pelaksanaan kegiatan teknis di lapangan misalnya penyiapan lahan, penanaman, dll pemerintah umumnya merangkul pihak swasta atau masyarakat sebagai tenaga kerja.
Kondisi di Kecamatan Baitussalam, rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan pemerintah melalui program kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
Internasional dan Nasional NGO. Dalam hal ini, lembaga LSM nasional yang terdapat di wilayah penelitian
bukan hanya LSM yang berkedudukan di Aceh saja, melainkan juga LSM-LSM lain yang berkedudukan di daerah lain di Indonesia namun memiliki kegiatan baru
setelah tsunami atau kegiatan lama sebelum tsunami di Aceh. Umumnya, LSM lokal telah memiliki hubungan dengan beberapa LSM Internasional bahkan langsung
kepada lembaga donor. Melalui link tersebut, beberapa LSM lokal berhasil mendapatkan kepercayaan dari LSM Internasional atau lembaga donor untuk
mengelola pelaksanaan kegiatan rehabilitasi di Aceh dengan pertimbangan antara lain memahami kondisi lapangan di Aceh, memiliki akses yang lebih kepada pemerintah
daerah dan beberapa instansi terkait lainnya. Melalui akses tersebut pemerintah memiliki peranan sebagai fasilitator pelaksanaan kegiatan di wilayah kedudukan
pemerintahan lokal.
5.2.1. Peran Pemerintah Sebagai Fasilitator Kepada NGO
Kegiatan penanaman mangrove pada awalnya diinisiasi oleh beberapa NGO Internasional secara swadaya melalui program cash for work sejak April 2005
dibeberapa lokasi di Kabupaten Aceh besar melalui program penanaman beberapa kelompok masyarakat yang difasilitasi oleh Caere International-Indonesia yang
bekerjasama dengan Wetlands International sejak Juni 2005.
Penanaman mangrove umumnya dilakukan di beberapa lokasi, terutama di daerah tambak, bekas habitat mangrove yang telah rusak dan sepanjang tepi
sungai. Namun demikian, dijumpai pula penanaman mangrove yang dilakukan di lokasi yang tidak tepat yaitu di pantai berpasir tebal dan kering. Dari kedua
kegiatan yang berbeda tersebut, tingkat keberhasilan penanaman yang dilakukan di areal berlumpur tambak dan tepi sungai jauh lebih tinggi dibandingkan
penanaman di pantai berpasir. Hampir seluruh penanaman mangrove yang dilakukan di areal berpasir gagal total. Hal ini dikarenakan memang jenis tanaman mangrove
tidak sesuai ditanam di daerah kering dan berpasir. Kenyataan ini sesuai dengan teknik rehabilitasi mangrove Anonimous, 2005 yang menyatakan bahwa tanah
mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi hulu sungai di mana mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur.
Tabel 5.1. Lembaga Pendukung Rehabilitasi Hutan Mangrove di Kecamatan Baitussalam
No. Pelaksana Kegiatan
Desa Luas
Ha
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
OXFAM BPDAS
Kelompok Masyarakat Dusun Junglong Kelompok Masyarakat Dusun Deungah
Yayasan Leuser Indonesia OXFAM
Yayasan Hijau Semesta YHS BPDAS
Dinas Kehutanan OXFAM
Pemerintah Desa Kahju Yayasan Lahan Ekosistem Basah
Lam Ujong Lam Ujong
Lam Ujong Lam Ujong
Lambada Lhok Cot Paya
Cot Paya Kajhu
Kajhu Kajhu
Kajhu Kajhu
54 300
15 15
3 9
2
200 40.5
39 6
10 Jumlah
693.5
Sumber: BP DAS Krueng Aceh, 2007
Tabel 5.1 menunjukkan jumlah luasan hektar lahan hutan mangrove yang direhabilitasi kembali sejak terjadinya tsunami pada tahun 2004 sampai tahun 2007
sebanyak 693.5 Ha. Berdasarkan data tersebut diperoleh data yang paling banyak memperoleh bantuan rehabilitasi hutan mangrove terdapat pada Desa Lam Ujong. Hal
ini disebabkan Desa Lam Ujong merupakan wilayah hutan mangrove yang terluas kerusakannya. Peranan pemerintah yang mendukung lembaga swadaya masyarakat
nasional atau NGO Internasional yang memberikan bantuan kepada daerah terhadap upaya rehabilitasi hutan mangrove melalui pendampingan pelaksanaan proyek yang
dilakukan untuk sampai ke wilayah yang direhabilitasi.
5.2.2. Peran Pemerintah dalam Pemetaan Lokasi Penanaman