Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

(1)

PENGARUH PEMBERDAYAAN KELUARGA MELALUI EDUKASI TERHADAP KEMAMPUAN MERAWAT PASIEN GANGGUAN

JIWA DI KOTA MEDAN PADA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2013

TESIS

DIES WIRO TARIGAN 117032133/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF FAMILY EMPOWERMENT THROUGH EDUCATION ON THE ABILITY TO TREAT THE PATIENTS

WITH MENTAL DISORDER IN THE CITY OF MEDAN AT MENTAL HOSPITAL OF PROVINCE OF

SUMATERA UTARA IN 2013

THESIS

DIES WIRO TARIGAN 117032133/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH PEMBERDAYAAN KELUARGA MELALUI EDUKASI TERHADAP KEMAMPUAN MERAWAT PASIEN GANGGUAN

JIWA DI KOTA MEDAN PADA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2013

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIES WIRO TARIGAN 117032133/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH PEMBERDAYAAN KELUARGA MELALUI EDUKASI TERHADAP

KEMAMPUAN MERAWAT PASIEN

GANGGUAN JIWA DI KOTA MEDAN PADA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Dies Wiro Tarigan Nomor Induk Mahasiswa : 117032133

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui


(5)

Telah diuji

pada Tanggal : 13 Maret 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D Anggota : 1. dr. Taufik Ashar, M.K.M

2. Drs. Tukiman, M.K.M


(6)

PENGARUH PEMBERDAYAAN KELUARGA MELALUI EDUKASI TERHADAP KEMAMPUAN MERAWAT PASIEN GANGGUAN

JIWA DI KOTA MEDAN PADA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperolah gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2014

Dies Wiro Tarigan 117032133/IKM


(7)

ABSTRAK

Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan, pengenalan dini, serta perawatan pasien gangguan jiwa, termasuk mencegah terjadinya kekambuhan. Pemberdayaan keluarga dengan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan merupakan upaya mencapai kemandirian keluarga merawat pasien gangguan jiwa. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara menghadapi permasalahan tingginya pasien yang kambuh dan kembali dirawat di rumah sakit jiwa, kondisi ini diduga akibat pemberdayaan keluarga melalui edukasi belum terlaksana secara optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberdayaan keluarga melalui edukasi terhadap kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Desain penelitian cross sectional

dengan metode kuantitatif, dilakukan kepada 39 kepala keluarga dari pasien ganguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan sebagai sampel. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan dianalisis secara statistik menggunakan uji chi square dan regresi logistik ganda pada α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan pemberdayaan melalui edukasi keluarga pasien gangguan jiwa Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan pada komponen didaktik. emosi, proses keluarga dan sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan merawat pasien gangguan jiwa. Variabel yang paling dominan memengaruhi kemampuan merawat pasien gangguan jiwa adalah komponen sosial (p=0,025 dan OR=47,229).

Disarankan kepada manajemen Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara perlu meningkatkan kegiatan pendidikan atau edukasi bagi keluarga pasien, khususnya pasien yang akan pulang dari rumah sakit, sehingga perawatan pasien dapat dilakukan oleh keluarga serta menghindari terjadinya kekambuhan, serta melakukan evaluasi metode edukasi yang dilakukan saat ini. Perawat yang bertugas memberikan edukasi kepada keluarga pasien, hendaknya dilakukan pendidikan atau pelatihan khusus yang terkait dengan family education, sehingga proses edukasi keluarga pasien dapat lebih optimal.


(8)

ABSTRACT

Family is the smallest community unit with an important role in preventing, early detecting and treating the patients with mental disorder, including the prevention of relapse. Family empowerment through education to improve knowledge is an effort to obtain family members’ independence in treating the patients with mental disorder. Mental Hospital of Province of Sumatera Utara is facing the problem of the high number of patients who relapsed and were brought again to the mental hospital for treatment. Allegedly, this condition occured because the family empowerment done through education has not been optimally implemented.

The purpose of this study was to find out the influence of family empowerment through education on the ability to treat the patients with mental disorder in the City of Medan at Mental Hospital of Province of Sumatera Utara. This quantitative study with cross-sectional design was conducted to the samples of 39 heads of the families of the patients with mental disorder at Mental Hospital of Province of Sumatera Utara. The data for this study were obtained through questionnaire distribution and statistically analyzed through Chi-square test and Multiple Logistic Regression test at

α = 5%.

The result of this study showed that empowerment through education given to the families of the patients with mental disorder at Mental Hospital of Provinve of Sumatera Utara under the didactic components, emotion, family process and social component had positive and significant influence on the ability to treat the patients with mental disorder. The most dominant variable influencing the ability to treat the patients with mental disorder was social component (p = 0.025 and OR = 47.229).

The management of Mental Hospital of Province of Sumatera Utara is suggested to improve education activity for the family of the patients, especially the family of the patients who will be discharged from the hospital that the patient treatment can be done by the patients’ family members and the relapse can be avoided and the current education of eveluation method can be applied. The nurses who are in charge of providing education to the family of the patients should be equipped with special education or training related to family education that the process of education to the family of the patients can be more optimal.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas atas bimbingan dan karuniaNya, penulisan tesis ini dapat di selesaikan dengan baik. Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari begitu banyak dukungan, bimbingan, bantuan dan kemudahan yang diberikan oleh berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Dengan penuh ketulusan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Prof Dr. dr Syahril Pasaribu, D.T.M&H., M.Sc.(CTM)., Sp.A,(K), Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

5. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D, Ketua Komisi Pembimbing dan dr. Taufik Ashar, M.K.M, Anggota Komisi Pembimbing.


(10)

6. Drs. Tukiman, M.K.M dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes, Dosen Penguji Tesis.

7. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi kesehatan dan ilmu perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. dr. ChandraSyafei, Sp.OG

9. Seluruh keluarga pasien yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini

, Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya pada Minat Studi Promosi kesehatan dan ilmu perilaku

Terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Beres Tarigan dan Ibunda Roskianna br Munthe yang telah membesarkan serta memberikan cinta, kasih sayang serta pendidikan. Bapak dan Ibu Mertua Bolmen Munthe dan Rosmentina br Girsang, MARS. Teristimewa kepada istriku tercinta Yuyun Damayanti br Munthe dan anakku tersayang Cornelia Angel Putri br Tarigan yang selalu memberi doa, kasih sayang dan motivasi kepada penulis serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, dukungan dan motivasi untuk menyelesaikan penelitian dan pendidikan S2 ini.

Medan, Aprilt 2014 Dies Wiro Tarigan 117032133/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Dies Wro Tarigan lahir di Sukamandi tanggal 31 Desember 1982 dari pasangan bapak Beres Tarigan dan ibu Roskianna br Munthe. Anak ketiga dari empat orang bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Inpres No.047169 Regaji selesai tahun 1995, pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Tigapanah selesai tahun 1998, pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMU St. Yoseph Medan selesai tahun 2001, kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi pada Program Studi D.III Keperawatan Universitas Prima Medan selesai tahun 2006, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Prima Medan selesai tahun 2011, pendidikan S2 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi kesehatan dan ilmu perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sampai saat ini.

Mulai bekerja tahun 2009 sampai sampai sekarang sebagai Perawat di Ruangan Napza Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Hipotesis ... 11

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Gangguan Jiwa ... 12

2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa ... 12

2.1.2 Faktor Penyebab Gangguan Jiwa ... 14

2.1.3 Tanda atau Gejala Gangguan Jiwa ... 17

2.1.4 Jenis-Jenis Gangguan Jiwa ... 20

2.2 Penanganan dan Perawatan Gangguan Jiwa ... 24

2.2.1 Pendekatan Model Konsep Keperawatan Jiwa dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa di Masyarakat ... 28

2.2.2 Community Mental Health Nursing (CMHN) ... 29

2.3 Pemberdayaan Keluarga dalam Penanganan Gangguan Jiwa ... 30

2.3.1 Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga ... 31

2.3.2 Strategi Pemberdayaan Keluarga ... 32

2.3.3 Upaya Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Family Psycho Education... 33

2.3.4 Kemampuan Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa .... 40

2.3.5 Komponen Psycho Education dalam Perawatan Gangguan Jiwa ... 43

2.4 Konsep Keluarga ... 50

2.4.1 Definisi Keluarga ... 50

2.4.2 Fungsi Keluarga ... 51

2.4.3 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan ... 52

2.4.4 Kesiapan Keluarga dalam Manerima Pasien Gangguan Jiwa 53 2.5 Landasan Teori ... 59


(13)

2.6 Kerangka Konsep ... 61

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 62

3.1 Jenis Penelitian ... 62

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 62

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 62

3.2.2 Waktu Penelitian ... 62

3.3 Populasi dan Sampel ... 62

3.3.1 Populasi ... 62

3.3.2 Sampel ... 63

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 63

3.4.1 Data Primer ... 63

3.4.2 Data Sekunder ... 63

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 64

3.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 65

3.6 Metode Pengukuran ... 67

3.7 Metode Analisis Data ... 67

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 69

4.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... 69

4.2 Analisis Univariat ... ... 71

4.2.1 Karakteristik Responden ... ... 71

4.2.2 Jenis Penyakit Pasien ... ... 72

4.2.3 Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi ... ... 72

4.2.3.1 Komponen Didaktik dalam Edukasi Keluarga .. ... 73

4.2.3.2 Komponen Keterampilan dalam Edukasi Keluarga .. 74

4.2.3.3 Komponen Emosi dalam Edukasi Keluarga ... ... 75

4.2.3.4 Komponen Proses Keluarga dalam Edukasi Keluarga 76 4.2.3.5 Komponen Sosial dalam Edukasi Keluarga ... ... 78

4.2.4 Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa ... ... 79

4.4 Analisis Bivariat... ... 82

4.4.1 Komponen Didaktik dengan Kemampuan Merawat Pasien ... 82

4.4.2 Komponen Keterampilan dengan Kemampuan Merawat Pasien ... ... 83

4.4.3 Komponen Emosi dengan Kemampuan Merawat Pasien ... 84

4.4.4 Komponen Proses Keluarga dengan Kemampuan Merawat Pasien ... ... 85

4.4.5 Komponen Sosial dengan Kemampuan Merawat Pasien ... 86


(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... ... 89

5.1 Pengaruh Komponen Didaktik dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 89

5.2 Pengaruh Komponen Keterampilan dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 93

5.3 Pengaruh Komponen Emosi dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 96

5.4 Pengaruh Komponen Proses Keluarga dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 101

5.5 Pengaruh Komponen Sosial dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 104

5.6 Karakteristik Keluarga Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 109

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 111

6.1 Kesimpulan ... ... 111

6.2 Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 114


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ... 67 4.1 Distribusi Reponden Menurut Karakteristik di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Sumatera Utara ... ... 71 4.2 Distribusi Reponden Menurut Jenis Gangguan Jiwa di Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 72 4.3 Distribusi Responden Menurut Komponen Didaktik dalam Edukasi

Keluarga di Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 73 4.4 Distribusi Responden Menurut Komponen Keterampilan dalam

Edukasi Keluarga di Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 74 4.5 Distribusi Responden Menurut Komponen Emosi dalam Edukasi

Keluarga di Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 75 4.6 Distribusi Responden Menurut Komponen Proses Keluarga dalam

Edukasi Keluarga di Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 76 4.7 Distribusi Responden Menurut Komponen Sosial dalam Edukasi

Keluarga di Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 78 4.8 Distribusi Responden Menurut Kemampuan Merawat Pasien

Gangguan Jiwa ... ... 79 4.9 Distribusi Responden Menurut Kemampuan Merawat pasien

Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 81 4.10 Kemampuan Merawat Pasien Menurut Komponen Didaktik di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 82 4.11 Kemampuan Merawat Pasien Menurut Komponen Keterampilan di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 83 4.12 Kemampuan Merawat Pasien Menurut Komponen Emosi di


(16)

4.13 Kemampuan Merawat Pasien Menurut Komponen Proses Keluarga

di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 85 4.14 Kemampuan Merawat Pasien Menurut Komponen Sosial di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ... ... 86 4.15 Hasil Analisis Multivariat dengan Regresi Logistik Ganda ... ... 87


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 121

2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 128

3 Hasil Analisis Univariat ... 131

4 Hasil Analisis Bivariat ... 143

5 Hasil Analisis Multivariat ... 151


(19)

ABSTRAK

Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan, pengenalan dini, serta perawatan pasien gangguan jiwa, termasuk mencegah terjadinya kekambuhan. Pemberdayaan keluarga dengan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan merupakan upaya mencapai kemandirian keluarga merawat pasien gangguan jiwa. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara menghadapi permasalahan tingginya pasien yang kambuh dan kembali dirawat di rumah sakit jiwa, kondisi ini diduga akibat pemberdayaan keluarga melalui edukasi belum terlaksana secara optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberdayaan keluarga melalui edukasi terhadap kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Desain penelitian cross sectional

dengan metode kuantitatif, dilakukan kepada 39 kepala keluarga dari pasien ganguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan sebagai sampel. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan dianalisis secara statistik menggunakan uji chi square dan regresi logistik ganda pada α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan pemberdayaan melalui edukasi keluarga pasien gangguan jiwa Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan pada komponen didaktik. emosi, proses keluarga dan sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan merawat pasien gangguan jiwa. Variabel yang paling dominan memengaruhi kemampuan merawat pasien gangguan jiwa adalah komponen sosial (p=0,025 dan OR=47,229).

Disarankan kepada manajemen Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara perlu meningkatkan kegiatan pendidikan atau edukasi bagi keluarga pasien, khususnya pasien yang akan pulang dari rumah sakit, sehingga perawatan pasien dapat dilakukan oleh keluarga serta menghindari terjadinya kekambuhan, serta melakukan evaluasi metode edukasi yang dilakukan saat ini. Perawat yang bertugas memberikan edukasi kepada keluarga pasien, hendaknya dilakukan pendidikan atau pelatihan khusus yang terkait dengan family education, sehingga proses edukasi keluarga pasien dapat lebih optimal.


(20)

ABSTRACT

Family is the smallest community unit with an important role in preventing, early detecting and treating the patients with mental disorder, including the prevention of relapse. Family empowerment through education to improve knowledge is an effort to obtain family members’ independence in treating the patients with mental disorder. Mental Hospital of Province of Sumatera Utara is facing the problem of the high number of patients who relapsed and were brought again to the mental hospital for treatment. Allegedly, this condition occured because the family empowerment done through education has not been optimally implemented.

The purpose of this study was to find out the influence of family empowerment through education on the ability to treat the patients with mental disorder in the City of Medan at Mental Hospital of Province of Sumatera Utara. This quantitative study with cross-sectional design was conducted to the samples of 39 heads of the families of the patients with mental disorder at Mental Hospital of Province of Sumatera Utara. The data for this study were obtained through questionnaire distribution and statistically analyzed through Chi-square test and Multiple Logistic Regression test at

α = 5%.

The result of this study showed that empowerment through education given to the families of the patients with mental disorder at Mental Hospital of Provinve of Sumatera Utara under the didactic components, emotion, family process and social component had positive and significant influence on the ability to treat the patients with mental disorder. The most dominant variable influencing the ability to treat the patients with mental disorder was social component (p = 0.025 and OR = 47.229).

The management of Mental Hospital of Province of Sumatera Utara is suggested to improve education activity for the family of the patients, especially the family of the patients who will be discharged from the hospital that the patient treatment can be done by the patients’ family members and the relapse can be avoided and the current education of eveluation method can be applied. The nurses who are in charge of providing education to the family of the patients should be equipped with special education or training related to family education that the process of education to the family of the patients can be more optimal.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Data dari 33 rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita jiwa berat mencapai 2,5 juta orang hal ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa di Indonesia dewasa ini perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak, tidak hanya dari tenaga kesehatan. Berdasarkan Laporan Kemenkes RI (2012) memperlihatkan bahwa rata-rata nasional gangguan jiwa berat di Indonesia adalah 1,46% atau sekitar 1 juta jiwa. Prevalensi tertinggi untuk gangguan jiwa di Aceh antara 4,8 - 32,1%. Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan Riskesdas 2012 tersebut meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah jenis kelamin perempuan, berpendidikan rendah, tingkat ekonomi rendah, tidak bekerja serta tinggal di pedesaan.

Beberapa diagnosis gangguan jiwa bersifat kronis dan membutuhkan pengobatan dalam jangka waktu lama (lebih dari 1 tahun). Namun demikian pasien gangguan jiwa dapat pulih apabila patuh terhadap pengobatan serta terapi lain (konseling, latihan perilaku, asuhan keperawatan) yang disarankan, utamanya apabila mendapatkan dukungan keluarga yang baik. Akibat kurang patuh maka angka kekambuhan pasien gangguan jiwa tinggi. Angka kekambuhan tersebut dapat diturunkan secara signifikan dengan pemberdayaan keluarga (Pitschel, 2001). Adanya


(22)

pelatihan pada keluarga tentang cara mengontrol perilaku kekerasan (violence) pasien gangguan jiwa menghasilkan lama rawat yang lebih pendek di rumah sakit dan durasi kekambuhan yang lebih panjang.

Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 144 ayat (5) menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Hal ini menunjukkan perhatian akan pentingnya upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat termasuk kesehatan jiwa keluarga.

Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan, pengenalan dini, serta perawatan pasien gangguan jiwa, termasuk memberikan dukungan emosional dan motivasi untuk kesetiaan terhadap terapi. Oleh sebab itu pemberdayaan keluarga dalam upaya-upaya kesehatan jiwa di atas sangat diperlukan yang dapat memberikan pengetahuan mengenai cara pemberdayaan keluarga melalui kegiatan pemberian informasi dan psikoedukasi tentang masalah kesehatan jiwa, perawatan pasien gangguan jiwa, dukungan psikologis kepada keluarga, serta jejaring untuk meningkatkan kemandirian keluarga pasien gangguan jiwa.

Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluraganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga


(23)

dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005 )

Berdasarkan penelitian dari NHMA (National Mental Health Assosiation,

2001), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun faktanya, NHMA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya.

Beban yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa sangat besar. Dampak sosial berupa penolakan, pengucilan, dan diskriminasi. Begitu pula dampak ekonomi berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat, serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat.

Menurut Hawari (2003) salah satu kendala dalam upaya penyembuhan pasien gangguan jiwa adalah pengetahuan masyarakat dan keluarga. Keluarga dan masyarakat menganggap gangguan jiwa penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi keluarga. Penilaian masyarakat terhadap gangguan jiwa sebagai akibat dari dilanggarnya larangan, guna–guna, santet, kutukan dan sejenisnya berdasarkan kepercayaan supranatural. Dampak dari kepercayaan mayarakat dan keluarga, upaya pengobatan pasien gangguan jiwa dibawa berobat ke dukun atau paranormal. Kondisi ini diperberat dengan sikap keluarga yang cenderung memperlakukan pasien dengan disembunyikan, diisolasi, dikucilkan bahkan sampai ada yang dipasung.


(24)

Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kesembuhan klien yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi keluarga yang terapeutik dan mendukung klien sangat membantu kesembuhan klien dan memperpanjang kekambuhan. Angka kekambuhan pada klien tanpa terapi keluarga sebesar 25 - 50% sedangkan angka kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga 5 - 10% (Keliat, 2006).

Kambuh merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali. Periode kekambuhan adalah lamanya waktu tertentu atau masa dimana klien muncul lagi gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan klien harus dirawat kembali (Yosep, 2007).

Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh keluarga pasien yaitu : menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous), tidak ada nafsu makan, sukar konsentrasi, sulit tidur, depresi, tidak ada minat dan menarik diri. Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan, antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stres (Yosep, 2007).

Keluarga sebagai ”perawat utama” dari klien memerlukan treatment untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam merawat klien. Edukasi keluarga yang lebih dikenal dengan istilah family psycoeducation adalah terapi yang digunakan untuk memberikan informasi pada keluarga untuk meningkatkan ketrampilan mereka dalam merawat anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa, sehingga


(25)

diharapkan keluarga akan mempunyai koping yang positif terhadap stress dan beban yang dialaminya (Goldenberg dan Goldengerg, 2004).

Pendapat lain menjelaskan bahwa psikoedukasi keluarga adalah pemberian pendidikan kepada seseorang yang mendukung treatment dan rehabilitasi. Hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan edukasi keluarga dalam penanganan gangguan jiwa seperti dilakukan Keliat dkk (2011) di Jakarta menemukan bahwa keluarga yang mendapat edukasi tentang Community Mental Health Nursing (CMHN) mampu meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa.

Penelitian Jayanti (2012) di RS Grhasia Yogyakarta menyimpulkan bahwa persepsi keluarga tentang stigma gangguan jiwa dengan penerimaan keluarga pasien gangguan jiwa di unit rawat jalan kategori baik sebesar 89,5%. Semakin baik persepsi tentang gangguan jiwa maka penerimaan keluarga yang diperoleh semakin tinggi, dapat diartikan pula semakin baik persepsi tentang gangguan jiwa dengan penerimaan keluarga pasien gangguan jiwa yang dicapai maka tingkat keeratan hubungannya dikategorikan baik. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden keluarga memenuhi fungsi keluarganya yaitu fungsi afektif, sosialisasi, reproduksi, ekonomi dan perawatan kesehatan dimana fungsi tersebut terpenuhi dengan baik oleh keluarga pada pasien gangguan jiwa, selain itu keluarga dapat mengendalikan faktor yang mempengaruhi persepsinya dengan baik seperti pengorganisasian, stereotif, selektif, karakteristik pribadi, situasional, emosi dan kebutuhan tertentu sehingga keluarga


(26)

tidak mendapatkan hambatan dalam penerimaan pasien gangguan jiwa dilingkungan keluarga.

Penelitian Nasir dan Abdul (2011) mengatakan keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada pasien. Demikian juga Veidebeck (2008) juga mengatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai sumber bantuan pertama bagi pasien gangguan jiwa. Penelitian Syamsuri (2011) mengatakan sebagian besar keluarga pasien dapat menerima keberadaan pasien sebagai seseorang yang sakit dan membutuhkan perawatan khusus sama seperti pasien penyakit lain, namun penerimaan keluarga terhadap pasien dianggap masih kurang, karena perilaku pasien yang susah diatur dan terkadang membuat jengkel pihak keluarga seperti marah-marah dan mengamuk sehingga pihak keluarga cenderung menghindar.

Menurut Machira (2012) pada beberapa negara dengan fasilitas dan sumber daya kesehatan mental yang mencukupi terdapat klinik khusus untuk gangguan psikotik fase awal yang sudah merupakan bagian dari sistem kesehatan mental. Namun demikian, di Indonesia dengan fasilitas dan sumber daya kesehatan mental yang terbatas dan tersebar tidak merata, belum ada klinik khusus untuk gangguan psikotik fase awal. Perawatan penderita gangguan psikotik fase awal sebagian besar ditanggung oleh keluarga. Penelitian Machira (2012) pada penderita gangguan psikotik fase awal di Jogjakarta menemukan hampir semua penderita masih tinggal dengan keluarga atau orangtua, meskipun umur mereka sudah di atas 18 tahun atau pun sudah menikah. Keadaan ini membuat keluarga memainkan peranan penting pada pencarian pertolongan dan manajemen gangguan psikotik fase awal. Manajemen


(27)

gangguan psikotik juga sulit dilakukan karena penderita gangguan psikotik seringkali terdapat gangguan insight atau tilikan diri, sehingga penderita tidak menyadari jika dirinya menderita gangguan atau sakit. Penderita seringkali menolak mendapatkan perawatan atau pengobatan, dan akan bergantung pada keputusan yang diambil oleh keluarga. Pada beberapa negara dengan fasilitas dan sumber daya kesehatan mental yang mencukupi terdapat klinik khusus untuk gangguan psikotik fase awal yang sudah merupakan bagian dari sistem kesehatan mental. Namun demikian, di Indonesia dengan fasilitas dan sumber daya kesehatan mental yang terbatas dan tersebar tidak merata, belum ada klinik khusus untuk gangguan psikotik fase awal. Perawatan penderita gangguan psikotik fase awal sebagian besar ditanggung oleh keluarga. Pemberdayaan keluarga untuk mengurangi stigma pada gangguan psikotik di Jogjakarta menunjukkan, jika pengetahuan keluarga pada gangguan psikotik dan skizofrenia sangat rendah. Pengetahuan yang rendah ini membutuhkan intervensi, sehingga jika pengetahuan meningkat diharapkan manajemen gangguan psikotik akan lebih baik

Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (2012) memperkirakan 90% penderitaan gangguan jiwa tidak berobat ke psikiater. Diperkirakan 28 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa ringan hingga berat. Tiga belas juta diantaranya gangguan depresi. Khusus di kota besar 1 dari 5 penduduknya diperkirakan mengalami gangguan jiwa. Jika masing-masing penderita punya empat orang kerabat saja, maka lebih 100.000.000 penduduk terkena dampak gangguan jiwa langsung atau


(28)

tidak. Bila melihat perkiraan data di atas maka ini memprihatinkan sekali karena hanya 10%n saja yang mendapatkan penanganan medis.

Dukungan keluarga menurut Francis dan Satiadarma (2004) merupakan bantuan/sokongan yang diterima salah satu anggota keluarga dari anggota keluarga lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah keluarga. Keberhasilan perawatan di rumah sakit yakni pemberian obat akan menjadi sia-sia apabila tidak ditunjang oleh peran serta dukungan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Jenkins, dkk (2006) menunjukkan bahwa family caregivers adalah sumber yang sangat potensial untuk menunjang pemberian obat pada pasien gangguan jiwa skizofrenia.

Nurdiana dkk (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa keluarga berperan penting dalam menentukan cara atau asuhan keperawatan yang diperlukan oleh pasien di rumah sehingga akan menurunkan angka kekambuhan. Hasil penelitian tersebut dipertegas oleh penelitan lain yang dilakukan oleh Dinosetro (2008), menyatakan bahwa keluarga memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya serta pasien dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak memiliki dukungan.

Beberapa penelitian terkait yang dimuat dalam jurnal internasional antara lain penelitian Wong et al, (2013) dalam Journal of Traumatic Stress Disorders &


(29)

Treatment menyimpulkan bahwa peserta yang telah melihat video psychoeducational, memiliki pengetahuan yang lebih besar tentang gejala gangguan jiwa dan keyakinan lebih positif tentang perawatan kesehatan mental dibandingkan kondisi perawatan lain. Peserta pada kelompok intervensi psikoedukasi lebih mungkin untuk mengenali gejala-gejala masalah kesehatan mental dibanding kelompok kontrol.

Penelitian Ghadirian et al (2009) tentang family psychoeducation

menyimpulkan bahwa intervensi psychoeducational keluarga relatif meningkatkan pengetahuan tentang tentang penyakit gangguan mood pasien, serta tingkat adaptasi dalam keluarga juga meningkat. Keluarga juga mendapat keuntungan dari diskusi dan bertukar informasi tentang strategi penanganan yang berguna serta merasa jauh lebih baik setelah informasi tentang penyakit. gejala, kepatuhan minum obat dan fungsi global pada pasien tidak menunjukkan signifikan perbedaan dalam tindak lanjut

Penelitian Batista et al (2011) tentang efficacy of psychoeducation in bipolar patients menyimpulkan bahwa p

.

sikoedukasi signifikan meningkatkan perawatan klinis, kepatuhan pengobatan, dan fungsi psikososial pasien. Hal ini juga mengurangi jumlah pasien yang kambuh. Jumlah dan panjang rawat inap per pasien juga lebih rendah pada pasien yang menerima psikoedukasi. Studi menunjukkan hasil positif dalam mengurangi tingkat kambuh dan meningkatkan jangka panjang kepatuhan pengobatan. Selain itu, intervensi psikoedukasi meningkatkan pengetahuan tentang penyakit untuk mengurangi penderitaan mereka dan meningkatkan fungsi sosial secara keseluruhan.


(30)

Penelitian Sauceda (2011) tentang family psychoeducation for latino populations with mental illness living in the united states menyimplkan bahwa keluarga yang mendapat psikoedukasi yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin merupakan kemajuan yang penting sebagai upaya yang dilakukan untuk menyesuaikan intervensi dengan budaya latin.

Menurut Commission on the Family (Dolan dkk, 2006) bahwa dukungan keluarga dapat memperkuat setiap individu, menciptakan kekuatan keluarga, memperbesar penghargaan terhadap diri sendiri, mempunyai potensi sebagai strategi pencegahan yang utama bagi seluruh keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari serta mempunyai relevansi dalam masyarakat yang berada dalam lingkungan yang penuh dengan tekanan.

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara adalah merupakan sarana pelayanan bagi masyarakat terletak di Jl. Tali Air No. 21 Medan, Kel. Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan penulis pada September 2013 ditemukan jumlah pasien sebanyak 510 orang dengan tingkat kekambuhan sebanyak 72 orang (Profil RSJ Pemprovsu, 2012). Faktor penyebab yang diduga menjadi penyebab tingginya kekambuhan pasien adalah kurangnya dukungan dari keluarga dalam proses pengobatan pasien. Oleh karena itu perlu diupayakan pemberdayaan keluarga untuk dapat berperan secara optimal.

Mengacu pada hal tersebut di atas, penulis menfokuskan penelitian ini tentang edukasi yang dilakukan pada keluarga pasien gangguan jiwa sehingga memiliki kemampuan merawat pasien gangguan jiwa.


(31)

1.2 Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian adalah : bagaimana pengaruh pemberdayaan keluarga melalui edukasi terhadap kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara tahun 2013?.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh pemberdayaan keluarga melalui edukasi terhadap kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara tahun 2013.

1.4 Hipotesis

Ada pengaruh pemberdayaan keluarga melalui edukasi terhadap kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara tahun 2013.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara dalam merumuskan kebijakan tentang pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi pasien gangguan jiwa.

2. Sebagai wahana pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa.

3. Hasil penelitian ini dijadikan perbandingan dan referensi pada penelitian selanjutnya.


(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa

2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa

Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) adalah : Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioural or psychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that is associated with present distress (eg., a painful symptom) or disability (ie., impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant increased risk of suffering death, pain, disability, or an important loss of freedom.

Artinya, gangguan jiwa dikonseptualisasikan secara klinis sebagai sindrom psikologis atau pola behavioral yang terdapat pada seorang individu dan diasosiasikan dengan distress (misalnya simtom yang menyakitkan) atau disabilitas (yakni, hendaya di dalam satu atau lebih wilayah fungsi yang penting) atau diasosiasikan dengan resiko mengalami kematian, penderitaan, disabilitas, atau kehilangan kebebasan diri yang penting sifatnya, yang meningkat secara signifikan (APA-DSM, 2000).

Konsep “disability” dari The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders adalah keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil). Gangguan


(33)

kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan tidak digunakan sebagai komponen esensial untuk didiagnosis gangguan jiwa, oleh karena itu hal ini berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas. Dari konsep tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan jiwa meliputi : (a) adanya gejala klinis yang bermakna berupa sindrom atau pola perilaku dan sindrom atau pola psikologik. (b) gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain dapat berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, disfungsi organ tubuh, dan lain-lain dan (c) gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup. Menurut Depkes RI (2003) gangguan jiwa adalah gangguan pikiran, perasaan, dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari (fungsi pekerjaan dan fungsi sosial) dari orang tersebut. Sedangkan menurut Muslim (2002) gangguan jiwa merupakan sindrom atau pola prilaku atau psikologi seseorang yang secara klinis cukup bermakna dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih fungsi penting dari manusia.

Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Gangguan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan


(34)

menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari, 2006).

Penggunaan istilah gangguan jiwa maupun gangguan mental sering dipakai secara bergantian. Penelusuran istilah gangguan jiwa justru akan memunculkan

mental illness atau mental disorder. Mental illness atau sakit jiwa merupakan kondisi gangguan secara medis berkaitan dengan proses berpikir, suasana hati, kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, dan fungsi sehari-hari sebagai individu (National Alliance on Mental Illness, 2012). Sedangkan mental disorder atau gangguan mental menekankan pada permasalahan yang lebih kompleks dari gangguan individu yakni gangguan dari luar individu yang mempengaruhi individu seperti: keluarga, budaya, ekonomi, dan masyarakat. Penggunaan istilah gangguan mental saat ini sering digunakan karena lebih menekankan pada upaya kesehatan mental (mulai tahun 1600) yang merupakan upaya penyembuhan, perawatan, dan pemeliharaan pada permasalahan gangguan mental individu yang menyangkut permasalahan pribadi maupun di luar diri individu termasauk keluarga dan masyarakat sekitar.

2.1.2 Faktor Penyebab Gangguan Jiwa

Penyebab gangguan jiwa bermacam-macam, ada yang bersumber dari berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan gangguan pada otak.


(35)

Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab terjadinya gangguan jiwa. Menurut pendapat Sigmund Freud dalam Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi karena tidak dapat memuaskan macam-macam kebutuhan jiwa mereka. Beberapa contoh dari kebutuhan tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan untuk afiliasi, yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain dalam kelompok. Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari pengaruh orang lain. Ketiga, kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam keinginan untuk sukses mengerjakan sesuatu dan lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler yang mengungkapkan bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari perasaan rendah diri (infioryty complex) yang berlebih-lebihan. Sebab-sebab timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai superioritas di dalam hidup. Kegagalan yang terus-menerus ini akan menyebabkan kecemasan dan ketegangan emosi.

Dari pendapat mengenai penyebab terjadinya gangguan jiwa seperti yang dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh karena ketidak mampuan manusia untuk mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan rendah diri.

Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi biologis, psikologis, sosial budaya atau lingkungan. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-sebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada


(36)

seseorang dapat terjadi penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri. Mengetahui sebab-sebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan mengobatinya.

Proses mengenai timbulnya gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor. Suryani (2007) mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga faktor yang berperan sama yaitu :

1. Faktor Biologik

Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti kriteria penyakit dalam ilmu kedokteran yang terkait dengan kelainan-kelainan neurotransmiter, biokimia, anatomi otak, dan faktor genetik yang ada hubungannya dengan gangguan jiwa.

2. Faktor Psikologik

Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat kompleks tergantung dari situasi, individu dan orang itu. Hal ini sangat tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial, perubahan sosial dan tingkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman hidup seseorang. Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi interpersonal yang berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang sekarang bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi merupakan retensi pengumpulan dan pengambilan kembali.

Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan kegagalan yang mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat tidak


(37)

kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan masyarakat sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan perwujudan dari pengalaman yang lampau yaitu pengalaman masa bayi sampai dewasa.

3. Faktor Sosio-budaya

Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu sosio-budaya tertentu berbeda dengan sosio-budaya lainnya. Adanya perbedaan satu sosio-budaya dengan budaya yang lainnya, merupakan salah satu faktor terjadinya perbedaan distribusi dan tipe gangguan jiwa. Inkulturasi dapat menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Prubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi, inkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa. Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Penderita yang dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan afektif.

2.1.3 Tanda atau Gejala Gangguan Jiwa

Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah :

a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.

b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu bisikan yang menyuruh membunuh, melempar, naik genting, membakar rumah,


(38)

padahal orang di sekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya muncul dari dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinasi, klien bias mendengar sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada menurut orang lain.

c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau dan acak-acakan.

d. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan (waham kebesaran), tetapi di lain waktu ia bias merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi) sampai ada ide ingin mengakhiri hidupnya.

e. Gangguan psikomotor : Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan yang berlebihan naik ke atas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-loncat, melakukan apa-apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam lama tidak bergerak atau melakukan gerakan aneh. (Yosep, 2007).

Gangguan kesehatan jiwa sering ditandai dengan sikap kurang percaya diri dan orang lain, perasaaan malu, ragu-ragu, dan perasaan bersalah yang berlebihan. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa kesehatan jiwa sangat tergantung pada seberapa jauh seorang individu mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk mengembangkan sifat-sifat positif dalam berbagai fase kehidupan. Atau kita dapat mendefinisikan kesehan jiwa sebagai sebuah kondisi dimana seseorang bebas


(39)

dari gejala gangguan jiwa, yang disertai dengan rendahnya konflik psikologi, dan memiliki kepuasan dalam bekerja serta mampu menghargai dan mencintai orang lain

Penderita gangguan jiwa biasanya ditandai dengan kelemahan prilaku, kelemahan proses pikir, kelemahan ekspresi emosi, atau pembicaraan yang sulit dimengerti, atau mengisolasi diri dari lingkungan. Para penderita gangguan jiwa mengalami fluktuasi periode baik dan buruk secara ekstrim. Mereka yang mengalami gangguan jiwa biasanya lebih mudah terstigmatisasi, yang ditandai dengan rendahnya status sosial, dan penuh prasangka. Hal ini dapat mengakibatkan kesulitan untuk menilai diri sendiri sebagai orang yang membutuhkan pertolongan, sehingga sulit mencari pertolongan, atau sulit untuk mengenal diri sendiri dan orang lain (APA, 2001).

Gangguan psikis berbeda dengan gangguan jiwa, dimana gangguan psikis biasanya ditandai dengan beberapa gejala seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur dan lain-lain. Gangguan ini sangat tergantung pada tipe dan beratnya gejala, dan dapat mempengaruhi kemampuan menyelesaikan masalah, kesenangan dalam hidup, dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Gejala yang dialami orang dengan gangguan psikis belum bisa digunakan untuk menegakkan sebuah diagnosa. Gangguan psikis merupakan reaksi normal terhadap sebuah kesulitan dalam kehidupan. Sementara gangguan jiwa merujuk pada kesulitan psikis yang sudah mengarah pada sebuah diagnosa (Aiyub, 2012). Sementara ketika orang sakit dan merasa stres berat dalam hidup, dan orang kurang mampu menilai realitas kenyataan, biasanya disebut periode psikotis (Johannessen, 2007).


(40)

2.1.4 Jenis-Jenis Gangguan Jiwa

Dalam ICD X (International Classification of Diseases–X), jenis gangguan jiwa tersebut antara lain : (a) gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan narkotika dan zat- zat adiktif lainnya, (b) skizofrenia dan gangguan psikotik lain, (c) gangguan afektif (depresi, mania), (d) ansietas (kecemasan yang tidak beralasan), gangguan somatoform (psikosomatis), (e) gangguan mental organik (demensia, delirium, epilepsi, pasca stroke, dll). (f) gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja (gangguan perkembangan belajar, gangguan tingkah laku, hiperaktifitas, autisme, gangguan cemas dan depresi).

Penggolongan gangguan jiwa sangatlah beraneka ragam menurut para ahli berbeda-beda dalam pengelompokannya, menurut Maslim (2002) macam-macam gangguan jiwa dibedakan menjadi gangguan mental organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja.

a. Skizofrenia

Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang


(41)

(Maramis, 2005). Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bias timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak atau cacat.

b. Depresi

Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dan Sadock, 2005). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 2007). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho, 2008). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai.


(42)

c. Kecemasan

Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya Maslim (2002). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak spesifik. Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Stuart dan Sundeen (2009) mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan panik. d. Gangguan Kepribadian

Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan inteligensi tinggi ataupun rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa gangguan kepribadian, neurosa dan gangguan inteligensi sebagian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-kompulsif, kepribadian histerik, kepribadian astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequat. e. Gangguan Mental Organik

Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,2005). Gangguan fungsi jaringan otak ini


(43)

dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak.

Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan menahun.

f. Gangguan Psikosomatik

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah (Maramis, 1994). Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.

g. Retardasi Mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.


(44)

2.2 Penanganan dan Perawatan Gangguan Jiwa

Penanganan gangguan jiwa dapat dilakukan dengan beberapa terapi yang mempunyai teknik dan metode tertentu :

a. Terapi psikofarmaka

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien (Hawari, 2005).

Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika (Hawari, 2005).

b. Terapi somatik

Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu system tubuh lain. Salah satu bentuk terapi ini adalah Electro Convulsive Therapy (ECT). Terapi elektrokonvulsif merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia di dalam otak


(45)

(Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. (Daulima, 2006).

c. Terapi Modalitas

Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif. Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:

(1) Terapi individual, terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

2) Terapi lingkungan. Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi


(46)

kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.

3) Terapi Kognitif. Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif.

4) Terapi Keluarga. Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk


(47)

mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.

5) Terapi Kelompok. Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive. Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model, Kondisioning operan, Desensitisasi sistematis, Pengendalian diri dan Terapi aversi atau rileks kondisi.

6) Terapi Bermain. Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.

yang komprehensif, holistik dan paripurna berfokus pada masyarakat yang jiwa, rentan terhadap stress dan dalam tahap pemulihan serta pencegahan kekambuhan. Pelayanan


(48)

difokuskan pada pencegahan primer pada anggota masyarakat yang pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa dan pencegahan tersier pada pasien gangguan jiwa dengan proses pemulihan (Videbeck, 2008)

Varcarolis (2006) pelayanan

(continuity of care) dari kondisi

maupun di rumah sakit, (di mana saja orang berada), dari dalam kandungan sampai memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga anggota masyarakat dan yang mengalami gangguan jiwa dapat dipertahankan di lingkungan masyarakat serta tidak perlu dirujuk segera ke rumah sakit jiwa pengetahuan penanganan psikis diharapkan dapat berperan sebagai pendeteksi awal gangguan psikis dan kejiwaan yang ada di lapangan, yang selanjutnya mengalami masalah psikososial agar segera dibawa ke

perawatan lanjutan dengan pendekata(CMHN).

2.2.1 Pendekatan Model Konsep Keperawatan Jiwa dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa di Masyarakat

Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Perilaku kesehatan yang berhasil diadopsi masyarakat maka akan bertahan lama bahkan selama hidup dilakukan oleh


(49)

masyarakat. Pendidikan atau promosi kesehatan adalah suatu bentuk tindakan atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan.

2.2.2 Community Mental Health Nursing (CMHN)

Manajemen adalah proses pelaksanaan kerja yang dilakukan melalui orang (Gillies, 1994). Manajemen keperawatan adalah pendekatan sistem yang menjelaskan sebagai suatu proses yang sejajar dan menunjang proses keperawatan. Proses manajemen keperawatan selaras proses keperawatan meliputi tahapan pengumpulan data (pengkajian), diagnosa atau identifikasi masalah kesehatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. Adanya keselarasan antara proses manajemen keperawatan dengan proses asuhan keperawatan diharapkan keduanya saling menopang dalam mewujudkan pelayanan keperawatan yang professional. Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk masyarakat yang membutuhkannya, sehingga manajemen pelayanan keperawatan yang adekuat perlu diterapkan dalam mewujudkan pelayanan keperawatan yang berkualitas (Keliat dan Akemat, 2011). Pelayanan Keperawatan atau intervensi keperawatan untuk penanganan masalah gangguan jiwa berdasarkan paradigma sehat yang dicanangkan Departemen Kesehatan lebih menekankan pada upaya pencegahan (preventif) dan promotif, namun upaya ini tidak akan tercapai bila hanya dilakukan di rumah sakit. Oleh karena itu pandangan hospital based bergeser menjadi community based.


(50)

CMHN memberikan perawatan dengan metode yang efektif dalam merespon kebutuhan kesehatan jiwa individu, keluarga atau kelompok. Konsep dari community mental health nursing ditujukan kepada kesehatan jiwa secara kolektif bagi semua orang yang tinggal dimasyarakat (Mohr, 2006). Tujuan CMHN yaitu memberikan pelayanan, konsultasi dan edukasi, informasi mengenai prinsip-prinsip kesehatan jiwa kepada para agen komunitas lainnya, menurunkan angka risiko terjadinya gangguan jiwa.

2.3 Pemberdayaan Keluarga dalam Penanganan Gangguan Jiwa

Pemberdayaan keluarga dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat jiwa, disertai pengembangan lingkungan yang mendukung pengembangan perilaku sehat jiwa. Pemberdayaan keluarga diperlukan untuk membantu keluarga merawat pasien gangguan jiwa dan mengatasi masalah dan beban dalam merawat pasien gangguan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga dapat dilakukan di masyarakat dan tatanan pelayanan kesehatan

Upaya pemberdayaan keluarga bertujuan membantu keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga, yaitu (1) mengenal gangguan jiwa anggota

keluarganya, (2) menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan, (3) merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, (4) merawat diri

sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), (5) memodifikasi lingkungan keluarga yang mendukung penyembuhan pasien gangguan jiwa, (6) menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Berikut akan diuraikan tentang upaya


(51)

pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga.

2.3.1 Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga

Menurut Depkes RI (2006) pemberdayaan keluarga ini dibatasi pada pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, namun untuk berdayanya keluarga yang mengalami gangguan jiwa harus didukung seluruh pihak yang terkait dengan penanganan penderita gangguan jiwa. Kegiatan yang terkait adalah :

a. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pemberian informasi dan psikoedukasi masalah kesehatan jiwa.

b. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam merawat pasien gangguan jiwa.

c. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pemberian dukungan psikologis pada keluarga pasien gangguan jiwa.

d. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi


(52)

masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam peningkatan kemandirian melalui jejaring dukungan keluarga.

e. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa melalui kerjasama lintas sektor.

f. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam pencatatan dan pelaporan.

g. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam monitoring dan evaluasi.

2.3.2 Strategi Pemberdayaan Keluarga

Strategi yang harus dikembangkan dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, antara lain:

a. Meningkatkan sosialisasi kebijakan, strategi dan materi program pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa pada seluruh stakeholder.

b. Mengoptimalkan peran dan fungsi-fungsi sektor terkait sesuai dengan tugas pokok, dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai, serta mekanisme


(53)

kerja dan koordinasi program yang dilaksanakan secara sinkron dan sinergis dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa.

c. Mengembangkan kelompok-kelompok jejaring dukungan keluarga (Family Support Network) yang berbasis wilayah, dalam meningkatkan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga pasien gangguan jiwa. d. Meningkatkan kemandirian dan kualitas keluarga pasien gangguan jiwa.

2.3.3 Upaya Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Family Psycho Education

Family Psychoeducation (FPE) adalah tindakan keperawatan spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart dan Laraia, 2005).

Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan pasien karena keluarga yang akan merawat pasien dirumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka panjang. Psikoedukasi keluarga ini merupakan sebuah metode yang berdasarkan pada penemuan klinik terhadap pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga keperawatan jiwa professional sebagai bagian dari keseluruhan tindakan klinik untuk anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Keliat dan Akemat, 2011).

Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi kekambuhan pasien gangguan jiwa, meningkatkan fungsi pasien dan keluarga sehingga mempermudah pasien


(54)

kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi pasien gangguan jiwa. Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga untuk bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga atau orang lain (Keliat dan Akemat, 2011).

Terapi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan kognitif karena dalam terapi mengandung unsur untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan teknik yang dapat membantu keluarga untuk mengetahui gejala–gejala penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Tujuan program pendidikan ini adalah meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan keluarga bagaimana teknik pengajaran untuk keluarga dalam upaya membantu mereka melindungi keluarganya dengan mengetahui gejala-gejala perilaku dan mendukung kekuatan keluarga (Stuart dan Laraia, 2005).

Aktifitas program psychoeducational untuk keluarga menurut Stuart dan Laraia (2005), dapat meningkatkan kemampuan terdapat unsur didaktik yaitu : Komponen didaktik: memberikan informasi tentang gangguan jiwa dan sistim kesehatan jiwa. Kemampuan kognitif yang mengalami peningkatan yaitu keluarga mampu mengetahui penyebab gangguan jiwa, tanda gejala gangguan jiwa akibatnya keluarga mampu untuk merawat pasien gangguan jiwa.


(55)

Kebanyakan program pendidikan mempunyai batasan dan didesain terbatas terutama untuk pola pikir dan perilaku dari keluarga. Yang paling penting dari program psikoedukasi keluarga adalah bertemu keluarga berdasarkan pada kebutuhan dan keluarga memberi kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan bersosialisasi dengan anggota yang lain dan profesi kesehatan mental. Psikoedukasi keluarga sangat efektif diberikan kepada keluarga. Kenaikan kemampuan psikomotor pada kelompok intervensi dimungkinkan karena terapi psikoedukasi keluarga yang berkaitan dengan adanya komponen ketrampilan latihan yang terdiri dari : komunikasi, latihan menyelesaikan konflik, latihan asertif, latihan mengatasi perilaku dan mengatasi stress. Komponen latihan terdapat dalam sesi tiga yaitu demonstrasi keluarga cara berinteraksi dan berkenalan dengan orang lain, memperagakan cara beraktifitas dan meragakan cara memberikan obat pada pasien.

Peningkatan kemampuan psikomotor ini kemungkinan berkaitan dengan teori belajar yang menjelaskan bahwa seorang belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan, peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan artinya seseorang mampu memiliki ketrampilan tertentu bila terdapat jalinan positif dan stimuli yang diamati dan karakteristik diri seseorang. Kemampuan psikomotor dalam merawat klien ditujukan pada kemampuan keluarga untuk senantiasa memberi pujian dan penghargaan pada klien, berupaya memberi dukungan pengobatan dengan membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan.


(56)

Notoatmodjo (2007) menentukan bahwa kecakapan untuk menyelesaikan problem praktis, meningkat pada usia 40-50 tahun. Kemampuan psikomotor didapatkan sebagian besar keluarga mampu meragakan cara berinteraksi, berkenalan dengan orang lain dan yang jarang dilakukan adalah mengontrol minum obat dan melibatkan dalam aktifitas, karena klien masih dirawat di rumah sakit.

Penelitian Wardani dkk, (2006) dalam penelitian yang berjudul pengaruh psikoedukasi terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien halusinasi di Yogyakarta. Keluarga yang mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemampuan yang bermakna sebesar 25,36 kali. Goldenberg (2004) menyatakan bahwa psikoedukasi adalah terapi yang diberiakan untuk memberikan informasi terhadap keluarga yang mengalami distress, memberikan pendidikan pada mereka untuk meningkatkan ketrampilan, untuk dapat memahami dan meningkatkan koping akibat gangguan jiwa yang dpat mengakibatkan masalah pada keluarga.

Lawrenece dan Veronika (2002) mengungkapkan terjadi peningkatan 33% pada kelompok klien skizofrenia setelah diberikan terapi psikoedukasi keluarga, karena dalam psikoedukasi keluarga berisi tentang : peningkatan hubungan yang positif antara anggota keluarga, meningkatkan stabilitas keluraga, menajemen stess keluarga, kemampuan motorik keluarga melalu role play. Dengan demikian dapat disimpulkan penelitian ini menjawab hipotesa bahwa terapi psikoedukasi keluarga meningkatkan kemampuan keluarga secara bermakna dalam merawat klien isolasi sosial.


(57)

Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu mengenal gangguan jiwa, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat (lingkungan tempat tinggal) dan tatanan pelayanan kesehatan, yaitu puskesmas, rumah sakit umum daan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, dan rumah sakit jiwa.

a. Upaya Petugas Kesehatan di Masyarakat dalam Membantu Keluarga Mengenal Gangguan Jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat adalah perawat dan dokter Puskesmas yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya tenaga kesehatan di masyarakat dalam membantu keluarga mengenal masalah, dilakukan dengan cara:

1) Memberikan penyuluhan gangguan jiwa tentang: pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa.

2) Mendeteksi pasien gangguan jiwa melalui pengkajian. 3) Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami oleh pasien.

4) Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga. 5) Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. 6) Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.

b. Upaya Petugas Kesehatan di Pelayanan Kesehatan dalam Membantu Keluarga Mengenal Gangguan Jiwa. Tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan adalah perawat dan dokter Puskesmas, Rumah Sakit Umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, serta Rumah Sakit Jiwa, yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga untuk


(58)

mengenal masalah, dilakukan tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dengan cara:

1) Menginformasikan tentang gangguan jiwa: pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa, melalui informasi langsung pada pengunjung, pembagian leaflet, pemasanganan poster.

2) Mendeteksi gangguan jiwa melalui pengkajian terhadap pasien yang berkunjung ke Puskesmas, RS Umum dan swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Misalnya tenaga kesehatan mendeteksi pasien yang bicara atau senyum-senyum sendiri, atau tanda dan gejala gangguan jiwa lainnya, saat pasien sedang menunggu giliran panggilan untuk pemeriksaan.

3) Menjelaskan kondisi gangguan jiwa yang dialami oleh pasien. 4) Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga. 5) Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga. 6) Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.

c. Keluarga Menetapkan Pelayanan Kesehatan Jiwa yang Akan Digunakan. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan untuk merawat anggota yang mengalami gangguan jiwa dan merawat dirinya sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), dilakukan tenaga kesehatan dengan cara:


(59)

1) Mendiskusikan dan membantu keluarga untuk dapat menetapkan pelayanan kesehatan jiwa untuk membantu proses penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga.

2) Memotivasi keluarga untuk tetap menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa untuk penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga. d. Keluarga Merawat Pasien (Anggota Keluarga yang Menjadi Care Giver)

Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk merawat diri sendiri diperlukan agar keluarga tetap dapat memberikan perawatan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat dan di pelayanan kesehatan dapat membantu keluarga mengatasi masalah dan mengurangi beban yang dialami dengan cara memberikan pendidikan kesehatan untuk mengatasi masalah dan beban yang dirasakan keluarga, yaitu dengan cara: memberikan psikoedukasi keluarga dan melatih manajemen stres.

e. Keluarga Memodifikasi Lingkungan yang Mendukung Penyembuhan Pasien Gangguan Jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu memodifikasi lingkungan, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat dan pelayanan kesehatan dengan cara memberikan pengetahuan tentang cara menciptakan kondisi suasana lingkungan (fisik dan non fisik) yang dapat mendukung penyembuhan, mencegah kekambuhan, dan kepatuhan minum obat. f. Keluarga Menggunakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jiwa. Upaya tenaga

kesehatan dalam memfasilitasi keluarga pasien gangguan jiwa menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, adalah:


(1)

Sosial * Kemampuan

Crosstab

Kemampuan

Total Tidakmampu Mampu

Sosial Kurang Count 11 4 15

Expected Count 6.2 8.8 15.0

% of Total 28.2% 10.3% 38.5%

Sedang Count 4 11 15

Expected Count 6.2 8.8 15.0

% of Total 10.3% 28.2% 38.5%

Baik Count 1 8 9

Expected Count 3.7 5.3 9.0

% of Total 2.6% 20.5% 23.1%

Total Count 16 23 39

Expected Count 16.0 23.0 39.0

% of Total 41.0% 59.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 11.078a 2 .004

Likelihood Ratio 11.728 2 .003


(2)

Lampiran 5: Hasil Analisis Multivariat

Logistic Regression

Block 1: Method = Enter

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 23.351a .530 .715

a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Tablea

Observed

Predicted

Kemampuan

Percentage Correct Tidak mampu Mampu

Step 1 Kemampuan Tidak mampu 12 4 75.0

Mampu 2 21 91.3

Overall Percentage 84.6

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a Didaktik 2.091 1.029 4.127 1 .042 8.096

Emosi 2.168 .956 5.138 1 .023 8.739

Proseskeluarga 1.865 .937 3.964 1 .046 6.455

Sosial 3.855 1.715 5.054 1 .025 47.229

Constant -7.238 3.081 5.520 1 .019 .001


(3)

Lampiran 6 : MASTER DATA PENELITIAN No Pe ndi Pe ke r Pe ny a Pengetahuan

Umur Didaktik Keterampilan Emosi Proses Keluarga Sosial

dik an

ja

an kit 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

1 39 3 2 2 1 2 1 1 1 1 2 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1

2 45 3 3 3 2 3 3 2 2 2 1 1 1 1 1 3 2 2 1 1 2 1 2 1 2 2 3 3 2

3 56 1 2 2 1 1 1 2 2 1 2 1 2 2 1 1 2 1 2 1 2 2 1 2 3 2 2 2 2

4 41 4 3 2 2 2 1 2 2 2 2 3 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 2 2

5 50 2 6 3 1 2 3 2 1 1 2 1 1 1 2 2 2 1 1 3 2 2 2 2 2 2 2 1 2

6 42 3 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 3 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

7 60 1 2 1 1 2 1 1 2 1 2 1 2 2 1 2 1 2 1 2 3 2 3 2 1 2 2 2 2

8 46 3 3 2 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1

9 28 3 2 2 1 2 1 2 1 1 1 2 2 2 3 2 2 2 3 2 1 1 1 1 3 2 2 2 2

10 40 4 3 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 1 1

11 49 2 2 3 1 2 3 2 1 3 2 3 2 2 3 2 2 3 1 1 1 1 1 1 3 1 2 2 2

12 57 1 2 2 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 2 2 1 2 1

13 54 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2

14 47 3 3 2 2 3 1 3 3 2 2 2 1 1 3 1 3 2 2 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1

15 39 3 6 5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 3 2 1 1 2

16 41 4 6 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2

17 49 2 2 4 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 2 3 2 2 2 2 1 2 1 1 1

18 37 2 3 2 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 3 2 2 3 2 2 1 2 2 2 2 2 1 2 1

19 39 3 3 3 2 2 3 2 3 1 2 1 3 2 2 3 1 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1

20 47 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 1 1 3 2 3 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2


(4)

28 40 3 2 5 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 2 1 1

29 41 2 3 3 2 3 2 3 3 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 3 2 2 2 2 2 3 3 2 2

30 51 1 4 3 2 2 3 2 3 2 1 2 2 1 3 2 2 1 2 2 2 2 3 3 3 1 2 2 3

31 37 4 2 2 2 3 2 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1

32 44 2 3 3 1 2 3 2 3 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 3 2 3 2 1 1 1 2 1 2

33 50 1 6 3 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 2 1 1 1

34 41 1 6 2 2 2 3 2 3 2 1 1 2 2 2 3 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1

35 38 2 4 4 1 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 1 2 1 2 1 2 1 2 2 1

36 42 3 2 1 3 2 3 2 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1 2 1 1 1 1

37 59 1 3 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 1 1 2 2 2 1 2 1 2 2 2 2

38 41 3 5 3 2 2 2 2 2 1 2 1 1 1 2 2 2 2 2 3 2 3 3 1 1 1 2 1 1


(5)

Kemampuan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

1 2 1 1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 1 1

2 2 3 2 2 2 2 3 2 3 2 2 2 2 1

1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1

3 2 2 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2

2 2 2 2 2 2 3 2 2 3 2 2 2 3 3

1 1 1 2 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1

3 2 3 1 2 2 2 2 1 3 2 2 2 2 2

1 1 1 2 1 2 1 1 1 2 2 1 1 2 1

3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 3 2 3

1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1

3 2 3 2 3 2 2 3 2 3 2 2 2 2 2

3 2 2 3 3 2 2 1 2 3 2 2 2 2 2

1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1

2 2 2 3 3 3 3 2 2 3 1 2 2 2 2

2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1

1 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1

2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2

3 3 2 3 3 3 2 3 2 3 2 3 1 1 1

3 2 2 2 3 2 2 3 2 3 2 2 2 2 2

3 2 2 3 2 2 2 2 2 3 2 3 2 1 1

3 2 3 2 3 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2

3 2 3 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2


(6)

2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 3 2 1

1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1

3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 3 1

1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1

3 2 2 2 2 2 1 2 2 3 3 2 2 2 1

3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2

1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1

3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 1

1 2 1 1 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1


Dokumen yang terkait

PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASI ASET RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

3 55 9

Kemampuan Sosialisasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013

0 39 64

Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Kinerja Perawat dalam Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, Medan

0 39 6

Pengaruh Program Psikoedukasi Keluarga Terhadap Keberfungsian Sosial Pasien Gangguan Jiwa Akibat Ketergantungan Narkoba Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 10

Muslim Terhadap Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Kota Medan.”

0 0 7

KUESIONER Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan Pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara tahun 2013

0 0 35

Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 1 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa - Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 0 50

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 0 11

PENGARUH PEMBERDAYAAN KELUARGA MELALUI EDUKASI TERHADAP KEMAMPUAN MERAWAT PASIEN GANGGUAN JIWA DI KOTA MEDAN PADA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2013 TESIS DIES WIRO TARIGAN

0 0 18