Konsep Analisis Wacana LANDASAN TEORI

secara umum terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah, dan yang terakhir risalat tulis, disertasi formal, kuliah, ceramah dan khotbah. 3 Dalam analisis wacana yang menjadi sorotan utama adalah representasi, bagaimana seseorang atau segala sesuatu itu tidak tampil sendiri, tetapi ditampilkan melalui mediasi bahasa. Baik tertulis, suara, maupun gambar. Bahasa disini tidak dimaknai sebagai sesuatu yang netral yang bias mentransmisikan dan mengahadirkan realitas seperti keadaan aslinya. Bahasa disini bukan dimaknai sebagai sesuatu yang netral, tetapi sudah tercelup oleh ideologi yang membawa muatan kekuasaan tertentu. Bahasa adalah suatu praktik sosial, melalui mana seseorang atau kelompok ditampilkan dan didefinisikan. Lewat bahasa, seseorang ditampilkan secara baik dan buruk untuk ditampilkan kepada masyarakat. 4 Analisis wacana berbeda apa yang dilakukan oleh analisis isi kuantitatif. 5 Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Oleh karena itu, dalam proses kerjanya, analisis wacana tidak memerlukan lembar koding yang mengambil beberapa item atau turunan dari konsep tertentu. Meskipun ada panduan apa yang biasa dilihat dan diamati dari suatu teks, pada prinsipnya semua tergantung pada interpretasi peneliti. Isi dipandang bukan sesuatu yang mempunyai arti yang tepat, dimana peneliti dan khalayak mempunyai penafsiran yang sama atas suatu teks. Justru yang terjadi sebaliknya, setiap teks pada dasarnya biasa dimaknai secara berbeda, dapat 3 Ibid, hal. 10 4 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: Lkis Group, 2001, hal. 343 5 Ibid, h. 337 ditafsirkan secara beraneka ragam. Perbedaan ini terutama di dasarkan pada yang satu merupakan bagian dari tradisi penelitian empiris, sedangkan yang satu interpretatif. Kedua analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan yang tersembunyi laten. Banyak sekali teks komunikasi disampaikan secara implisit. Makna suatu pesan dengan demikian tidak dapat hanya ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, tetapi harus dianalisis dari makna yang tersembunyi. Pretense analisis wacana adalah pada muatan, nuansa, dan makna yang laten dalam teks media. Ketiga, analisis wacana bukan hanya bergerak dalam level makro isi dari suatu teks tetapi juga pada level mikro yang menyusun suatu teks. Dalam analisis wacana, bukan hanya kata atau aspek isinya yang dapat dikodekan tetapi struktur wacana yang kompleks pun dapat dianalisis pada berbagai tingkatan deskripsi. Bahkan makna kalimat dan relasi koheren antarkalimat pun dapat dipelajari. Dalam pendekatan ini, pengandaian yang digunakan untuk memeriksa makna yang tersembunyi yang dimiliki wacana juga dapat dipelajari dan dibedah. Kita juga dapat melihat bagaimana suatu peristiwa dapat digambarkan dengan sedikit atau banyak detail dalam teks. Intinya, semua elemen yang membentuk teks baik yang terlihat secara eksplisit maupun tersamar dapat dibedakan dengan analisis wacana. Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi dengan beberapa asumsi. 6 6 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: Lkis Group, 2001, hal. 339­340 Foucault mengatakan wacana sebagai bidang dari semua pernyataan statement, kadang sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang­kadang sebagai praktik regulative yang dilihat dari sejumlah pernyataan Millis, 1997: 8. Sementara Eriyanto 2005: 5 mendefinisikan analisis wacana sebagai suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Wacana merupakan praktik sosial mengkonstruksi realitas yang menyebabkan sebuah hubungan dialektis antara peristiwa yang diwacanakan dengan konteks sosial, budaya, ideologi tertentu. Disini bahasa dipandang sebagai faktor penting untuk mereprentasikan maksud si pembuat wacana. 7 Dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif, karena analisis wacana lebih menekankan pemaknaan teks daripada unit kategori seperti pada analisis isi kuantitatif. Unsur penting dalam analisis wacana adalah kepaduan coherence dan kesatuan unity serta penafsiran peneliti. 8 2. Analisis Wacana Kritis Dalam analisis wacana kritis, wacana di sini tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian lingusitik tradisional. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi 7 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke­3 hal. 260 8 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Ke­1, hal. 68 juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. 9 Maka dari itu wacana kritis memandang bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek serta berbagai tindakan representasi yang terdapat di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, analisis wacana kritis yang juga menggunakan pendekatan kritis menganalisis bahasa tidak saja dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks yang dimaksud adalah tujuan dan praktik tertentu. Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana sebagai bentuk dan praktik sosial. Wacana sebagai praktik sosial yang menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa wacana tertentu dan situasi, institusi, dan sktruktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana biasa jadi menampilkan ideologi: ia dapat memproduksi dan memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak berimbang antara kelas sosial, laki­laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas. Melalui perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui wacana, sebagai contoh, dalam sebuah wacana keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaranalamiah, dan memang seperti kenyataannya. 10 Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam 9 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: Lkis Group, 2001, hal. 7 10 Aris Badara, Analisis Wacana Teori Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, Cet. Ke­1, hal. 28­29 masyarakat terjadi. Mengutip Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa kelompok sosial dan saling bertarung dan mengajukan versinya masing­masing. 11 Berikut ini disajikan karakteistik penting dari analisis wacana kritis yang disarikannya oleh Eriyanto dari tulisan Van Djik, Fairclough, dan Wodak. a. Tindakan Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman semacam itu wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. b. Konteks Anaisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar, situasi, pristiwa, dan kondisi. Merujuk pandangan Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi. 12 Titik tolak dari analisis wacana di sini, bahasa tidak biasa dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Bahasa di sini dipahami dalam konteks secara keseluruhan. c. Historis Contoh dari konteks historis. Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menentang Suharto. Pemahaman mengenai wacana teks tersebut hanya dapat diperoleh apabila kita memberikan konteks historis dimana teks tersebut dibuat. d. Kekuasaan 11 Ibid. hal. 29 12 Ibid. hal. 30 Di dalam analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan di dalamnya. Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan ataupun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. 13 Dari pernyataan di atas mengimplikasikan bahwa analisis wacana kritis tidak membatasi diri pada detail teks atau struktur wacana saja, tetapi juga menghubungkannya dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya tertentu. e. Ideologi Ideologi merupakan suatu konsep yang sentral dalam analisis wacana bersifat kritis. Hal tersebut karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari suatu praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. 14 Van Dijk menyatakan bahwa ideologi dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok sehingga bertindak dalam situasi yang sama dan menghubungkan masalah mereka, serta memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi dalam kelompok. 15 Analisis bahasa kritis atau Critical Linguistics adalah melihat bagaimana gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Dengan kata lain, 13 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: Lkis Group, 2001, hal. 11 14 Aris Badara, Analisis Wacana Teori Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, Cet. Ke­1, hal. 34 15 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: Lkis Group, 2001, hal. 13 aspek ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan kata maupun struktur gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna ideologi tertentu. Ideologi itu dalam taraf yang umum menunjukan bagimana suatu kelompok berusaha memenangkan dukungan publik, dan bagaimana kelompok lain berusaha memarjinalkan lewat pemakaian bahasa dan struktur gramatika tertentu. Bahasa adalah suatu sistem kategorisasi, dimana kosakata tertentu dapat dipilih yang akan menyebabkan makna tertentu. 16 3. Paradigma Kritis Paradigma kritis ialah adanya kekuatan­kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Oleh sebab itu, pertanyaan utama dari paradigma ini adalah siapa yang mengontrol media? Kenapa ia mengontrol? Keuntungan apa yang bisa diambil dengan kontrol tersebut? Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi objek pengontrolan? Paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana dimana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. 17 Seperti ditulis oleh Sindhunata, teori kritis lahir karena ada keperihatinan akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar, yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat 18 Modal inilah yang kini bisa menggerakan atau mengontrol masyarakat dan individu­individu tidak lagi memiliki kontrol terhadap modal tersebut, malah 16 Ibid. hal. 15 17 Ibid, hal. 23­24 18 Ibid. hal. 24 secara rasional atau secara alamiah di luar batas kesadarannya ia harus menyesuaikan dengan masyarakat yang dikuasai modal. Salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat pada saat ini. Karena kondisi masyarakat yang terlihat produktif, dan bagus tersebut sesungguhnya memiliki struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak. 19 Contohnya dalam proses berita. Kondisi berita pada saat ini dengan mempunyai modal besar­besaran menyatakan bahwa berita itu objektif. Sehingga pertanyaan yang timbul ialah bagaimana supaya media dapat meliput peristiwa dengan objektif. Dalam teori kritis, pertanyaan yang pertama kali harus selalu diajukan adalah mengenai objektivitas itu sendiri. Semua kategori seperti nilai berita dan objektif harus dipertanyakan, karena bisa menjadi alat kelompok yang dominan yang ada di dalam masyarakat. Lewat kategori itu, bisa jadi dominasi kekuasaan sedang dimapankan, sehingga kita percaya kepada objektivitas, pada saat itu juga kita memperkuat dan mempercayai struktur sosial yang pada dasarnya tidak seimbang dan palsu tersebut. Oleh karena itu, berbagai definisi dan kategori harus satu per satu dipertanyakan ulang secara kritis. Paradigma kritis mempunyai pandangan tersendiri terhadap berita, yang bersumber pada bagaimana berita tersebut diproduksi dan bagaimana kedudukan wartawan dan media bersangkutan dalam keseluruhan proses produksi berita. Paradigma pluralis percaya bahwa wartawan dan media adalah entitas yang otonom, dan berita yang dihasilkan haruslah menggambarkan realitas yang terjadi 19 Ibid. hal. 24 di lapangan. Sementara paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan media dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Pada akhirnya posisi tersebut mempengaruhi berita, bukan pencerminan dari realitas yang sesungguhnya. 20 Aliran kritis melihat struktur sosial sebagai konteks yang sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi, termasuk komunikasi massa. Bagi aliran ini, penelitian komunikasi massa yang mengabaikan struktur sosial sebagai penelitian yang ahistoris. Kritik dari pendekatan ini ditujukan kepada pendekatan yang diambil dari paradigma positivistik. Paradigma kritis beragumentasi, melihat komunikasi, dan proses yang terjadi di dalamnya haruslah dengan pendangan holistik. Menghindari konteks sosial akan menghasilkan distorsi yang serius. 21 Paradigma kritis mempunyai pandangan bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. 4. Analisis Wacana Model Norman Fairclough Pendekatan yang akan digunakan dalam analisis wacana ini menggunakan model Norman Fairclough, dengan melihat berbagai perbandingan antar model pada analisis wacana. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Model analisis wacana ini dibagi ke dalam tiga sktruktur besar, yakni : 1. teks, 2. discourse practice dan 3. sociocultural practice. 20 Ibid. hal. 31­32 21 Ibid. hal. 48 Dalam model Fairclough, teks yang dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata semantik dan tata kalimat. Termasuk di dalamnya koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau antarkalimat tersebut digabung sehingga membentuk sebuah pengertian. Intinya adalah teks bukan hanya menunjukan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antar objek di definisikan. Disini dilakukan analisis linguistik pada struktur teks untuk menjelaskan teks tersebut, yang meliputi kosakata, kalimat, proposisi, makna kalimat dan lainnya, untuk mempermudah analisis bisa digunakan metode analisis pembingkaian. 22 Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan. Ada tiga elemen dasar dalam model Fairclough, yang dapat digambarkan dalam tabel berikut. Setiap teks pada dasarnya, menurut Fairclough dapat diuraikan dan dianalisis dari ketiga unsur tersebut. 23 Tabel 2.1 Unsur Yang Ingin Dilihat Representasi Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apa pun ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Relasi Bagaimana hubungan antara wartawan, khalayak, dan 22 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke­3 hal. 263 23 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: Lkis Group, 2001, hal. 289 partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Identitas Bagaimana identitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. 1.1 Representasi dalam anak kalimat Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa, dan kegiatan ditampilkan dalam teks, dalam hal ini bahasa yang dipakai. Menurut Fairclough, ketika sesuatu tersebut ditampilkan, pada dasarnya pemakai bahasa dihadapkan pada paling tidak dua pilihan. Pertama, pada tingkat kosakata: kosakata apa yang dipakai untuk menampilkan dan menggambarkan sesuatu, yang menunjukan bagaimana sesuatu tersebut dimasukan dalam satu set kategori. Kedua, pilihan yang didasarkan pada tingkat tata bahasa. Pertama­tama terutama perbedaan di antara tindakan dan sebuah peristiwa. Ini bukan semata persoalan ketatabahasaan, karena realitas yang dihadirkan dari pemakaian tata bahasa ini berbeda. Pemakai bahasa dapat memilih, apakah seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu hendak ditampilkan sebagai sebuah tindakan ataukah sebagai sebuah peristiwa. 24 1.2 Representasi dalam kombinasi anak kalimat Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabung sehingga membentuk suatu pengertian yang dapat dimaknai. Pada dasarnya, realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain. Dalam proses kerja penulisan berita, wartawan pada 24 Ibid. hal. 290 dasarnya membuat abstraksi bagaimana fakta­fakta yang saling terpisah dan tercerai­berai digabungkan sehingga menjadi suatu kisah dapat dipahami oleh khalayak dan membentuk pengertian. Gabungan antara anak kalimat ini akan membentuk koherensi lokal, yakni pengertian yang didapat dari gabungan anak kalimat satu dengan yang lain, sehingga kalimat itu mempunyai arti. 25 1.3 Representasi dalam rangkaian anak kalimat Ketika dua anak kalimat digabung, maka aspek ini berhubungan dengan bagaimana dua anak kalimat atau lebih disusun dan dirangkai. Representasi ini berhubungan dengan bagaimana dalam kalimat yang lebih menonjol dibandingkan dengan bagian yang lain. Salah satu aspek penting adalah apakah partisipan dianggap mandiri ataukah ditampilkan memberikan reaksi dalam teks berita. 26 Rangkaian kalimat yang dimaksudkan penjelasan diatas ialah rangkaian kalimat itu bukan hanya berhubungan dengan teknis penulisan, karena rangkaian itu bisa mempengaruhi makna yang ditampilkan kepada khalayak. 2. Relasi Relasi berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media disini dipandang sebagai suatu arena sosial, dimana semua kelompok, golongan, dan khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan versi dan gagasannya. 3. Identitas Aspek identitas ini terutama dilihat oleh Fairclough dengan melihat bagaimana identitaas wartawan ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks 25 Ibid. hal. 294 26 Ibid. hal. 296 pemberitaan. Menurut Fairclough, bagaimana wartawan menempatkan dan mengidentifikasikan dirinya dengan masalah atau kelompok sosial yang terlibat. 27 Analisis Discourse Practice memusatkan perhatian pada bagimana produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Ketika terjadi di dalam media, teks melibatkan praktik diskursus yang rumit dan kompleks. Praktik wacana inilah yang menentukan bagaimana teks tersebut terbentuk. Menurut Fairclough, ada dua sisi dari praktik diskursus tersebut, yakni produksi teks dipihak media dan konsumsi teks di pihak khalayak. Jadi kalau ada teks yang merendahkan dan memarjinalkan posisi wanita, memarjinalkan posisi buruh, kita harus mencari tahu bagaimana teks tersebut diproduksi dan bagaimana juga teks tersebut dikonsumsi. Kedua hal tersebut berhubungan dengan jaringan yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek praktik diskursif. Dari berbagai faktor yang kompleks tersebut, setidaknya ada aspek yang penting. Pertama dari sisi individu wartawan itu sendiri. Kedua, dari sisi bagaimana hubungan antara wartawan dengan struktur organisasi media, baik sesama anggota redaksi maupun dengan bidang lain dalam satu media. Ketiga, praktik kerja rutinitas kerja dari produksi berita mulai dari pencarian berita, penulisan, editing sampai muncul sebagai tulisan di media. Ketiga elemen tersebut merupakan keseluruhan dari praktik wacana dalam suatu media yang saling kait dalam memproduksi suatu wacana berita. 28 27 Ibid. hal. 303­304 28 Ibid. hal. 316­317 Faktor pertama dari pembentukan wacana ini adalah individu dan profesi jurnalis itu sendiri. Faktor ini berhubungan dan berkaitan dengan para professional. Faktor ini antara lain melingkupi latar belakang pendidikan mereka, perkembangan professional, orientasi politik dan ekonomi para pengelolanya, dan keterampilan mereka dalam memberitakan secara akurat. Penting juga untuk diamati prilaku, pemahaman terhadap nilai dan kepercayaan dari para professional tersebut, juga orientasi dari para professional, paling tidak dalam proses sosialiasasi terhadap bidang pekerjaannya. Apakah mereka meletakkan dirinya sebagai pihak yang netral atau partisipan aktif dalam mengembangkan suatu berita. Produksi teks juga berhubungan dengan struktur organisasi media. Teks yang memarjinalkan seseorang atau suatu melibatkan struktur yang timpang. Struktur organiasasi ini meliputi bagaimana bentuk organisasinya, bagaimana promosi dan jenjang orang­orangnya, bagaimana proses pengambilan keputusan dibuat, khususnya hal­hal yang berada di luar proses rutinitas media. 29 Produksi teks berhubungan dengan bagaimana pola dan rutinitas pembentukan berita di meja redaksi. Proses ini melibatkan banyak orang dan banyak tahapan dari wartawan di lapangan, redaktur, editor bahasa sampai bagian pemasaran. Pertimbangan apa yang dipakai menyangkut bagaimana suatu berita diturunkan. Di dalam setiap organisasi media umumnya mempunyai struktur dan fungsi berbeda­beda, dari proses turun ke lapangan, menulis, mengedit dari suatu 29 Ibid. hal. 318 berita. Praktik itu merupakan rutinitas media yang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap pemberitaan. 30 Analisis sosiocultural practice didasari pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau kotak kosong yang steril. Tetapi, sangat ditentukan oleh faktor di luar dirinya. Sosiocultural practice ini memang tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Ketika sosiocultural practice ini menentukan teks, menurut Fairclough, hubungan itu bukan langsung, tetapi di mediasi oleh discourse practice. Kalau ideologi dan kepercayaan masyarakat itu paternalistik. Maka hubungannya dengan teks akan di mediasi oleh bagaimana teks tersebut diproduksi dalam suatu proses dan praktik pembentukan wacana. Mediasi itu meliputi dua hal. Pertama, bagaimana teks tersebut diproduksi. Ideologi partikal itu akan mewujud dalam bagaimana teks tersebut diproduksi. Kedua, khalayak juga akan mengkonsumsi dan menerima teks tersebut dalam pandangan yang partikal. 31

B. Perbedaan Media Cetak dengan Media Online

Media cetak adalah berita­berita yang disiarkan melalui benda cetakan. Dalam sejarahnya, jurnalisitik media cetak adalah bentuk jurnalistik pertama sebelum munculnya radio, televisi, dan internet. Dari segi format atau ukurannya media massa cetak terbagi menjadi berbagai segi. Pertama, format broadsheet, 30 Ibid. hal. 319 31 Ibid. hal. 320­321 yakni media cetak berukuran surat kabar umum. Kedua, format tabloid, yakni media yang ukurannya setengah ukuran dari tabloid. Ketiga, format buku, yakni ukuran setengah halaman majalah. 32 Meskipun media­media cetak itu kini tumbuh dan berkembang pesat, tetapi memiliki kompetisi atau persaingan yang sangat ketat. Sementara itu, jumlah pembacanya tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Pembaca tidak membeli atau membaca banyak media, tetapi cenderung hanya berpindah dari satu media ke media lainnya. 33 Sejak dunia internet berkembang dengan sangat pesat dan canggih, jurnalistik lewat media pun berkembang. Di Amerika dan Eropa, jurnalisme ini telah menjadi pesaing yang sangat ketat bagi jurnalistik media cetak, khususnya Koran dan majalah. Harus diakui, jurnalistik media online memiliki sejumlah keunggulan disbanding jurnalistik media cetak. Pertama, berita­berita yang disampaikan jauh lebih cepat, bahkan setiap beberapa menit dapat di update. Kedua, untuk mengakses berita­berita yang disajikan, tidak hanya dapat dilakukan lewat computer atau laptop yang dipasang di internet, tetapi lewat ponsel atau HP pun bisa sangat mudah dan praktis. Ketiga, pembaca media online dapat memberikan tanggapan atau komentar secara langsung terhadap berita­berita yang disukai atau yang tidak disukainya dengan mengetik pada kolom komentar yang telah disediakan. 34 32 Zaenuddin HM, The Journalist: Bacaan Wajib Wartawan, Redaktur, Editor dan Para Mahasiswa Jurnalistik, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011, hal. 3­4 33 Ibid. hal. 5 34 Ibid. hal. 7­8