Analisis Multivariat Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

4.4.5 Komponen Sosial dengan Kemampuan Merawat Pasien Tabel 4.14 Kemampuan Merawat Pasien Menurut Komponen Sosial di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Kemampuan Chi Square Sosial Mampu Tidak Mampu Total n n n Baik 8 88.9 1 11.1 9 100.0 p=0,004 Sedang 11 73.3 4 26.7 15 100.0 Kurang 4 26.7 11 73.3 15 100.0 Berdasarkan Tabel 4.14 diketahui bahwa keluarga penderita gangguan jiwa yang memiliki pengetahuan yang baik tentang komponen sosial dalam pemberdayaan melalui edukasi lebih banyak yang mampu merawat pasien gangguan jiwa di rumah 88,9. Sedangkan keluarga penderita gangguan jiwa yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang komponen sosial dalam pemberdayaan melalui edukasi lebih banyak yang tidak mampu merawat pasien gangguan jiwa di rumah 73,3. Hasil uji chi square diperoleh nilai p =0,004 0,05, artinya ada hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan tentang komponen sosial dalam pemberdayaan melalui edukasi dengan kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

4.5 Analisis Multivariat

Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas komponen dalam edukasi keluarga terhadap variabel terikat kemampuan merawat pasien gangguan jiwa setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara untuk masing-masing Universitas Sumatera Utara indikator edukasi keluarga maupun secara bersama-sama, dilakukan analisis multivariat yaitu dengan menggunakan uji regresi logistik ganda. Syarat variabel untuk dilakukan analisis multivariat mengacu kepada hasil analisis bivariat, yaitu variabel yang mempunyai nilai signifikan 0,25 pada analisis bivariat akan diikutsertakan dalam analisis multivariat. Berdasarkan analisis bivariat bahwa terdapat satu variabel yang nilai signifikan 0,25, yaitu komponen keterampilan, sehingga variabel tersebut tidak diikutsertakan dalam uji regresi logistik berganda sebagai alat analisis multivariat. Hasil analisis regresi logistik ganda dapat dilihat pada Tabel 4.15 berikut. Tabel 4.15 Hasil Analisis Multivariat dengan Regresi Logistik Ganda Variabel Independen Koefisien regresi B Signifikansi p Exp B Odds Ratio 1. Didaktik 3. Emosi 4. Proses Keluarga 5. Sosial 2.091 2.168 1.865 3.855 0.042 0.023 0.046 0.025 8.096 8.739 6.455 47.229 Berdasarkan Tabel 4.15 di atas tentang hasil analisis regresi logistik ganda dapat dijelaskan bahwa dari seluruh variabel edukasi kelurga yang diuji yaitu komponen: didaktik, emosi, proses keluarga dan sosial, seluruhnya berpengaruh terhadap kemampuan keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa di rumah, karena seluruh indikator variabel mempunyai nilai signifikansi p 0,05. Variabel yang paling dominan memengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa di rumah adalah variabel atau komponen sosial dengan nilai p = 0,025 dan koefisien regresi = 3,855. Demikian juga peluang Universitas Sumatera Utara keluarga yang mempunyai aspek sosial lebih mampu merawat pasien gangguan jiwa dilihat dari nilai peluang OR atau exp B paling tinggi adalah komponen sosial dengan nilai OR sebesar 47,229. Universitas Sumatera Utara BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pengaruh Komponen Didaktik dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Komponen didaktik atau informasi tentang gangguan jiwa serta hal-hal yang perlu diketahui setiap keluarga dalam perawatan pasien di rumah lebih banyak pada kategori tidak baik yaitu sebesar 69,2 dan secara statistik pada analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang komponen didaktik dalam pemberdayaan melalui edukasi dengan kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Analisis multivariat menunjukkan besarnya kemungkinan atau nilai Odds Ratio OR sebesar 8,096, artinya bahwa besarnya kemungkinan peluang keluarga mampu merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara pada keluarga yang mempunyai pengetahuan komponen didaktik kategori baik lebih besar 9 sampai 10 kali dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai pengetahuan komponen didaktik kategori kurang. Berdasarkan hasil penelitian tentang komponen didaktik yang paling rendah diketahui oleh responden di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara adalah tanda dan gejala gangguan jiwa, dimana sebesar 51,3 responden tidak mengetahui. Rendahnya pengetahuan keluarga tentang tanda dan gejala gangguan jiwa mengakibatkan lambatnya penanganan yang dilakukan keluarga dalam mencari Universitas Sumatera Utara pengobatan atau mengambil keputusan terhadap anggota keluarga yang mengelami gangguan jiwa. Pentingnya peran keluarga dalam penyembuhan pasien ganguan jiwa memalui perawat dalam keluarga sebagaimana dijelaskan Keliat 2008 karena : a keluarga merupakan lingkup yang paling banyak berhubungan dengan pasien. b keluarga dianggap paling mengetahui kondisi pasien. c gangguan jiwa yang timbul pada pasien mungkin disebabkan adanya cara asuh yang kurang sesuai bagi pasien. d pasien yang mengalami gangguan jiwa nantinya akan kembali ke dalam masyarakat, khususnya dalam lingkungan keluarga. e keluarga merupakan pemberi perawatan utama dalam mencapai pemenuhan kebutuhan dasar dan mengoptimalkan ketenangan jiwa bagi pasien. f gangguan jiwa mungkin memerlukan terapi yang cukup lama, sehingga pengertian dan kerjasama keluarga sangat penting artinya dalam pengobatan. Dalam proses pendidikan keluarga dapat dilakukan dengan berbagai metode atau pendekatan, salah satunya adalah pendekatan didaktik yang dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan dalam terapi kelompok seperti: untuk mentransfer informasi, membentuk kelompok, menjelaskan proses penyakit. Sering kali pembelajaran seperti ini berfungsi sebagai kekuatan pengikat hingga faktor-faktor terapeutik lainnya beroperasi. Di samping itu, penjelasan dan klarifikasi merupakan faktor yang berfungsi sebagai agen terapi yang efektif. Didaktik berasal dari bahasa Yunani “didoskein”, yang berarti pengajaran atau “didaktos” yang berarti pandai mengajar. Di Indonesia didaktik berarti ilmu Universitas Sumatera Utara mengajar. Karena didaktik berarti ilmu mengajar, maka pengertian didaktik menyangkut pengertian yang sangat luas. Dalam kaitan pembicaraan tentang didaktik, pengertian didaktik akan difokuskan pada bagaimana perlakuan guru dalam proses belajar mengajar tersebut. Mengajar menurut pengertian modern berarti aktivitas guru dalam mengorganisasikan lingkungan dan mendekatkannya kepada anak didik sehingga terjadi proses belajar. Demikian juga dalam memberikan edukasi kepada keluarga yang mempunyai gangguan jiwa, metode didaktik ini dilakukan dengan proses dimana yang aktif adalah penyuluh atau tenaga edukator, sedangkan sasaran bersifat pasif dan tidak diberikan kesempatan untuk ikut serta mengemukakan pendapatnya atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan apapun, proses penyuluhan yang terjadi bersifat satu arah one way method. Adapun yang termasuk dalam metode didaktik adalah: 1 Secara langsung melalui ceramah Ceramah adalah suatu cara dalam menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian atau pesan secara lisan kepada sekelompok sasaran sehingga memperoleh informasi tentang kesehatan. 2 Ada juga dilakukan secara tidak langsung melalui poster, media cetak majalah, buletin, surat kabar dan media elektronik radio, televisi. Sesuai pendapat Stuart dan Laraia 2005 menyatakan bahwa psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk dari intervensi keluarga yang merupakan bagian dari terapi psikososial. Pada psikoedukasi keluarga terdapat kolaborasi dari klinisi dengan anggota keluarga pasien yang menderita gangguan jiwa berat. Tujuan dari program psikoedukasi adalah menambah pengetahuan tentang gangguan jiwa Universitas Sumatera Utara anggota keluarga sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kambuh, dan meningkatkan fungsi keluarga. Tujuan ini akan dicapai melalui serangkaian kegiatan edukasi tentang penyakit, cara mengatasi gejala, dan kemampuan yang dimiliki keluarga. Hasil penelitian Pekkala dan Merinder 2001 menemukan bahwa program psikoedukasi menurunkan kambuh atau rawat ulang dari 9 bulan menjadi 18 bulan. Sedangkan Dyck, et al 2002 menemukan bahwa kelompok keluarga yang mendapat program psikoedukasi lebih efektif merawat gejala negatif daripada kelompok standar. Selain itu program psikoedukasi berhasil mengurangi reaksi negatif dan kejenuhan keluarga yang merawat. Pendekatan didaktik dalam proses penyampaian informasi pembelajaran dalam terapi kelompok interaksional dianggap berhasil setelah belajar banyak tentang keberfungsian psikis, arti bermacam-macam gejala, dinamika interpersonal dan kelompok, dan proses psikoterapi. Akan tetapi, proses pembelajaran ini bersifat implisit karena terapis kelompok tidak memberikan pengajaran yang eksplisit dalam terapi kelompok interaksional. Meskipun demikian, ada juga pendekatan psikoterapi kelompok di mana pengajaran formal merupakan bagian penting dari programnya. Dengan demikian pihak Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara juga senantiasa perlu mengevaluasi metode edukasi yang paling efektif dalam meningkatkan pengetahuan keluarga pasien sehingga mampu secara optimal melakukan perawatan di rumah. Universitas Sumatera Utara 5.2 Pengaruh Komponen Keterampilan dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Komponen keterampilan dalam hal penanganan pasien gangguan jiwa meliputi: latihan komunikasi, asertif kemampuan untuk menyatakan diri dengan tulus, jujur, jelas, tegas, terbuka, sopan, spontan, apa adanya Uji statistik pada analisis bivariat menggunakan exact fisher menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan, karena nilai p 0,05 antara pengetahuan tentang komponen keterampilan dalam pemberdayaan melalui edukasi pada keluarga dengan kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. , menyelesaikan konflik, mengatasi perilaku dan manajemen stress. Hasil penelitian menunjukkan persentase terbanyak pada kategori kurang yaitu sebesar 89,7. Berdasarkan hasil penelitian tentang komponen keterampilan yang paling rendah diketahui oleh responden di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara adalah cara penanganan konflik dengan orang yang mengalami gangguan jiwa, dimana sebesar 61,5 responden tidak mengetahui. Terjadinya konflik antara keluarga yang merawat pasien gangguan jiwa dapat dipicu oleh teknik atau cara komunikasi antara anggota keluarga dengan penderita tidak terlaksana dengan baik dalam penggunaan bahasa atau intonasi suara yang dapat menimbulkan amarah, atau hal-hal yang dibicarakan tidak sesuai dengan keberadaan kondisi mental si penderita sehingga menimbulkan konflik serta kesalahpahaman di antara anggota keluarga. Berdasarkan permasalahan atau konflik yang terjadi, maka Universitas Sumatera Utara setiap keluarga perlu lebih memahami kodisi dan keberadaan penderita gangguan jiwa serta menghindari setiap hal yang mungkin menyebabkan terjadinya konflik. Salah satu bentuk keterampilan yang yang harus dipahami dan dikuasai keluarga dalam perawatan ganguan jiwa adalah keterampilan komunikasi. Hasil penelitian Juniarty dan Seiningsih 2010 menyimpulkan bahwa peningkatan aspek alur komunikasi verbal pada orang dengan ganguan jiwa terjadi setelah subjek dan keluarganya memeroleh pelatihan membangun komunikasi efektif sebagai salah satu materi dalam terapi keluarga. Orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya diajarkan cara berkomunikasi yang baik, runtut, bagaimana cara bertanya, menjawab dan menyatakan perasaan kepada anggota keluarga yang lain agar informasi yang diberikan jelas dan runtut. Dalam komunikasi verbal, pernyataan perasaan atau emosi yang diekspresikan kepada orang gangguan jiwa harus dilakukan secara sangat hati- hati. Terapi keluarga yang diberikan juga menunjukkan peningkatan komunikasi verbal yang sesuai dengan budaya, ketika berkomunikasi dengan orang lain subjek mampu menunjukkan cara berkomunikasi yang santun, baik dan sesuai dengan tata karma, etika dan latar budaya tempat subjek berdomisili. Hal itu dapat dicapai setelah memeroleh materi sosialisasi yang berintikan bagaimana memraktikkan dan melatih kemampuan berkomunikasi di dalam keluarga dan sekaligus membuat komitmen untuk memerluas jaringan dan kontak sosial dalam masyarakat Juniarty dan Seiningsih, 2010. Universitas Sumatera Utara Perubahan perilaku sosial setelah diberikan terapi keluarga tentang keterampilan komunikasi, menunjukkan penderita gangguan jiwa yang dirawat dalam keluarga mulai sedikit terbuka dan bergaul kembali dengan teman-temannya, bersedia berkomunikasi dengan rekan-rekan sebaya di sekitar rumah. Penelitian Juniarty dan Seiningsih juga menemukan bahwa interaksi penderita dengan ayah yang awalnya kurang baik sudah mulai membaik. Ayah penderita telah mengajak untuk melakukan aktivitas bersama, seperti menyuci mobil, membersihkan dan merapikan halaman, komunikasi di antara keduanya pun semakin intens. Terapi keluarga yang sukses ditandai oleh adanya perubahan perilaku, pola komunikasi yang semakin baik dan restrukturisasi kesatuan keluarga. Aspek keterampilan dalam edukasi keluarga diajarkan bagaimana mengerangkakan kembali hubungan di dalam keluarga, menyakup bagaimana upaya membangun sistem interaksi di antara setiap anggota keluarga, bagaimana menyapai stabilitas keluarga, bagaimana keluarga mengembangkan mekanisme pemberian umpan balik bagi orang dengan skizofrenia, dan bagaimana gambaran pola komunikasi yang tidak baik berkembang yang akan berdampak negatif bagi kestabilan mental. Setelah penderita dan keluarganya memahami bahwa struktur dalam keluarga yang selama ini berkembang cenderung kurang kondusif dan kemudian bersedia berupaya mengubahnya, ternyata berefek pada peningkatan kemampuan memahami konteks dalam komunikasi verbal. Subjek berusaha berkomunikasi verbal melalui tulisan menyeritakan isi pikiran dan perasaannya tentang apa yang sedang terjadi dan dialami dan sesuai dengan konteks peristiwanya. Universitas Sumatera Utara 5.3 Pengaruh Komponen Emosi dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Komponen emosi dalam hal penanganan pasien gangguan jiwa memberikan kesempatan kepada penderita untuk memvalidasi perasaan dan bertukar pengalaman dalam kehidupan kekeluragaaan. Hasil penelitian menunjukkan persentase terbanyak pada kategori sedang yaitu sebesar 38,5 dan secara statistik pada analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan tentang komponen emosi dalam pemberdayaan melalui edukasi dengan kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Analisis multivariat menunjukkan besarnya kemungkinan atau nilai Odds Ratio OR sebesar 8,739, artinya bahwa besarnya kemungkinan peluang keluarga mampu merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara pada keluarga yang mempunyai pengetahuan komponen emosi kategori baik lebih besar 8 sampai 9 kali dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai pengetahuan komponen emosi kategori kurang. Masalah emosi dalam penanganan penderita gangguan jiwa dalam keluarga terkait dengan kecemasan. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan merupakan suatu emosi yang normal. Menurut Minister Supply And Sevice Canada, 2005 mengungkapkan sebagian besar penyakit mental yang lain yang seringkali merasa cemas dan resah adalah keluarga dekatnya,karena penderita bahkan tidak mengetahui kalau dirinya sedang sakit. Kekambuhan cukup sering terjadi setelah pesien kembali dari Rumah Sakit Jiwa kepada keluarganya. Hal ini Universitas Sumatera Utara disebabkan karena keluarga tidak siap dan tidak memiliki informasi cukup dengan adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa Setiadi. 2006. Keluarga selain memiliki peran yang sangat penting dalam membantu proses kesembuhan pasien, juga memiliki tanggung jawab untuk mencegah kekambuhan pasien, terutama pasien gangguan jiwa neurosa, sehingga tidak berkembang menjadi sakit jiwa psikosa. Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika, keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan, hasilnya 57 kembali dirawat di RSJ, sedangkan pasien gangguan jiwa yang berasal dari keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah hanya 17 yang kembali dirawat. Penelitian Fitri dan Yulianti 2009 menyimpulkan bahwa ada hubungan pendidikan dan pengetahuan dengan tingkat kecemasan keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Penelitian Martiningsih 2012 di Rumah Sakit Jiwa di Kecamatan Lawang menyimpulkan bahwa pendidikan kesehatan memberikan pengaruh yang berarti pada tingkat kecemasan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami skizofrenia. Perbandingan presentase tingkat kecemasan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami skizofrenia sebelum dan sesudah diberikannya pendidikan kesehatan menunjukkan perbedaan dikarenakan adanya penurunan tingkat kecemasan pada keluarga yang merawat anggota keluarganya yang mengalami skizofrenia sebelum dan sesudah diberikannya pendidikan kesehatan jiwa. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian Universitas Sumatera Utara pendidikan kesehatan jiwa memang memberikan pengaruh terhadap tingkat kecemasan keluarga yang merawat anggota keluarganya yang mengalami skizofrenia. Pendidikan kesehatan terhadap keluarga yang mengalami gangguan jiwa merupakan salah satu cara untuk mengatasi tingkat kecemasan keluarga yang mempunyai anggota yang mengalami skizofrenia. Selain untuk mencegah tingginya tingkat kekambuhan juga dapat meningkatkan perawatan serta perhatian terhadap anggotanya yang mengalami gangguan jiwa. Dengan demikian pendidikan kesehatan jiwa sangat dibutuhkan oleh keluarga penderita gangguan jiwa. Dengan adanya pengetahuan tentang gangguan jiwa dan pengetahuan keluarga tentang peran dan fungsi keluarga bagi penderita gangguan jiwa dapat membantu mengurangi dampak kecemasan keluarga. Beberapa hal yang menunjukkan beban subyektif seperti pengalaman emosi yang dihayati oleh keluarga selama berinteraksi dengan penderita, misalnya tidak tenang, kesal, sedih, kecewa, susah, bingung, bosan, tidak tahu berbuat apa. Rasa marah dan bersalah juga muncul, namun tidak secara eksplisit di ungkapkan. Pengalaman emosi yang positif muncul juga hanya tidak terlalu menonjol. Penelitian Widiastuti 2010 menyatakan bahwa data hasil asesmen digunakan untuk menyusun suatu rancangan intervensi dengan pendekatan behavioral family therapy, dengan 3 area kegiatan yaitu psikoedukasi, pelatihan komunikasi efektif dan pelatihan penyelesaian masalah. Metode yang akan digunakan adalah kombinasi antara diskusi interaktif dengan keluarga dan pemberian buklet materi educational handout. Buklet Universitas Sumatera Utara berisi materi psikoedukasi, pelatihan komunikasi efektif dan pelatihan penyelesaian masalah. Berdasarkan hasil penelitian tentang komponen emosi yang paling rendah diketahui oleh responden di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara adalah cara menerima keberadaan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, dimana sebesar 56,4 responden tidak mengetahui. Oleh karena itu perlu lebih ditekankan dalam proses edukasi keluarga tentang kecerdasan emosional yaitu merupakan suatu kecerdasan yang dihasilkan oleh otak kanan, otak kanan bekerja dengan dorongan emosi untuk berfikir secara emosional, lawan rasional dan berfikir asosiatif. Pemikiran ini memiliki kemampuan untuk berimajinasi dalam jaringannya sehingga memungkinkan seseorang untuk membentuk bayangan dan pikirannya dan melakukan penalaran lebih lanjut. Keleuarga yang memiliki kecerdasan emosi tinggi adalah orang yang manusiawi, disamping dia dapat mengenali, mengendalikan dan mengelola emosinya sendiri tetapi dia juga mampu untuk memahami, berinteraksi dan berhubungan baik dengan orang lain, antara komponen yang termasuk dalam wilayah kecerdasan emosi adalah : a mengenal emosi diri. Kesadaran diri untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosi. Ada banyak sebutan untuk menggambarkan keadaan emosi seperti : senang, sedih, gembira, cemas, takut, marah, benci, cinta, semangat, kecewa dan lain-lain. Setiap sebutan emosi tersebut akan menciptakan suatu tindakan yang berbeda antara satu keadaan emosi dengan yang lainnya. Universitas Sumatera Utara Mengendalikan emosi diri bukan berarti harus mengungkapkan seseorang yang sedih dan tahu bahwa dirinya sedang sedih merupakan kesadaran diri akan perasaannya. Orang yang memiliki keyakinan akan perasaannya adalah pengendali dalam kehidupannya untuk dapat mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya. Dengan demikian mengenali emosi diri merupakan hal yang paling penting dalam mengendalikan diri, dapat dibayangkan kurangnya kewaspadaan akan perasaan diri kita jadi mudah larut dan dikendalikan emosi tanpa sadar akan kita jadikan panduan dalam bertindak bahgkan lebih jauh lagi pengetahuan akan perasaan diri ini merupakan salah satu ciri dari kesehatan jiwa., b mengelola Emosi. Setelah mengenali keadaan emosi diri kita perlu menangani perasaan agar perasaan tersebut dapat diungkapkan dengan tepat, kita seringkali kurang atau tidak punya kendali atas kapan kita dilanda permasalahan ketika emosi terjadi dan kita menyadarinya kita dapat mengira – ngira berapa lama emosi tersebut akan berlangsung. Salah satu tanda kemampuan untuk pengaturan emosi diri adalah perkara dalam mengenali kapan kekacauan otak emosional ini terlampau berat untuk diatasi. Inti dari pengelolaan dan pengekpresian emosi adalah pengendalian diri untuk pengaturan diri misalnya saja saat dipersalahkan atas hal yang tidak dilakukan, betapa sulitnya meredahkan kemarahan tersebut namun jika kemampuan mengelola emosi bisa dikuasai dengan baik pasti akan mampu bangkit kembali pada emosi yang normal. Denag adanya kemampuan mengendalikan diri yang baik selanjutnya kita bisa tetap waspada dalam arti bertanggung jawab atas kinerja pada hasil kerja yang baik akan menunjukkan bahwa kita masihmampu memberikan yang terbaik dalam keadaan apapun. Salah satu Universitas Sumatera Utara tanda kemampuan untuk pengaturan emosi diri adalah perkara dalam mengenali kapan kekacauan otak emosi ini terlalu berat untuk diatasi dengan kata lain emosi bukanlah musuh tetapi emosi merupakan petunjuk arah yang memberitahu cara hidup yang lebih baik. 5.4 Pengaruh Komponen Proses Keluarga dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Komponen proses keluarga dalam hal penanganan pasien gangguan jiwa adalah upaya penyesuaian dan penanganan agar individu beradaptasi dalam keluarga dan mengkondisikan keluarga yang adaptif bagi penderita gangguan jiwa Analisis multivariat menunjukkan besarnya kemungkinan atau nilai Odds Ratio OR sebesar 6,455, artinya bahwa besarnya kemungkinan peluang keluarga mampu merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara pada keluarga yang mempunyai pengetahuan komponen proses keluarga kategori baik lebih besar 6 sampai 7 kali dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai pengetahuan komponen proses keluarga kategori kurang. . Hasil penelitian menunjukkan persentase terbanyak pada kategori tidak baik yaitu sebesar 74,4 dan secara statistik pada analisis bivariat menunjukkan ada tidak hubungan antara pengetahuan tentang komponen proses keluarga dalam pemberdayaan melalui edukasi dengan kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara Melalui edukasi atau terapi keluarga, pasien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress. Cara terbaik biasanya dengan cara mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada pasien ganguan jiwa, memfasilitasi untuk menemukan situasi dan pengalaman baru. Setelah pasien pulang ke rumah, sebaiknya pasien melakukan perawatan lanjutan pada tempat pelayanan kesehatan lain di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Proses kesembuhan merupakan hal yang juga sangat penting untuk mendapatkan perhatian dari semua pihak, karena kondisi fisik dan mental pasien di masa yang akan datang akan sangat berpengaruh terhadap proses kesembuhan yang dijalaninya saat ini saat sakit. Banyak hal yang harus menjadi perhatian dalam tahapproses kesembuhan ini, agar tujuan untuk memperoleh kesehatan yang pulih dapat terwujud dengan baik tanpa adanya halangan. Salah satu metode penyembuhan yang dapat dilakukan untuk menekan tingkat stress yang biasanya dialami oleh pasien adalah metode penyembuhan holistic. “Metode holistic yaitu adanya dukungan sosial keluarga, lingkungan perawatan yang terapeutik mengarahkan komunikasi sedemikian rupa sehingga seorang pasien berada dalam situasi dan pertukaran pesan yang dapat memberikan manfaat, dan sikap perawat yang penuh dengan perhatian akan mempercepat proses penyembuhan. Menurut Keliat 2008, selama proses perawatan pasien gangguan jiwa dalam keluarga, beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh keluarga, adalah : Universitas Sumatera Utara menjadi ragu-ragu dan serba takut nervous, tidak nafsu makan , sulit konsentrasi, sulit tidu, tidak ada minat melakukan apapun dan menarik diri. Hasil penelitian Fitriana dan Kartinah 2010 tentang pola asuh keluarga pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta menyimpulkan bahwa pola asuh keluarga yang demokratis menunjukkan angka paling dominan terhadap terjadinya skizofrenia paranoid. Fungsi keluarga yang diterapkan pada keluarga skizofrenia paranoid menunjukkan bahwa dalam melaksanakan fungsi dan peran di keluarga berjalan dengan baik yang sesuai dengan fungsi pendidikan, spiritual, psikologis, biologis dan ekonomi. Hal-hal yang harus dilakukan keluarga dalam upaya penyesuaian diri dengan kehadiran penderita gangguan jiwa dalam keluarga dan cara mengatasinya adalah : 1 bilamana keluarga menghadapi skizofrenia dalam keluarga mereka seorang diri, beban itu akan terasa sangat berat, namun bila keluarga-keluarga yang sama-sama memiliki anggota keluarga skizofren bergabung bersama maka beban mereka akan terasa lebih ringan. Mereka dapat saling menguatkan, berbagi informasi yang mutahir, bahkan mungkin menggalang dana bersama bagi keluarga yang kurang mampu. Upaya peredaan ketegangan emosional secara kelompok juga akan lebih efektif dan lebih murah. 2 upayakan family therapy object relations family therapy dapat menjadi bagian dari rangkaian upaya membantu keluarga agar sebagai suatu sistem meningkat kohesivitasnya dan lebih mampu melakukan penyesuaian diri. 3 keluarga harus membantu menumbuhkan sikap mandiri dalam diri sipenderita, harus sabar dan menerima kenyataan. 4 menerima kenyataan, adalah kunci pertama Universitas Sumatera Utara proses penyembuhan atau pengendalian skizofrenia. Keluarga harus tetap bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap ksar. Akan tetapi terlalu memanjakan juga tidak baik. 5 pasca perawatan bisanya penderita akan dikembalikan pada lingkungan keluarga. Penerimaan kembali oleh keluarga sangat besar artinya, dalam berbicara tidak boleh emosional agar tidak memancing kembali emosi penderita. 6 penting dilakukan usaha-usaha prevenif berupa hindari frusrtasi dan kesulitan psikis lainnya. Menciptakan kontak-kontak sosial yang sehat dan baik. Membiasakan pasien memiliki sikap hidup positif dan mau melihat hari depan dengan rasa keberanian. 5.5 Pengaruh Komponen Sosial dalam Pemberdayaan Keluarga melalui Edukasi terhadap Kemampuan Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Komponen sosial dalam hal penanganan pasien gangguan jiwa adalah meningkatkan penggunaan dukungan jaringan formal atau informal untuk pasien dan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan persentase terbanyak pada kategori kurang dan sedang yaitu masing-masing sebesar 38,5. Dari seluruh pertanyaan tentang komponen sosial ditemukan 51,3 responden yang tidak tahu tentang dukungan yang diterima dari organisasi kesehatan jiwa dalam penanganan pasien gangguan jiwa. Rendahnya pengetahuan responden tentang dukungan organisasi kesehatan jiwa terkait dengan masih rendahnya dukungan dari organisasi sosial atau lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap masalah kesehatan jiwa. Namun Universitas Sumatera Utara pemerintah telah mengatur tentang hal tersebut dalam Kepmenkes No 220 tahun 2002 tentang pedoman umum tim Pembina, tim pengarah dan tim pelaksana kesehatan jiwa masyarakat yang menyebutkan bahwa masalah kesehatan jiwa tidak dapat dan tidak mungkin diatasi oleh pihak kesehatan jiwa saja, tetapi membutuhkan suatu kerjasama yang luas secara lintas sektor, yang melibatkan berbagai departemen, termasuk peran serta masyarakat dan kemitraan swasta. Secara statistik pada analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan tentang komponen sosial dalam pemberdayaan melalui edukasi dengan kemampuan merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Analisis multivariat menunjukkan besarnya kemungkinan atau nilai Odds Ratio OR sebesar 47,229, artinya bahwa besarnya kemungkinan peluang keluarga mampu merawat pasien gangguan jiwa di rumah setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara pada keluarga yang mempunyai pengetahuan komponen sosial kategori baik lebih besar 47 sampai 48 kali dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai pengetahuan komponen sosial kategori kurang. Kembali ke rumah setelah dinyatakan sembuh dari sakit jiwa berbeda dengan pulang sembuh dari rumah sakit non jiwa umum. Beban lain perlu di atasi oleh pasien yaitu rasa malu dan rendah diri karena stigma ’sakit ingatan’ yang pernah diderita. Pasien merasa dirinya akan menjadi bahan gunjingan, mungkin jadi bahan olokan, atau akan ditolak dalam kegiatan sosial dan kekhawatiran lepasnya peran penting di masyarakat maupun lingkungan kerja. Belum lagi terjadi semua hal Universitas Sumatera Utara tersebut, bayangan dan perasaan negatif ini saja sudah cukup membebani pasien. Keluarga harus segera menyadari hal ini dan melakukan perlindungan terhadap perasaan negatif ini dengan menjadi yang terdepan memberi rasa aman, rasa positif, rasa memerlukan pasien, bersikap terbuka. Perilaku minimal adalah anda jangan berbisik-bisik dengan anggota keluarga lain atau orang lain di depan pasien. Hal ini akan membuka peluang pasien untuk menciptakan prasangka negatif tentang dirinya, menumbuhkan rasa curiga, dan akhirnya suasana tidak sehat karena hubungan dan interaksinya tumbuh berdasarkan prasangka. Perilaku yang didasari prasangka pastilah salah. Perilaku yang salah cenderung akan direspon salah jika tidak terjalin suasana terbuka. Selanjutnya keluarga sebagai lingkaran terdalam dari interaksi pasien bertanggung jawab untuk melakukan ’edukasi’ terhadap komunitas lingkaran llebih luar dari interaksi pasien dengan melakukan pendekatan-pendekatan melalui kemungkinan kesempatan yang ada ataupun kesempatan yang direncanakan. Mengidentifikasi dan mengenali orang penting pasien diluar keluarga dan mengoptimalkan perannya dalam perubahan komunitas interaksi pasien. Sebelum pasien tiba di rumah menjelaskan secara terbuka tentang apa yang terjadi dan peran yang diharapkan atas mereka. Permasalahan sosial yang dihadapi dalam penanganan penderita gangguan jiwa di masyarakat adalah mispersepsi, sebagaimana dijelaskan Wicaksana 2008 bahwa berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespon kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat Universitas Sumatera Utara ketidaktahuan publik. Terdapat logika yang salah di masyarakat, kondisi mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu percepatan kesembuhan si penderita. Masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan mental sebagai sampah sosial. Salah satu upaya penting dalam pencegahan kekambuhan kembali adalah dengan adanya dukungan sosial keluarga yang baik, baik dalam perawatan maupun dalam pendampingan penderita gangguan jiwa berobat. Rendahnya dukungan sosial keluarga terhadap anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa dapat dilihat dari tingginya angka penderita gangguan jiwa. Hal ini disebabkan masih dianggapnya penderita gangguan jiwa sebagai aib keluarga serta ketidakmampuan keluarga dalam pentatalaksanaan penderita gangguan jiwa dalam keluarga Notosoedirjo, 2005. Nurdiana dkk. 2007, menyatakan bahwa keluarga berperan penting dalam menentukan cara atau asuhan keperawatan yang diperlukan oleh pasien. Keluarga memiliki fungsi strategis dalam meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya serta pasien dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak memiliki dukungan. Lingkungan keluarga berperan dalam merawat dan meningkatkan keyakinan pasien akan kesembuhan dirinya dari skizofrenia sehingga pasien mempunyai motivasi dalam proses penyembuhan dan rehabilitasi diri, karena Universitas Sumatera Utara suasana di dalam keluarga yang mendukung akan menciptakan perasaan positif dan berarti bagi pasien itu sendiri Jenkins, et al 2006. Mempunyai dukungan sosial yang kuat bagi penderita gangguan jiwa merupakan salah satu kunci untuk hidup sehat. Termasuk disini adalah bisa menghindar dari lingkungan yang tidak mendukung atau malahan merusak. Penderita perlu mengurangi kontak dengan orang orang yang sering membuat orang lain jadi merasa bersalah, malu atau mengecilkan hati. Penderita gangguan jiwa sebaiknya perlu banyak memakai waktunya untuk bergaul dengan orang orang yang bisa membuat perasaan menjadi tenteram dan menghargainya. Dukungan bagi penderita gangguan jiwa harus dimulai dari rumah. Sangat penting untuk punya seseorang yang bisa menolong atau mendukung ketika penderita gangguan jiwa sedang mengalami krisis. perasaan terisolasi dan kesepian bisa mendorong terjadinya depresi. Hasil penelitian Marsaulina 2012 di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Medan menyimpulkan bahwa secara statistik dukungan sosial keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencegahan kekambuhan pasien skizofrenia yang berobat jalan. Diperlukan penyuluhan bagi keluarga pasien skizofrenia tentang pentingnya dukungan sosial keluarga, khususnya dukungan emosional untuk proses kesembuhan dan pencegahan kekambuhan kembali. Salah satu bentuk dukungan sosial yang penting diberikan kepada penderita gangguan jiwa adalah dukungan dari aspek religius oleh tokoh-tokoh agama. Seperti dinyatakan Fanani 2009 bahwa dengan kemajuan teknologi kedokteran saat ini ternyata masih belum mampu diselesaikan berbagai masalah kesehatan jiwa baik Universitas Sumatera Utara ditinjau dari faktor etiologi maupun faktor terapinya. Oleh karena itu, upaya untuk menyempurnakan penyelesaian masalah gangguan jiwa terus dilakukan, sehingga pada awal tahun 1980-an peran budaya, spiritual dan keagamaan mulai mendapat perhatian. Sejak tahun 1994 secara resmi WHO memasukkan aspek spiritual sebagai salah satu komponen dalam upaya memperoleh sehat jiwa, dan sejak itu konsep holistik dilengkapi menjadi: bio-psiko-sosio-spiritual Hawari, 2005. Trujillo dan Kiresuk 2001 ketika membahas Cultural Psychiatry dalam Comprehensive Textbook of Psychiatry menyatakan bahwa faktor spiritualitas yang berpengaruh terhadap kesehatan jiwa meliputi pelbagai aspek, termasuk di dalamnya adalah aspek keagamaan. Juga dikatakan bahwa modalitas agama dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keefektifan terapi personal nonspesifik terhadap pasien dengan gangguan jiwa Fanani, 2009. Agama sangat penting dalam mengatasi masalah gangguan kejiwaan manusia karena dengan agama manusia dibimbing dalam kehidupannya. Masalah gangguan jiwa adalah akibat ketidakmapanan seseorang dalam berpersepsi dan mengeksistensikan dirinya dalam kehidupan ini. Dengan agama orang akan positive thinking, self control self esteem yang baik, memiliki cara penyelesaian masalah yang spesifik, sehingga daya tahan mentalnya menjadi lebih baik Fanani, 2009.

5.6 Karakteristik Keluarga Pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASI ASET RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

3 55 9

Kemampuan Sosialisasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013

0 39 64

Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Kinerja Perawat dalam Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, Medan

0 39 6

Pengaruh Program Psikoedukasi Keluarga Terhadap Keberfungsian Sosial Pasien Gangguan Jiwa Akibat Ketergantungan Narkoba Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 10

Muslim Terhadap Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Mahoni Kota Medan.”

0 0 7

KUESIONER Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan Pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara tahun 2013

0 0 35

Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 1 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa - Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 0 50

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

0 0 11

PENGARUH PEMBERDAYAAN KELUARGA MELALUI EDUKASI TERHADAP KEMAMPUAN MERAWAT PASIEN GANGGUAN JIWA DI KOTA MEDAN PADA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2013 TESIS DIES WIRO TARIGAN

0 0 18