta.

Hal ini dikarenakan pendatang tersebut datang ke daerah yang di diami dengan membawa budaya lokalnya masing-masing dan budaya tersebut digunakan sebagai sarana untuk memperlihatkan bahwa mereka sebagai suatu kelompok etnis tertentu ada dan berkembang di lingkungan

1


(17)

masyarakat perkotaan. Berbagai macam jenis pekerjaan yang terdapat di Jakarta baik dari pekerjaan yang bersifat formal dan informal.

Salah satu peluang usaha yang dapat dikatakan tidak akan mati adalah usaha kuliner, seperti yang kita ketahui bahwa makan adalah kebutuhan sehari-hari yang penting bagi individu. Kuliner di sini dapat diartikan sebagai suatu kebutuhan hidup manusia yang berkaitan dengan kegiatan konsumsi. Kegiatan konsumsi ini dapat bersifat kompleks ketika bersinggungan dengan identitas budaya suatu masyarakat tertentu.

Semakin tingginya permintaan warga ibukota terhadap usaha kuliner maka, usaha kuliner dengan basis kedaerahan menjadi laku keras. Para pendatang ini biasanya rindu akan suasana dan masakan dari kampung halaman. Maka tidak jarang para pendatang mencari alternatif untuk mengatasi rindu akan kampung halaman dengan mengunjungi tempat makan yang menyajikan berbagai macam segala sesuatu yang terkait dengan daerahnya.

Fenomena seperti yang dikemukan di atas adalah menjamurnya usaha informal di bidang kuliner yang menggunakan identitas daerahnya sebagai bentuk alternatif untuk bersaing dari restoran-restoran yang berasal dari luar Indonesia. Melahirkan kembali semangat tradisional di perkotaan yang notabene dikelilingi oleh budaya barat atau luar. Jakarta dibangun oleh para pendatang, sehingga tak heran jika Jakarta dikatakan sebagai kota pendatang.

Banyak usaha kuliner tradisional yang sudah sejak lama ada di Jakarta dan berasal dari berbagai daerah, diantara yang sudah populer seperti Rumah Makan Padang, Warung Tegal (Warteg), Warung Sunda (Warsun), Sate Madura, Soto Lamongan, dan sebagainya. Namun, akhir-akhir ini usaha kuliner informal yang sedang berkembang dengan pesat serta digemari kaum urban adalah angkringan atau lebih terkenal dengan sebutan sego kucing. “Angkringan merupakan kaki lima makanan khas di


(18)

Yogyakarta.”2

Tempat seperti ini sangat banyak ditemui di daerah Solo dan Yogyakarta karena merupakan daerah asalnya. Seperti yang diketahui masyarakat Jawa adalah etnis yang paling banyak melakukan perpindahan dari desa ke kota. Dengan melihat peluang usaha angkringan sego kucing ini memiliki prospek untuk ke depannya akan bagus serta dapat dijadikan alternatif pekerjaan untuk mereka masyarakat Jawa yang merantau ke ibukota.

Angkringan merupakan gerobak penjual sego kucing, namanya memang unik namun ini tidak ada kaitannya dengan kucing. Sego kucing merupakan perumpamaan orang untuk nasi yang dijual hanya sekepal lalu ditambah dengan oseng ikan teri, telur puyuh dan biasanya ditemani oleh minuman wedang jahe ataupun kopi joss serta es teh manis. Sego kucing sangat melegenda hal ini dikarenakan harganya yang murah, tempat berjualan yang unik serta waktu berdagang dimulai dari malam hari hingga menjelang subuh.

Suasana angkringan yang hangat menjadikan para pengunjung merasakan ingin kembali datang ke angkringan. Interaksi yang terjadi di angkringan pun begitu berbeda dari tempat-tempat makan pada umumnya. Di dalam angkringan pengunjung mendapat sensasi yang berbeda meski dengan fasilitas yang sangat sederhana. Para pengunjung angkringan merasakan ketika berada di dalam angkringan semua orang melebur menjadi satu, tidak ada yang sibuk dengan kebiasaan bermain gadget masing-masing seperti yang seringkali di temui bila berkunjung ke tempat makan modern.

Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan yang ada di tempat makan modern saat ini. Para pengunjung yang datang ke tempat seperti ini pada umunya datang dengan beberapa temannya kemudian mereka hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melibatkan orang

2

Klara Puspa Indrawati “Pembentukan Ruang Kolektif Oleh Masyarakat (Studi Kasus : Angkringan Tugu Yogyakarta”,Skripsi pada Universitas Indonesia, 2012, h. 31, tidak


(19)

lain untuk berinteraksi. Pengunjung yang datang sendirian ke tempat ini hanya akan makan lalu pergi, karena akan terlihat aneh untuk seseorang yang datang sendirian lalu berlama-lama ditempat seperti ini.

Berdasarkan konsep kesederhanaannya angkringan menjadi salah satu ruang publik baru yang dimanfaatkan oleh warga kota untuk melakukan interaksi sosial dengan semangat kekeluargaan yang dimunculkan pedagang angkringan yang berasal dari Jawa dengan menggunakan simbol-simbol kedaerahan sehingga pengunjung yang juga kebetulan berasal dari Jawa dapat merasakan seperti berada di kampung halamannya.

Seringkali orang menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan sesuatu tentang diri mereka, begitupula dengan yang dilakukan oleh pedagang angkringan yang berada di Jakarta. Mereka menggunakan batik, blangkon, dan peralatan makan serta minum yang menunjukan bahwa mereka berasal dari Jawa. Selain simbol-simbol tersebut mereka juga masih menggunakan bahasa daerah asal mereka walaupun saat ini mereka sedang berada di Kota Jakarta.

Dengan menggunakan atribut kedaerahan di Kota Jakarta menjadi salah satu upaya eksistensi para pedagang yang berasal dari luar Kota Jakarta, selain itu penggunaan atribut daerah dapat dijadikan daya tarik para pedagang angkringan untuk menarik para pelanggan karena umumnya penduduk Jakarta mayoritas orang Jawa sehingga akan membuat mereka untuk datang karena rindu suasana kampung halaman.

Daerah Pamulang, kota Tangerang Selatan pun tak luput dari fenomena menjamurnya usaha informal dibidang kuliner. Saat ini banyak sekali usaha informal kuliner yang muncul di daerah pamulang. Bahkan tak jarang bila di malam hari jalanan di Pamulang macet, imbas dari banyaknya usaha kuliner yang ada di pinggir jalan. Angkringan di Pamulang saat ini sudah cukup banyak.


(20)

Tidak seperti 5 tahun yang lalu, hanya beberapa angkringan saja yang dapat dijumpai. Pertumbuhan yang sangat pesat ini terjadi setelah pemekaran Kota Tangerang Selatan dari Kabupaten Tangerang pada Oktober 2008. Letak geografis Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pada Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga provinsi DKI Jakarta.

Berdasarkan hal diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Angkringan Sebagai Unsur Tradisional Tempat Interaksi Sosial Masyarakat Perkotaan (Studi Deskriptif Analisis di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan)”.

B. Identifikasi Masalah

Masalah dalam penelitian kualitatif bertumpu pada suatu fokus. Tidak ada satu penelitian yang dapat dilakukan tanpa adanya fokus. Fokus itu pada dasarnya adalah sumber pokok dari masalah penelitian. Di dalam latar belakang masalah di atas ada beberapa masalah yang diungkapkan. Akan tetapi, permasalahan hanya difokuskan pada masalah

1. Faktor-faktor yang menyebabkan tumbuhnya usaha angkringan di Tangerang Selatan sebagai usaha informal masyarakat kota.

2. Peran simbolisme kejawaan dalam angkringan di Tangerang Selatan. 3. Peran angkringan sebagai tempat interaksi sosial di masyarakat kota

Tangerang Selatan.

4. Interaksi sosial yang terjadi di dalam angkringan

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penulis merumuskan pembatasan masalah pada:

1. Peran angkringan sebagai tempat interaksi sosial 2. Interaksi sosial yang terjadi di dalam angkringan.


(21)

Sesuai dengan judul penelitian yaitu, Angkringan Sebagai Unsur Tradisional Interaksi Sosial Masyarakat Perkotaan (Studi Deskriptif Analisis Di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan).

D. Perumusan Masalah

Bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam angkringan sebagai unsur tradisional masyarakat perkotaan?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan utama penelitian ini adalah, untuk mengetahui bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi di angkringan yang merupakan tempat makan berunsur tradisional di Wilayah Kecamatan Pamulang.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai banyak manfaat, antara lain: 1. Secara Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi dunia pendidikan, terutama para guru IPS untuk memanfaatkan nilai-nilai interaksi sosial yang terdapat pada tempat-tempat yang sebelumnya banyak orang yang belum mengetahuinya secara luas kemudian menjadikannya contoh kasus berkaitan dengan pelajaran sosiologi.

2. Secara Praktis a. Bagi masyarakat

Mencoba menggali lebih dalam mengenai potensi-potensi usaha informal angkringan yang dapat mempertahankan nilai-nilai kejawaan di tengah-tengah masyarakat Kota Tangerang Selatan yang sudah semakin heterogen.

b. Bagi Pemerintahan Daerah (Pemda)

Mampu berkontribusi baik bagi semua pihak yang bersangkutan. Dengan tema dari penelitian ini semoga ini juga dapat bermanfaat bagi Pemda Tangerang Selatan agar mampu


(22)

menangani masalah-masalah sosial yang ada di Tangerang Selatan seperti kemiskinan, urbanisasi, penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai serta pengaturan dan pengembangan usaha-usaha informal.

Bagi pengusaha kuliner informal dan pemerintah seharusnya bisa bekerjasama mengembangkan usaha-usaha kuliner berbasis kedaerahan guna menjadi salah satu daya tarik wisata di bidang kuliner bila ditata di tempat yang baik.

c. Bagi Institusi (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan keilmuwan sosial, baik bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun institusi-institusi lain, terutama studi tentang Sosiologi dan Antropologi. Sehingga secara umum dapat memberikan kontribusi bagi kajian Ilmu Pengetahuan Sosial. d. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi saya sebagai penulis untuk mengembangkan ilmu yang sudah penulis peroleh selama di perkuliahan. Dan dapat memberikan ilmu baru, berupa sebuah pengalaman yang berharga dan menambah wawasan peneliti dalam penggunaan metodologi penelitian, serta penelitian ini juga sebagai ajang sarana pelatihan diri untuk terbiasa meneliti masyarakat luar sebagai akademik di bidang Ilmu Pengetahuan Sosial.


(23)

8

BAB II

KAJIAN TEORI

A.Kajian Teori 1. Angkringan

Angkringan merupakan kaki lima makanan khas di Yogyakarta. “Angkringan merebak di Yogyakarta sebagai bentuk dari imbas krisis ekonomi yang melanda pada tahun 1997-1998. Usaha ini termasuk dalam usaha informal, yang berjenis warung kaki lima, menggunakan gerobak, dan bersifat bergerak atau mobile.”1

Kata angkringan berasal dari bahasa pergaulan Jawa, angkring atau nangkring yang memiliki arti duduk santai dan lebih bebas. Para pembeli yang duduk di bangku kayu memanjang di sekitar gerobak angkringan dapat mengangkat atau melipat satu kaki naik ke atas kursi.

Angkringan merupakan salah satu bentuk variasi dari kaki lima. Penjual kaki lima yang menggunakan pikulan juga dapat ditemui di daerah-daerah lain. Kaki lima pikulan yang menjual makanan dengan harga murah seperti angkringan dapat pula ditemui di Solo dan Klaten. Menurut Klara, “Masyarakat setempat menyebut kaki lima tersebut dengan nama hik, (hidangan istimewa kampung). Istilah ini masih digunakan di Solo, tetapi istilah yang populer di Yogyakarta adalah angkringan.”2

Pada awalnya, penjual angkringan tidak menggunakan gerobak dorongan beroda dua, melainkan pikulan yang terbuat dari belahan

1 Hanum, Musyri’

ah, Kiat Menekuni Bisnis Catering, Warung Tenda, Angkringan, (Yogyakarta: ABSOLUT, 2007), h. 198.

2

Klara Puspa Indrawati, “Pembentukan Ruang Kolektif Oleh Masyarakat (Studi Kasus : Angkringan Tugu Yogyakarta”, Skripsi pada Universtas Indonesia, 2012, h. 31, tidak dipublikasikan


(24)

batang bambu. Di kedua ujungnya digantungkan dua set perangkat, serta dilengkapi sebuah bangku untuk penjual. Satu set angkringan dilengkapi alat dan bahan minuman yang akan diolah, termasuk anglo atau tungku berbahan bakar arang. Sementara, set yang lain memuat bahan makanan siap saji yang hanya perlu dibakar kembali di atas tungku. Perlengkapan kios berjalan ini masih sangat sederhana mengingat frekuensi perpindahannya cukup tinggi.3

Konsep angkringan yang kita kenal kini adalah gerobak dorong dari kayu dengan tungku arang. Di atasnya ceret besar berjumlah tiga buah sebagai alat utama untuk menghidangkan bahan minuman. Tak lupa yang menambah suasana remang-remang eksotis adalah lampu minyak kaca semprong (lampu teplok) menerangi di tengahnya. Tempat duduk menggunakan kursi kayu panjang mengelilingi sekitar gerobak yang dinaungi terpal plastik gulung sebagai tenda. Perpaduan bersahaja ini menjadi estetika angkringan yang terbentuk melawan waktu dan perkembangan jaman. Meski begitu, inilah yang menjadi daya tarik luar biasa dari warung angkringan.4

Dengan konsep kebersahajaan ini warung angkringan mencoba menghadirkan berbagai pilihan menu kuliner yang bersahaja pula. Pertama adalah makanan berupa sego kucing. Nasi bungkus daun pisang dan koran berisi nasi seukuran kepal tangan disajikan bersama oseng tempe, sambel teri atau sambel terasi dan yang lainnya yaitu, gorengan, sate usus dan sate telur puyuh. Kedua adalah minuman berupa wedang jahe, susu jahe, teh panas dan goreng-gorengan. Kita dapat menikmatinya di waktu sore hari hingga subuh dini hari. Tidak terlalu mahal namun dapat merasakan makanan enak khas Jawa.

3

Ibid,. 4

Arbany Nurul Aini, Angkringan: Arena Demokrasi Masyarakat Pekotaan dengan Simbolisme Kejawaan (Studi Kasus: Tiga Angkringan di Jakarta), Skripsi pada Universitas Negri Jakarta, 2013, h 49, tidak dipublikasikan.


(25)

Dalam masyarakat Jawa mengenal tiga pola makan yaitu, makanan pokok, makanan sambilan, dan makanan jajanan. Sego kucing yang biasa dijajakan di angkringan termasuk dalam makanan sambilan yaitu makanan yang dimakan sebagai selingan makanan pokok. Biasanya angkringan yang ada di daerah Pamulang baru mulai buka pukul 17.00 hingga pukul 03.00. Mereka yang datang keangkringan biasanya hanya untuk melepas lelah setelah satu hari beraktifitas.

Ketertarikan masyarakat pada angkringan bukan karena hanya semata-mata dengan makanannya namun mereka terkadang lebih menikmati suasana santainya dengan pilihan tempat duduk yaitu menggunakan kursi atau lesehan menggunakan terpal atau tikar yang sudah disediakan. Perilaku konsumen bermacam-macam. Terkadang ada pembeli yang sekedar mampir dan membeli beberapa makanan serta minuman untuk di bawa pulang.

Tetapi banyak pula yang sengaja untuk makan dan bersantai di angkringan. Ada pula pembeli yang datang untuk menikmati hiruk pikuk jalan raya sambil makan dan minum di angkringan. Bagi para anak kost angkringan merupakan tempat penyelamat mereka dari kelaparan tetapi tidak menguras uang, karena harga makanan yang ada di angkringan termasuk murah dan rasanya pun enak, pilihan makanan yang ada di angkringan pun beragam jenisnya.

Dahulu warung angkringan hanya dapat ditemui di daerah-daerah tertentu saja, namun pada realitanya sekarang ini eksistensi angkringan sudah dapat dijumpai di kota-kota besar. Salah satu hal yang menarik di warung angkringan ini adalah suasana jagongan (ngobrol) yang santai dan penuh humor disertai dengan diskusi tentang berbagai hal, utamanya topik yang sedang menjadi perbincangan publik saat itu.


(26)

Mereka dengan bebas dapat melakukan pembicaraan tentang apa saja yang mereka ingin bicarakan. Dari masalah pribadi hingga masalah politik yang sedang terjadi di negeri ini. Keberadaan angkringan dapat ditempatkan sebagai ruang publik masyarakat di perkotaan, ruang publik dapat dipahami sebagai kesatuan ruang privat dimana orang-orang yang terdapat di dalamnya datang bersama-sama sebagai publik.

Melakukan anggapan bahwa ruang tersebut syarat diatur berdasarkan otoritas mereka untuk berpartisipasi dalam debat mengenai berbagai macam kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan. Angkringan dijadikan ruang untuk mengutarakan dan membicarakan aspirasi masyarakat tentang berbagai hal yang ada. Angkringan yang terkesan pinggiran, kini menjadi penanda kehidupan malam di sebuah kota.

Tidak ada yang istimewa dari apa yang disajikan di angkringan dari jenis makanan atau minuman. Karena semua yang tersaji adalah makanan wong cilik yang apa adanya. Tapi memang keunikan, keramahan, dan kehangatan di angkringan yang coba ditawarkan di kota lain yang juga sangat menghargai tradisi dan kesederhanaan. Dan pastinya, selama tungku masih menyala selama minuman hangat siap selalu untuk disajikan, maka selama itu pula keramahan dan keakraban suasana malam akan kita dapatkan.

Jadi, sekarang memang sudah tidak penting lagi mau angkringan asli Jogja atau tidak, asal bisa menawarkan keramahan dan makanan serta minuman dengan harga murah maka para pembeli akan berdatangan. Di angkringan orang boleh makan sambil tiduran, sambil mengangkat kaki, teriak atau mengeluarkan sumpah-serapah. Tetapi tak jarang, angkringan jadi ajang diskusi. Angkringan lebih banyak dikelola dan dikunjungi oleh pria.


(27)

Sejalan dengan budaya Jawa di bidang pertanian, sejak pengolahan sawah hingga panen, terdapat pembagian kerja antara pria dan wanita. Pria bertanggung jawab dalam menyiapkan sawah untuk ditanami dan mengatur pengairan. Perempuan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang bersentuhan langsung dengan tanaman padi, misalnya menanam dan mengetam padi.

“Pembagian kerja ini berlanjut hingga proses pengolahan makanan dan minuman. Di keraton, setiap jam 11 akan muncul rombongan pelayan perempuan dengan membawa berbagai jenis makanan dan rombongan pelayan pria akan datang dengan membawa berbagai jenis minuman. Wanita memiliki kapasitas sebagai penopang kehidupan, dalam relasinya dengan Dewi Sri, sehingga mereka bertanggung jawab untuk mengolah makanan dalam rumah tangga yang bersifat domestik. Pria diasosiasikan dengan air dan sifat yang cair, mereka mendapat tanggung jawab mengolah minuman yang kemudian berhubungan erat dengan makna relasi sosial”.5 Sebagian besar pengunjung datang ke angkringan dalam jumlah lebih dari satu orang sebab angkringan juga merupakan tempat untuk makan malam bersama. Sajian yang menemani pengunjung selama berjam-jam adalah aneka minuman. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun hadir sebagai kawasan kuliner malam hari, angkringan bukanlah tempat mengenyangkan perut seperti tempat makan pada umumnya.

Angkringan lebih merupakan tempat berlangsungnya interaksi sosial. Ketika pergi ke angkringan, pengunjung tidak perlu memilih jenis makanan yang ingin dimakan melainkan angkringan mana yang membuatnya lebih betah untuk berkumpul. Seperti yang digambarkan oleh Revianto bahwa, “angkringan adalah tempat menjual fast food, dalam artian cepat sekali menyajikan sekaligus slow food dalam antrian durasi menikmatinya”.6

5

Ibid., h.45 6


(28)

2. Interaksi Sosial

a. Teori Perspektif tentang Interaksi Sosial 1. Tindakan Sosial

Max Weber melihat bahwa pokok pembahasan sosiologi adalah tindakan sosial. Menurut Weber tindakan sosial adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Namun, tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, dan berorientasi pada perilaku orang lain.7

Suatu tindakan sosial akan terjadi apabila terdapat reaksi dari orang lain. Hal ini bersandar kepada sosial yang merupakan hubungan yang terjadi diantara sesama manusia. Suatu tindakan yang tidak berorientasi terhadap perilaku orang lain tidak dapat dikatakan suatu bentuk tindakan sosial.

2. Interaksionisme Simbolik

Teori interaksionisme simbolik ini berkembang pertama kali di Universitas Chicago dan juga dikenal sebagai aliran Chicago. Tokoh utamanya berasal dari berbagai Universitas diluar Universitas itu sendiri. George Herbet Mead secara rinci membahas hubungan antara seseorang, dirinya, dengan masyarakat. Teori interaksionisme simbolik adalah setiap isyarat nonverbal (body language, gerak fisik, baju, dan status) dan pesan verbal (seperti kata-kata dan suara) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang

7

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), h. 12


(29)

terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol mempunyai arti sangat penting.8

Suatu simbol mempunyai peranan penting, hal ini dikarenakan didalam suatu simbol terdapat makna yang terkandung. Bentuk-bentuk simbol terdapat dalam verbal dan nonverbal.

b. Pengertian Interaksi Sosial

Setiap orang mudah bergaul dengan orang lain melalui berbicara atau komunikasi, bersalaman, bercanda, bahkan bermusuhan itu semua merupakan tindakan yang dinamakan interaksi sosial. Maka hal tersebut merupakan intisari kehidupan sosial. Artinya, kehidupan sosial tampak secara jelas dalam berbagai cara pergaulan seseorang dengan orang lain.

Menurut Basrowi, “salah satu sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dan disitulah terjadi suatu hubungan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan dan keinginannya. Sedangkan untuk mencapai keinginan itu harus diwujudkan dengan tindakan melalui hubungan timbal-balik.”9

Dengan demikian, hampir semua kegiatan manusia dilakukan dengan orang lain. Landasan dari adanya hasrat tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “interaksi adalah hubungan sosial yang dinamis antara orang perseorangan, antara perseorangan dan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok.”10

8

Ibid, h. 22 9

Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h.138 10

Departemen Pendidikan Nasional, KamusBesar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 542


(30)

Sedangkan menurut Gillin dan Gillin) yang dikutip oleh Soekanto, bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial), oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.11

Seperti yang dikutip Yusron Razak, menurut Bonner “interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua orang lebih sehingga kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain dan sebaliknya.”12 Sedangkan menurut Young, “interaksi adalah kontak timbal balik antar dua orang lebih.”13

Dan menurut psikologi tingkah laku (behavioristic psychology), “interaksi sosial berisikan saling perangsang dan pereaksian antara kedua belah pihak individu.”14

Interaksi sosial bila di lihat lebih jauh lagi terbagi ke dalam beberapa jenis. Salah satunya adalah interaksi kultural seperti yang diungkapkan oleh Yusron Razak, “Interaksi kultural ialah hubungan seseorang dengan kebudayaan kelompoknya, artinya berhubungan dengan orang orang lain sambil mempelajari kebudayaan kelompok orang-orang itu.”15

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, Proses sosial yang terjadi terus menerus antar sesama manusia sehingga terjadinya aktivitas-aktivitas sosial dan ini merupakan bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan

11

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada).

h.55

12

Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, (Tangerang: Mitra Sejahtera, 2008), h. 57 13

Ibid.

14

Ibid.

15


(31)

antar perseorangan, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya.

Interaksi sosial merupakan kunci dalam sendi-sendi kehidupan sosial karena tanpa berlangsungnya proses interaksi tidak mungkin terjadi aktivitas dalam kehidupan sosial. Secara sederhana interaksi sosial dapat terjadi apabila dua orang saling bertemu, saling menegur, saling berkenalan, dan memengaruhi. Pada saat itulah interaksi sosial terjadi.

Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh individu di tengah masyarakat untuk menciptakan suatu kegiatan yang bisa bersatu dengan individu lainnya dan bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan bersama merupakan tindakan yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat secara umumnya. Maka hal itu bisa memungkinkan untuk terjadinya aktivitas-aktivitas di dalam masyarakat dan itu merupakan proses terbentuknya interaksi sosial.

Interaksi sosial juga sangat berguna untuk mempelajari berbagai permasalahan masyarakat yang ada. Dengan mengetahui serta memahami pola interaksi yang sedang terjadi disuatu masyarakat maka akan tahu perihal kondisi-kondisi suatu masyarakat. Apakah masyarakat itu hidup dengan keadaan baik-baik saja atau sedang ada masalah yang terjadi.

Interaksi sosial kelihatannya sederhana. Orang bertemu lalu berbicara atau sekedar bertatap muka. Padahal sebenarnya interaksi sosial merupakan suatu proses yang cukup kompleks. Hal itu tergantung pada situasi dan kondisinya. Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a) Adanya pelaku dengan jumlah lebih dari satu

b) Adanya komunikasi antarpelaku dengan menggunakan simbol-simbol


(32)

c) Ada dimensi waktu yang menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung

d) Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat.16

c. Faktor-Faktor Interaksi Sosial

Ada beberapa faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial, yaitu:

1. Faktor Imitasi

Faktor imitasi mempunyai peranan sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat membawa seseorang mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku.

2. Faktor Sugesti

Dalam ilmu jiwa sosial sugesti dapat dirumuskan sebagai satu proses dimana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa dikritik terlebih dahulu.

3. Faktor Identifikasi

Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Di sini dapat mengetahui, hubungan sosial yang berlangsung pada identifikasi adalah lebih mendalam daripada hubungan yang berlangsung atas proses-proses sugesti maupun imitasi.

4. Faktor Simpati

Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada

16


(33)

proses identifikasi. Bahkan orang dapat tiba-tiba merasa tertarik pada orang lain dengan sendirinya karena keseluruhan cara-cara tingkah laku menarik baginya.17

Dari keempat faktor diatas, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial dapat terjadi karena adanya faktor imitasi, sugesti, identifikasi, simpati yang terdapat dalam suatu tindakan sosial yang kemudian berubah menjadi suatu interaksi sosial. Dari penjelasan faktor diatas interaksi merupakan kegiatan memengaruhi, mengubah dan memperbaiki kelakuan individu yang lain.

Interaksi sosial terjadi tidak terlepas dari adanya proses timbal-balik yang mempengaruhi seseorang yang saling mengerti maksud serta tujuan masing-masing pihak saat proses itu terjadi. Cara mempengaruhi seseorang biasanya melalui kontak. Kontak disini biasanya berlangsung melalui kegiatan fisik, seperti dalam mengobrol, mendengar, melihat, memberikan isyarat-isyarat dengan menggerakkan badan dan lain-lain, atau secara tidak langsung melalui tulisan dan media-media komunikasi lainnya.

d. Syarat-Syarat Interaksi Sosial

Dalam proses sosial, baru dikatakan terjadi interaksi sosial apabila telah memenuhi persyaratan sebagai aspek kehidupan bersama, yaitu:

a) Kontak sosial (social contact)

Istilah kontak berasal dari kata Latin, yaitu crun atau con, yang berarti bersama-sama dan tangere yang berarti menyentuh. Secara harfiah, kontak berarti bersama-sama menyentuh. Akan

17

Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar,


(34)

tetapi dalam pengertian sosiologis, dapat dikatakan bahwa bersentuhan tidak perlu menjadi syarat utama terjadinya kontak. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yang pertama antara orang-perorangan. Proses ini terjadi melalui sosialisasi, yaitu suatu proses di mana anggota masyarakat yang baru mempelajari nilai-nilai dan norma-norma di dalam masyarakat dimana dia menjadi anggota. Kedua ialah antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya, misalnya apabila seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat. Dan yang ketiga antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.

b) Komunikasi (communication)

Arti terpenting komunikasi adalah suatu proses seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain. Melalui tafsiran pada perilaku pihak lain, seseorang mewujudkan perilaku sebagai reaksi terhadap maksud atau peran yang ingin disampaikan oleh pihak lain itu. Dapat terwujud melalui pembicaraan, gerak-gerik badan atau sikap perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.18

Dari penjelasan syarat-syarat interaksi sosial penulis dapat menyimpulkan bahwa, interaksi sosial terjadi apabila suatu kegiatan telah terdapat kontak sosial dan komunikasi didalamnya. Dengan adanya komunikasi tersebut, mereka yang ada di dalam komunikasi ini mampu memutuskan reaksi apa yang harus dilakukan karena sudah mengetahui sikap dan perasaan dari pihak lain. Meskipun begitu kontak dapat terjadi tanpa komunikasi.

18


(35)

e. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

Dalam interaksi terdapat bentuk-bentuk yang terjadi, bentuk dari interaksi ini lahir karena interaksi itu sendiri di lakukan oleh dua belah pihak. Masing-masing pihak akan menunjukkan reaksinya masing-masing akibat adanya kontak serta komunikasi yang terjadi dalam interaksi sosial.

Seperti yang diungkapkan Basrowi, “Bentuk-bentuk interaksi sosial secara mendasar ada empat macam bentuk interaksi sosial yang ada dalam masyarakat. 1) kerjasama (cooperation), 2) persaingan (competition), 3) akomodasi atau penyesuaian diri (accomodation), 4) pertentangan atau pertikaian (conflict).”19

Akan tetapi, bentuk pokok interaksi sosial tidak terjadi secara berkesinambungan. Bila melihat urutan bentuk interaksi sosial tersebut bisa dikatakan suatu interaksi dimulai dari adanya kerjasama, kemudian menjadi sebuah persaingan lalu akomodasi dan berakhir dengan pertentangan. Akan tetapi, semua itu bisa terjadi berdasarkan pada situasi atau kondisi tertentu.

Ada pula bentuk suatu interaksi diawali dengan adanya persaingan. Lalu selanjutnya akan menjadi pertikaian dan terjadi akomodasi kemudian mengahasilkan kerjasama. Semua tergantung pada reaksi atau respon yang diberikan oleh pihak-pihak yang melakukan interaksi.

Dalam penggolongan yang lebih luas tentang bentuk-bentuk interaksi sosial menurut Ng Philipus dan Nurul Aini, bahwa Gillin dan Gillin melihat adanya dua macam proses yang timbul akibat terjadinya interaksi sosial. “pertama, proses asosiatif (processes of association) yang terbagi dalam tiga bentuk khusus: kerjasama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi. Kedua, proses yang

19


(36)

disasosiatif (processes of disasociation) yang terbagi lagi kedalam bentuk: persaingan, kontravensi dan pertikaian (conflict).”20

1. Proses asosiatif (association processes), yang mendukung seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu. Adapun proses ini dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:

a. Kerjasama (cooperation)

Para sosiolog menganggap bahwa kerjasamalah yang merupakan proses utama. Memahami kerjasama untuk menggambarkan sebagian besar bentuk-bentuk interaksi sosial atas segala macam bentuk interaksi tersebut dapat dikembalikan pada kerjasama.21 Betapa pentingnya fungsi kerjasama digambarkan oleh Charles H. Cooley di dalam bukunya Sociological Theory and Social Research. Yang dikutip oleh Soerjono Soekanto:

“Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang terpenting dalam kerjasama yang berguna”.22

b. Akomodasi

Akomodasi mengarah pada dua arti yang menunjuk suatu keadaan dan proses. Akomodasi yang menunjukkan suatu keadaan berarti ada suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara individu atau kelompok manusia dalam kaitannya

20

Ng. Philipus. Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 23

21

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 65

22


(37)

dengan norma dan nilai sosial dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi yang menunjukkan usaha manusia untuk menyelesaikan suatu pertentangan yaitu usaha untuk mencapai suatu kestabilan.23

c. Asimilasi

Asimilasi adalah proses sosial dalam taraf lanjut. Ditandai dengan adanya usaha untuk mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok manusia. Meliputi usaha untuk meningkatkan semangat kesatuan dan persatuan diantara mereka dengan cara mempertinggi kesatuan tindakan, sikap dan proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama. 24

2. Proses disasosiatif, dalam proses ini dibedakan menjadi 3 yaitu: a. Persaingan

Persaingan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok manusia bersaing mencari keuntungan melalui bidang kehidupan yang menjadi perhatian umum. Berbagai cara dilakukan dengan menarik perhatian publik atau membuat prasangka, sehingga mempertajam prasangka tanpa melakukan kekerasan. Ada beberapa tipe persaingan, yaitu: persaingan ekonomi, persaingan kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan, dan terakhir persaingan ras.25

b. Kontravensi

Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan antara

23

Ng. Philipus, dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada), h.25

24

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta; PT Raja Grafindo persada 1998), h.73

25


(38)

persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian, atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang.26

c. Pertentangan

Hal ini terjadi karena suatu pribadi atau kelompok menyadari adanya perbedaan tertentu yang terdapat diantara kelompok-kelompok masyarakat lain. Perbedaan ini meliputi ciri-ciri fisik, emosi, unsur kebudayaan, pola perilaku, perbedaan dalam tingkatan ekonomi, perbedaan agama dan perbedaan lainnya.27

Dalam kontak sosial dapat terjadi hubungan yang positif dan negatif, adapun kontak sosial yang bersifat positif terjadi karena hubungan antara kedua belah pihak yang saling pengertian dan menguntungkan dari masing-masing pihak yang mengarah pada bentuk kerjasama. Sehingga, hubungan dapat berlangsung lebih lama dan bahkan berulang-ulang. Sedangkan kontak yang negatif sebaliknya terjadi karena hubungan antara kedua belah pihak tidak pengertian atau merugikan salah satu pihak ataupun keduanya, sehingga mengakibatkan suatu pertentangan atau konflik.

Berdasarkan penjelasan diatas penulis dapat simpulkan bahwa, bentuk-bentuk interaksi pada dasarnya adalah asosiatif dan disasosiatif. Asosiatif sendiri merupakan proses menuju terbentuknya persatan atau integrasi sosial. Disasosiatif merupakan proses perlawanan. Di dalam asosiatif mempunyai bentuk-bentuk antara lain, kerja sama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi. Dan

26

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1998), h.87

27


(39)

disasosiatif sendiri dibedakan kedalam tiba bentuk yaitu, persaingan, kontravensi, dan pertentangan.

3. Masyarakat Perkotaan

a. Teori Perspektif Tentang Masyarakat

1. Perspektif Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik

Perbedaan dalam pengelompokkan ini secara rinci dibahas oleh Emile Durkheim. Durkheim membedakan antara antara kelompok yang didasarkan solidaritas mekanik dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai masyarakat masih hidup sederhana.

Dalam masyarakat solidaritas mekanik kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup secara terpisah. Masing-masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka Masing- masing-masing tanpa memerlukan bantuan dari kelompok lain. Solidaritas organik merupakan solidaritas yang mengikat masyarakat dan telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian.28

Dapat disimpulkan bahwa, solidaritas mekanik merupakan masyarakat yang tinggal di pedesaan. Sedangkan, solidaritas organik merupakan masyarakat yang tinggal di perkotaan.

b. Pengertian Masyarakat

Masyarakat pada umumnya sudah memiliki kedekatan satu sama lain. Kedekatan ini terjadi dikarenakan mereka sudah lama mengenal masing-masing dan menjalani rutinitas kehidupan di dalam lingkungan yang sama. Ini yang menyebabkan mereka harus melakukan adanya interaksi satu sama lain. Tak jarang mereka sudah menganggap satu sama lain seperti saudara.

28

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004), h. 128


(40)

Menurut Basrowi, “Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab syaraka yang berarti ikut serta, berpartisipasi. Di dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius, berarti kawan.”29

Sedangkan menurut Koentjaraningrat, “Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan istilah ilmiah, saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana agar warganya dapat saling berinteraksi. Negara modern misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara intensif, dan dengan frekuensi yang tinggi.”30

Masyarakat memiliki ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Elly M. Setiadi beserta kawan-kawan, “ 1) kumpulan orang, 2) sudah terbentuk dengan lama, 3) sudah memiliki system social atau struktur sosial tersendiri, 4) memiliki kepercayaan, sikap, dan perilaku yang dimiliki bersama.”31

Seperti yang dikutip Basrowi dari pendapat Ralph Linton, “masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai salah satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.”32

Di dalam masyarakat juga harus memiliki suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka. Menurut Koentjaraningrat bahwa, “Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan

29

Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 37 30

Koentjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 115 31

Elly M. Setiadi. Rama Abdul Hakam. Ridwan Effendi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.80

32


(41)

itu. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinu, dengan perkataan lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas.”33

Menurut Abu Ahmadi yang di kutip Basrowi, menyatakan bahwa “masyarakat harus mempunyai ciri-ciri: a) harus ada pengumpulan manusia dan harus banyak, bukan pengumpulan binatang. b) telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama di suatu daerah tertentu. c) adanya aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.”34

Jadi dapat disimpulkan, masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama dan bukan hanya kumpulan atau kerumunan orang dalam waktu sesaat, seperti kerumunan orang di terminal atau pasar. Dan di dalam kebersamaan yang cukup lama terjadi interaksi sosial.

c. Masyarakat Perkotaan

Antara desa dan kota secara secara sepintas kilas hanya mengenai perbedaan geografisnya saja, tetapi bila dilihat secara mendasar tidaklah demikian. Kota dan desa mempunyai perbedaan yang unik dan kompleks sekali. Baik dilihat dari segi jumlah penduduknya, sosial ekonominya, kebudayaan, tata nilai dan normanya.

Kota adalah sebagai pusat pendomisian yang bertingkat-tingkat sesuai dengan sistem administrasi negara yang bersangkutan. Di samping itu kota juga merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan komunikasi. Sehingga dengan adanya sistem komunikasi dan transportasi yang baik, tidaklah aneh kalau kota tersebut merupakan jaringan

33

Koentjraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 117

34


(42)

ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota itu sendiri bahkan negara pada umumnya. Maka dari itu bagi kota yang letaknya strategis baik dari lalu lintas darat, laut maupun udara, akan berkembang dengan pesat.

“Seorang sosiolog Belanda merumuskan kota sebagai suatu pemukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar daripada kepadatan wilayah nasional, dengan struktur mata pencaharian non-agraris dan tataguna tanah yang beraneka ragam, serta dengan pergedungan yang berdirinya berdekatan.”35

Menurut S. Menno dan Mustaman Alwi, Dilihat dari segi fisik,

“kota adalah suatu pemukiman yang mempunyai bangunan-bangunan perumahan yang berjarak relatif rapat dan yang mempunyai sarana dan prasarana serta fasilitas-fasilitas yang relatif memadai guna memenuhi kebutuhan penduduknya. Rumusan ini terlepas dari besarnya jumlah penduduk. Yang utama disini ialah gedung-gedung dan bangunan-bangunan yang letaknya berdekatan, dan memiliki sarana dan prasarana umum serta lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan bersama penduduknya”.36

Pertambahan penduduk dan kemajuan teknik merupakan dua hal yang sangat besar pengaruhnya atas situasi dan perkembangan masyarakat. Perkembangan yang dimaksud adalah suatu pertumbuhan yang menjadikan masyarakat selalu berubah (bertambah). Makin besar pertambahan penduduk, makin nampak pula ciri perkotaan suatu tempat. Pertambahan penduduk ada dua kemungkinan, yaitu adanya kelahiran maupun perpindahan.

Pertambahan karena perpindahan yang biasanya sangat kuat atau besar. Penduduk dari desa-desa sekitar kota tertentu banyak berdatangan untuk mencari pekerjaan dan nafkah di luar agraris. Sebab di kota dianggap dapat menciptakan berbagai pekerjaan,

35

S. Menno dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan, (Jakarta: CV Rajawali, 1992), h. 24

36


(43)

sehingga mengundang anggota masyarakat di sekitarnya untuk datang ke kota. Sehingga tidak aneh kalau di kota jumlah penduduk cepat bertambah.

Semakin padat penduduk kota, maka berkurang kebebasan indvidu, semakin tajam persaingan antar manusia sehingga akan mendorong terciptanya organisasi-organisasi kolektif, demi terjaminnya kebutuhan hidup serta pembelaan kepentingan mereka. Ikatan sosial dan ikatan kekeluargaan menjadi lemah, pudar, dan menghilang, sedang yang ada hanyalah organisasi kolektif dan organisasi resmi.

Sebuah kota pada hakikatnya merupakan suatu tempat pertemuan antara bangsa. Di desa lapangan gerak tidak terlalu luas karena adanya ikatan adat serta sistem pengendalian sosial (social control) yang agak kuat. Sehingga hubungan antara kota dengan daerah sekitarnya di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi mempunyai pengaruh yang aktif. Walaupun kota memiliki fungsi demikian terhadap daerah sekitarnya, akan tetapi kehidupan fisik kota tergantung pada daerah sekitarnya itu.37

Walaupun jumlah penduduknya padat, hidup berdekatan satu sama lain, tetapi hubungan diantara mereka terjadi sepintas kilas saja, kurang akrab dan dingin. Hidup di antara tetangga yang sangat berdekatan, tetapi terasa sepi dan hampa. Perasaan malu, enggan, gengsi dan takut menjiwai setiap anggotanya (masyarakat kota) dalam menjalin hubungan bertetangga. Semua tali hubungan dijalin secara formal dan kaku. Sifat kerukunan dan gotong royong yang asli dan menjadi tradisi telah menipis, yang diganti dengan sifat individualistis dan materialistis.

Masyarakat kota lebih mengarah pada perhitungan rugi laba yaitu yang memberi keuntungan pada dirinya. Sifat gotong royong

37

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada 2005) h. 158


(44)

mereka ganti dengan uang, sedang ia sendiri akan melakukan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Di dalam hidup bertetangga saling bersaing, yang diukur secara materi yang dimilikinya.

Maka dari itu hidup di kota sebenarnya kurang aman atau tenteram, di samping individualistis dan kikir. Rasa suka atau duka harus dipikul sendiri oleh anggota masyarakat yang bersangkutan bersama keluarganya. Uluran tangan dari para tetangga sulit untuk diharapkan. Namun juga pernah kita jumpai ada anggota masyarakat yang juga dermawan tetapi itupun terjadi sangat jarang. Bahkan sifat dermawan tersebut kadang-kadang mempunyai maksud tertentu.

Bagi masyarakat kota kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (kehidupan magis religius), biasanya cukup terarah dan ditekankan pada pelaksana ibadah. Upacara-upacara keagamaan sudah berkurang, demikian pula upacara-upacara adat sudah menghilang. Hal ini disebabkan bahwa masyarakat kota sudah menekankan pada rasional pikir dan bukan pada emosionalnya. Semua kegiatan agama, adat berlandaskan pada pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki.

Antara warga masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, juga terdapat perbedaan dalam perhatian, khususnya terhadap keperluan-keperluan hidup. Di desa-desa yang utama adalah perhatian khusus terhadap keperluan utama daripada kehidupan, hubungan-hubungan untuk memperhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah dan sebagainya. Lain dengan orang-orang kota yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Soerjono Soekanto menjelaskan, ada beberapa ciri lagi yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu:

1. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan agama di desa. Ini disebabkan cara berpikir yang


(45)

rasional, yang didasarkan pada perhitungan eksak yang berhubungan dengan realita masyarakat.

2. Orang kota pada umumnya, dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu. Di desa orang lebih mementingkan kelompok atau keluarga.

3. Pembagian kerja diantara warga kota juga lebih tegas dan punya batas-batas nyata. Di kota, tinggal orang-orang dengan aneka warna latar belakang sosial dan pendidikan yang menyebabkan individu memperdalami suatu bidang kehidupan khusus. Ini melahirkan suatu gejala bahwa warga kota tak mungkin hidup sendirian secara individualistis.

4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa, karena sistem pembagian kerja yang tegas tersebut diatas.

5. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. 6. Jalan kehidupan yang cepat dikota mengakibatkan pentingnya

faktor waktu, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.

7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar.38

Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan. Sebenarnya perbedaan tersebut tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana karena dalam masyarakat modern,

38

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 156-157


(46)

seberapapun kecilnya desa pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Pembedaan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan karena adanya hubungan konsentrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang dinamakan urbanisme.

Masyarakat perkotaan yang mana kita ketahui itu selalu identik dengan sifat yang individual, egois, materialistis, penuh kemewahan, dikelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi, perkantoran yang mewah dan pabrik-pabrik yang besar. Asumsi dasar kita tentang kota adalah tempat kesuksesan seseorang.

Dari penjelasan masyarakat perkotaan diatas, penulis dapat simpulkan bahwa masyarakat perkotaan lebih dipahami sebagai kehidupan komunitas yang memiliki sifat kehidupan dan ciri-ciri kehidupannya berbeda dengan masyarakat pedesaan. Akan tetapi, kenyataannya di perkotaan juga masih banyak terdapat beberapa kelompok pekerja-pekerja di sektor informal, misalnya tukang becak, penjual angkringan, tukang sapu jalanan, pemulung samapai pengemis. Bila kita telusuri masih banyak juga terdapat perkampungan-perkampungan kumuh tidak layak huni.

4. Kebudayaan

a. Teori Perspektif tentang Kebudayaan 1. Perspektif Fungsionalis

Kalangan fungsionalis cenderung melihat perubahan kebudayaan sebagai bentuk disfungsional bagi sistem sosial. Fungsionalisme lebih melihat bagaimana komponen-komponen kebudayaan berjalan dalam masyarakat daripada menganalisa perubahan-perubahan kebudayaan.

Kalangan fungsionalis mengutamakan solidaritas dalam hal perbedaan budaya dalam konteks bagaimana unsur-unsur


(47)

budaya bisa memperbaiki atau mempertahankan keseimbangan sosial.39

2. Perspektif Marxian

Marxian berpendapat bahwa, “kebudayaan itu diciptakan oleh kelompok dominan dalam masyarakat yang memanfaatkan ide dan nilai-nilai kebudayaan untuk meningkatkan kepentingan diri mereka sendiri. Karena itu perspektif ini melihat kebudayaan sebagai salah satu alat unutk mendominasi”.40

Marxian menganggap perubahan kebudayaan sebagai aspek yang diharapkan dalam kehidupan sosial.

b. Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan menurut Koentjaraningrat, “berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.”41

Kebudayaan merupakan posisi penting dalam kehidupan manusia. Dengan begitu, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan begitupun sebaliknya, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dimana masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, sehingga fungsi kebudayaan itu sendiri dapat dijadikan sebagai faktor pendorong dalam perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau masyarakat dapat menentukan sikapnya sendiri terhadap dunia berdasarkan pada pengetahuan yang ada pada kebudayaan.

39

Ibid., h. 67 40

Ibid. 41

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 146


(48)

Seperti yang dikutip dalam buku karangan Abu Ahmadi, “masyarakat tidak dapat dipisahkan dari pada manusia, karena hanya manusia saja yang hidup bermasyarakat, yaitu hidup bersama-sama dengan manusia lain dan saling memandang sebagai penanggung kewajiban dan hak. Sebaliknya manusiapun tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Seorang manusia yang tidak pernah mengalami hidup bermasyarakat, tidak dapat menunaikan bakat-bakat kemanusiaannya yaitu mencapai kebudayaan. Dengan kata lain dimana orang hidup bermasyarakat, pasti akan timbul kebudayaan”.42 Dapat penulis simpulkan bahwa, kebudayaan merupakan sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan yang kemudian digunakan untuk menginterpretasi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup.

c. Bentuk-Bentuk Kebudayaan

Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk menggambarkan. Koentjaraningrat membagi wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan itu hidup.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud dari kebudayaan ini disebut sistem sosial mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan dan bergaul satu sama lain selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.

42


(49)

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat. 43 Dari penjelasan bentuk-bentuk kebudayaan diatas Koentjaraningrat menjelaskan bahwa, terdapat tiga wujud kebudayaan. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma. Wujud ini masih berupa pemikiran saja dan belum ada wujud fisiknya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola. Wujud ini berupa kebudayaan yang dituangkan menjadi suatu kegiatan kehidupan manusia. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Wujud ini sudah sepenuhnya dapat kita lihat wujudnya karena sudah tertuang dalam suatu media atau karya manusia.

d. Unsur Tradisional Kejawaan

Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat baik berwujud sebagai komunitas desa, kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang diluar warga masyarakat bersangkutan. Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk khusus atau karena diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial khusus. Dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya khusus. Berdasarkan corak khusus, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan lain.44

43

Koentjaraningrat, op.cit., h. 150-151

44

Arbany Nurul Aini, Angkringan: Arena Demokrasi Masyarakat Pekotaan dengan Simbolisme Kejawaan (Studi Kasus: Tiga Angkringan di Jakarta), Skripsi pada Universitas Negri Jakarta, 2013, h 52, tidak dipublikasikan.


(50)

Kebudayaan dalam hal ini budaya Jawa merupakan suatu sistem yang berhubungan dengan simbol-simbol tertentu, dikenal dan diketahui serta disebarkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Etnis Jawa merupakan salah satu etnis di Indonesia yang memiliki berbagai macam simbol untuk menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat Jawa, seperti bahasa, tata busana, perilaku, dan cita rasa. Bahasa Jawa terdiri dari dua macam yaitu bahasa Jawa kasar dan bahasa Jawa halus.

“Dengan mengingat budaya dianggap sebagai simbol, yang mengandung makna-makna tertentu, berarti ada sesuatu di dalam kebudayaan yang perlu dibaca, ditafsir maknanya sehingga pada gilirannya hasil pemaknaan dan penafsiran tersebut akan diketahui dan dibagikan kepada masyarakat serta diwariskan pada generasi sebelumnya.”45

Penggunaan bahasa Jawa yang dilakukan oleh para pedagang angkringan juga dapat menjadikan sebagai identitas mereka berasal, dan hampir seluruh pelanggan yang datang ke angkringan memanggil pedagang dengan sebutan pakde. Dalam kesehariannya pedagang angkringan masih sangat sering menggunakan bahasa Jawa untuk melayani para pelanggannya. Mulai dari para pelanggan datang sering kali mereka disambut dengan sapaan khas Jawa yaitu, monggo mas’e dan monggo

mbak’e yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki arti silahkan mas yang merupakan sapaan untuk laki-laki dan mbak sapaan khas untuk perempuan. Dengan demikian pedagang angkringan menggunakan bahasa Jawa sebagai salah satu identitas yang digunakannya.

Selain bahasa sebagai identitas adapula batik yang kerap digunakan oleh pedagang angkringan. Batik merupakan salah satu warisan budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Dengan adanya

45


(51)

warisan budaya ini seharusnya menjadi sebuah tantangan untuk seluruh masyarakat Indonesia bagaimana dapat mempertahankan dan melestarikan batik, karena dengan demikian batik dapat dijadikan salah satu identitas negara Indonesia pada umumnya atau menjadi identitas masyarakat Jawa pada khususnya.

Thomas Kitley mengemukakan bahwa, “batik digemari dan dipakai, bahkan mampu bertahan sebagai busana keseharian, baik sebagai busana resmi ataupun untuk setengah resmi. Itulah mengapa batik memiliki status dalam masyarakat Jawa.”46

Perubahan dinamika dan perubahan pranata sosial memberikan dampak perilaku budaya terutama kebutuhan manusia. Batik dipakai sebagai busana yang dianggap mempunyai nilai status. Perkembangan batik saat ini sudah cukup pesat batik tidak hanya dipakai pria maupun wanita sebagai jarik (kain) seperti yang biasa dipakai orang-orang Jawa pada jaman dulu, namun berkembang dan dipakai sebagai batik lengan panjang, sebagai busana resmi dan harian.

Hubungan timbal balik antara masyarakat, kebudayaan, perilaku budaya dan pranata-pranata sosial pada masyarakat tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Seiring berjalannya waktu kini batik dikonsumsi oleh semua kelompok masyarakat, baik kelompok masyarakat tradisional yang berada di pedesaan maupun kelompok masyarakat modern yang berada di perkotaan. Batik saat digunakan mencakup semua golongan bahkan batik tidak lagi hanya digunakan pada saat acara-acara resmi dan formal.

Menurut Arbany Nurul Aini,

“Blangkon merupakan simbol dari kebudayaan Jawa selain bahasa dan kain batik. Blangkon adalah tutup kepala yang digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian

46


(52)

tradisional Jawa. Modernisasi busana terjadi sejajar dengan perubahan fungsi-fungsi dalam masyarakat. Pada zaman dahulu, blangkon memang hanya dapat dibuat oleh para seniman ahli dengan pakem (aturan) yang baku. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Blangkon terdiri dari beberapa tipe yaitu menggunakan mondholan, yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk seperti onde-onde. Blangkon ini disebut sebagai blangkon gaya Yogyakarta. Model trepes, yang disebut dengan gaya Surakarta. Gaya ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon. Sedangkan model blangkon yang mempunyai sisa kain agak panjang merupakan ciri khas dari blangkon yang berasal dari wilayah Jawa Timur”.47

Identitas dapat dikategorikan sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang yang dijadikan jati diri, misalnya seorang kelompok dipersatukan oleh persamaan dan kesamaan yang dimiliki. Identitas merupakan bagaimana individu atau kelompok melihat dirinya sebagai konteks relasi sosial ataupun interaksi sosial. Tanpa melalui proses sosialisasi maka kebudayaan suatu masyarakat akan hilang sehingga identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan tertentu akan hilang pula.

Proses dari identitas sosial merupakan proses yang mendasar untuk memahami perilaku kolektif. Hanya melalui pengkategorian orang ke dalam kelompok tertentu akan dapat menghasilkan perilaku intergroup dimana akan mencari pelayan angkringan yang hanya berasal dari orang Jawa. Dibanding suku lain sehingga kategori sosial tersebut akan menghasilkan identitas untuk mereka.

47

Arbany Nurul Aini, “Angkringan: Arena Demokrasi Masyarakat Pekotaan dengan Simbolisme Kejawaan (Studi Kasus: Tiga Angkringan di Jakarta)”, Skripsi pada Universitas Negri Jakarta, 2013, h 65, tidak dipublikasikan.


(53)

Orang akan menerima keanggotaan dari pengkategorian itu sebagai sesuatu yang relevan dengan persepsi diri mereka sendiri dalam situasi tersebut. Identitas orang Jawa sebagai suatu pengungkapan diri terjadi pada dimensi budaya, identitas orang Jawa yang sangat jelas adalah batik dan blankon yang digunakan hampir sebagian besar dalam upacara adat Jawa seperti dalam acara pernikahan.

Identitas angkringan di Pamulang dapat dilihat dari atribut-atribut yang digunakan oleh penjualnya untuk menunjukan identitas asal daerahnya. Dengan adanya atribut-atribut demikian maka akan semakin menunjukan eksistensi etnis Jawa di Kota Tangerang Selatan. Identitas etnik adalah sebuah nilai kemasyarakatan yang dipaksakan dan begitu saja diterima oleh para anggota etnik tersebut dan proses sosialisasinya pada usia pertumbuhan.

Dengan adanya beberapa simbol kejawaan seperti kain batik, blangkon, kethel tanah liat yang digunakan oleh beberapa pedagang angkringan di Jakarta membuktikan bahwa mereka tidak melupakan dan meninggalkan kebudayaan walaupun berada di daerah yang bukan daerah asal mereka. Selain itu alat makan yang digunakan pun mencerminkan masyarakat Jawa.

Alat dapur yang digunakan angkringan yang berada di Pamulang juga menggambarkan bahwa mereka masih menggunakan alat dapur yang sederhana, yang berbeda dari rumah makan kuliner kedaerahan lainnya. Seperti gelas dan piring yang terbuat dari kaleng. Ketel minum yang terbuat dari tanah liat, serta piring yang terbuat dari rotan, memasak menggunakan arang. Dengan demikian angkringan masih mempertahankan


(1)

2013, tidak dipublikasikan

48.

Klara Puspa Indrar.vati 2012 pemltentukan Ructng Kotet{tif otetl

Masyarakr.ti (Studi Kasus : Angkringan Tugu yogyakartc, Strai

Ars itektur Liniverstas Indones ia

4i

3

1. Adi Prastowo. Memahami AIetode-l,Ietode

dan

dan

P en eli ti an, (Jo gj akarta: Ar-Ruzz NIedia. 2 0 I I ), h. g.

Imam Gunarvan, Arletode penelitian Kualitatif-: Teorr

P raktik, (J akafia:Bumi Aksara, 201 3). h. g0_ g 1

Imam Gu.awan, Metode penelitian

Kualitatijl

Teori Praktik, (Jakarla:Bumi Aksarq 2013), h.gZ

4,7

2 u-.11

-?,

'r

.flrt

3.

,t;

4. Irawan soehartono. Metode penelitian sosial, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 20ll),h, 57

Irawan Soehartono ,

Remaja Rosdakarya, zOL l), h.57

PT

PT

,li

5.

dI

6. Irawan Soehartono, Iuletode penelitian Sosial, (Bandung: pT

Renraja Rosdakarya, 20ll), h. 63

l1xy

f.

Ii,{oleong.

,-r*-,

,"-r,r-" *r,

PT Remaja Rosdakarya. 2009), h.1g6

Iin

Tri

Rahayu

da,

Tristiadi

fudi

Ardani, Observasi

Waw ancara. (lr,,Ialang : Bayurnedia publishing, 200 4), h. I

sugiyono, it[ etode P eneli ti an p endi dikan p endekatan K uali tatiJ)

KuantitatiJ- d an R& D, (Bandung: Alfabeta, 20 I2), h. 3Zg

dan

,il,r

7.

,d,t

8. ';Ll

t

+

t

,t^

9.

i

ul

,fil

10 Imanr Gunarvan, Metode

p"nulit@


(2)

11 Imanr Gunawan, luletode penel.itian Kualitatif Teori dan

Praktik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2OI3),h. ZIO

M

4

.)

Situs resmi kota Tangerang Selatan,

wwrv. tangerangsel atankota. go.

id

di akses pada tanggal 5

Desember 2014 pukul21.00 WIB

4i

http ://tangselkota.bps. go. id/index.php ?hal:putrlikasi detil&id:B

diakses padatanggal 5 Desember 2ll4pukul 22.00 WIB

4A

a

-)-http ://labpm2.ipdn. ac. id/wp-content fuploads 201 3/0 5iRpJN,I_ Keadaan-Geografis.pdf diakses pada ta,ggal 2g Novernber 2014

pukul 1.12 WIB

,x)

4.

http :i/labpm2. ipdn. ac.id/rvp-content/uploads/20 I 3 /0 5/RpJM_ Ke adaan- Geo grafi s. pdf diakses p ada ta,g gar 2 g Nover,ber 20 1 4

pukul 1.12 WIB

4,t

5 www.tangselkota. bps. go. icl diakes pada tan ggal 2 g Noverntrer

2014 puktrl 12.00 WIB

d;

6. http ://tangselkota. bps. go. idlindex.php ?hal:publikasi cletil&id:s diakses pada tanggal 25 Desember 2014 pukul 20.00 WIB

4i

7 Niels Mulder, 1983, Kebatinan tlan Hidup Sehari-hari Orang

Jaw,a, Jakarta: PT. Glamedia h. 40. ,fl,[

8. Niels ]vlulder, 1983, Kebatinan dan Hidup Sehari_hari Orang

Jan4,a, Jakarta: PT. Gramedia, h.42.

,/r

9.

t0

Klara Puspa indrawati, "Pembentukan Rrnng Kolektif Oleh Masyaratriat: Sttrdi I{asus Angkr-ingan Tugu yo gyakarla..,

Slcripsi pada Lhriversitas hrdonesia, Depolg 2012,1t.33

d*

Berdasarkan hasil wawancara dengan tr,rotdfiaai to okloue

2014 pukul21.15 WIB.

t,


(3)

Berdasarkalt wawiulcara dengan Mas Min pada22 Mei 2014

pukul22.30WIB.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu yanti pada 4

Septerntrer 2014, pukul 2 1.00 WIB.

Berdasarkan hasil warvancara dengan Ibu yanti pada 4

September 2014. puktrl 21.00 WIB.

Berdasarkan hasil r.va*,ancara dengan Adi pada 7 oktober 2014

pukul 19.00 WIB

Berdasarkan hasil wawancara dengan pak Mardoyo pad,a2l

Oktober 2014 pukul 20.00 WIB.

Berdasarkan hasil wau,ancara dengan Wati pada Rabu 22 Oktober pukul 19.00 WIB

Berdasarkan hasil warvancara Sobani pada 13 November 2014

pukul22.50 WIB

Berdasarkan hasil war.r,ancara dengan Ivlardoyo pada selasa 21

Oktober 2014 pukul 20.00 WIB

Berdasarkan hasil wawancar.a dengan pakde yono Rabu I

Oktober 2014 pukul 21.30 WIR

Berdasarkan hasil r.varn ancara dengan Ibu yanti pada karnis 4

September 2014 pukul21.00 WIB

Berdasarkan hzusil \4/awancara dengan Wuti pudo Rnb" 22


(4)

Berda.sarkan hasil wawancara dengan Agu,g pada27 oktober

2014 pukul21.00 WIB

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sobani pada 13 November 2014 pukul22.50 WIB

Berdasarkan hasil rvarvancara dengan wati pacla 22 oklober 2014 pukul 19.00 WIB

Kamanto Sunarlo, P en gantar S o si ol.ogi, (Jakarta: Lembaga

Penerbit Fakrrltas Ekonomi 1J1,2004),h. 12

Berdasarkan hasil wawancara dengan pakde yono Rabu

Oktober 2014 pukul21.30 WIB

Berdasarkan hasil rvawancara clengan lr{aldi pacla l0 oktober

2014 pukul21.15 WIB

Berdasarkan hasil wau,ancara dengan Mardoyo pad,a2r oktober

2014 pukul20.00 WIB

Berdasarkan hasil rryawancara dengan Iv{ardoyo pada2l oldober 201:1pukul20.00 WIB

Berdasarkan hasil wawancara dengan pakde yono pada I

Oktober 2014 pukul 21.30 WIB

Berdasartan hasil wa,r,ancara dengan Ibu

yarti

Kamis 4 September 2014 pukul21.00 WIB

Berdasarka, hasil \ryawancara

a.ngm


(5)

Jakarta,

ll

Februari 2015

a, MA

2 016

d

I

NIP. 19670828 199303 2 006

33. Berdasarkan hasil r,vawancara dengan pakde yono pada 1

Oktober 2014 pukul 21.30 WIB

4i

34. Berdasarkan hasil rryar,va,cara dengan Mas lVlin pada Kamis 22

Mei2014 pukul22.30 WIB

,il,t

35. Berdasarkan hasil r,r,awancara dengan Mar-doyo pada2l oktober

2014 pukul20.00 WIB

,lr

36 Soerjono soekanto, Sosiologi Suaht pengantar, (Jakarta: pT

Raja Grafirrdo Persad4 1998). h.58

,i],

37 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga

Penerbit Faktrltas Ekonomi

U\

2004),h. Zz

di

n Pembimbing I

rI


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Risyda Azizah, lahir di Jakarta pada 31 Juli

1992. Anak dari pasangan bapak Agus Mukhtar Rosyidi dan ibu Nur Izzah merupakan anak

pertama dan mempunyai dua saudara perempuan. Meskipun lahir dan dibesarkan dari suku Jawa namun sangat menyukai masakan pedas. Masa-masa sekolahnya dihabiskan di sekolah MTsN 2 Pamulang kemudian dilanjutkan di MAN 4 Jakarta.

Sangat senang berolahraga, terbukti sejak masih menyandang status siswa di MAN 4 Jakarta tergabung dalam ekskul basket. Saat menjadi

mahasiswi UIN Jakarta bergabung dengan ukm futsal UIN (ladies futsal) dan sepeda sehat UIN.

Judul dari skripsi ini diangkat karna pada dasarnya saya senang makan. Suatu ketika saya makan di angkringan saya sadar bahwa terdapat suasana yang sangat berbeda yang dapat dirasakan ketika berada di

angkringan. Tak dipungkiri masih banyak orang yang belum mengetahui apa itu angkringan, namun disamping itu angkringan sudah banyak kita temui di pinggir-pinggir jalan, khususnya jalanan di Pamulang. Semoga para pembaca menjadi tahu apa itu angkringan serta tidak memandang miring lagi hal-hal sederhana.