Hidup BerkeluargaPerkawinan LANDASAN TEORI

tersebut ada karena kebutuhan-kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh setiap individunya. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu dapat digolongkan menjadi: 1. Kebutuhan fisik Kebutuhan fisik yaitu merupakan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan jasmani,kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan eksistensinya sebagai mahluk hidup, misalnya kebutuhan akan makanan, minuman, seksual, udara segar. 2. Kebutuhan psikologis Kebutuhan psikologis yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan segi psikologis, misalnya kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang. 3. Kebutuhan sosial Kebutuhan sosial yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan interaksi sosial, kebutuhan akan berhubungan dengan orang lain, misalkan berteman, bersaing. 4. Kebutuhan Religi Kebutuhan religi yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk berhubungan dengan kekuatan yang diluar diri manusia, kebutuhan berhubungan dengan Sang Pencipta.

C. Peranan Faktor Psikologis dalam Hidup Berkeluarga

Dalam hidup berkeluargaperkawinan faktor psikologis adalah salah satu hal yang penting. Relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna begi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri. Kunci dari kelanggengan perkawianan adalah dalam keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes Lestari, 2012:9. Dalam hal ini, komunikasi yang baik ikut berperan untuk membangun harmonis. Menjalin komunikasi yang baik dalam berkeluarga meliputi:

1. Kematangan Emosi

Orang yang matang secara emosi mempunyai persepsi obyektif dan mampu memberi respon positif. Menurut Walgito 1984 mengenai peranan psikologis dalam perkawinan ada beberapa, diantaranya menjelaskan kematangan emosi. Kematangan emosi meliputi, yaitu persepsi obyektif dan respon positif. Orang yang matang emosinya biasanya mampu mengelola emosi, sehingga dalam keadaan emosi yang seperti apapun, baik emosi positif seperti senang, bahagia, rindu, maupun negatif seperti marah, kecewa, ia tetap dapat menempatkan diri. Orang yang dapat menempatkan diri biasanya memiliki persepsi yang obyektif, sehingga dapat mengambil kebutusan dengan tepat.