2.2 Kultur Pekarangan
Konsep pekarangan diperkenalkan oleh sekelompok orang yang berasal dari Indochina dan selanjutnya menetap di Jawa Tengah sejak tahun 860 M.
Pekarangan berkembang kearah Jawa Timur, Madura dan Bali dan penyebaran ke daerah Jawa Barat pada abad ke-18 Terra, 1948 dalam Christanty, 1990 dalam
Pendong dan Arrijani, 2004. Keberadaan pekarangan telah menjadi bagian dari kultur bangsa Indonesia.
Pekarangan dipengaruhi oleh adat istiadat, kebiasaan, agama, dan suku. Konsep tri-hita-karana sebagai pengetahuan lokal pada masyarakat di Bali yang hingga
kini masih melekat dan menjadi bagian kultur hidup masyarakat. Setiap aspek pekarangan memiliki penggunaan yang khas, termasuk bagi pola pertanaman dan
pemilihan jenis tanaman di pekarangan. Pekarangan memiliki peran yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Hasil pekarangan selain untuk kebutuhan pangan
secara subsisten dan dijual, juga untuk sesajen setiap hari serta untuk rangkaian upacara terutama buah-buahan dan daun. Hal ini adalah ekspresi kearifan lokal
masyarakat dalam konsep keberlanjutan fungsi pekarangan Arifin, 2013. Kultur pemanfaatan pekarangan tidak hanya ada di Indonesia. Namun juga di
negara lain di Asia. Menurut Kehlenbeck 2007: Individual homegardens have been continuously cultivated for many decades and even centuries, for example, in
Sri Lanka Hochegger, 1998, Vietnam Trinh et al., 2003, Bangladesh Ali, 2005; Oakley, 2004; Oakley Momsen, 2007, Thailand Moreno-Black et al.,
1996, and Nepal Shrestha et al, 2004.
Terra 1948 dalam Danoesastro 1977 mengemukakan bahwa di Indonesia perkembangan pemanfaatan pekarangan dapat dilaksanakan lebih baik di daerah
yang penduduknya matriarchal Jawa, Madura, Minang, Aceh, Bali, sebaliknya di daerah yang patriarchal seperti Tapanuli, pekarangan tidak atau sukar
berkembang. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian di beberapa negara melihat bahwa
penduduk yang matriarchal memiliki potensi dalam pengembangan pekarangan. Menurut Kehlenbeck 2007: Dominance of females in hoeing, weeding, and
harvesting, but of males in pruning and hard work such as preparing the land is stated also in the literature e.g. Tchatat et al. 1996 for Cameroon, Rugalema et
al. 1994 for Tanzania, Bennett-Lartey et al. 2004 for Ghana. A rather equal division of labour between male and female household members without giving
more detailed information is reported from Java, Indonesia Andayani, 1988, cited in Suryana Simatupang, 1992, Vietnam Hodel et al., 1999, Nicaragua
Méndez et al., 2001, and Martinique Kimber, 1966. However, in some regions, homegardens are said to be managed mainly or even exclusively by females, e.g.
in Bangladesh Ali, 2005; Oakley, 2004; Oakley Momsen, 2007, Thailand Moreno-Black et al., 1996, Nepal Shrestha et al., 2004, Yemen Ceccolini,
2002, or Tanzania Rugalema et al., 1994. In contrast, dominance of males in homegardening is reported only from India Dash Misra, 2001.
Kultur pekarangan ini juga membentuk zonasi pekarangan yang dipengaruhi juga oleh adat-istiadat, kebiasaan, agama, dan suku. Di Bali, Konsep tri-hita-karana
sebagai local knowledge pada masyarakatnya. di mana tata-ruang mulai dari
pulau,banjar, sampai pekarangan dibagi menjadi parahyang hulu, atas, kepala, pawongan tengah, badan, dan palemahan hilir, bawah, kaki. Setiap bagian
memiliki penggunaan yang khas, termasuk bagi pola pertanaman dan pemilihan jenis tanaman di pekarangan. Pada pekarangan Bali, zona parahyangan
menghadap ke arah Gunung Agung, sebagai tempat suci prajan untuk sembahyang sanggah. Zona ini digunakan untuk tanaman hias baik bunga-
bungaan maupun daun yang setiap hari bisa dipetik untuk persembahan. Zona pawongan adalah bagian dari kehidupan manusia penghuninya yang dicirikan
dengan tanaman buah-buahan, bunga dan daun. Pada zona palemahan tanamannya dalam bentuk buah, batang, daun, dan umbi-umbian.
Pada pekarangan Sunda, pekarangan dibagi menjadi tigabagian. Bagian depan yang disebut buruan. Bagian ini biasanya disapu dan hampir dibersihkan tiap hari.
Kadang ditanami dengan tanaman hias atau tanaman peneduh, yang digunakan untuk menjemur pakaian, hasil bumi, tempat bermain anak dan lainnya. Bagian
pinggir rumah yang berada di samping kiri dan kanan, yaitu pipir. Pipir ini biasanya digunakan untuk tempat perabotalat-alat pertanian, seperti garu, gasrok,
grendel, dan lainnya, tetapi biasanya disimpan di belakang rumah. Jarian, biasanya terletak dibelakang rumah atau di bagian belakang, berfungsi sebagai
tempat membuang sampah yang dibakar dan dijadikan pupuk. Panyaweran adalah garis pembatas antara buruan dan dinding rumah. Digunakan untuk
menyimpan sementara hasil panen atau barang-barang lainnya
2.3 Fungsi Pekarangan