Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
benar terbuka, belum benar-benar saling percaya dan banyak hal yang lainnya.
Keluarga yang kurang harmonis tak jauh berbeda dengan calon suamiistri yang kurang persiapan, dapat terlihat dari kurangnya
komunikasi antara pasangan suami istri. Kurangnya komunikasi pada pasangan suami istri terlihat saat mereka tidak tahu kesibukan atau
kegiatan satu sama lain walaupun tinggal dalam satu rumah, saling menarik diri satu sama lain, dan tidak ada keceriaan pada keluarga
tersebut. Mereka cenderung bertahan dalam rumah tangga mereka karena merasa itu pilihan yang terbaik, jika bercerai mereka merasa tidak lebih
baik. Berbagai alasan pasangan suami istri tersebut mempertahankan hubungannya antara lain karena memperjuangkan kebahagiaan anaknya,
takut akan cibiran lingkungan sosial, merasa dicukupi secara ekonomi dan mungkin banyak hal yang lainnya.
Pasangan suami istri tersebut menikah dengan berbagai sebab, ada suamiistri menikah karena dijodohkan, ada yang hamil pra nikah dan ada
pula yang sama-sama tertarik atau mereka menyebutnya karena cinta. Sehingga mereka memutuskan untuk berkeluarga agar dapat saling
membahagiakan. Setelah mereka menikah, lama kelamaan kehidupan mereka mengalami perubahan, lebih-lebih jika sudah memiliki anak.
Kalau suami istri itu mengalami kesulitan dalam menerima perubahan itu, maka mungkin mereka akan saling menarik diri Indra. S, 1980:39
Beberapa kasus keluarga yang tak lagi memaksakan diri untuk mempertahankan rumah tangganya, mereka memilih mengakhirinya
dengan berpisah. Terdapat beberapa kasus di berbagai tempat, berserta dengan penyebab-penyebabnya. Seorang peneliti bernama
Fachrul Rasyid HF melakukan penelitian
di Tanjung Pati dan Payakumbuh mengungkap
bahwa terdapat sebanyak 338 kasus ditangani Pengadilan Agama PA Tanjung Pati dan 539 kasus oleh PA Payakumbuh. Artinya, tiap hari rata-
rata sekitar tiga pasangan suami istri bercerai di kedua daerah berpenduduk sekitar 520 ribu jiwa. Kalau saja tiap keluarga yang bercerai
rata-rata memiliki dua anak, setidaknya ada 1.900 anak yang menjadi yatim berbapak. Yakni, anak-anak yang masih memiliki ayah, tapi
ayahnya tak lagi berada di dekat mereka. Hal tersebut berdampak secara sosial, ekonomi dan psikologis terhadap perkembangan anak. Secara
langsung maupun tak langsung, perceraian juga merupakan sumber masalah yang berdampak bagi berbagai pihak yang akan jadi beban
pemerintah daerah. Sebagaimana diberitakan, penyebab perceraian cukup beragam. Di
wilayah PA Tanjung Pati misalnya, sekitar 181 keluarga bercerai karena tak ada keharmonisan, 45 pasangan suami tak bertanggungjawab, 41
pasangan karena pihak ketiga, 18 pasangan karena faktor ekonomi, 7 pasangan karena cemburu, 3 pasangan karena poligami, 2 pasangan krisis
akhlak, kawin paksa, dan kekerasan. Alasan serupa terjadi di wilayah PA Payakumbuh, kategori yang menonjol 20 perkara gugatan cerai suami
yang merasa terganggu pihak ketiga. Berita itu kian menarik karena faktanya perceraian di kedua PA tersebut bukan karena faktor ekonomi.
Mungkin karena kedua daerah terbilang daerah yang makmur di Sumatera Barat, bahkan tingkat pendidikan penduduk juga terbilang tinggi. Di lima
puluh kota saja diperkirakan rata-rata tiga sarjana tiap rumah. Sementara di PA Padang, lebih 700 kasus perceraian, didominasi pasangan berusia
antara 21-41 tahun. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh kasar dan tak punya penghasilan tetap.
Tampaknya angka perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun, Pengadilan Tinggi Agama PTA Padang mencatat pada 2012 terdapat
6.154 perkara talakcerai secara Islam. Faktor penyebab perceraian karena tidak adanya tanggungjawab mencapai 38,24 persen. Secara nasional,
menurut Dirjen Badilag Mahkamah Agung, Wahyu Widiana, seperti dikutip Republika, Selasa 2412012, sejak 2005 rata-rata terjadi
peningkatan di atas 10 persen setahun. Pada 2010 di Indonesia terjadi 285.184 perceraian. Penyebabnya, sebanyak 91.841 perkara akibat
ketidakharmonisan, 78.407 perkara suami tak bertanggungjawab, dan masalah ekonomi 67.891 perkara.
Menurut Dagun 1990:146 perceraian dalam keluarga itu biasanya berawal dengan suatu konflik antara anggota keluarga. Bila konflik ini
sampai titik kritis maka peristiwa perceraian itu berada di ambang pintu, sehingga mendatangkan ketidaktenangan yang memakan waktu lama.
Pada saat kemelut, biasanya masing-masing pihak mencari jalan keluar mengatasi berbagai rintangan dan menyesuaikan diri dengan hidup baru.
Hidup berkeluarga tidak semata-mata hanya untuk menghindari perceraian, tetapi untuk membangun keluarga yang harmonis. Dari
pengamatan dan wawancara, pasangan suami istri yang harmonis dalam menjalani rumah tangganya dengan saling menjaga kepercayaan,
keterbukaan, mengerti, menerima kekurangan dan kelebihan masing- masing dan juga saling mengisi satu sama lain. Sikap-sikap tersebut
ternyata juga berdampak untuk hal yang lainnya seperti lebih semangat dalam bekerja, lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, lebih mampu
menjaga dalam bersosialisasi dengan orang lain, dan lain sebagainya. Berdasarkan dari pengamatan, wawancara yang dilakukan dan didukung
beberapa fakta penelitian dapat disimpulkan kesiapan psikologis sangat mempengaruhi dalam hidup berumahtangga.
Menurut Setiono 2011:9 dari pendekatan psikologi, keluarga harmonis, atau bisa juga disebut keluarga serasi, adalah bila interaksi
antara anggota keluarga terpenuhi, dan khusus dari sudut pandang psikologi perkembangan, perkembangan keluarga optimal, mengingat
keluarga adalah lingkungan pertama atau utama. Perlu adanya pertimbangan dan pemantapan pada calon pasangan suami istri sebelum
hidup berkeluarga, bertujuan untuk menciptakan dan menjaga keluarga yang harmonis.
Setelah melihat fenomena di atas, maka menarik untuk meneliti calon suamiistri tetapi lebih berfokus pada faktor psikologisnya. Untuk
melakukan penelitian lebih mendalam maka diangkat judul “Deskripsi
tingkat kesiapan psikologis calon suamiistri untuk hidup berkeluarga dan implikasi terhadap usulan topik-topik bimbingan berkeluarga
”. Melalui ini diharapkan akan ada manfaat yang dapat diambil oleh calon suamiistri
dalam mempersiapkan hidup berkeluarga.