tergantung dari program pemerintah dan terdapat pengalokasian pendanaan untuk pelaksanaannya. Hal ini karena keterbatasan anggaran yang ada pada instansi
pemerintah, sehingga pengadaan penyuluhan tidak dapat dilakukan secara kontiniu berkelanjutan secara teratur. Penyuluhan dilakukan berkali-kali karena pemahaman
masyarakat tidak dapat dicapai hanya dengan waktu singkat dan membutuhkan waktu yang panjang secara berulang-ulang, sehingga penyuluhan yang dilakukan dapat
memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat untuk melakukan rehabilitasi mangrove secara swadaya. Seiring pendapat Ritohardoyo 2002 yang menyatakan
bahwa sikap terhadap perilaku yang terbentuk merupakan refleksi seseorang akibat perilaku yang ada, bila interpretasi ataupun kesan yang terbentuk positif. Demikian
pula sebaliknya, bila kesan yang terjadi adalah negatif, maka akan terbentuk sikap yang negatif pula.
5.2.5. Peran Pemerintah dalam Kegiatan Monitoring, Control dan Evaluation
Hingga saat ini, tingkat keberhasilan rehabilitasi masih belum diketahui secara pasti karena terbatasnya data dan informasi mengenai persentase jumlah tanaman
yang hidup. Hanya sebahagian kecil diantara pelaksana saja yang memiliki data tentang kemajuan kegiatan rehabilitasi, termasuk persentase hidup di lapangan.
Sementara, sebagian besar pelaksana kegiatan tidak melakukan kegiatan monitoring, control dan evaluation yang menyebabkan data pelaksanaan rehabilitasi hutan
mangrove yang telah dilakukan tidak diketahui. Hal ini dipertegas oleh Wibisono dan Suryadiputra 2006 bahwa kondisi ini merupakan salah satu dampak dari kegiatan
yang terfragmentasi sepotong-sepotong. Di mana kegiatan rehabilitasi dianggap selesai setelah bibit ditanam.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dilakukan seyogyanya dengan adanya proses monitoring, control dan evaluation. Hal ini dilakukan untuk melihat
tingkat keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan. Sebagaimana dinyatakan Departemen Kelautan dan Perikanan 2004 bahwa pengelolaan ekosistem
mangrove mengikuti proses berulang melalui kegiatan monitoring, control dan evaluation untuk tercapainya suatu keberhasilan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu petugas instansi pemerintah, menyatakan bahwa pelaksanaan monitoring, control dan evaluation dilakukan
masing-masing lembaga pelaksana program kegiatan untuk setiap wilayahnya. Pihak donor atau NGO dan pemerintah langsung turun ke lapangan untuk melihat proses
kegiatan rehabilitasi yang dilakukan langsung oleh masyarakat. Kegiatan monitoring, control dan evaluation ini dilakukan sebagai dasar pertanggungjawaban
pengalokasian dana yang digunakan untuk rehabilitasi tersebut yang pada akhirnya dapat dinilai tingkat keberhasilannya. Hal ini sesuai hasil wawancara dengan Drwn
yang menyatakan: “
Pelaksanaan monitoring, control dan evaluation dilakukan untuk mencapai hasil rehabilitasi hutan mangrove yang baik. Proses monitoring dilakukan
setiap awal bulan, proses control dilakukan dengan pengamatan langsung dilapangan yakni mengamati tingkat persentase tumbuh tanaman sedangkan
proses evaluation dilakuakn pada akhir kegiatan Wawancara tanggal 5 September 2008”.
Lembaga Swadaya Masyarakat menjalankan aktivitas monitoring, control dan evaluation sebagai suatu kewajiban dalam penyelesaian pertanggungjawabannya
terhadap hasil kegiatan rehabilitasi kepada donor, sehingga pelaksanaannya harus dilakukan. Hal ini disebabkan adanya perjanjian atau kesepakatan kepada donor
untuk penggunaan dana sampai pada keberhasilan. Demikian juga pemerintah, kegiatan
monitoring, control
dan evaluation
dilakukan untuk
mempertanggungjawabkan pengalokasian dana yang dipergunakan untuk program rehabilitasi hutan mangrove dari pemerintah pusat dan sebagai tim penilai
keberhasilan kerja NGO yang telah menjadi fasilitator dan pendukung program NGO sebelumnya.
Setelah beberapa lembaga donor dan NGO pelaksana program rehabilitasi hutan mangrove sudah keluar dari lokasi NAD dan tidak lagi memperpanjang
program kerjanya di wilayah NAD termasuk Kecamatan Baitussalam, kegiatan monitoring, control dan evaluation tidak lagi berjalan seperti sedia kala. Hal ini
disebabkan sebagian besar pelaksana kegiatan, terutama yang datang beberapa saat setelah bencana tsunami, umumnya terkait dengan penanganan tanggap darurat yang
diikuti dengan beberapa kegiatan pembangunan fasilitas. Hal ini diperkuat pernyataan Wibisono dan Suryadiputra 2006 yang menyatakan bahwa sebahagian lembaga
menganggap kegiatan rehabilitasi sebagai kegiatan sampingan bukan prioritas. Sebagai konsekuensinya atas status bukan merupakan prioritas maka kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove tidak didukung pendanaan yang memadai. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pendanaan umumnya hanya terbatas pada kegiatan
pengadaan bibit dan penanaman, namun tidak ada pendanaan untuk perawatan
tanaman serta dana monitoring, control dan evaluation yang seharusnya dilakukan secara berkesinambungan sampai saatnya proses rehabilitasi hutan mangrove
dinyatakan sudah layak mandiri. Hasil temuan di wilayah penelitian, pelaksanaan monitoring, control dan
evaluation tidak dilakukan oleh semua lembaga karena tidak didukungnya persiapan yang cukup. Hal ini disebabkan beberapa NGO Internasional seringkali mengambil
langkah instant dengan cara mengontrakkan kegiatan penanaman tersebut kepada pihak lain, misalnya kepada NGO lokal yang mana NGO lokal tersebut tidak
melaksanakan kegiatan monitoring, control dan evaluation setelah proyek selesai dilaksanakan. Tingkah laku seperti ini menurut Wibisono dan Suryadiputra 2006
tidak dapat disalahkan, karena para NGO Internasional dikejar bukti nyata hasil kegiatannya oleh penyumbang di negara di mana NGO tersebut berasal. Hal ini tidak
akan terjadi, jika adanya pendelegasian tugas yang bijaksana dan adanya kerjasama pemerintah sebagai fasilitator kepada pelaksanaan program rehabilitasi.
5.3. Karakterisik Responden Penelitian