sebagainya untuk mengurangi energi gelombang laut yang mengenai bibir pantai. Pendekatan biologi merupakan upaya vegetatif penanaman pohon
mangrove untuk memperkuat bibir pantai dan mencegah terjadinya erosi. Sedangkan
pendekatan sosial
merupakan upaya
meningkatkan dan
menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan di kawasan pantai Anonimous, 2005.
2.4. Dampak Tsunami dan Gempa terhadap Hutan Mangrove di Aceh
Gelombang Tsunami setinggi 10-15 m dengan kecepatan lebih dari 40 kmjam yang menghantam pesisir Aceh telah menimbulkan kerusakan yang sangat
parah. Kerusakan paling parah sepanjang pesisir barat Aceh meliputi Aceh Barat dan Nagan Raya, Kabupaten Banda Aceh, Aceh Jaya dan Aceh Besar Wibisono,
et al, 2006. Dari analisis yang dilakukan LAPAN, dari 21 kabupatenkota di Provinsi
NAD sekurang-kurangnya 15 kabupatenkota yang wilayahnya terpengaruh bencana gempa dan Tsunami. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa total luas
wilayah yang terkena pengaruh seluas 649.582 ha, diantaranya sawah seluas 131.810 ha, rawa seluas 9448.5 ha dan hutan mangrovepantai seluas 32.004 ha.
Wibisono, et al, 2006. Kerusakan ekosistem pesisir yang ditimbulkan oleh Tsunami setidaknya
terjadi melalui 2 dua mekanisme, yaitu:
1. Energi gelombang Tsunami secara langsung menghantam pesisir sehingga
menghancurkan hutan mangrove, tegakan cemara, kebun kelapa dan berbagai vegetasi lainnya. Dalam hal ini, kerusakan sebagai akibat hantaman
gelombang Tsunami berjalan sangat cepat. Tanaman yang rusak karena hantaman energi gelombang umumnya dalam keadaan rusak atau telah tidak
utuh lagi. Bahkan di lokasi yang hantamannya sangat kuat, banyak sekali pohon bakau yang tercabut dari substratnya.
2. Genangan air laut yang terbawa oleh gelombang Tsunami. Genangan air laut
yang salinitasnya tinggi membuat vegetasi yang ada di pesisir menjadi stres, kering dan mati. Kematian tanaman yang diakibatkan oleh genangan air asin
selalu terjadi secara perlahan-lahan. Berbeda dengan kerusakan karena hantaman ombak yang dalam kondisi hancur, tanaman yang mati karena
genangan umumnya dalam kondisi utuh namun mati berdiri Wibisono, et al, 2006.
Hampir seluruh formasi dan tipe vegetasi yang berada di pesisir Aceh mengalami kerusakan parah. Lebih dari 60.000 ha areal persawahan rusak total
karena tergenang oleh air laut. Hingga saat ini, hanya 21,6 dari total persawahan yang direhabilitasi, sementara sebagian besar sisanya dibiarkan dalam
kondisi terlantar. Hutan mangrove, hutan pantai, pantai cemara, rawa dan tipe vegetasi lain di kawasan pesisir tidak luput dari kerusakan ini.
Selain karena hantaman gelombang Tsunami, kerusakan hutan mangrove juga dapat disebabkan oleh terangkatnya substrat sehingga hutan mangrove tidak
tergenangi lagi oleh pasang surut air laut. Fenomena ini banyak sekali di jumpai di Pulau Simeulue dan sebagian pesisir Pulau Nias Wibisono, et al, 2006.
Kabupaten Aceh Besar memiliki kawasan hutan mangrove seluas 16.000 ha Peta BP DAS, 2005 akan tetapi luas kawasan hutan mangrove yang telah
dilakukan rehabilitasi di beberapa kecamatan pada Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1. Kecamatan-kecamatan yang Telah Dilakukan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kabupaten Aceh Besar
No. Kecamatan
Luas ha
1. Baitussalam
303,00 2.
Lhoong 179,51
3. Lhoknga
28,00 4.
Leupung 53,00
5. Mesjid Raya
204,00 6.
Peukan Bada 175,00
7. Pulo Aceh
100,00 Jumlah
1.042,51 Sumber: BPS, Kabupaten Aceh Besar dalam Angka, 2007
Berdasarkan Tabel 2.1 di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove pasca tsunami di Kabupaten Aceh Besar baru mencapai 15,35 ,
di mana Kecamatan Baitussalam telah dilakukan rehabilitasi paling luas dibandingkan dengan kecamatan yang lain di Kabupaten Aceh Besar, dikarenakan
Kecamatan Baitussalam mengalami kerusakan hutan mangrove pasca tsunami yang paling parah.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ditetapkan pada 4 empat Desa yang memiliki hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar yang memperoleh
bantuan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat melalui fasilitator pemerintah. Penetapan Kecamatan Baitussalam sebagai lokasi penelitian berdasarkan
pada pertimbangan bahwa Kecamatan Baitussalam telah pernah dilakukan rehabilitasi hutan mangrove oleh Pemerintah Daerah dan LSM pasca tsunami, akan tetapi
kondisinya pada saat sekarang ini sangat memprihatinkan. Adapun lokasi Desa di Kecamatan Baitussalam yang menjadi objek penelitian adalah: Desa Lam Ujong,
Desa Lambada Lhok, Desa Cot paya dan Desa Kajhu. Penelitian ini dilakukan mulai dari persiapan penelitian pada bulan Agustus
sd Nopember 2008 yang dilanjutkan dengan tahap pengerjaan tesis sampai bulan Mei 2009 sambil melengkapi data lapangan yang masih kurang untuk dijadikan
bahan penulisan.
3.2. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini terbagi atas dua kelompok, kelompok pertama merupakan aparat pemerintahan yang terbagi atas seluruh Kepala Desa pada lokasi